8. Di Ruang Dapur Saat Aku Menyeduh Teh Untukmu
Jika aku memberitahumu sebuah rahasia, bisakah kau berjanji untuk menyimpannya sampai mati?
------------------------------------------------------
"Silakan masuk! Anggap saja rumah sendiri. Aku ke dapur dulu ya!"Senna menyambut dengan riang. Ia memutar kunci dan membuka pintu, lalu langsung berlari-lari kecil ke dapur untuk menyiapkan hidangan bagi tamunya.
"Temannya Zen berarti temanku juga, rumahku berarti rumahnya Zen juga~" Nadira menirukan ucapan Senna yang sebelumnya dengan nada suara yang menyindir. "Jadi, kalian serumah?"
Zen hanya menatap Nadira sekilas lalu melangkah ke ruang tengah. Ia merasa tidak perlu menjawab karena Nadira sudah tahu Zen punya rumah sendiri di ujung blok, tempat Nadira tadi menunggunya.
Nadira lantas mengikuti Zen ke ruang tengah dan berhenti di dekat sofa. Ia memandang sekeliling, memperhatikan seisi ruangan dan tampak terkesan pada foto-foto keluarga Senna yang dibingkai kayu bercat putih, tertata rapi di dinding belakang sofa.
Ruangan ini jadi sangat rapi karena didominasi bentuk kotak.
Ruang tengah rumah Senna terhubung langsung dengan ruang depan, hanya dibatasi lemari kayu tinggi besar yang menjadi sekat antara ruang tersebut. Di sudut lemari, sebuah tangga besi tersandar dekat dinding, sepertinya digunakan untuk mengambil barang di rak teratas. Lemari ini terisi penuh oleh beragam buku, dari novel romansa bersampul merah muda sampai kamus-kamus tebal berbagai bahasa. Ada lagi lemari yang lain, ukurannya sama besar dengan lemari yang menjadi sekat, menempel ke dinding seberang sofa. Lemari itu juga terisi oleh buku dan hanya menyisakan sedikit ruang di samping televisi 21 inci yang ditempatkan di tengah.
Pandangan Nadira kemudian beralih ke arah kanannya. Pintu kaca dengan gorden putih gading yang tersibak memperlihatkan taman dengan pohon biola kecil dan kolam di halaman belakang. Dari tempatnya berdiri, Nadira bisa mendengar suara gemericik dari dua mata air yang memancar membentuk kolam kecil, dengan tepian batu kuarsit hijau yang disusun melingkar. Di tepi dindingnya, ada lagi dekorasi air yang mengalir perlahan melewati batu alam yang dibentuk menyerupai tangga. Rasanya Nadira ingin meditasi di bawah cipratan airnya yang kecil-kecil mirip gerimis.
Rumah ini sudah didesain menjadi tempat tinggal yang sangat nyaman untuk digunakan dalam jangka waktu yang lama.
Rencananya.
"Siapa yang mendesain rumah ini?"tanya Nadira penasaran, matanya masih terpancang pada kolam di balik pintu kaca.
"Dari awalnya sudah begini. Bunda Laras hanya memindahkan dan menambah beberapa benda."
"Hm. Memang kesannya terlalu kotak-kotak, tapi bagus. Aku suka kotak-kotak."
"Senna yang suka kotak-kotak."
"Ow." Nadira beralih menatap Zen, pandangannya bergerak turun ke bahu dan dada Zen lalu -
"Bukan kotak yang kau kira,"Zen meluruskan sebelum Nadira mengatakan apa yang dipikirkannya. "Jangan berpikiran yang macam-macam."
"Aku nggak bilang apa-apa, tuh. Mungkin kamu yang sudah 26 yang berpikiran macam-macam? Aku sih polos..."
Zen mendelik, melayangkan tatapan tak percaya ketika mendengar klaim sepihak itu. "Polos?"
Nadira hanya mengedikkan bahu.
Zen menatap Nadira dengan pandangan menghakimi. Matanya menyipit, suaranya penuh curiga. "Katakan. Apa alasanmu ikut ke sini?"
"Kamu pikir aku akan membiarkanmu sendiri? Please ya, nggak aman buat Senna. Nanti setelah Senna tidur, kita harus bicara empat mata! Setelah itu aku akan memastikan kamu pulang ke rumahmu sendiri! Aku serius mengawasimu!"Nadira menunjuk matanya dan mata Zen dengan telunjuk dan jari tengah, tampak serius mengancam.
"Harusnya aku yang bilang begitu, orang tak dikenal," tukas Zen, menekankan kata-katanya.
Nadira memutar bola mata. "Huh. Kamu kan - "
Ucapan Nadira terpotong saat mereka mendengar teriakan nyaring Senna dari dapur. "Zen! Kamu mindahin gulanya lagi ya?!"
Zen refleks melintas ruang dari ruang tengah ke dapur.
Nadira mendecak sebal. "Aish, dasar pelintas ruang!" makinya pelan sembari mengikuti Zen ke dapur dengan berjalan.
"Duh, padahal kemaren Ayah udah mindahin toples gulanya ke bawah,"gumam Senna seraya menatap lemari paling atas, tempat Zen biasa menyembunyikan benda-benda berbahaya seperti gula dan junkfood.
"Ayahmu menyuruhku menyembunyikan gula biar kamu nggak keseringan pakai gula,"Zen beralasan.
Senna menyanggah. "Hah, kapan?! Nggak pernah, tuh! Pokoknya, jangan pindahin gulaku ke atas. Aku nggak nyampe,"keluh Senna seraya menarik kursi meja makan, berniat memanjat dan mengambilnya sendiri.
Namun, Zen menarik kembali kursi itu dan membukakan lemari atas, meraih toples gula yang disembunyikan di sana. "Sudah, kamu duduk saja dan tunggu tehnya siap."
"Eh, jangan... dia tamumu, jadi kamu yang temani dia. Masa ditinggal. Biar aku yang bikin teh,"tolak Senna, tangan kirinya membuka pintu lemari dapur yang dapat dijangkaunya.
Zen tidak mau pergi. Ia berdiri di kanan Senna, memperhatikan saat Senna memilih-milih teh di lemari.
Senna mengambil kotak yang ditandainya dengan label teh hitam Pangalengan dan memasukkan beberapa sendok daun teh ke dalam teko.
Seolah sudah tahu apa yang akan Senna lakukan, Zen pindah ke kiri Senna, mengambil sepasang cangkir yang biasa mereka pakai dan mematikan kompor setelah mendengar suara ketel yang seakan bersiul memperingatkan airnya sudah mendidih. Sambil menunggu airnya agar siap dituangkan, ia menata dua cangkir dan teko di atas nampan. Ia tersenyum penuh kemenangan saat Senna melirik ke arah cangkir yang sudah disiapkannya.
Senna menunjuk cangkirnya. "Kurang satu."
Zen menyipitkan mata, tidak mengerti. Dua sudah cukup, kan?
"Cangkirnya. Satu lagi buat Nadira, mana?"
"Oh."
Saat Zen memilih cangkir tambahan, Senna membuka lemari bawah, mencari-cari sesuatu. "Eh... Cemilanku yang biasa mana ya..."
"Kalau nggak di lemari bawah, mungkin di lemari atas,"sahut Zen santai.
Senna memukul pelan lengan Zen. "Kaaaan! Kubilang jangan pindahin ke lemari atas!"sungutnya dengan wajah cemberut. Saat Zen menoleh untuk menatap Senna, ia tak bisa menyembunyikan senyumnya dan semakin memancing kekesalan Senna.
"Maaf, maaf. Jangan pukul aku. Airnya nanti tumpah, lho,"tegur Zen saat menuangkan air hangat ke dalam teko. Mendengar suara kursi kayu yang bergesekan dengan lantai keramik, ia sontak memperingatkan Senna tanpa mengalihkan perhatian dari teh seduhannya. "Jangan manjat. Nanti kuambilkan."
"Ha-ha, telat, aku udah ngambil sendiri."
"Jangan banyak-banyak."
"Larang-larang terus dari tadi, ih. Kamu makin mirip ayahku."
"Baguslah. Aku jadi yakin diterima."
"Ehem."
Zen dan Senna menoleh bersamaan, canggung memandang Nadira yang sudah berdiri di pintu dapur. Nadira menatap mereka, mencondongkan badan ke kusen dengan malas.
"Apanya yang diterima?"tanya Nadira, jelas mengejek. Zen mulai berpikir mengejek dan meledek orang lain adalah hobi Nadira.
Zen mengangkat nampan dan melangkah ke luar dapur, membawa tehnya ke ruang tengah.
"Diam dan minum saja tehmu."
"Mana? Cangkir untukku bahkan nggak ada."
"Ambil sendiri. Kan Senna sudah bilang, anggap rumah sendiri."
-------
Senna mengangkat cangkirnya dan menghirup dalam-dalam aroma teh hangat yang diseduh Zen. Wangi teh bercampur manis gula batu menghampiri penciumannya. Teh yang dibelikan ayahnya selalu teh terbaik yang dibeli langsung di perkebunan, tetapi teh terbaik sekalipun tidak akan nikmat jika cara seduhnya kurang tepat. Sejauh ini, menurutnya, teh seduhan Zen adalah yang terbaik.
Zen duduk di samping Senna, menatapnya dan membiarkannya berlama-lama menghirup tehnya seperti biasa. Tak disangka ia akan melihat lagi senyum lebar Senna yang bersemangat saat meminum teh yang diseduhnya. Saat Senna tak ada, Zen tetap menyediakan dua buah cangkir di dekat tekonya, berharap Senna akan minum teh lagi bersamanya.
"Hmmmm! Nadira harus coba tehnya!"Senna menawarkan dengan semangat. Ia mengambil cangkir porselen putih polos dan menuangkan teh untuk Nadira. "Ini. Mau gula batunya juga?"
"Ya, aku mau tiga!"pinta Nadira tanpa sungkan.
"Ih, aku juga suka gulanya tiga!"
"Samaan!"
Zen agak jengkel setelah Nadira seakan merebut Senna darinya. Nadira terus mengajak Senna mengobrol, membawanya melompat dari topik satu ke topik lainnya secepat katak melompat. Mereka membahas khasiat gula, tebu, kebun teh, masakan Padang, lalu melompat ke lagu Chrisye, sampai ke percakapan entah apa yang tak bisa Zen masuki. Mereka berdua seakan punya dunia sendiri dan Zen hanya menonton mereka dari luar. Nadira tahu banyak hal yang disukai Senna dan memancing Senna untuk terus bercerita, lalu membahasnya dengan penuh semangat seperti Senna.
"... Terus Ezzi memberiku oleh-oleh rengginang!"seru Senna antusias.
Zen melirik Senna sekilas ketika menyebutkan nama Ezzi. Ia tahu Senna dan Ezzi sebenarnya cukup dekat meskipun mereka jarang bertemu. Diam-diam, ia pernah merasa iri pada Ezzi yang lebih dulu mengenal Senna dan tahu banyak hal tentangnya.
"Ah! Ngomong-ngomong rengginang, aku membawakannya untukmu. Itu yang tadi mau kukasih,"ujar Nadira sambil membuka tas kecilnya dan mengeluarkan sebungkus kecil rengginang asin. "Oleh-oleh Bandung,"katanya.
Senna menerimanya dengan hati dan tangan yang terbuka. Akan tetapi, Zen menghalangi tangan Nadira yang terulur menghadiahi oleh-olehnya pada Senna. "Sini kusimpan. Senna nggak boleh makan junkfood di atas pukul sembilan malam,"tegasnya.
Senna merebut hadiah itu dari Zen dan memeluknya erat. "Pasti ayahku yang menyuruhmu, ya. Santai saja, Ayah lagi pergi jauh, nggak akan sadar kalau aku makan ini satu kali. Besok aku makan buahnya dua kali lipat, deh. Atau sekalian kita olahraga paginya dua kali lipat juga. Yayayaya?"
"Ya sudah, janji ya."
"Hm! Eh iya, Nadira juga bisa ikut olahraga pagi bareng! Nanti kita mampir ke toko roti favoritku. Chocolate croissant-nya enak banget, kamu harus coba!"
"Asyik! Aku mau ikut! Aku pinjam bajumu, ya! Eh iya... Sepertinya aku juga mau pinjam piyama..."
"Tenang, akan kusiapkan! Karena kamu mau menginap di rumahku, semua untuk tamu aku yang tanggung!"
Mendengar itu, Zen tidak tinggal diam dan memaksa masuk dalam percakapan itu. Sejak kapan ada kesepakatan menginap?
"Nadira menginap di sini?"tanyanya curiga.
"Tentu saja, masa di rumahmu? Kalau di tempat lain, Nadira nggak punya cukup uang untuk sewa penginapan. Kenapa nggak di sini saja? Di sini ada kamar buat tamu, kok!"
"Kamu nggak kenal dia."
"Dia kan temanmu."
Zen kehabisan kata untuk mendebat Senna yang sudah telanjur senang dengan Nadira. Mengalah sepertinya pilihan yang lebih baik daripada membuat Senna merajuk dan mendiamkannya. "Ya sudah, baiklah."
"Yay! Udah jam 10, aku ke kamar dulu. Ingat, Nadira tetap menginap di sini, di kamar tamuku. Jangan menyuruhnya pulang!"Senna serius memperingatkan.
"Iya."
"Kamu pulang sana, jangan lupa kunci pintu,"Senna menyuruh lagi, secara tak langsung mengingatkan Zen untuk pulang dengan cara yang normal.
Zen menanggapinya dengan santai. "Dia sudah tahu, kok. Aku mau memastikan dulu kamu akan langsung tidur dan nggak begadang sama Nadira."
Senna melirik Nadira dan Zen bergantian, penasaran sedekat apa hubungan mereka sampai Zen membiarkan Nadira tahu kalau ia pelintas ruang. Akan tetapi, wajah Zen yang tampak serius sambil menunjuk kamarnya membuat Senna ingin segera meninggalkan ruang ini.
"Iya, iya, aku ke kamar sekarang! Dah, sampai ketemu besok!"pamitnya, langsung melarikan diri ke kamar.
Setelah mendengar suara pintu yang ditutup dan saklar lampu yang dimatikan, Nadira membuka map kertasnya di atas meja. Ia membalik cepat dan berhenti di halaman dengan banyak garis yang tampak seperti bagan perencanaan sesuatu. Zen memperhatikannya dengan cermat.
"Jadi itu yang selalu kau bawa-bawa. Apa itu sebenarnya?"tanya Zen, semakin curiga dengan Nadira, berpikir bahwa skema garis yang ditulis Nadira adalah rencana jahat.
"Ini bukan rencana jahat, percaya padaku."
Zen menatap tajam Nadira. "Apa buktinya agar aku percaya?"
Nadira mendekatkan mapnya pada Zen, membiarkannya membaca bagan di halaman itu. "Lihat, tidak ada rencana jahat di dalamnya. Sekarang kau percaya?"
"Aku belum lihat halaman lain."
"Bukankah aku sudah membawamu ke sini dan tidak melakukan hal buruk apapun? Kenapa kamu masih nggak percaya?"
"Belum. Kau hanya belum melakukannya."
Nadira mendesah frustrasi. "Hah, segitu nggak percayanya, ya." Nadira menutup map kertasnya dan menatap Zen dengan wajah serius. "Baiklah. Jika aku memberitahumu sebuah rahasia, bisakah kau berjanji untuk menyimpannya sampai mati?"
Senna.
(Yay, fotonya nggak grayscale😂)
Diunggah di ruang yang menyimpan banyak kenangan, 30 November 2020, 09.36 pagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top