10.Di dalam Pikiranmu Saat Kamu Meragukan Kenyataan yang Tak Ingin Kamu Percaya

Jika ternyata yang kukatakan padamu adalah kebohongan, akankah kamu tetap sepenuh hati memercayaiku?
---


Bagi para pelintas di Kronologia, kejujuran dan kepercayaan pada anggota Kronologia lainnya sudah menjadi esensi dalam diri mereka. Menyampaikan peristiwa sebagaimana nyatanya, detail sampai ke latar belakang kejadian, dan mempercayai bahwa yang dikatakan rekan - atau pasangan - adalah kebenaran, seakan begitulah cara mereka mempertahankan kehidupan.

Mereka sepenuh hati meyakini, jika seseorang mulai menanam kebohongan, yang tumbuh setelahnya hanyalah kehancuran. Aturan Kronologia membuat mereka menjadi demikian.

Meskipun begitu, tak ada larangan untuk menyembunyikan pengetahuan atau pemahaman. Dengan alasan, semua fakta tak mesti diperlihatkan di saat yang bersamaan.

Syaratnya, fakta yang disembunyikan tidak akan mengubah kebenaran.

Padahal, menyembunyikan kenyataan, sama saja seperti setengah kebohongan.

Setidaknya, begitu yang Senna pikirkan.

Oleh karena itu, saat Zen mengenalkan Nadira padanya, ia mempercayai Zen sepenuhnya, meskipun saat itu raut wajah Zen yang biasanya datar tampak tak meyakinkan.

Ia sudah susah payah membangun kepercayaan dengan Zen, dan tidak akan membiarkannya kembali menjaga jarak.

Karena, sebuah hubungan, hanya akan bertahan dengan kepercayaan, kan?

Senna juga sudah lama tahu, Zen sebenarnya orang yang skeptis, selalu curiga. Bahkan setelah ia menjadi anggota Kronologia, tempat paling aman untuk meletakkan rasa percaya. Anggota Kronologia tidak akan berbohong saat menyampaikan atau menulis sesuatu, karena mereka menilai kebohongan adalah hal terlarang dan paling berbahaya.

Sejak awal, Zen memang punya masalah tentang mempercayai orang lain dan cenderung berusaha melakukan semuanya sendiri.

Hanya Senna dan keluarganya yang ia andalkan. Itupun butuh waktu lama, sampai bertahun-tahun.

Jadi, jika Zen sudah mempercayai seseorang, tak ada alasan bagi Senna untuk tidak mempercayai orang itu.

Zen saja mempercayainya, artinya orang itu memang pantas dipercaya, kan?

Seharusnya tak ada lagi keraguan.

Dulu, saat mereka baru dipertemukan sebagai rekan dan bertugas bersama sebagai jurnalis ruang-waktu untuk RuangBerita, Zen sering menyalahkannya meskipun mereka sudah sampai di tujuan yang benar. Zen sering curiga, bahkan pernah menuduh Senna ingin membuangnya ke masa lalu!

Lalu, Zen yang seperti itu, kini sudah mempercayai Nadira dan memberitahunya hal yang biasanya ia sembunyikan?

Orang lain di Kronologia, tak ada yang mendapat "hak istimewa" itu.

Senna mengajak Nadira menginap di rumahnya karena ia percaya pada Zen yang mengatakan bahwa Nadira adalah temannya.

Namun, jika Nadira mengatakan hal absurd seperti "Aku adalah pelintas," bagaimana Senna bisa percaya?

Apa itu alasan Zen mempercayai Nadira?

Senna tak menemukan Nadira di garis waktu manapun. Atau mungkin ia yang kurang referensi. Akan tetapi, sejauh pemahamannya, tak ada Nadira dalam garis waktu yang bisa dilihatnya.

Bagaimana Nadira bisa tenang-tenang saja setelah mengatakan semua itu? Jika Nadira memang bisa membuktikan bahwa ia juga pelintas dan anggota Kronologia, Senna pasti akan mempercayainya.

Akan tetapi, Nadira tak bersedia membuktikannya dengan melintas atau memperlihatkan sejauh apa pemahamannya. Ia bahkan tidak mau memberitahu dari keluarga mana ia berasal. Dengan sikap seperti itu, bisa saja Nadira bohong dan hanya mengaku-ngaku.

Ini bukan saatnya mengandalkan perasaan. Seumur hidup ia belajar, fakta selalu butuh landasan.

'Ikuti kata hati' hanya sekadar ungkapan, bukan untuk dilakukan.

Senna menunduk semakin dalam, berusaha memproses kalimat Nadira barusan. Ini bukan saatnya panik. Ia butuh ketenangan.

"Kamu melintasi waktu? Lalu, ini garis waktu siapa?"tanyanya pelan.

"Aku membawa Zen ke masa lalu untuk menemuimu. Di masa depan, kamu..."

Senna menyela, suaranya lirih. "Ya, aku tahu. Umurku tak panjang, dan karena itu Zen kembali ke masa lalu untuk bertemu denganku."

Nadira mendesah frustrasi. "Hah... Bukan itu! Kuharap aku bisa memberitahumu semuanya saat ini juga. Tapi, jika kamu tahu saat ini, hasilnya akan berbeda. Ki... ah, begini, aku sudah mencobanya. Tidak akan berhasil, kalau kamu tak percaya padaku. Itu saja dulu..."

Berhasil apa? Tujuan apa?

Senna ingin menyanggah, tapi kata-kata itu hanya lantang dalam pikirannya. Ia sudah terlalu lelah untuk berdebat.

Nadira hanya menatapnya, sibuk menyusun kata dalam pikiran. Memilah apa yang harus dikatakan dan apa yang harus disembunyikan. Garis waktu dalam pikirannya kini berantakan. Kenyataan dan harapannya berkelindan dalam wujud badai topan. Ia sudah memperkirakan situasi ini akan terjadi, tetapi melihatnya secara langsung ternyata jauh lebih menyakitkan.

Bahkan jika sisa waktu yang Senna miliki tak terbatas, di garis waktu lainnya, Nadira masih menemukan gadis itu berkabung kesedihan.

Ia merasakan kepedihan yang hampir sama ketika benar-benar melihat Senna menunduk, memejamkan mata dan berusaha menahan tangis. Perasaan yang muncul karena kenyataan memang lebih kuat daripada bayangan.

Pada akhirnya, ia hanya bisa terdiam, menanti sampai Senna kembali bicara.

"Yang kita bicarakan ini konteksnya nggak jelas,"gumam Senna akhirnya. "Aku harus tahu agar bisa melihat jalannya. Aku bahkan nggak bisa melihat kamu dari 'kapan'. Aku nggak seimajinatif Ezzi yang bisa kepikiran kemungkinan absurd..."keluh Senna. Suara seraknya teredam dalam lipatan tangan di atas lutut.

"Kamu kan sudah ahli menduga-duga isi pikiran Zen. Pasti kamu juga punya banyak kemungkinan tentangku," Nadira setengah membujuk, setengah mengingatkan Senna bahwa ia juga mampu membuat jalan waktu dari kemungkinan.

Senna menggeleng. Baginya, itu hal yang berbeda. Senna menganalisis gestur dan kebiasaan Zen, mengingatnya, dan menjadikannya sebagai landasan tindakan Zen. Ia tahu dasar-dasarnya dan mana yang lain dari biasanya. Ia memang bisa melihat Zen sebagai garis waktu, tapi tak pernah berdasarkan kemungkinan.

"Atau... Kamu hanya tak mengakuinya. Kamu memang tak mau percaya padaku,"sambung Nadira, membuat Senna semakin bimbang.

Awalnya, Senna memercayai Nadira karena Zen.

Namun, satu pernyataan tadi mengubah pikirannya. Ia kini tak tahu lagi apa yang harus diyakini. Nadira seperti bangunan baru baginya. Ia tak tahu yang mana lantainya, yang mana langit-langitnya. Jika ia terlalu mengira-ngira, jalan yang dilihatnya malah semakin buram. Dan ia benci itu.

"Ada masalah? Nggak bisa percaya orang lain?"tebak Nadira.

"Huh? Aku nggak punya masalah. Aku hanya berusaha logis,"bantah Senna cepat.

Anehnya, perasaannya ingin mempercayai Nadira. Logikanya hanya belum menerima hal itu, lantaran tak ada landasan untuk meyakini yang dikatakan Nadira adalah sesuatu yang benar. Sebagaimana kebijakan Kronologia yang mengharuskannya melihat suatu kejadian dari berbagai sisi untuk mendapatkan kenyataan yang sebenarnya, ia tak bisa menilai Nadira dari satu pernyataan tadi.

Tiba-tiba ia kehilangan semua dasar-dasar membaca wajah. Dari awal, ia menganggap Nadira yang sebenarnya adalah yang ceria dan banyak bicara. Dalam teorinya, seharusnya Nadira yang berbohong adalah Nadira yang tegang, canggung, dan gelisah. Akan tetapi, Nadira tidak begitu. Ia malah kelihatan serius, malah hampir putus asa. Senna tak mengerti. Kenapa teori mikroekspresi bahkan tak berlaku pada Nadira, seakan ia sudah mempelajari semuanya dan menggunakannya untuk memutarbalikkan kenyataan?

Dari semua yang dikatakan Zen dan Nadira, yang mana yang benar?

Ia percaya pada Zen karena yakin Zen tidak punya niat jahat.

Namun Nadira seperti angin; tak terbaca, tak terlihat, mengawang-awang, entah ke mana.

Ia tak bisa menilai Nadira jahat, tapi tak tahu apakah Nadira benar-benar baik. Kenyamanan yang ia rasakan saat menghabiskan waktu bersama Nadira sungguh nyata. Rasanya familier, seakan ia sudah lama mengenal Nadira.

Setelah menghabiskan berjam-jam bersama, Senna tak merasa Nadira adalah seseorang yang berniat jahat. Gesturnya terlalu lembut untuk orang jahat. Ia tulus ketika mengobrol dengannya sambil minum teh. Ia serius saat mengatakan teater. Namun, ia juga serius saat membicarakan pelintas.

Ada sesuatu yang Nadira sembunyikan. Sesuatu yang juga Zen ketahui. Sesuatu yang tak mereka beritahu pada Senna.

Jika ada satu hal yang bisa meyakinkan Senna... mungkin dari Zen, atau beberapa fakta lain dari Nadira...

"Bagaimana jika kamu cari tahu dari Zen? Kalau kamu tahu dia berbohong, aku berarti benar, dan kamu harus percaya padaku,"kata Nadira, setelah lama membiarkan Senna berpikir sendiri.

Dengan mudahnya Nadira menyebut hal itu, seakan sudah tahu Zen memang berbohong dan akan terbukti begitu.

Sebenarnya, Senna lebih takut jika nanti tahu Zen memang berbohong.

Karena, Zen tidak seharusnya begitu. Apalagi padanya.

Itu salah satu kemungkinan yang tak ingin ia lihat, di garis waktu manapun.

Hal itu tak akan masalah jika Zen hanya orang biasa bagi Senna. Bukan pelintas, bukan anggota Kronologia, apalagi rekannya. Seseorang yang sangat berarti baginya.

Walau tak seorangpun dari mereka pernah menyatakan kata cinta secara langsung, mereka sudah bersama selama bertahun-tahun, dan Senna ingin terus menghabiskan waktu bersama Zen ke depannya.

Memang egois, mengingat waktunya sendiri tak banyak, dan ia tak bisa menemani Zen setelahnya.

"Aku... nggak mau,"jawab Senna pelan. Ia kembali menunduk, menghindari tatapan Nadira yang seolah mengurungnya dalam kemungkinan terburuk.

Ini bukan kebiasaannya. Senna, pelintas waktu terbaik kedua di Kronologia, biasanya berani menantang apapun di depan karena sudah tahu secara pasti apa yang akan terjadi. 'Persimpangan jalan' yang bisa ia bentuk dari berbagai kemungkinan di setiap garis waktu juga selalu solid, berlandaskan fakta dan logika.

Membuat jalan waktu dengan kemungkinan bermodalkan perasaan, bukan sesuatu yang biasa Senna kerjakan.

Terlebih jika ia akan menghadapi kemungkinan seperti itu.

"Nggak mau apa?"tanya Nadira, suaranya lembut dan seakan ingin tahu, padahal ia sudah jelas mengetahui maksud Senna.

"Jika nanti misalnya Zen ternyata... Nggak, aku nggak mau melihat Zen begitu. Bahkan aku nggak mau melihat kemungkinan itu."

Karena, kemungkinan lain, perasaannya akan berubah setelah itu. Kemungkinan lainnya lagi, masih melibatkan perasaannya, waktu yang mereka habiskan bersama akan terasa berbeda.

Padahal Senna tak mau jika sisa waktunya yang singkat membuat Zen terbebani, lalu menjadi sosok yang meninggalkan kenangan buruk untuk Zen.

Nadira mengubah posisi duduknya agar bisa menghadap Senna.

Ia mengerti bagaimana perasaannya. Di manapun dan kapanpun ia menemui Senna, satu sifat ini selalu melekat padanya.

Ragu pada perasaannya sendiri.

Senna selalu bergantung pada pemahamannya yang tinggi dan yakin akan itu. Namun, jika menghadapi kemungkinan yang melibatkan perasaan, pikirannya tersara-bara serupa debu yang disapu.

"Itu hanya kemungkinan, kan. Di sini, di garis waktu ini, yang kamu pikirkan itu belum terjadi. Jangan terlalu khawatir,"bujuk Nadira, menenangkan. "Ingat ungkapan 'Masa lalu tak boleh diubah, dan masa depan tentukan sendiri'? Seperti itulah. Aku di sini membantumu, agar kamu tak melewati tanda yang mengarah ke jalan yang salah. Itu tugas anggota Kronologia, kan. Sekarang, mau percaya padaku atau tidak, kamu tentukan sendiri."

Senna akhirnya menatap Nadira. "Kamu... Dari mana kamu tahu ungkapan itu?"

"Sudah kubilang, kan. Aku juga pelintas waktu dan anggota Kronologia. Siapapun di Kronologia tahu ungkapan itu. Versi ringkas salah satu uraian dari tiga peraturan utama. Kedengaran keren kayak quotes, daripada teks aslinya yang belibet itu."

Nadira berdeham sebelum membacakan salah satu uraian peraturan Kronologia yang susah payah ia hafalkan. "Tidak diperbolehkan melintasi garis waktu utama ataupun cabang di masa lalu, untuk mengubah kelahiran, kematian, atau keputusan seharusnya yang dapat mengganggu keseimbangan kedua hal tersebut setelah terjadi. Woah, hebat, aku hafal!"serunya seraya bertepuk tangan untuk diri sendiri. Berusaha riang agar atmosfer berat ini perlahan-lahan hilang.

"Maksudmu 'Tidak diperbolehkan melintasi garis waktu utama dan atau cabang persimpangan jalan di masa lalu yang waktunya sudah terlewati, untuk mengubah kelahiran, kematian, atau keputusan yang dapat mengganggu keseimbangan kedua hal tersebut setelah terjadi di masa lalu sebagaimana seharusnya,' ya?"koreksi Senna, dengan kalimat yang sama persis dengan yang tertulis di buku peraturan Kronologia.

Nadira tercengang. Anggota keluarga Hadinata dengan photographic memory mereka memang berada di level yang jauh berbeda. "Shiii- Ow. Woah. Uh... Ya... Maksudku yang itu."

Senna kembali menjelaskan. "Setelahnya ada kalimat lain. Namun, para pelintas memiliki kewajiban untuk memperbaiki 'tanda' yang mengarah ke jalan yang salah agar garis waktunya terhenti dan pintu kemungkinannya tertutup, sehingga tak ada yang melewati garis waktu yang seharusnya tidak terjadi, memastikan tak ada tanda yang mengarah pada jalan yang salah, serta kembali meluruskan kejadian yang tidak seharusnya terjadi."

"Yaaaa... Yah. Benar sekali. Artinya, kita sudah sama-sama mengerti, kan?"

"Hm. Intinya agar tak ada 'tanda' yang mengarah pada jalan yang salah. Pelintas yang mengikuti pembelajaran di Kronologia pasti memahaminya. Itu semacam visi Kronologia,"jelas Senna.

Kronologia menjadikan sebuah peristiwa sebagai tanda dalam garis waktunya. Kematian dan kelahiran, adalah sebagian dari tanda tersebut.

Tanda lainnya adalah kejadian yang mempengaruhi dua hal itu secara langsung. Pemahaman, adalah hasil pembelajaran para pelintas bertahun-tahun dalam mempelajari jalan ruang dan waktu.

Nadira kini lebih rileks. "Jujur, aku juga mempelajari hal itu. Tapi, aku nggak punya photographic memory seperti kamu dan yang lain. Jadi, jika aku nggak hafal keseluruhannya, itu bukan salahku. Serius, deh. Aku juga pengen hafal sekali baca gitu."

"Oh, jadi kamu juga bagian dari keluarga Hadinata?"

Nadira mengalihkan pandangan, berusaha semakin ambigu. "Ah, um... Bisa iya, bisa tidak? Sedikit demi sedikit, garis waktuku berubah. Jadi, maukah kamu memperbaikinya bersamaku?"bujuknya lagi.

"Tapi kenapa aku harus membantumu?"

"Tentu saja, karena kita adalah anggota Kronologia yang akan memastikan tak ada yang melewati jalan yang salah!"serunya, berlagak seakan pertanyaan Senna sudah punya jawaban pasti.

Nadira akan mencoba segala cara untuk meyakinkan Senna. Dengan logika, atau perasaan. Dengan berlagak kuat, atau mengaku lemah. Apapun. Waktunya kini semakin sedikit.

Senna mengoreksi. "Hampir benar. Harusnya, memastikan tak ada tanda yang mengarah pada jalan yang salah."

Bahu Nadira sedikit merosot. Kenapa sulit sekali, keluhnya dalam hati.

Namun kemudian, Senna menyentuh tangan Nadira. "Kurasa... Aku akan mencoba percaya padamu,"katanya, walau suaranya masih sarat akan keraguan.

"Jadi, kamu akan percaya padaku dan melakukan apa yang kuminta?"tanya Nadira, memastikan. Persetujuan Senna adalah salah satu tanda yang ia perlukan garis waktu ini, agar ia bisa menutup pintu kemungkinan yang seharusnya tak pernah terbuka.

"Ya. Demi Kronologia."

Nadira tersenyum senang. Kelas akting dan kuliah komunikasi persuasif yang diikutinya ternyata lumayan membantunya. Ia ingin berterima kasih pada ibunya dan memeluknya saat ini juga.

"Ah, akhirnya! Serius, aku sebenarnya sudah lelah kembali ke masa lalu berulang kali. Rasanya aku mau memelukmu!"


Senna merentangkan tangan dan memeluknya. "Boleh. Sini..."

Kehangatan pelukan yang tiba-tiba itu berhasil menenangkan Nadira. Kini, ia lebih yakin, ini benar-benar jadi kali terakhirnya.

Setelah ini, masa depan akan berubah dan kembali ke jalan yang sebenarnya. Nadira belum melihatnya, tapi jika pelintas waktu terbaik Kronologia sudah memastikan hal itu untuknya, asal mengikuti jalan yang telah dituliskan, ia pasti sampai di tujuan.


--------------

Diunggah di sebuah Rabu yang berkabung ragu, di ruang gelap tanpa cahaya lampu.
18-8-2021.

Tadinya aku ragu untuk unggah, tapi karena sesuatu, aku ingin segera melanjutkannya.

Hello again, it's me and the whole Kronologia Universe. ^_^

- Alishananta

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top