1. Di Garis Waktu yang Tidak Berubah
Apa gunanya mengetahui sesuatu dari awal, jika tidak bisa mengubah akhirnya?
------
Untuk kesekian kalinya, Zen kembali berdiri di depan pagar rumah itu.
Melihat gembok pagar yang berkarat, Zen mengalihkan pandangan ke kotak kecil seukuran buku yang menggantung di pinggirnya. Tangannya menyusuri kotak itu dari kiri ke kanan. Biasanya ada surat atau paket buku yang terselip di sana.
Karat besi yang kasar melekat di jemarinya. Kesat dan kotor. Sampah kering bertumpuk di dalamnya. Alih-alih menyimpan buku, kotak itu kini menyimpan daun dan debu.
Rumah ini benar-benar butuh perhatian, tetapi Zen tidak bisa mengurusnya sendirian. Apalagi setelah pemilik asli rumah ini pergi.
Entah kenapa, ia tidak bisa masuk ke sana.
Bukan, bukan karena pagar yang terkunci itu. Pagar dan kunci bukan tandingan untuk pelintas ruang sepertinya. Tidak ada gembok ataupun kunci yang bisa menghalanginya.
Hanya dinding.
Satu dinding di hatinya yang membuatnya takut untuk masuk.
Dinding yang akan langsung runtuh jika melihat kembali isi rumah itu... Meja bundar di teras, gorden putih gading di jendela ruang depan, dan radio di ruang tengah yang biasanya memutar lagu lawas Chrisye.
Untuk melintas ruang dari kampus tempatnya mengajar ke tempat ini, ia hanya butuh satu detik walaupun jaraknya lebih dari delapan ratus kilometer.
Namun untuk melintas dari pagar ke dalam rumah itu, padahal jaraknya hanya delapan meter... Rasanya, tujuh tahun masih tidak cukup. Ia lagi-lagi terhenti di pagar itu, mengecek isi kotak dan berharap ada satu-dua barang yang terselip di sana, sedikit berharap ada orang lain yang datang. Tujuh tahun berlalu, ada banyak benda yang terselip di sana, tapi tidak ada yang berarti. Hanya daun, atau selebaran promosi, atau sisa hujan di hari sebelumnya. Atau sisa kesedihan yang mengendap dari kunjungan Zen sebelumnya. Tidak ada benda yang diharapkannya di sana.
Orang-orang selalu bilang, waktu akan mengobati luka hati.
Namun bagaimana waktu akan mengobati hati, jika yang pergi adalah sang waktu itu sendiri?
Bagi Zen, waktu miliknya terpaku di sini.
Di tempat ini.
Tujuh tahun lalu, saat keluarga Hadinata mengunci rumah ini dan tidak mengurusnya lagi, sehari setelah Senna Arundaya Hadinata, salah satu anggota keluarga mereka, salah satu pelintas waktu yang paling diperhatikan Kronologia, meninggal karena kecelakaan.
Tidak ada seorangpun dari mereka yang berniat untuk datang kembali. Mereka tidak mau menghuni rumah yang isinya hanya kenangan, hanya untuk menangisi yang sudah terjadi.
Dan waktu, sepertinya sangat bersahabat dengan mereka dan sudah mengobati hati mereka sampai pulih. Padahal, yang meninggal adalah keluarga mereka sendiri. Mereka melanjutkan hidup lagi, kemudian bergerak maju bersama waktu. Meninggalkan masa lalu, dan kembali merencanakan masa depan.
Di Kronologia, hampir semua pelintas waktu yang ada di sana adalah keluarga Hadinata. Mereka sangat patuh pada Kronologia dan percaya sepenuhnya pada aturan Kronologia. Percaya pada aturan ketat yang menyatakan bahwa ada tiga hal yang tidak boleh diubah di masa lalu; kelahiran, kematian, dan keputusan yang dapat mempengaruhi dua hal itu. Aturan bodoh yang membuat kemampuan mereka melintasi waktu seakan tak ada gunanya.
Mereka punya pengetahuan tentang masa depan, tapi tidak boleh menggunakannya untuk mengubah masa lalu. Alasannya terasa dipaksakan, manusia belum mampu memahami perencanaan Tuhan. Jangkauan pengetahuan manusia masih terbatas, meskipun mereka diberi kelebihan dengan bisa melintas.
Zen selalu berpikir, kemampuan mereka melintas waktu harusnya bisa digunakan untuk mengubah sesuatu. Tapi tidak. Mereka semua menerima aturan Kronologia, tak terkecuali. Mereka meyakininya sepenuh hati. Semua anggota keluarga Hadinata mengikuti aturan itu, menjadikan keluarga mereka sebagai keluarga yang paling setia pada Kronologia selama ratusan tahun.
Kronologia adalah organisasi rahasia yang menyatukan orang-orang dengan keistimewaan bisa melintasi ruang atau waktu.
Pernah berpikir untuk bisa melintasi ruang dan waktu?
Orang-orang di Kronologia melakukannya, secara harfiah.
Mereka memahami ruang dan waktu sebagai jalan yang dapat dilintasi dengan sekali kedip atau sekali melangkah.
Zen adalah salah satu anggotanya. Dulu ia bekerja bersama Senna, mengantarnya ke tempat-tempat sesuai yang ditugaskan Kronologia. Mereka bepergian ke ruang dan waktu tertentu, lalu menulis kejadian di masa lalu. Senna sering berkata, pekerjaan mereka seperti jurnalis tanpa batasan ruang-waktu dan ia sangat senang melakukannya untuk Kronologia, seperti anggota keluarga Hadinata lainnya.
Zen sudah lama tidak melakukan pekerjaan itu. Sejak tujuh tahun lalu, tugas yang biasa ia kerjakan dengan Senna dialihkan kepada pelintas lain. Zen lantas ditugaskan untuk menyelesaikan pekerjaan yang berbeda, salah satunya dengan menjadi profesor di Fakultas MIPA di salah satu universitas negeri di kota Bandung. Kronologia tidak memberitahu Zen apa tujuannya, dan Zen hanya menuruti arahan mereka karena kewajiban.
Ia berhasil menyelesaikannya dengan sempurna, sebagaimana pekerjaannya dulu saat masih ditemani Senna. Sampai sekarang, ia seringkali mengunjungi rumah Senna, seakan masih bertugas bersamanya.
Sebenarnya tidak ada hal berarti yang dilakukannya saat mengunjungi rumah lama itu. Ia hanya mengecek kotak suratnya, lalu terdiam memandangi pagar dan pintu, menimbang apakah ia akan bisa masuk atau hanya terpaku di depan pagar. Sayangnya, setiap kembali ke sana, ia hanya bisa sampai pagar. Kakinya selalu gemetar saat akan melangkah ke dalam. Ada rasa yang ganjil di hatinya, seakan ditusuk dan dipalu di saat yang bersamaan. Ia tidak sanggup melangkah ke dalam hanya untuk melihat rumah yang kini sudah kosong. Rasanya akan sangat menyakitkan jika yang dilihatnya hanya kenangan.
Zen tahu, keluarga Hadinata tidak mengunjungi rumah ini dan tidak mau kembali karena alasan yang sama, tapi kini mereka sudah melaluinya. Mereka bisa melanjutkan hidup tanpa Senna. Sementara, Zen masih terdiam di ruang dan waktunya, menanti entah apa. Hidupnya berlanjut, waktunya terus berjalan, tapi tanpa makna. Ia hanya melakukan semua yang diminta supervisornya di Kronologia, tanpa keluhan, tanpa bantahan, dan tanpa perasaan.
Ponselnya berdering. Alarm penanda jadwalnya mengingatkannya agenda pukul 1 siang untuk mengadakan pertemuan pertama dengan lima orang mahasiswa tingkat akhir program studi biologi yang meminta Zen menjadi dosen pembimbing skripsi mereka.
Zen mengakhiri kunjungan singkatnya dan memejamkan mata. Ia mengangkat kaki kanan, dan saat kakinya kembali menjejak lantai, ia sudah berada di dalam ruang kerjanya. Sedetik setelah itu, pintunya diketuk oleh seseorang yang menunggunya di luar.
"Selamat siang, ah, um... Prof. Zenith. Apakah kami sudah boleh masuk?"tanya seorang mahasiswa yang dari tadi menunggu Zen di luar. Nada suaranya menyiratkan keraguan dan kehati-hatian.
"Ya, silakan masuk."
Lima orang mahasiswa memasuki ruangannya beriringan. Dua laki-laki, tiga perempuan.
"Kalian yang mau mengambil topik bioteknologi untuk tugas akhir?"
"Ya, Pak,"jawab seorang mahasiswa yang tampak memimpin kelompok itu. Mahasiswa lainnya mengangguk, memperkuat jawaban perwakilan mereka yang mengiyakan pertanyaan Zen. "Saya yang kemarin mengirim WhatsApp. Kami hendak mengajukan Bapak sebagai dosen pembimbing utama skripsi kami."
Zen menatap tajam mahasiswanya satu-persatu. Tatapannya sempat beradu dengan seorang mahasiswi yang dari tadi memandangnya dengan wajah tersipu. Mahasiswi itu kemudian menunduk, rambut panjangnya menyembunyikan senyum yang merekah di wajahnya yang perlahan memerah.
"Perlu kalian pahami, saya hanya akan menerima topik yang sesuai dengan bidang saya." Zen menekankan kalimat itu. Ini bukan pertama kalinya ada mahasiswi yang salah niat saat memintanya menjadi pembimbing tugas akhir.
"Baik, Pak."
"Kalau sudah paham, saya ingin lihat proposal penelitian kalian terlebih dahulu."
Kelima mahasiswa itu memberikan proposal penelitian mereka yang sudah dijilid. Zen membaca judul-judulnya sekilas. Semuanya di bidang bioteknologi tumbuhan.
Zen menumpuk proposal-proposal itu di atas mejanya. Kelima mahasiswa itu memperhatikan gerakan tangan Zen dengan harap-harap cemas.
"Ja... Jadi, bagaimana, Pak, eh, Prof? Apakah Anda bersedia menjadi dosen pembimbing kami?"tanya si mahasiswa yang dari tadi menjadi perwakilan teman-temannya.
Zen melipat tangan di depan dada. "Kalian sudah bawa formulir pengajuannya, kan?"
Wajah kelima mahasiswa itu berbinar ceria. "Sudah, Prof!"
"Saya tandatangani sekarang. Setelah ini, cepat urus administrasinya biar kalian bisa mulai penelitian,"Zen menginstruksikan dengan cepat. Tidak seperti dosen lainnya yang suka mempersulit, Zen sering mempercepat segala urusan administrasi yang membuat mahasiswa harus bolak-balik. Ia tidak suka menjadi bagian dalam keruwetan itu.
"Siap! Terima kasih banyak, Prof!"
Mereka keluar dari ruang itu setelah mengucapkan banyak terima kasih dan menerima formulir pengajuan dosen pembimbing yang sudah ditandatangani.
Di ujung lorong, seorang perempuan yang sedikit lebih muda dari mereka, mencuri pandang ke arah ruangan yang baru saja ditinggalkan kelima mahasiswa itu. Gesturnya canggung dan tidak yakin. Ia mengarah ke ruangan Zen tapi setelahnya berbalik ketakutan, hampir menjatuhkan tumpukan kertas yang dibawanya.
Si perwakilan yang berdiri paling depan menyapa gadis canggung itu.
"Kamu mau ketemu Prof. Zenith?"
"Eh?"
Mengabaikan ekspresi bingung gadis itu, si gadis yang tadi tersipu di hadapan Zen tersenyum bangga.
"Sebaiknya, kamu temui dia sekarang! Mood-nya sedang bagus. Dia baru saja menandatangani formulirku! Siapa tahu nanti dia akan bersedia - aw!".
Sebelum menyelesaikan kalimatnya, si perwakilan menyentil dahi mahasiswi itu. "Kamu kira beliau itu kakak tingkatmu? Sopanlah sedikit! Aku nggak mau Pak Zenith menolak pengajuan skripsiku gara-gara tingkah genitmu itu!"
"Tapi dia kelihatan masih muda! Aku yakin usianya masih di bawah tiga puluh! Dia pasti bohong dengan usianya! Papaku kerja di kementerian, katanya ada dosen muda dari kampusku yang loncat jabatan dan dia kasih foto Zenith pas di sa-"
"Ssshhh!" si perwakilan mendiamkan temannya yang dianggapnya berisik. Ia kembali bicara dengan mahasiswi yang tampak seperti adik tingkatnya itu. "Gini, dek. Kalau memang mau ketemu Prof. Zenith, sebaiknya sekarang. Kamu sudah buat janji ketemu?"
Gadis itu menggeleng.
"Kamu angkatan berapa? Hm, kelihatannya maba, ya? Gini, sebaiknya, sebelum ketemu dosen, apalagi yang sibuk kayak Prof. Zenith, kamu hubungi dulu dan tanya kesibukan beliau, kapan beliau bersedia bertemu denganmu. Tapi, kamu beruntung, beliau masih ada di ruangannya dan kayaknya tadi nggak sibuk. Coba saja ketuk. Pintu yang di ujung, yang ada tulisan 'Kepala Laboratorium Bioteknologi, Prof. Zenith Aynaan Arrafiqi'. Semangat ya! Doakan kakak tingkatmu ini bisa cepat menyelesaikan skripsi biar nggak di-DO, oke?"
Gadis itu mengangguk meskipun tidak begitu paham maksud perkataan mahasiswa itu selain informasi mengenai ruang kerja Profesor Zenith. Kelima mahasiswa tingkat akhir itu kemudian beranjak meninggalkannya, tertawa dan bercanda setelah sampai di halaman depan gedung.
Setelah berkali-kali menengok kiri kanan seakan mau menyeberang, gadis itu akhirnya menyeret langkah ke arah ruangan Zen. Kakinya seolah menarik beban yang lebih berat daripada tumpukan kertas yang dipeluknya di tangan.
Benar. Profesor Zenith Aynaan Arrafiqi. Kepala laboratorium bioteknologi. Sip, bismillah!
Meskipun sulit dan hasilnya belum tentu sesuai harapannya, ia sudah bertekad akan menyelesaikannya sampai akhir.
Tangannya mengetuk pelan pintu kayu itu.
Satu kepalan tangan yang menyiapkan keberanian.
Satu ketukan menuju kekacauan.
Tidak, tidak. Pemikiran itu hanya ketakutannya saja.
Dari dalam, Zen menjawab dengan suara datar.
"Silakan masuk."
Pintu berderit dan terbuka lambat-lambat.
Ketika pintu itu sepenuhnya terbuka, gadis itu tahu, ia mungkin harus bersiap untuk hari-hari terakhirnya.
---
---
Diunggah 4 Oktober 2020. 19.45 WIB. Di garis waktu yang tidak berubah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top