RTI 9: Ruang Kenangan

DEKORASI aula tampak mewah dengan berbagai hiasan bunga berwarna putih di setiap sudutnya. Tirai kristal diletakkan di bawah lampu gantung dalam jumlah banyak dengan cahayanya yang bersinar terang. Kursi-kursi berpita cantik ditata sejajar dan rapi untuk duduk para tamu.

Aku mencari posisi ternyaman untuk mengabadikan momen penting hari ini. Upacara pernikahan adat Hindi. Mempelai laki-laki baru saja tiba dan langsung disambut hangat oleh keluarga mempelai wanita. Saat ibu mempelai wanita sedang memberkati mempelai laki-laki dengan menerapkan tilak di dahinya, aku mulai membidik dari jarak yang tidak terlalu dekat. Aku hanya tidak ingin mengganggu prosesi sakral tersebut. Kemudian aku ikut berjalan ketika pandit --penghulu-- dan orang tua mempelai wanita memimpin pengantin laki-laki dan orang tuanya ke mandap.

Tak lama setelah itu, pengantin wanita pun ikut masuk ke mandap dikawal oleh paman dari pihak ibu, lalu duduk ke sisi kanan calon pengantin laki-laki. Api suci sudah menyala diiringi puja-puja yang dilantunkan oleh pandit. Radha terlihat sangat memesona dengan balutan kain saree berwarna merah. Pengantin di India memang selalu terlihat memukau. Belum lagi segala macam accessories-nya, mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki tidak lupa dikenakan.

"Hey!" Tepukan di bahu kanan membuatku menoleh ke samping. Naya tersenyum sambil memberiku air mineral.

"Thank you." Usai berhasil membuka segel kemasan, aku meneguk air di dalamnya.

"Udah motret banyak?"

"Lumayan."

Naya tampak berbeda hari ini. Ia mengenakan lehenga choli dengan perpaduan warna hijau muda dan kuning kunyit, tak lupa dupatta yang tersampir di bahu kiri, membuatnya terlihat semakin feminin. Bagiku, Naya tidak kalah cantik dengan pengantin wanitanya. Keluarga Uncle Raju memang sudah menyiapkan semua kebutuhaku dan Naya, bahkan baju yang kami kenakan hari ini pun sudah disiapkan sebelumnya.

"Kenapa, kok malah bengong, Bis?"

"Oh... itu, enggak apa-apa kok." Senyumku terbit kala Naya tersenyum juga.

"Aku ke sana dulu ya." Sebelum meninggalkanku Naya menepuk bahuku sekilas, lalu berjalan menuju beberapa saudara Radha. Aku kembali memfokuskan daya penglihatanku pada sepasang pengantin yang mulai mengitari api suci diiringi doa dari pandit.

Satu per satu prosesi pernikahan adat Hindi sudah kuabadikan. Ritual sakral pun sudah selesai dilakukan. Sekarang, pasangan pengantin sedang beristirahat dan juga makan siang. Setelah ini, mungkin hanya akan dilanjutkan dengan acara hiburan. Mereka pun harus menyimpan energi untuk acara esok hari yakni resepsi pernikahan.

"Kamu udah makan, Bis?" tanya Naya yang menghampiriku saat aku sedang melihat hasil foto di kamera.

"Sebentar lagi, Nay."

"Mau aku ambilkan?"

"Thank you, Nay, nanti aku ambil sendiri."

"Eh, itu bukannya fotoku?" Naya berkomentar saat gambar yang kulihat berganti foto dirinya. Di foto itu Naya sedang berjalan beriringan dengan para gadis lainnya, sembari memegang nampan berisi bunga dan lilin untuk kebutuhan ritual pernikahan. "Kamu enggak mau ngasih buatku?"

"Enggak." Aku tersenyum saat Naya mulai mencebikkan bibir bawahnya.

"Ih, pelit kamu tuh."

"Nanti aja ya, kalau kita ketemu lagi di Indonesia. Lagian ini perlu diedit sedikit biar lebih sempurna hasilnya."

"Janji?"

"Aku janji, Nay."

Semalam, aku dan Naya memutuskan untuk bertemu lagi saat kami kembali ke Indonesia. Dan sejak semalam. Sejak kami membagi kisah masing-masing. Sejak kami bertukar pikiran. Sejak aku dan Naya semakin dekat, rasa kagumku sudah naik level ke rasa suka atau bahkan... rasa sayang.

"Naya, come on!" Panggilan dari Kakak Radha yang bernama Rani menghentikan obrolan kami. "Let's join us!"

"Mau ke mana, Nay?"

"Goyang kaleree."

Aku mengerutkan dahi bingung lalu kembali bertanya, "Apa itu?"

"Tradisi di India. Semacam lempar buket bunga gitu sih, Bis. Ayo ke sana, kalau kamu mau lihat."

Kulihat, para gadis sudah berkerumun di depan mempelai wanita. Seperti yang Naya bilang tadi, kalau tradisi kaleree mirip tradisi lempar buket bunga asal Eropa. Kaleree adalah sebuah hiasan gantung yang dikenakan di pergelangan tangan pengantin wanita. Kaleree biasanya berupa ornamen berwarna merah atau emas.

Sebenarnya, tradisi ini lebih banyak dipakai di India bagian Utara. Namun, kebanyakan sekarang dipakai di berbagai wilayah, mungkin hanya untuk seru-seruan saja atau mungkin mereka memang masih mempertahankan tradisi zaman dahulu. Radha mulai menggerakkan tangannya di kepala para gadis yang sudah berkumpul.

Lalu kaleere tersebut jatuh di kepala seorang gadis yang kutahu bernama Nandini. Semua orang berseru dan bertepuk tangan untuk Nandini, karena mitos yang dipercaya setelah kejatuhan kaleere, maka gadis itu akan segera menikah menyusul si pengantin.

"Kenapa kamu cemberut?" tanyaku saat Naya menemaniku ke meja hidangan.

"Aku gagal kejatuhan kaleere." Aku tertawa menanggapi ucapan Naya. Namun, gadis itu malah mendorong bahuku lumayan kencang. Kalau tidak mampu menyeimbangkan diri, tubuhku mungkin langsung menubruk meja berisi makanan di depan mata. "Eh, sorry Bis, sorry. Kamu lemah banget sih, masa kesenggol sedikit langsung oleng begitu."

"Sedikit kamu bilang? Tadi tuh tangan kamu kayak lagi dorong bajaj mogok tau enggak?"

"Maaf, Bis. Sini deh, aku ambilin makanannya. Kamu mau makan apa aja?" Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Naya yang terkadang bisa ceroboh namun, bisa juga bertanggung jawab di waktu bersamaan.

Kami mencari tempat duduk agar aku bisa makan dengan nyaman. Naya masih bersikeras memegang piring berisi makanan milikku. Sampai akhirnya kami mendapatkan tempat duduk, baru ia menyerahkan makananku.

"Kamu kecewa karena enggak kejatuhan kelereng?"

"Kaleere, Bisma."

"Iya, itu. Kamu masih kecewa enggak kejatuhan benda itu?" Naya mengangguk sambil memandangku yang sedang makan. "Itu 'kan cuma mitos, Nay."

"Iya, tapi 'kan buat seru-seruan aja."

"Lagian kalau pun kamu dapet, memangnya kamu mau nikah sama siapa? Kamu bilang, enggak punya pacar."

"Kalau sama kamu, gimana?"

"Yah?" Aku langsung tersedak saat hendak menelan aloo tiki. Mana rasanya asam, tenggorokanku sampai terasa perih sekali. Aku masih batuk-batuk dan Naya mulai ikutan panik.

"Aku ambilin minum dulu," katanya sudah berlari lebih dulu sebelum aku berkomentar.

Lima menit kemudian, aku memutuskan untuk mengambil minuman sendiri. Pasalnya, Naya tidak juga kembali. Apa gadis itu malu? Aku tertawa mengingat tingkahnya saat mengatakan hal tadi.

Apa selama ini Naya selalu spontan saat mengatakan hal yang ada di dalam kepalanya? Kalau seperti ini terus, kesehatan jantungku benar-benar dipertaruhkan.

Seperti yang aku bilang kemarin, hari ini merupakan acara resepsi pernikahan Radha dan Sameer. Aku pikir, sebenarnya bisa saja resepsi dilakukan di tempat kemarin. Namun, menurut Uncle Raju, aula di rumah mereka tidak akan cukup menampung tamu undangan. Yah... aku tahu, pasti tamu keluarga besar Uncle Raju tidak hanya ratusan orang saja. Maka dari itu, pesta resepsi diadakan di hotel bintang 5 di Kota Mumbai.

Naya masih mengenakan lehenga choli. Namun, kali ini warna yang dipakai lebih elegan dan mewah. Perpaduan navy blue dan merah, tampak cocok sekali di kulit Naya. Sementara aku mengenakan pakaian khas India, katanya namanya bandhgala warna navy blue juga. Aku sangat suka setelan ini, modelnya unik dan kancingnya mengingatkanku pada baju cheongsam.

Di resepsi ini, tidak lagi ada prosesi adat seperti acara sebelumnya. Hari ini, pengantin hanya menerima tamu dan juga bergembira merayakan pernikahan mereka. Suasana pesta juga mengusung tema modern. Ada beberapa penyanyi yang mengisi acara layaknya di pernikahan Indonesia. Namun, yang berbeda adalah adanya tarian. Pasangan pengantin sesekali ikut menari ketika teman mereka menyumbang sebuah lagu.

Naya juga tidak mau kalah, sedari tadi gadis itu tidak mau diam. Menari dengan begitu lincahnya. Satu fakta lagi yang baru kutahu tentang Naya, ia pandai sekali menari.

"Ayo Bis, ikutan!"

"Enggak, Nay. Aku enggak bisa nari."

"Cuma joget-joget begitu aja, Bis. Kamu pasti bisa kok, nanti ikutin gerakan yang lain."

"Enggak, Nay. Suer deh, aku beneran enggak bisa."

"Itu cowok-cowok yang lain juga ikutan nari kok, kamu enggak perlu malu."

"Aku harus motret, Nay."

"Bisma, aku tau kameranya lagi kamu charge dan kamu pun udah ambil banyak gambar sejak pagi. Udah ah, ayo!"

"Tapi, Nay--"

"Please ya, ini 'kan hari terakhir kamu di sini." Mata bulat Naya berkedip-kedip membuatku tidak bisa menolaknya detik itu juga.

Ya Gusti, jadi aku harus ikutan meliuk-liukkan badan seperti aktor dalam film Bollywood di layar kaca?

Naya benar-benar keterlaluan saat memaksa. Tahu saja gadis itu kalau aku paling tidak bisa menolak. Maksudku, menolak permintaannya.

Baiklah, karena ini merupakan tradisi acara di India, aku harus ikut menari. Naya terus tertawa saat aku menggerakkan tubuh. Mungkin sangat terlihat kaku di matanya, tetapi masa bodoh yang penting aku sudah berusaha. Naya kemudian mencontohkan tariannya agar aku mengikuti gerakannya, dan kami pun akhirnya menari sambil tertawa bersama.

Waktu sudah menunjukkan pukul 17:00. Aku mulai berpamitan dengan keluarga besar Uncle Raju. Aku menyalami mereka satu per satu. Tiba-tiba ada rasa sedih menyeruak di dada. Aku belum pernah bertemu keluarga besar seperti ini, sehangat ini, dan sebaik keluarga Uncle Raju. Bahkan aku diberikan oleh-oleh khas India berupa makanan dan beberapa kain saree. Om Ardi, Tante Yuni, Brian dan Brisa pasti senang mendapatkan ini semua.

Uncle Raju juga meminta supirnya untuk mengantarku ke bandara. Tadinya Radha dan suaminya ingin ikut juga, tetapi aku menolak. Bukan apa-apa, aku hanya kasihan kepada mereka. Seharian sudah menjadi raja dan ratu, seharusnya mereka bisa langsung ke hotel untuk melanjutkan acara mereka berdua.

Akhirnya, hanya Naya yang menemaniku menuju bandara Indira Ghandi.

"Nih, buat kenang-kenangan." Aku menatap bingung saat menerima foto polaroid dari Naya. Di dalamnya ada foto selfie Naya berlatar dinding kaligrafi. "Ini 'kan... waktu kita ke Qutub Minar. Ini buat aku?"

Naya mengangguk mantap lalu berkata, "Coba lihat yang ini!" katanya sembari menyodorkan foto yang lain ke arahku. Di sana ada fotoku hanya sebatas punggung sedang memotret menara Qutub Minar.

"Nay, aku udah pernah bilang waktu itu, kalau aku enggak mau difoto." Aku tidak habis pikir dengan ulah Naya yang ternyata memotretku diam-diam waktu kami ke Qutub Minar.

"Ini tuh aku simpan sebagai bentuk penghargaan, Bis, bahwa aku bisa motret pakai kamera instan. Objek di dalam foto ini enggak ada pengaruhnya sama sekali. Jadi, aku harap kamu enggak besar kepala kalau aku simpan foto ini."

Apa Naya bilang, penghargaan bahwa ia bisa memotret? Keterlaluan sekali.

"Ter.se.rah," keluhku penuh rasa kesal. Namun, Naya tidak menggubris hal itu.

"Kamu malah lucu kalau ngambek begitu, Bis. By the way, baca dong note di belakang fotonya!" Aku menatapnya bingung lalu ia kembali berujar, "Baca aja!"

"Main tumse pyar kartha hoon, artinya apa, Nay?"

"Kamu cari tau sendiri lah, Bis. Masa udah dua kali traveling ke India, kalimat begitu aja harus nanya ke aku sih." Aku mendesah pasrah mendengar jawabannya. Lalu bagaimana caranya aku tahu arti kalimat ini?

"Iya deh. Thank you ya, Nay." Aku mengacak rambutnya.

"Bis, aku boleh bilang kangen enggak?"

"Yah?"

"Kalau nanti kita belum sempat ketemu seperti janji kita berdua, boleh enggak kalau aku bilang kangen lewat telepon?"

"Boleh dong, Nay."

"Thank you. Kalau kamu, kira-kira bakalan kangen aku enggak setelah sampai Indonesia nanti?"

"Maybe."

"Kok maybe?" Naya mengerucutkan bibir bawahnya.

"Maybe yes. Aku pasti bakalan kangen kamu, Nay. Enggak ada kamu, beneran sepi. Habisnya enggak bakalan ada yang gangguin aku lagi."

"Jadi, hal yang paling kamu ingat dari aku tuh cuma penganggu? Ih jahat!"

"Bercanda." Aku kembali mengacak rambutnya dan Naya tersenyum dengan lesung pipinya di sebelah kanan. "Lagian ya, Nay, sekarang aja tuh aku udah kangen sama kamu."

"Ih, Bisma gombal!" Naya memukul bahuku pelan.

"Serba salah ya ngomong sama cewek. Kangen dibilang gombal, enggak kangen malah dicemberutin." Naya justru tertawa mendengar ocehanku.

"Sorry, iya aku percaya. Udah sana masuk gih! Kabarin aku kalau udah sampai Indonesia."

"Siap. Bye, Nay." Naya masih melambaikan tangan dengan senyum merekah di bibir mungilnya, sampai akhirnya aku melewati portal check in. Aku kembali menoleh ke arah Naya dan melambaikan tangan untuk terakhir kalinya.

Ada sebagian dari diriku yang merasa kosong saat berhasil meninggalkan Naya. Apa kami benar-benar bisa bertemu lagi setelah ini?

Aku duduk tenang saat sudah berhasil menemukan tempat duduk di dalam. Pesawat masih belum lepas landas. Kemudian aku menoleh ke samping, seorang wanita berambut keriting sedang memainkan ponselnya. Ragu-ragu aku menyapa dan memutuskan untuk bertanya.

"Sorry, can you help me?"

"Sure," jawabnya ramah.

"What's the meaning of this sentence?"

Wanita itu meraih polaroidku untuk mengeja tulisan di sana. "Main tumse pyar kartha hoon." Ia melirikku sebentar dan tersenyum kemudian kembali berkata, "I love you," katanya tiba-tiba.

"Sorry."

"The meaning of this sentence is I love you. Perhaps, the person who wrote it wanted to express love for you."

Aku sangat terkejut mengetahuinya. Ternyata Naya... ah kenapa aku tidak mengungkapkannya lebih dulu sejak kemarin? Aku hanya berpikir, takut terlalu cepat mengatakannya. Saat hendak menghubungi Naya, peringatan dari pramugari menghentikan aksiku dan aku hanya bisa mendesah panjang.

Bisa lihat suasana pernikahan dari mulmed di atas ya.

Ada yang tau, kenapa terkadang cowok gak mau ditembak duluan?

Notes:
Main tumse pyar kartha hoon: Aku mencintaimu (diucapkan dari wanita ke laki-laki).

30 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top