RTI 7: Ruang Rasa
SETIAP negara tentu punya ikon kebanggaan masing-masing yang letaknya tepat di ibukota. Layaknya Monas yang berada di ibukota Jakarta, New Delhi pun memiliki monumen bersejarah yang dikenal dengan nama India Gate. Monumen ini berada di garis lurus gedung Rashtrapati Bhavan atau lebih dikenal dengan Istana Kepresidenan. Keduanya dihubungkan oleh jalan raya dan dihiasai taman bunga yang cantik agar tampak sejuk.
Kalau diperhatikan sekilas, bentuknya mirip sekali dengan Arc de Triomphe yang berada di Paris, Perancis. Kini, India Gate selalu ramai oleh wisatawan. Apalagi ruang terbuka ini bebas dikunjungi 24 jam penuh dan gratis. Lapangan rumputnya juga sangat luas dan dimanfaatkan oleh para pengunjung untuk duduk-duduk santai. Pokoknya, mirip sekali dengan suasana di Monas.
Waktu bergulir dua puluh menit, dan Naya masih juga belum terlihat batang hidungnya. Aku memutuskan untuk menunggunya di tempat yang lebih sejuk, karena sudah tidak tahan dengan teriknya mentari menjelang siang hari.
Kemarin kami janjian bertemu di India Gate, karena Naya bilang mau menemaniku city tour di New Delhi. Setelah mengunjungi Red Fort, kurasakan kami semakin akrab. Usai ke luar dari ruang bawah tanah secara diam-diam, dua petugas yang berkeliling muncul. Mereka bertanya, apa yang kami lakukan di sekitar sana dan Naya langsung menjawab, kalau kami tersesat. Beruntungnya, petugas itu percaya dengan jawaban Naya.
Aku melihat Naya datang ketika tukang foto keliling dengan postur tubuh kurus menawariku berfoto di depan India Gate. Sudah cuaca panas malah ditawari foto. Mana pakai acara maksa segala, bikin aku kesal saja. Naya bicara dengan lelaki itu dalam bahasa India. Tak lama, tukang foto itu pergi.
"By the way, kenapa kamu mojok di pohon begitu, Bis? Enggak takut disemutin memangnya?" tanyanya dengan senyum yang ditahan.
"Nay, kamu tuh baru datang udah ngegombal aja." Naya kemudian tertawa lalu memberiku botol air mineral yang baru saja dikeluarkan dari dalam goodie bag miliknya. "Thank you. Aku kepanasan tau nungguin kamu di sana, makanya aku nyari tempat yang ademan dikit. Eh, orang tadi malah nawarin foto ke aku."
"Dia enggak lihat apa ya, kalau kamu juga fotografer."
"Memang aku seterkenal itu sampai dia harus tau? Lagian kameranya belum aku keluarin, jadi dia enggak salah juga. Walaupun cukup bikin aku kesal karena maksa-maksa, tapi ya udah lah, toh dia juga lagi cari uang."
"Well, hari ini kayaknya kita cuma bisa ke satu tempat aja deh, Bis."
"Ya enggak apa-apa, aku sih ngikut aja. Kamu ada acara dadakan?"
"Bukan, tapi aku udah pesan tiket kereta buat kita pergi ke Mumbai sore nanti."
"Seriously? Kok kamu enggak bilang dulu ke aku?"
"Tadi sebenarnya lagi lihat-lihat jadwal kereta aja, terus kebetulan ada jam yang pas. Ya udah, aku langsung pesan."
"Oh, thank you kalau begitu, tapi apa keluarga teman kamu udah kasih izin kalau aku ikut ke sana?"
"Udah kok, malahan mereka excited banget kamu mau datang."
"Kok bisa? Memangnya kamu cerita apa sama mereka?"
"Semalam aku video call-an untuk bilang ke Radha dan keluarganya, kalau nanti bakalan ada fotografer dari Indonesia mau meliput acara pernikahan adat India. Aku juga bilang, barangkali pernikahan Radha bisa viral sampai ke Indonesia. Ya respons mereka bagus banget, dan langsung setuju." Aku geleng-geleng kepala mendengar kalimat Naya. Gadis ini paling bisa deh kalau sudah cerita diselipi promosi, pantas saja keluarga temannya bisa langsung setuju.
Aku sudah menjelaskan kepada Naya tentang tujuanku datang ke India. Tugas memotret yang diberikan Andromedia sebenarnya dalam rangka memilih editor baru di kantor mereka. Ada beberapa negara di Asia sebagai pilihan destinasinya, dan aku memilih India. Naya juga menyarankan kalau aku mengambil tema pernikahan adat India saja.
Setelah kupikir-pikir, boleh juga ide Naya. Jarang ada yang tahu tentang proses pernikahan di India dan melalui foto, aku akan mendokumentasikan cerita bahagia teman Naya yang bernama Radha itu.
"By the way, kenapa kamu pilih India? Kenapa enggak negara Asia yang lain? You know kan Bis, India lebih banyak image jeleknya dibanding bagusnya."
"Menurutku ya, Nay, tujuan dari traveling itu enggak boleh terus membandingkan perbedaan yang dilakukan orang-orang di negara asal kita. Dengan begitu, kita akan dapat makna dari setiap perjalanan yang kita datangi, bukan cuma capeknya aja."
"Aku setuju, Bis. Banyak temanku bilang, kalau India itu jorok, bau, enggak aman dan sebagainya. Padahal ya, mereka yang bilang begitu, belum pernah ke India sama sekali. Aneh aja, kenapa sih harus asal narik kesimpulan kayak begitu."
Aku membenarkan argumen Naya. Kebanyakan manusia memang sering menyimpulkan berita dengan cepat, meskipun belum tahu fakta yang sebenarnya terjadi. Lagi pula, traveling itu tentang sebuah pengalaman baru bukan tentang bagus atau tidaknya sebuah tempat.
"Ini beneran kamu lagi free duty 'kan?" Aku bertanya saat kami sudah naik bajaj menuju Qutub Minar.
"Beneran dong masa aku bohong."
Kami sempat membahas perjalanan Naya ke India yang ternyata memang khusus untuk menghadiri pesta pernikahan temannya. Ia minta cuti selama satu minggu, dan kemarin ia hanya membantu temannya mengantar turis ke hotel.
"Aku cuma takut ngerepotin waktu kamu. Bisa aja kamu mau istirahat. Eh, ini malah nawarin aku jalan-jalan plus ngajak ke rumah teman kamu."
"Bisma, jalan-jalan ke negeri orang itu enggak boleh kebanyakan istirahat. Sayang 'kan kita udah bayar tiket pesawat dari Indo ke sini, udah luangin waktu buat lihat aktivitas di negeri orang juga. Terus pas udah nyampe sini, cuma dipake buat rebahan doang, mending di rumah aja kalau begitu."
Beginilah Naya, perlahan aku sudah mulai paham sifat aslinya. Naya akan berubah cerewet ketika menjelaskan sesuatu yang lumayan sensitif. Padahal, tadi aku cuma basa-basi saja. Lagi pula, siapa juga yang tidak suka ditemani jalan-jalan oleh gadis seasyik Naya?
Setengah jam kemudian, kami sudah berada di tempat tujuan. Naya bercerita, kalau Qutub Minar adalah menara kuno tertinggi peninggalan salah satu tokoh Islam di India yang dulunya digunakan oleh muazin untuk mengumandangkan azan. Menara ini dibangun secara fenomenal karena dibuat dengan struktur batu bata dan hiasan kaligrafi setinggi 72,5 meter. Qutub Minar menjadi salah satu menara tertinggi di India dan masuk warisan UNESCO.
Begitu memasuki gerbang, aku dibuat terpesona oleh barisan pilar-pilar berukir indah dengan langit-langit yang bermotif kaligrafi. Aku langsung mengeluarkan kamera lalu mengambil angle dari bawah supaya langit-langitnya tampak jelas.
"Kita bisa masuk ke menaranya enggak sih, Nay?"
"Sejak 1981 wisatawan udah enggak diizinkan naik, Bis. Soalnya pernah ada kejadian korsleting listrik terus mati lampu di dalam, karena para wisatawan sangat panik, mereka turun secara berdesakan. Banyak yang keinjek-injek, jatuh dan lain sebagainya hingga menyebabkan puluhan orang tewas. Dari kejadian itu, pihak pengelola langsung menutup akses jalan ke atas demi keamanan bersama. Ngeri banget ya, Bis."
Aku lumayan prihatin dengan cerita yang Naya bagikan, kalau aku ada di posisi para wisatawan itu pasti tidak kalah panik juga.
"Bis, fotoin aku di sana dong!" pinta Naya saat kami berada di halaman fasad masjid. Bangunannya sudah tidak utuh lagi akibat gempa beberapa tahun silam. Naya sudah berpose di ceruk-ceruk jendela dengan kacamata hitamnya. "Buruan, Bis, aku udah kepanasan nih!" Aku langsung mengatur komposisi cahaya untuk mendapatkan hasil sempurna.
Kami lalu melanjutkan perjalanan menuju arah belakang dan melewati reruntuhan gerbang. Kulihat Naya justru memutar balik menghadap ke arah menara, dan berdiri di sana.
"Bis, di sini spotnya keren deh. Fotoin lagi ya!" Sejenak aku termangu dengan sikapnya yang mirip anak kecil. Naya bilang kepanasan, tetapi sejak tadi ia tidak mau diam justru berlari ke sana kemari minta difoto.
Naya pintar mencari spot. Ia benar, di tempatnya berdiri sekarang ini adalah angle terbaik. Background menara Qutub Minar tampak ber-framing dengan Naya sebagai titik fokus objeknya.
"By the way, aku boleh pinjam kamera instan kamu enggak?"
"Boleh." Aku merogoh isi ransel kemudian mengeluarkan benda yang dimaksud Naya dan memberikan kepadanya.
"Aku motret kamu ya, Bis?"
"Kamu motret pemandangan di sini aja, jangan aku!" tolakku saat Naya mulai mengarahkan kamera ke hadapanku.
"Kenapa? Satu aja ya, please!"
"Enggak, Nay."
"Fotografer memang kayak kamu begini ya, enggak suka difoto?"
"Enggak juga sih, aku cuma...." Naya menunggu kalimatku selanjutnya. Entahlah, aku hanya tidak bisa mendeskripsikan perasaanku saat ini, yang pasti aku kurang nyaman kalau ia memotretku. "Yuk, kamu ambil gambar di sana aja ya!" Syukurnya, kali ini Naya menurut lalu berjalan menuju dinding bertuliskan kaligrafi.
Namun, baru saja mengarahkan objek melalui viewfinder, gadis itu kembali memanggilku. "Ini gimana motretnya ya, Bis? Aku takut angle-nya enggak pas dan hasilnya malah jadi salah."
"Enggak ada yang namanya salah atau benar dalam memotret. Kamera instan itu sepenuhnya tentang seni dan kreativitas, potret aja apa pun yang kamu mau, Nay!"
"Beneran?" Aku mengangguk sembari menepuk bahu Naya pelan untuk meyakinkannya dalam mengambil gambar.
Naya berhasil memotret satu foto, tetapi aku lumayan terkejut dengan hasilnya.
"Lho, ini kok kamu bisa ambil gambar pakai double exposure mode?"
Naya menyengir lalu menjawab, "Sebenarnya semalam aku belajar dari video di Youtube, karena kemarin ngelihat kamera instan kamu lucu akut. Jadi, biar enggak dikira newbie banget, aku cari tau info tentang kamera instan dan kegunaannya."
"Ya ampun, pintar banget sih kamu, Nay." Aku cukup gemas dengan kelakuan gadis ini, tetapi aku tidak bisa apa-apa selain tersenyum tulus kepadanya. "Ini cukup bagus kok untuk pemula. Lain kali, waktu kamu mau pindah ke objek kedua, cahayanya harus lebih terang ya supaya ketauan letak objek yang mau ditonjolin." Naya mengangguk antusias.
Setelah dari Qutub Minar, Naya mengajakku menikmati street food India. Ada beberapa makanan yang kami nikmati seperti, golgappe, aloo tikki, kulfi, serta masala tea. Kini, aku dan Naya sudah berada di Stasiun Kereta Api H Nizamuddin (NZM). Kereta menuju Mumbai sudah ada di platform 5, dan kami segera naik.
Waktu tempuh dari Delhi menuju Mumbai diperkirakan kurang lebih enambelas jam. Jadi, aku dan Naya punya banyak waktu bercerita satu sama lain. Orang tua Naya memang keturunan India, tetapi Naya dan adiknya lahir di Indonesia. Pernikahan orang tua Naya tidak mendapatkan restu dari kedua belah pihak dikarenakan beda kasta. Di beberapa wilayah bagian India, kasta memang masih dipandang sebagai sesuatu yang amat penting.
Setelah menikah, Ayah Naya mendapat tawaran dari salah satu rekan sejawatnya yang bernama Beni --sewaktu mereka menghadiri simposium dan workshop di Singapura-- untuk bekerja di sebuah rumah sakit di Kota Bogor. Kesempatan itu tentu saja tidak disia-siakan Ayah Naya. Kepindahan mereka ke Indonesia pun dibantu oleh Beni. Tidak lama dari itu, Ibu Naya meniti kariernya sebagai seorang wartawati.
Sayangnya, memasuki tahun kedua kuliahnya, Ibu Naya dipanggil Tuhan karena mengalami serangan jantung saat meliput aksi unjuk rasa di salah satu kampus swasta. Naya begitu tegar saat bercerita, dan aku sangat salut kepadanya. Membuka luka lama dan membaginya kepada orang lain, menurutku bukan hal mudah. Kendati demikian, yang dilakukan Naya adalah sesuatu yang jarang aku temui, dan rasa kagumku kian bertambah untuknya.
"Aku kira, dulu kamu pacaran sama Brian." Kami baru saja selesai makan malam super melimpah. Naya bahkan tidak menyentuh bagiannya, karena ingin makan sepiring denganku lagi. Biar tidak mubazir, Naya berikan jatahnya kepada penumpang kereta yang punya dua anak, karena mereka kelihatan masih ingin nambah.
"Aku sama Brian? Kenapa bisa mikir begitu, Bis?"
"Ya... waktu sekolah 'kan kalian deket banget."
"Deket bukan berarti jadian lho, Bis. Kayak kita sekarang, kita lagi deketan nih. Terus, memangnya kita jadian?"
"Yah?"
Kenapa aku selalu kehilangan kata-kata saat bertukar kalimat dengan Naya? Maksudku, terkadang kalimat yang keluar dari mulutnya cukup ajaib.
"Kalau kamu sepupuan plus tinggal bareng Brian, kenapa tiap aku ke rumah kalian, aku enggak pernah ketemu kamu ya?"
"Aku selalu pulang malem, Nay. Dulu aku ngajarin anak-anak olahraga. Kadang ada tanding basket, futsal, atau olahraga lainnya. Dan aku jarang pulang ke rumah tepat waktu."
"Oh, pantesan."
"Kenapa memangnya?"
"Enggak apa-apa sih. Ya mungkin, kalau dari dulu kita udah dekat 'kan enak."
"Ya enggak masalah kapan waktunya, Nay, yang paling penting adalah kamu menikmati waktu bersamaku."
"Aku menikmati banget kok. Baru dua hari ketemu kamu aja aku happy. Kamu anaknya baik dan tulus, terus aku juga bisa diajarin motret."
"Syukur deh kalau kamu seneng." Naya tersenyum sembari menatapku intens. Aku yang ditatap begitu, malah jadi rikuh.
"Sebentar." Naya mencari sesuatu di tas kecilnya. Usai menemukan benda kecil mirip lipstik, ia kembali memandangku. "Bibir kamu kering, Bis. Sini deh, aku olesin lip balm biar enggak pecah-pecah." Aku memelotot mendapati perlakuan Naya yang setengah memaksa.
"Eh, eng... enggak usah, Nay."
"Banyak lho, Bis, turisku yang bibirnya pecah-pecah terus berdarah karena cuaca ekstrem kayak sekarang ini. Selain harus banyak minum air putih, pakai lip balm juga sangat membantu. Jadi, kamu enggak usah rewel ya. Diam di tempat, oke!"
Wajah Naya begitu dekat hingga membuatku tahu warna bola matanya yang kecokelatan. Tangan kirinya memegang pundakku, sementara tangan kanannya sudah bergerak menyentuh permukaan bibirku langsung dari jemarinya. Rasanya lembut sekali. Naya tidak tahu, betapa aku mati-matian menahan diri karena perlakuan sentimentilnya ini.
Me: Bisma, are you okay?
Bisma: I'm okay, tapi kayaknya jantung gue sih yang enggak oke.
Bantuin, Geas, Bisma butuh yang adem-adem kayaknya😅
15 September 2020
Follow IG @Sulizlovable
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top