RTI 4: Di Balik Sosok
SETELAH menyelesaikan hasil akhir editan foto, aku menekan tombol kirim pada tampilan surel yang sedang kubuka. Hampir dua jam waktu yang kuhabiskan memilih foto potensial, dan mengeditnya sedikit di beberapa titik yang dibutuhkan.
Minggu lalu, aku berkesempatan melakukan pemotretan dalam acara pagelaran teater. Saat itu sebuah majalah memintaku untuk memotret salah satu aktor dan seniman serba bisa, Tedjo Kusuma. Sebelum pengambilan gambar, aku sempat berbincang ringan dengan beliau usai melakukan gladi bersih. Biasanya aktivitas ini sering kulakukan, tujuannya agar nantinya tokoh sebagai model tetap nyaman berpose di depan kamera dengan berbagai macam perlengkapan pencahayaan.
Bagiku, pendekatan personal sangat penting karena mampu menghasilkan
keberhasilan merekam pose-pose menarik. Memang sih, dari segi teknis fotografi hal ini tidak berhubungan langsung, tetapi setidaknya aku bisa membuat model di didepanku merasa nyaman. Bahkan aku sering menyetel musik saat pemotretan dilakukan in door, tujuannya agar modelku dapat rileks dan menikmati sesi pengambilan gambar. Dengan begitu, aku bisa mengeksplorasi modelku dalam pose-pose yang unik dan ekspresif. Pose-pose tersebut tentu akan terlihat lebih natural dan apa adanya, meski sebenarnya diarahkan olehku.
Aku masih berselancar di dunia maya sembari membaca beberapa thread di forum khusus fotografi. Semua orang yang berkumpul di Kedai Seni adalah karena satu hal yaitu menyukai seni. Melihat begitu banyak foto-foto yang bagus membuatku ingin terus berlama-lama menikmatinya. Seni itu indah, indahnya pun memiliki berbagai arti dalam perspektif manusia. Ada yang menilai seni sebagai momen berharga, ada yang terpukau saat melihat objek tertentu, ada yang hanya sekadar suka tanpa mau tahu lebih jauh karya seni itu sendiri. Selalu ada cita rasa, warna dan cerita di balik setiap lembar sebuah karya.
Saking asyiknya di depan laptop, kesejahteraan lambungku terabaikan. Aku bergegas ke pantry untuk melihat apa saja yang bisa dimakan. Sayangnya, aku belum masak nasi, lebih tepatnya jarang sekali masak nasi. Lagi pula, aku hanya tinggal sendiri. Kupikir, lebih simpel membeli masakan jadi. Aku beralih ke rak khusus makanan ringan di bagian atas. Persediaan mi instan ternyata habis, roti pun hanya tinggal selembar sisa makan semalam.
Malang benar nasibku ini. Sudah melewatkan jam sarapan, makan siang pun masih tidak tahu mau makan apa.
Aku memutuskan duduk di depan studio, barangkali ada abang penjual aneka jajanan lewat.
Sudah lima tahun aku tinggal di studio ini. Aku bisa membeli bangunan di sini berkat memotret, dan bersyukur waktu itu aku sudah kepikiran untuk membangun studio. Bangunan ini tidak terlalu besar, hanya 6x8 meter. Studio ini sempat direnovasi karena aku ingin menambahkan kamar tidur dan ruang kerja di lantai atas. Sekecil apa pun bangunan ini, bagiku akan terasa nyaman kalau memang dihasilkan dari kerja keras sendiri. Setidaknya, Om Ardi dan keluarganya tidak akan merasa kerepotan lagi karena keberadaanku di rumahnya.
Perlengkapan foto di studio seperti backdrop dengan bermacam warna, lighstand backdrop, lampu flash, diffuser flash, dan light stand flash, semuanya masih kusimpan dengan baik. Untuk kamera digital, aku hanya punya dua, Canon EOS 1200D dan Nikon D750. Sementara kamera analog, aku punya Instax90 dan Canon pemberian Om Ardi.
Beberapa klien setiaku masih sering datang untuk mengabadikan momen mereka. Ada yang memotret untuk momen wisuda, foto keluarga dan lain sebagainya. Aku masih memotret sebagai side job, dan hal itu lumayan untuk mengisi waktu luang dan menambah pundi-pundi tabunganku.
Terdengar bunyi mangkuk dipukul lalu disusul suara pedagang yang meneriakkan dagangannya.
"Bakso, Bang." Aku memanggil saat tukang bakso tersebut hampir sampai di depan studio. Usai berhenti, aku bangkit lalu kembali berkata, "Bang, saya pakai mangkuk sendiri aja ya."
Selesai mengambil mangkuk dan memberikannya pada si penjual, aku menunggu bakso diracik. Aku meraih ponsel saat mendengar notifikasi pesan masuk.
Lian si Julid
Bis, gue mampir ke studio lo ya.
Tumben sekali Lian siang-siang begini mau main ke studio. Biasanya kalau weekend, Lian lebih memilih jalan dengan gebetan, pacar, TTM, atau apa lah namanya. Pasti deh lelaki itu mau "berbagi" hal yang tidak enak.
Aku menerima mangkuk bakso lalu membayarnya. Namun, saat masuk ke studio tiba-tiba saja perutku melilit. Belum juga makan, kenapa perut ini tidak bisa diajak kerjasama sih? Terpaksa aku menaruh mangkuk bakso di atas meja ruang tunggu, lalu bergegas ke kamar mandi.
Lima menit kemudian aku kembali ke ruang tunggu, berniat untuk menikmati bakso yang sudah kubeli tadi.
"Lo ngapain?" Aku melihat sosok lelaki duduk sambil memegang mangkuk bakso milikku.
"Gue 'kan udah bilang mau mampir ke sini tadi."
"Maksud gue, lo ngapain makan bakso gue?"
"Lho, Bis, gue kira lo memang beliin buat gue. Bisa pas banget gitu, gue belum makan siang soalnya." Lian memasang wajah super innocent sembari menyesap kuah bakso dengan begitu lahap.
"Tau ah."
"Enak Bis, baksonya. Thank you, ya."
"Abisin sama mangkoknya sekalian," kataku setengah kesal.
"Gue bukan kuda lumping kali, Bis."
Setelah itu Lian menyerocos panjang lebar. Kali ini, yang dicurhatkan adalah masalah asmara. Aku sudah biasa mendengar Lian mendekati beberapa gadis belakangan ini, tetapi yang membuatku tidak habis pikir adalah, kali ini Lian ingin merebut pacar orang.
Aku tahu, gadis itu good looking dan pandai sekali bersosialisasi. Saking
pandainya, si gadis bernama Jelita itu berhasil memikat hati seorang Julian Darmawan.
It seems, he shouldn't have done that.
Masalahnya, pacar si Jelita ini posesifnya minta ampun. Kalau Lian kena masalah siapa yang rugi?
"Jelita bilang, dia udah enggak tahan sama pacarnya, Bis."
"Boleh aja lo pacaran sama dia, tapi nunggu mereka benar-benar putus dulu lah, Yan. Kalau kayak begini, lo jatohnya jadi perebut bini orang."
"Yah... gimana ya, Bis, sayang aja gitu kalau cewek secantik Jelita enggak dimiliki. Masalahnya momennya ini 'kan udah pas banget, dia lagi bosan sama pacarnya terus ketemu sama gue yang bisa mengobati kesepiannya." Aku geleng-geleng kepala dengan alasan Lian yang masih tidak bisa kuterima.
"Dan setelah dia bosan sama lo, dia bisa juga nyari yang lain, Yan!"
"Kalau itu, kayaknya enggak bakal terjadi sih, soalnya Jelita kelihatan udah nyaman banget sama gue." Lian tersenyum lebar, sementara aku mencibir gemas dengan polahnya.
Boleh tidak aku memakinya? Tapi namanya Lian, kurasa hanya dengan makian saja tidak akan mempan untuk melarangnya. Lian itu kepala batu sekaligus tidak tahu malu.
"Serah lo deh, Yan."
Perutku sudah kembali berontak, kalau tidak diisi, bisa-bisa lambungku semakin parah. Kulihat ada penjual ketoprak lewat di depan studio. Aku memangil lalu menghampirinya. Daripada aku mendengar curhatan suka-suka Lian, lebih baik aku memanjakan perutku yang sudah sangat kelaparan ini.
Pagi ini, aku sedang mengedit foto hasil kiriman Bagus saat hunting ke The Little Venice. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, kualitas foto Bagus semakin menurun. Lihat saja foto yang sedang kuedit ini, titik fokus ada pada bunga mawar berwarna merah. Namun, hasil gambarnya justru noise. Beberapa kali kuperbesar gambar, hasil akhirnya tetap saja buram. Sepertinya Bagus menggunakan ISO yang terlalu tinggi, padahal tidak semua kondisi lokasi cocok untuk difoto dengan ISO yang tinggi.
Aku beralih ke gambar kedua, titik fokus ada pada pengemudi gondola yang sedang mendayung. Mungkin maksud Bagus ingin melakukan motion-blur pada foto tersebut, tetapi menurutku ini gagal. Aku tahu mana foto blur buatan dan yang nyata ngeblur. Aku rasa, untuk foto ini angka shutter speed yang diatur Bagus terlalu rendah. Padahal tujuan fotografer mengambil gambar ini, agar perhatian penikmat foto hanya ada pada model yang menjadi POI (Point of Interest) tanpa harus teralihkan ke hal lain.
Masa iya, aku harus mengajarinya trik exposure triangle lagi sih. Bukankah seharusnya Bagus sudah khatam mengenai teknik tersebut?
Aku jadi teringat pada kejadian beberapa tahun lalu, tepatnya di air terjun Curug Bidadari, Bogor. Saat itu, aku ingin memotret aliran air dengan teknik motion-blur. Aku memasang kamera pada tripod, dan untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke dalam kamera, aku menggunakan aperture kecil sekitar f/22 dan ISO paling rendah yaitu 100. Dengan menggunakan teknik exposure triangle, aku bisa melihat bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan cukup cahaya yang masuk ke dalam kamera adalah dengan menggunakan shutter speed yang lama.
Dalam kondisi ini, penggunaan shutter selama 1/2 second menurutku sangat sempurna untuk mendapatkan nuansa blur pada air. Jadi, fokus penikmat foto hanya ada pada aliran air terjun saja, sementara bagian belakang tampak ngeblur. Nah, di situlah pentingnya mengetahui teknik exposure triangle.
Aku dan Lian baru saja kembali ke kantor setelah makan siang di luar. Tiba-tiba Tisha mengadang saat kami hendak menuju kubikal masing-masing. Kulihat matanya berkedip-kedip mirip boneka Susan. Ditambah hari ini model rambutnya sedang diikat ekor kuda, membuatnya bergerak ke sana kemari.
Kenapa ini anak? Apa Tisha sedang mencoba pamer softlens barunya yang hari ini berwarna silver?
"Kak Bisma, Kak Julian, kalian berdua diminta Bu Elda ke ruang meeting 5!" katanya dengan intonasi tinggi dan cepat. Aku rasa, kalimat Tisha diucapkan dalam satu tarikan napas.
Tapi, kenapa Bu Elda memanggil kami? Wajah Tisha tidak terlihat cemas sih, sebaliknya super datar saat memberitahu informasi tersebut.
Lian maju satu langkah untuk berhadapan langsung dengan gadis itu, lalu ia bertanya, "Mau ngapain, Tis? Kayaknya kita enggak ada jadwal meeting deh siang ini."
"Itu lho, Kak, fotografer untuk project Bogor Retro Sensation udah dateng. Mungkin mau dikenalin sama Kakak-kakak sekalian."
"Oh, gue kira ada meeting dadakan." Aku lega mendengarnya.
"Bukan kok Kak Bisma," ujar Tisha dengan senyum manisnya.
"Gantengan mana sama gue, Tis?" tanya Lian out of the blue. Kurasa, Lian memang tidak ingin kalah saing dengan siapa pun.
"Kok ganteng sih, Kak. Fotografernya 'kan cewek."
"Lho cewek? Wah, bagus dong buat kita cuci mata ya, Bis." Lian memandangku sekilas, sementara kuperhatikan Tisha memasang wajah cemberut lalu berjalan menuju kubikalnya tanpa sepatah kata pun.
"Dasar lo, enggak boleh denger kata cewek langsung gercep bawaanya."
"Mending gercep, Bis. Itu tandanya gue normal dan masih suka sama cewek," tegasnya.
"Jelita mau di ke manain?"
"Ya tetap di hati gue, Bisma. Atau si fotografer baru ini buat lo aja, gimana?" tanyanya tak tahu diri.
"Yaelah, Yan, kenal aja belum udah main jodoh-jodohin sih. Situ sehat?"
"Sehat banget, makanya gue mau nyariin jodoh buat lo. Enggak apa-apa lah naksir cewek, daripada belok terus lo naksir gue gimana? Berabe 'kan?" Lian lalu tertawa.
"Idih amit-amit deh, Yan." Aku bergidik ngeri menatapnya malas.
"Lo enggak belok 'kan, Bis?"
"Ini anak ngomong enggak bisa disaring banget ya?" Aku memelotot tidak terima dengan pertanyaan Lian.
"Udah dua tahun 'kan lo enggak punya pacar? Gue rasa, Naya cuma alasan aja. Jangan-jangan lo beneran belok nih ya?"
"Itu mulut atau petasan sih? Sumpah berisik banget. Udah lah, ayo ke ruang meeting! Bu Elda ngomel baru tau rasa lo."
Duh Gusti, harus ekstra sabar punya teman seperti Lian.
"Bis, jawab dulu, lo masih normal atau udah belok? Gue ngeri nih temenan sama lo!" Aku mendesah kasar sembari mempercepat langkahku menuju ruang meeting. Demi apa pun, aku sangat lelah sekaligus kesal dengan pertanyaan Lian yang tidak masuk akal itu.
Sampai di tujuan, ruang meeting masih sepi. Ke mana Bu Elda dan fotografer itu? Tisha tidak mungkin berbohong 'kan?
Saat sedang beradu kalimat dengan Lian, dua sosok perempuan masuk ke ruang meeting disusul suara Bu Elda, "Julian, Bisma, kenalkan ini fotografer kita, khusus untuk project ulang tahun Kota Bogor."
Fokusku langsung teralih pada gadis di sebelah Bu Elda, debaran jantungku terasa berhenti meski aku masih bisa bernapas. Netraku kembali memandang sosok itu, barangkali aku sudah salah merekam. Aku terdiam sesaat, berusaha mengatur pikiranku yang sudah lari ke mana-mana dengan banyak pertanyaan.
Setelah Lian, gadis itu mengulurkan tangan ke arahku diiringi senyum kecil, dan tak lupa lesung pipi yang semakin melengkapi wajah manisnya.
"Shanaya. Panggil aja Naya."
I don't believe it. I mean, how come? Naya is here.
26 Agustus 2020
Naya is back, Gaes.
Gimana perasaan kalian?
Follow IG @Sulizlovable
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top