RTI 17: Potongan Cerita
PUKUL sembilan pagi, Bu Elda sudah menggelar rapat dadakan. Ia mengumumkan saat aku dan Lian sedang berada di pantry untuk menyeduh kopi. Ditambah lagi, Bu Elda langsung yang memanggil kami berdua. Biasanya kalau sudah begini, pasti ada masalah yang cukup besar. Entah soal permintaan klien atau masalah dengan kami.
Rapat kali ini tidak hanya kami berempat, tetapi tim penulis juga ikut bergabung. Kami mendengar dengan saksama apa yang Bu Elda sampaikan dan keluhkan. Aku terkejut saat mendengar Bu Elda menjelaskan kalau ada masalah pada kolom people of the earth, terutama di bagian narasumbernya. Kendati aku sama sekali tidak tahu tentang publikasi berita pada kolom tersebut, tetapi aku harus ikut bertanggung jawab.
Di ujung meja, Tisha memandang ke arahku dengan tatapan cemas. Tidak salah lagi kalau semua ini ulah gadis itu. Lagi pula, bisa-bisanya Tisha meminta Naya menjadi narasumber untuk kolom kami. Meskipun Naya setuju, ia harus memberitahuku lebih dulu tentang masalah ini. Setidaknya, aku bisa meminimalisir kemungkinan buruk yang mungkin saja terjadi.
"Calm down, Bis!" ujar Lian menenangkan saat rapat kami berakhir. "Tapi dari kejadian ini kita bisa tahu keadaan Naya, Man. Coba lo pikirin baik-baik!"
Dalam wawancaranya, Naya menceritakan tentang perjuangan hidupnya di Indonesia sebagai orang keturunan India. Naya juga menjelaskan betapa hancur dan terpuruknya saat kehilangan sang ayah hingga membuatnya trauma kemudian mengalami amnesia disosiatif. Aku tidak menyangka, Naya banyak mengalami hal buruk selama dua tahun ke belakang.
Jadi, tingkah anehnya selama ini karena Naya menderita amnesia apa tadi namanya? Ah, aku lupa. Intinya Naya tidak ingat dengan beberapa kejadian yang menimpanya. Tidak semua, hanya beberapa hal yang memicu traumanya kembali muncul sehingga ingatan itu sulit dipanggil. Dan karena hal itulah, Brian meminta artikel tersebut di-take down. Sebagai tunangan, Brian beralasan tidak ingin data pribadi Naya menjadi konsumsi publik, terutama mengenai kesehatannya.
"Apa gue harus ketemu Naya?"
"Jangan gegabah! Saat ini Naya pasti ada dalam pengawasan Brian."
"Terus gue harus gimana?" Di satu sisi aku ingin tahu cerita lengkapnya langsung dari Naya, tetapi dari sisi lain semuanya sudah terlambat. Aku bahkan tidak berhak untuk bertanya lebih jauh.
"Lo masih ingat sama cewek yang ketemu kita di warung sate? Katanya dia adik Naya, mending lo temuin dia deh!"
Benar juga apa yang Lian katakan. Gadis bernama Navya itu mengaku sebagai adik Naya dan ingin bertanya banyak hal kepadaku. Aku tahu Naya punya adik perempuan, tetapi aku belum pernah bertemu dengannya. Namun, saat Navya ingin bercerita pada pertemuan pertama kami tempo hari, Brian datang menghampiri. Lelaki itu beralasan tidak sengaja lewat, lalu menawarkan tumpangan pada Navya. Awalnya Navya menolak, tetapi setelah dibujuk akhirnya gadis itu menurut.
Makin ke sini, kenapa pikiran buruk tentang Brian terus mendominasi isi kepalaku? Aku tidak ingin berburuk sangka pada saudara sendiri. Hanya saja, kelakuan lelaki itu makin membuatku curiga. Memang wajar Brian dekat dengan Navya, tetapi perubahan wajah gadis itu tidak bisa disembunyikan. Aku bisa menangkap dengan jelas betapa Navya takut saat melihat sosok Brian menghampirinya.
"Pulang kantor nanti gue temuin Navya deh, sekarang gue mau ngurus ini dulu sama Tisha."
"Oke, kalau perlu bantuan, gue siap nemenin lo, Bis."
"Thank you, Yan."
Begitu sampai di kubikal, Tisha menghampiriku. Gadis itu meminta maaf dan menjelaskan rincian kejadian lengkapnya. Aku mendengarkan Tisha memaparkan semuanya, dan mulai mencari jalan keluar untuk masalah kami. Karena kolom people of the earth harus tetap tayang minggu ini, kami mencari narasumber pengganti. Tisha menawarkan beberapa nama, lalu kami mencari tahu informasi lengkapnya. Setelah semuanya terasa cocok dan layak masuk daftar terbit kolom kami, Tisha akan menghubungi narasumber tersebut untuk mengatur jadwal wawancara.
Sesuai rencana sebelumnya, aku berniat ke rumah Naya. Aku ingin bertemu dengan Navya untuk meminta penjelasan tentang apa yang menimpa Naya selama ini. Namun, entah mengapa sebagian dari hatiku menolaknya. Aku sedikit ragu dengan niatku, masalahnya apa urusanku dengan kejadian yang menimpa Naya? Gadis itu bahkan sudah mempunyai Brian yang pastinya akan menjaga Naya dengan sangat baik. Masalah di kantor tadi contohnya, aku bisa merasakan seberapa posesifnya sepupuku itu.
Kalau terus ikut campur ke dalam masalah Naya, aku akan terkesan tidak tahu terima kasih kepada keluarga Om Ardi. Sepertinya, aku tidak perlu lagi memikirkan hal yang berhubungan dengan Naya dan Brian. Kendati pikiran dan hatiku tidak selaras memandang masalah ini, aku bertekad untuk menyudahi rasa penasaranku cukup sampai di sini saja.
Kang Deni menepuk bahuku saat aku masih asyik memejamkan mata guna merasakan dinginnya guyuran air terjun. "Kamu masih mau di sini, Bis? Saya naik duluan, ya, nyusul anak-anak."
"Iya, Kang, silakan. Sebentar lagi saya juga naik."
"Sip atuh."
Kali ini, aku dan teman-teman komunitas sepeda bertandang ke Curug Bidadari tepatnya di daerah Bojong Koneng, Sentul. Usai mengayuh sepeda puluhan kilometer, rasanya segar sekali ketika tubuhku disiram guyuran air. Tadinya kami hanya ingin pergi ke hutan pinus seperti tempo hari saat camping, tetapi Kang Deni mengusulkan gowes sampai curug. Pemandangan yang kami dapat ternyata sangat setimpal dengan pengorbanan mengayuh beberapa jam yang lalu.
Berkumpul dengan teman komunitas lumayan menghilangkan penat dari rutinitas pekerjaan di kantor. Selain itu, dalam komunitas sepeda, kami tidak hanya membahas seputar teknik gowes dan spare part saja melainkan banyak hal di luar itu. Contohnya kemarin, ada salah satu teman komunitas kami yang baru saja menikah. Berry namanya, sebagai bentuk dukungan dan doa tulus padanya, kami datang ke resepsinya. Berawal dari teman main, lama-lama kami sudah seperti saudara.
"Kerjaan gimana, Bis, lancar?" tanya Bang Ibra saat kami baru selesai makan dan berlanjut coffee break.
"Lancar, Bang."
"Kalau lancar, kenapa muka lo kusut banget, Bro?"
"Pasti gara-gara cewek, Bang," timpal Rizky dari belakang. Duh, lama-lama anak itu kelakuannya sudah seperti bensin kena api saja.
"Iya, Bis?"
"Ah, enggak, Bang. Ini gara-gara kurang tidur aja." Aku berdalih.
"Iya juga enggak apa-apa, Bis." Kang Deny ikutan menyahut dan aku hanya bisa tersenyum kecut dilawan oleh tiga orang.
"Bis, gue kasih tahu nih. Terkadang, ya, lo butuh seseorang sebagai penyemangat hidup. Kayak gue misalnya, penyemangat gue adalah istri dan anak. Saat gue lihat wajah mereka ketawa aja, rasanya tuh adem banget. Urusan kerjaan yang terasa penat jadi ringan aja bawaannya. Jadi, kalau penyemangat lo itu pacar, ya, baik-baik sama dia. Kalau lagi ada masalah, harus segera diperbaiki supaya hati lo enggak kepikiran terus dan berimbas ke banyak hal." Dari semua teman di komunitas, memang Bang Ibra yang paling dewasa dan bijaksana, maka tidak heran kalau banyak juga yang sering curhat kepada beliau.
"Bang Ibra percaya sama kalimat, kalau cinta itu enggak harus memiliki?" Bang Ibra tertawa setelah itu menyesap kopinya sebentar. Aku masih menunggu jawabannya dengan hati bertalu-talu.
"Enggak, Bis. Buat gue kalimat itu omong kosong. Di mana-mana kalau cinta, ya, harus memiliki. Sekali-kali bersikap egois enggak apa-apa kok, apalagi untuk kebahagiaan sendiri."
"Cinta ditolak, dukun bertindak. Gue punya kenalan dukun canggih, Bis. Mau gue kenalin?"
"Makasih banyak, Ky." Rizky tertawa usai puas meledekku, seolah kehidupan cintanya secerah mentari saja, padahal juga sebaliknya.
Seumur hidupku, aku tidak pernah memaksakan kehendak orang lain terutama untuk urusan asmara. Dan pendapat Bang Ibra sepertinya akan kutolak untuk saat ini. Ke depannya, aku tidak tahu juga. Bukannya sikapku plin-plan, hanya saja sebagai manusia, kita sebatas mampu berencana, semuanya sudah ada yang mengatur.
Aku baru sampai studio sore harinya, itu karena Rizky minta ditemani ke daerah Sentul City usai dari Curug. Aku sudah was-was saja, takutnya anak itu benar-benar mengajakku ke dukun canggih seperti yang dikatakannya tadi. Syukurnya, Rizky hanya minta tolong diajari memotret. Rizky ingin memberikan kumpulan polaroid sebagai hadiah ulang tahun calon pacarnya. Ingat, masih calon. Pintar juga, ya, anak itu memakai trik demi mendapatkan pujaan hatinya.
Menjelang malam, suara familier seorang lelaki mengalihkan pehatianku dari aktivitas mengedit gambar di ruang kerja studio. Kira-kira siapa yang datang? Kalau Lian atau Tisha sudah pasti langsung masuk, karena mereka sudah biasa datang ke tempat ini. Aku bergegas menuju pintu utama, dan di balik sana sudah ada Rizky.
Aku cukup kaget dengan kehadirannya. Maksudku, tadi siang kan, kami sudah bertemu, lalu ada urusan apalagi anak ini sampai datang ke studioku? Sebelumnya Rizky sudah pernah datang ke sini satu kali, saat ia bilang ingin tahu tempat tinggalku. Dan dari sana hubungan kami menjadi lebih akrab dibanding dengan teman-teman komunitas yang lain.
"Sorry, Bis, ganggu lo."
"Ah, enggak kok. Ada apa nih? Apa ada masalah sama foto yang lo ambil?"
"Enggak, ini bukan soal foto. Gue ke sini karena ada yang mau ketemu sama lo."
"Ketemu sama gue? Siapa?" Pikiranku mulai bekerja dan mencari-cari siapa orang yang dimaksud oleh Rizky.
Lelaki itu kemudian menengok ke belakang untuk memanggilnya. Dan aku tidak kalah terkejut saat mengetahui sosok wanita itu.
"Sorry, sampai lupa. Ayo masuk, kita ngobrol di dalam!"
Apa dunia ini benar-benar sempit? Wanita yang sedang didekati Rizky adalah Navya. Mereka bercerita kalau sudah kenal sejak kuliah di kampus yang sama.
"Kak Bisma, aku minta maaf kalau kedatanganku ini mengganggu Kakak."
"Enggak, Nav. Kedatangan kalian enggak menganggu sama sekali."
"Aku tahu kalau kalian berteman waktu tadi lihat polaroid punya Kak Rizky, dan aku minta langsung diantar ke sini." Navya menjelaskan.
"Apa ada hal penting yang mau kamu sampaikan?"
"Kak Bisma cukup peka, ya." Navya tersenyum kecil kemudian raut wajahnya berubah serius diikuti tatapan matanya yang seolah mengunci bola mataku. "Ini soal Kak Naya."
"Naya? Ada apa dengan Naya?" tanyaku berusaha menormalkan diri di depan Navya. Kendati aku sangat khawatir, aku harus tetap bersikap tidak berlebihan.
"Tapi Kak Bisma janji dulu kalau mau bantuin aku." Aku bisa menangkap perasaan khawatir dan takut yang melekat di balik sikap kuatnya anak ini.
"Aku enggak mau ikut campur masalah Naya dan Brian, Nav."
"Kak Naya cuma mencintai Kak Bisma."
"Itu udah berlalu. Sekarang, udah ada Brian di sisi Naya, Nav. Kamu bisa lihat sendiri, mereka bahkan udah tunangan." Hampir saja aku meledak mengatakan fakta ini. Masalahnya, aku sudah mulai ingin menutup rapat-rapat semua berita tentang Naya dan Brian. Namun, kehadiran Navya justru menimbulkan perasaan yang berusaha kutepis kebenarannya.
Navya merogoh sesuatu di dalam tas kecilnya, lalu menyerahkannya padaku. "Cowok yang ada di gambar itu Kak Bisma, kan?"
Foto ini adalah gambar yang Naya abadikan diam-diam waktu kami ke Qutub Minar. Pelan-pelan aku membalik foto tersebut, di sana tercatum tanggal dan tempat. Dan kalimat yang pernah Naya katakan padaku sewaktu kami berpisah di Indira Ghandi juga tertulis di sana.
"Kak Naya bukannya sengaja melakukannya, tapi karena dia benar-benar lupa tentang kenangan kalian. Apa Kak Bisma benar-benar enggak kasihan sama Kak Naya?"
Kali ini Navya sudah meneteskan air matanya, aku mulai panik dan tidak bisa berkonsterasi. Pikiranku berkecamuk antara acuh dan tak acuh memandang masalah ini. Di sampingnya, Rizky mencoba menenangkan Navya dan gadis itu masih menunggu responsku.
Lantas, apa yang harus aku lakukan?
28 April 2021
Semoga puasa kalian lancar, Gaes! Doakan aku supaya bisa rutin publish lagi.
Terima kasih untuk kalian yang masih menanti RTI 💚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top