RTI 16: Potongan Ingatan
AKU membawa Naya ke Rumah Sakit Tjiputra, tempat di mana Om Ardi bekerja. Hanya tempat itulah yang ada di pikiranku saat melihat kondisi Naya. Aku harus berpikir cepat agar Naya bisa segera ditangani. Lian dan Tisha sama cemasnya sepertiku. Bagaimana tidak, sebelumnya Naya tidak mengeluhkan apa pun. Namun, tiba-tiba saja ia malah kehilangan kesadaran saat kami selesai mengembalikan sepeda. Apa mungkin gadis itu belum sarapan dan punya masalah dengan lambungnya?
Aku menunggu Naya diperiksa di Instalasi Gawat Darurat. Tisha dan Lian sedang keluar untuk membeli makanan. Sekarang memang sudah waktunya makan siang, lagi pula kami belum makan apa pun usai sepedaan.
Hatiku mendadak tidak tenang menunggu kabar tentang Naya. Tanganku terus berkeringat dan kakiku tidak bisa diam duduk di ruang tunggu. Bagaimana kalau gadis itu kenapa-kenapa? Atau Naya mengalami penyakit serius. Ah, jangan sampai hal buruk menimpanya. Semoga Naya baik-baik saja.
Tak lama kemudian, penantianku terjawab saat Om Ardi keluar di balik pintu besi bercat putih. Sebelum ke sini, aku menghubungi Om Ardi lebih dulu dan beliau langsung meminta kami membawa Naya ke IGD. Semenatara Naya ditangani Om Ardi, aku mengurus segala hal yang diperlukan rumah sakit, seperti data pribadi Naya dan sebagainya.
"Naya gimana, Om?" Aku buru-buru menghampirinya.
"Sudah sadar."
"Naya kenapa?"
"Cuma kelelahan." Aku mengembuskan napas lega. Syukurnya Naya tidak mengalami penyakit serius. Doaku dikabulkan Tuhan.
"Bisma udah bisa lihat Naya, Om?"
Om Ardi mengangguk pelan lalu berkata, "Nanti Brian mau jemput Naya. Jadi, sebaiknya kamu pulang setelah menjenguknya."
"Iya, Bisma mau lihat sebentar aja kok. Makasih, Om."
Kami pun memasuki pintu tempat di mana Om Ardi keluar tadi, lalu berjalan menuju satu ruangan dan masuk ke salah satu bilik. Aku memperhatikan Naya yang berbaring di atas brankar dengan wajah super datar. Maksudku, ia membuka matanya namun terlihat seperti sedang menerawang ke tempat lain.
Perlahan, aku mendekatinya ditemani Om Ardi. Aku pikir, Naya masih belum menyadari kehadiranku, sebab ia masih saja memandang ke arah lain. Wajahnya masih terlihat sangat pucat.
Aku bertanya-tanya, apa benar Naya baik-baik saja?
"Nay!" Naya masih diam. "Naya, kamu udah baikan?" Aku makin mendekati brankarnya. Pelan-pelan Naya menoleh ke arahku. Naya terlihat kaget, lalu buru-buru bangun dan duduk. Namun, kenapa pandanganya terlihat begitu asing dan kosong.
Dengan gerakan cepat, Naya meraih tanganku. Kulihat napasnya mulai tidak beraturan dan bola matanya bergerak ke kanan dan kiri seolah berusaha memastikan sesuatu. Tidak hanya diraihnya, bahkan kini tanganku sudah diremasnya kuat-kuat.
"Bisma!" panggilnya pelan. Lalu, tak lama air matanya mengalir begitu saja tanpa aku mengerti makna di balik itu semua. "Maaf, Bis, maaf."
"Enggak apa-apa, Nay. Kenapa kamu minta maaf? Pingsan itu normal, tapi Om Ardi bilang kamu enggak apa-apa kok." Aku berusaha menenangkannya, karena melihat Naya masih saja menangis. Lagi pula kenapa Naya harus minta maaf hanya karena pingsan?
Naya menggelengkan kepalanya lalu berkata lagi, "Maaf, Bis." Aku terpaksa membalas genggaman tangannya untuk memberikan ketenangan pada Naya.
"Aku enggak apa-apa." Naya menggeleng lagi, kali ini tangisannya lebih dalam.
"Maaf, gara-gara aku, pacarmu hilang. Aku udah bilang waktu itu sama dia, jangan main di tengah pantai. Dan akhirnya ... akhirnya dia ...." Ucapan Naya putus-putus diikuti tangisan yang makin tersedu-sedu. Aku bahkan belum mengerti ke mana arah pembicaraannya.
Om Ardi mendekat diikuti suster, lalu segera menyuntikan sesuatu ke selang infus Naya. Aku yang melihat semua itu hanya bisa bergeming. Pikiranku belum sepenuhnya kembali normal dengan kejadian yang barusan terjadi sangat cepat itu.
Ada apa dengan Naya? Kenapa tiba-tiba ia membahas permintaan maaf, pacarku, dan pantai? Jadi, bukan kejadian di Kebun Raya yang dimaksud oleh Naya. Aku bahkan tidak ingat pernah mengalami apa yang dikatakannya tadi.
"Sebaiknya kamu pulang, Bis!" Om Ardi memberi saran setelah keadaan Naya lebih tenang, bahkan sekarang gadis itu sudah menutup matanya.
"Naya kenapa, Om? Apa dia sakit sesuatu?"
"Dia hanya kelelahan."
"Kelelahan enggak mungkin sampai begitu, Om?"
"Setelah kepergian ayahnya, Naya terlalu banyak pikiran. Kami pasti merawat Naya dengan baik. Kamu tidak perlu khawatir. Naya akan lekas pulih!"
"Om yakin?" Om Ardi mengangguk cepat.
Tak lama kemudian, Brian datang dengan langkah terburu-buru dan ia langsung melihat kondisi Naya. Kulihat, Brian meraih pergelangan tangan gadis itu, kemudian memeriksa selang infusnya. Bruan lalu memandang Naya dalam diam dan lama. Saat aku hendak keluar, Brian menghampiriku.
"Kita bicara sebentar, Bis!" Karena ucapan Brian berisi perintah, aku hanya mengikuti langkahnya meninggalkan ruangan Naya.
Sampai akhirnya, Brian membawaku ke lorong yang tidak terlalu ramai dilalui orang-orang. Sekilas ia memperhatikan suasana di sekitar kami. Brian mengatur napasnya, kemudian memandangku dengan penuh perhatian.
"Thank you, Bis, udah bawa Naya ke sini. Tapi maaf, setelah ini, gue enggak mau lo ketemu Naya di luar urusan pekerjaan kalian lagi!" Netraku memicing, sementara Brian masih memasang tampang datar. Dadaku tiba-tiba sesak, seperti ada hantaman besar yang berhasil menimpanya.
"Lo lagi mencoba ngasih peringatan ke gue?" Aku tidak habis pikir dengan ucapan Brian barusan. Lelaki ini mengucapkan kata terima kasih dan maaf di waktu yang bersamaan.
"Ini cara gue melindungi Naya."
"Melindungi dari apa? Lo pikir, gue sejahat itu sampai bikin Naya masuk rumah sakit?"
"Enggak ada yang mengerti kondisi Naya sebaik gue, Bis."
Duh, Gusti. Lihat saja, betapa jemawanya polah Brian.
"Gue enggak bermaksud nemuin Naya di luar urusan pekerjaan kita, ya, Bri. Sepedaan di Kebun Raya tadi pagi pun bukan sepenuhnya rencana gue, dan gue baru tahu kalau Naya juga ikut."
Kendati aku berusaha sekuat tenaga untuk menjelaskan peristiwa sebenarnya, tampaknya Brian tidak ingin memercayaiku. Sejak dulu Brian memang seperti itu, tidak bisa dengan mudah percaya kepada orang lain. lebih tepatnya, Brian meyakini apa yang ingin ia percayai.
"Oke. Gue mengerti, tapi sayangnya Naya pingsan dan posisinya waktu dia lagi sama lo."
"Bri, ini lo lagi enggak berusaha mencari-cari alasan, kan?"
"Semoga lo mengerti apa yang gue bilang tadi, Bis. Sekarang, lebih baik lo pulang, Naya biar gue yang urus. Thank you sekali lagi." Brian pergi begitu saja usai menepuk pelan bahuku.
Ada apa dengan Brian?
Belum sempat rasa penasaranku tentang kondisi Naya terjawab, sekarang polahnya justru menimbulkan tanda tanya baru. Apa lelaki itu benar-benar sedang cemburu, atau ini merupakan salah satu sikap protektif seorang Brian?
Tanganku tidak berhenti menekan tetikus sedari tadi, membawanya berputar ke arah jarum jam tanpa minat. Gambar di depan mataku seolah tidak menarik sama sekali, padahal pemandangan tersebut adalah potret yang paling kusukai sebelumnya. Pecahan ombak di samudra biru dan ikan pari manta di dasar laut. Ya, Nusa Penida.
Pulau yang berada di sebelah tenggara Bali ini terkenal dengan selamnya. Beberapa tahun lalu aku punya kesempatan memotret salah satu penyelam profesional. Agum Haryadi, namanya. Dibantu beberapa tim penyelam, aku diajari teknik menyelam hingga akhirnya bisa memotret di dasar laut.
Sebenarnya, klien langgananku adalah Anton Haryadi, seorang pengusaha sukses di bidang permata. Biasanya, aku akan memotret produknya. Namun, saat Pak Anton bercerita tentang adiknya yang sedang mencari fotografer, aku sangat tertarik dan tanpa pikir panjang lagi aku dikenalkan dengan Pak Agum. Setelah itu, mereka mengajakku menyelam sembari memotret.
Memotret di bawah air itu diperlukan kamera khusus yang memiliki kemampuan tahan air. Beberapa alat tambahan juga diperlukan untuk mendapatkan gambar yang baik, dan semua itu klienku yang menyediakannya. Aku sungguh beruntung bisa mendapatkan klien super royal seperti kakak beradik keluarga Haryadi tersebut.
Tidak hanya kamera dan alat tambahan saja yang diperlukan untuk mengabadikan gambar di bawah air, aku pun harus memiliki kemampuan menyelam. Beruntungnya, aku pernah melakukannya saat kuliah. Jadi, hanya tinggal berlatih lagi ketika sudah waktunya memotret di dalam air.
Pengalaman tersebut sangat menakjubkan bagiku, dan sejak saat itu aku langsung jatuh cinta dengan pemandangan bawah laut, terutama Nusa Penida.
"Bis, pulang kantor main futsal, yuk?"
"Oke." Bukannya langsung pergi, Lian malah mendekatkan wajahnya ke wajahku, membuatku risi saja. Tanganku segera menahan wajah Lian agar ia menyudahi keisengannya. Lian menyengir lebar karena berhasil membuatku kesal.
"Tumben lo langsung oke, biasanya juga nyari alasan dulu buat nolak."
Seperti yang Lian bilang, aku selalu menolak tiap kali diajak main futsal. Ini bukan karena aku tidak suka main futsal. Sudah pernah kubilang kan, kalau aku suka olahraga? Hanya saja, aku kesal padanya bila kami olahraga bersama. Di mana aku sedang asyik-asyiknya menggiring bola, Lian akan minta pulang karena kelelahan atau bosan. Lian memang hobi mengganggu kesenangan orang lain.
"Lo juga tumben ngajak main futsal. Biasanya enggak mau, karena lo pernah bilang, keseringan main futsal malah cewek yang hilang."
"Tapi jarang main futsal malah skill yang hilang, Bis."
"Skill boleh hebat tapi attitude dipakai juga. Jangan mau hebat sendiri. Futsal itu permainan tim bukan individual!"
"Ecie, udah pintar bahas kerjasama tim lo, ya, sekarang." Lian lalu mengarahkan telunjuknya ke depan hidungku. Aku sudah diliputi rasa kesal, dan langsung saja kukibas telunjuknya.
"Ya, lo kan, sukanya bawa lari bola sendirian."
"Itu namanya atur strategi, Bis." Memang paling bisa ya, si Lian urusan memberi alasan. "Tapi ini beneran mau main futsal, kan?"
"Atau gue tolak aja, nih?"
"Eh, jangan dong, jangan. Kalau bukan sama lo, gue males. Ini karena badan gue udah enggak enak aja, butuh olahraga."
"Makanya bawa sepeda aja dari rumah, hitung-hitung olahraga."
"Dari Depok ke Bogor, asli gue bisa gempor, Bis. Sehat enggak, sakit iya."
"Bilang aja males."
Perihal olahraga Lian bisa pilih-pilih. Tidak mau yang bikin banyak keringat lah, tidak mau yang bikin capek lah, tidak mau yang bikin lelaki itu bosan, dan segala macam keluhan lainnya.
Pukul delapan malam aku dan Lian baru selesai main futsal. Kami berdua sangat kelaparan, lalu memutuskan makan sate di seberang centro futsal. Tempat ini tidak terlalu jauh dari area kantor, hanya butuh waktu sepuluh menit kalau jalan kaki.
"Bis, lo yang bayar, ya!" cicit Lian seraya menghabiskan es jeruknya.
"Iya."
Sedari tadi Lian mengatakan bahwa ia tidak membawa uang lebih. Katanya, uangnya hanya pas untuk ongkos pulang membeli bensin.
"Kok foto Naya lo bawa-bawa?" tanya Lian saat melihat polaroid berisi potret Naya di dalam dompetku. Aku mengeluarkan foto tersebut lalu memandangnya lama.
"Mau gue taruh di studio aja. Lagian, kalau ada orang lain lihat, bisa-bisa pada salah paham sama gue. Lo tahu sendiri kan, Naya udah sama Brian."
"Lo yakin menyerah sampai sini?"
"Gue enggak tahu, Yan. Makin ke sini justru perasaan gue ke Naya makin sulit hilang."
Di dunia ini, mungkin aku termasuk orang masokistik, karena berani mencintai seseorang meskipun tahu hatiku akan teriris-iris.
"Dinikmati aja rasanya, Bis. Kita kan, enggak bisa milih juga saat hati kita jatuh cinta."
Saat hendak memasukkan kembali foto Naya ke dalam saku, polaroid itu malah terbang. Peganganku memang sedikit kendur usai membayar makanan kami, ditambah posisiku berdiri tepat di sebelah pengipas sate. Alhasil, foto tersebut berhasil jatuh. Aku buru-buru mengambilnya, karena takut kehilangan satu-satunya kenangan tentang Naya.
Beruntungnya, polaroidnya terjatuh tidak jauh dari kakiku. Namun, saat tanganku hendak menjangkau foto itu, sebuah tangan sudah lebih dulu mengambilnya. Aku mendongak untuk melihat wajahnya. Di depanku sudah ada seorang gadis dengan wajah hitam manis. Rambutnya sedikit ikal berwara hitam, hidungnya bangir, dan tingginya sebatas telingaku.
"Kamu kenal orang di foto ini?" Aku refleks mengangguk sembari fokus memperhatikan gerakannya dan gadis di depanku masih sibuk berpikir seraya membolak-balik polaroid di tangannya. Aku baru pertama kali ini melihatnya, tetapi ia terasa tidak asing. "Apa mungkin kamu yang namanya Bisma?"
09 Maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top