RTI 15: Aku dan Rasa Cemas
AKU memasuki sebuah gedung bergaya gotik dan elektik yang berdinding serba putih dengan suasana ramai, tetapi juga kondusif. Di papan bagian depan gedung tertulis dengan nama Sanatorium Aman. Hmm ... menurutku, pemilihan nama yang cukup unik. Dengar-dengar sih, bangunan ini adalah milik senior Brian yang sudah tiada.
Bangunan ini memiliki ruangan yang didominasi oleh jendela-jendela kaca. Para petugas kesehatan berseragam putih dengan lis hijau di bagian tangannya terlihat sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Berbekal informasi dari Om Ardi, aku terus menyusuri satu ruangan yang masih asing bagiku.
Usai mendapatkan izin masuk, aku diantar oleh salah satu petugas kesehatan menuju ruangan Brian. Iya, aku akan mengunjunginya. Aku pikir, tidak ada salahnya bertemu Brian di sini usai meeting dengan klien di daerah Lapangan Bogor tadi pagi. Setelah Brian mengatakan masuk usai aku mengetuk pintu, lelaki itu masih bergeming di tempat duduknya. Mungkin Brian kira, aku perawat yang datang mengantarkan laporan dan sebagainya.
"Hai, Bri!" sapaku saat Brian menaikkan pandangan dari setumpuk berkas yang sedang dipegangnya.
"Bisma!" Wajahnya tegang dan aku bisa pastikan kalau ia terkejut melihatku mengetahuinya. Namun, kejadian itu hanya beberapa detik saja. Setelah itu, Brian merapikan berkasnya lalu berdiri. Ia berjalan menuju sofa saat aku masih mondar-mandir meneliti ke sekeliling ruangan. Ada dua tanaman hidup di sudut ruangan, dan aku tidak begitu paham namanya apa. Namun, kehadirannya membuat ruangan ini terasa lebih asri. Mungkin ruangan ini didesain agar para dokter bisa merasakan kenyamanan usai bekerja seharian. "Duduk, Bis!"
Aku ikut duduk saat lelaki itu sudah mendudukkan diri di sofa berbahan linen polos tanpa motif. Ini benar-benar selera Brian.
"Sorry, Bri, gue enggak bilang dulu kalau mau datang. Tadi habis meeting di luar, terus gue pikir sekalian mampir."
"Enggak apa-apa, Bis, tapi lo tahu dari mana gue lagi ada di sini?"
"Gue telepon Om Ardi sebelum ke sini." Brian hanya ber-oh pendek.
"Ya udah, makan siang, yuk! Tadi Mama kirim makanan dari restorannya."
"Wah, kebetulan banget nih gue belum makan."
Aku dan Brian mulai menyantap masakan Tante Yuni. Menunya ada Nasi merah, telur rebus, sayur bayam, dan sambal. Ah, tidak lupa ada keripik tempe kesukaan Brian. Dasar dokter, makanan pun harus begini ya? Pasti Brian anti bucin, deh, alias budak mecin. Tidak seperti aku yang suka sekali makan bakso.
Sejak dulu, hidup Brian benar-benar terarah dan teratur. Om Ardi seolah menjadi bayangan yang siap melakukan apa pun demi Brian bisa menjadi seperti sekarang. Berbeda denganku. Walaupun Om Ardi sering menasihatiku, tetapi rasanya berbeda. Seakan semua nasihatnya untukku hanyalah sebagai tanggung jawab saja, bukan rasa sayang sebagaimana mestinya.
Aku harus mencari jalan sendiri. Aku harus menemukan kebahagiaanku sendiri. Aku harus menemukan rumah sesungguhnya. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Om Ardi adalah orang yang paling dekat denganku. Sebab, tidak ada lagi saudara dari ibuku selain beliau.
"Oh iya, Bri. Dulu, gimana ceritanya lo bisa jadian sama Naya?" Brian berhenti mengunyah, lalu segera menegak air mineral.
Brian menegakkan tubuhnya kemudian menjawab, "Ya, sama aja sih kayak pasangan pada umumnya."
"Maksud gue, kalian ketemu pertama kali di mana setelah kita lost contact lulus SMA?"
"Hmm, itu ...." Brian tampak berusaha mengingatnya. Seharusnya, momen berharga tidak akan mudah dilupakan dengan singkat. Yah, seperti kenanganku bersama Naya. Ah, kenapa juga aku harus kembali mengingatnya.
Ingat Bisma, buang masa lalu, kejar masa depan!
"Waktu Ayah Naya meninggal," jawab Brian kemudian. Dan saat itu juga, sendok yang sedang kupegang jatuh ke lantai. Buru-buru aku mengambilnya dan meletakkan di atas meja. Brian mengambilkan sendok yang baru untukku.
Sungguh, aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini terjadi. Maksudku, siapa sih yang pernah menyangka akan kehilangan. Apalagi ini menyangkut nyawa seseorang, yang hilang untuk selamanya. Segala macam pertanyaan di kepalaku langsung berkecamuk dan tak sabar dikeluarkan.
"Ayah Naya meninggal? Kapan?" Aku menaruh alat makanku di atas meja, tanpa menghabiskannya. Nafsu makanku hilang.
Brian tampak sudah bisa membaca rasa penasaranku lalu menjawab, "Dua tahun yang lalu. Kecelakaan pesawat."
Degup jantungku tiba-tiba melemah, hatiku pun ikut merasa perih.
Apa Naya baik-baik saja? Tentu tidak. Aku tahu sesayang apa gadis itu kepada ayahnya.
"Lo ingat pernah ada kecelakaan pesawat Bandara Rendani dua tahun lalu?" Aku masih bergeming, antara mendengar penjelasan Brian atau memikirkan perasaan Naya pada waktu itu. "Ada 146 penumpang di dalam pesawat itu, termasuk Ayah Naya. Semuanya meninggal. Saat itu, Ayah Naya berencana menjadi relawan korban bencana alam, tapi justru beliau yang jadi korban kecelakaan pesawat."
Dua tahun lalu, aku sedang sibuk-sibuknya merintis karier di Andromedia Weekly. Aku juga tidak tahu kalau korban kecelakaan pesawat itu salah satunya adalah Ayah Naya. Lagi pula, aku sudah kehilangan kabar tentang Naya. Aku bertekad tidak ingin membahas tentangnya lagi di kemudian hari karena sudah mengecewakanku. Namun, aku tidak menyangka gadis itu akan mengalami masa sulit sekali lagi setelah kepergian ibunya. Meskipun kutahu, itu sudah lama terjadi dan aku yakin, Naya lebih tegar dari yang pernah kukira selama ini.
Pagi ini, aku berniat sepedaan ke Kebun Raya Bogor untuk memenuhi janji. Namun, kali ini bukan dengan teman di komunitas sepeda, melainkan bersama Tisha. Aku juga lumayan kaget dan bingung saat mendapatkan panggilan darinya, bahkan di saat mentari belum muncul sama sekali. Tepatnya, waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi. Saat aku baru berniat untuk mandi.
Hanya saja, daripada terus bertanya-tanya dan yang ditanya justru tidak berniat memberitahu sedikitpun, lebih baik mengikuti kemauannya. Lagi pula, aku memang sudah biasa sepedaan di akhir pekan.
Sampai di pintu masuk 1, aku masih belum menemukan tanda-tanda kehadiran Tisha. Padahal ini sudah lebih sepuluh menit dari waktu janjian kami. Jangan bilang ya, kalau gadis itu mengerjaiku. Saat aku hendak mengiriminya pesan, sebuah tepukan di pundak kanan menghentikan aktivitasku. Aku menoleh, dan di sana Tisha tidak sendiri. Ada Lian dan juga ... Naya.
Tunggu, kenapa ada Naya?
Apa Tisha sedang berusaha membuktikan ucapannya?
Oh, Tidak!
"Kenapa malah bengong, Kak? Kita dari tadi lihat Kak Bisma celingukan, dan itu lucu banget." Tisha menahan tawa, tak terkecuali Lian dan Naya. Sungguh keterlaluan mereka bertiga! "Karena aku enggak tega, ya aku samperin. Padahal Kak Julian udah ngelarang." Aku melirik ke arah lelaki itu, tetapi Lian cuek. Justru ia sibuk menggulir benda pipih di genggamannya.
"Kamu ke sini langsung naik sepeda?" Naya bertanya saat kami akhirnya saling berhadapan.
"Iya. Ini kalian jadi pada mau nyewa sepeda aja, kan?"
"Jadi dong," sahut Tisha semangat.
"Lo kenapa enggak bawa sepeda, Yan?"
"Gue naik kereta, Bis. Males gue nenteng-nenteng sepeda."
"Sepeda dikayuh, Man, bukan ditenteng!" Ledekanku jurstru dihadiahi tinjuan kecil di perut oleh Lian.
"Ya udah, ayo ke loket buat sewa sepeda. Nanti kesiangan keburu panas." Tisha mengomando langkah kami.
Lalu ketiganya melakukan transaksi penyewaan sepeda dengan membayar harga sewa dan menyerahkan kartu penduduk sebagai jaminan.
Sebenarnya, ketika pergi ke Kebun Raya Bogor, aku lebih suka berjalan kaki. Dengan begitu, aku bisa puas menelusuri semua sudut dan pelosok Kebun Botani kesayangan warga Kota Bogor ini. Sebab, banyak sekali hal menarik yang tidak terlihat dan tidak terjangkau bila menggunakan sepeda. Selain itu, dengan jalan kaki aku bisa lebih leluasa memotret tanpa harus repot menahan setang sepeda.
Usai berkeliling selama kurang lebih satu jam, kami memutuskan beristirahat di dekat pohon-pohon rindang. Meskipun cuaca hari ini sedikit mendung, tetap saja rasa panas terasa menjalar ke seluruh tubuh. Kulihat, Lian sedang meluruskan kakinya di atas rerumputan. Sementara Tisha sedang mengipas-ngipas wajahnya dengan telapak tangan. Naya tidak kalah terlihat lelah. Wajahnya sedikit memerah dan tanpa sadar aku kasihan melihat pemandangan itu.
Aku jadi ingat cerita Brian kemarin soal Ayah Naya yang telah tiada. Awalnya, aku ingin sekali bertanya, tetapi peristiwa itu sudah lama berlalu dan aku tidak yakin Naya ingin berbagi kenangan pahitnya denganku. Lagi pula, kalau Naya kembali sedih, apa yang harus kulakukan?
Aku memberikan air mineral dingin pada ketiganya, dan mereka menerima dengan air muka senang. Aku memilih duduk di sebelah Naya, karena sedari tadi Tisha sudah memberikan kode.
Apa anak ini benar-benar serius mendekatkanku dengan Naya?
Aku tidak ingin membuat masalah. Kalau Brian sampai tahu bagaimana? Habislah aku.
"Brian tahu kamu ikut ke sini?" Pertanyaan ini tidak sepenuhnya basa-basi, aku ingin memastikan kalau Brian bukan termasuk lelaki posesif.
"Tahu." Naya menjawab usai menegak air minumnya. "Kenapa memangnya?"
"Enggak apa-apa kok," kataku bersikap normal kembali.
"Kamu udah biasa sepedaan, ya?"
"Hmm ... lumayan sih."
"Kelihatan expert banget."
"Oh, ya?" Naya mangut-mangut.
"Speed kayuhan kamu panjang, salah satu ciri orang yang udah biasa sepedaan." Aku tersenyum kecil mendengar pernyataan Naya, lalu ia melanjutkan kalimatnya, "Kalau aku jarang sepedaan, Brian lebih suka main golf atau nge-gym soalnya."
"Aku tiap weekend sepedaan sih. Kalau mau ikutan, nanti kamu bisa bareng."
Bagus, Bis. Lo mau coba-coba main api?
"Mau banget," ujar Naya dengan netra berbinar diikuti senyum ceria.
Senyum ini, senyum yang selalu Naya berikan untukku.
Tiba-tiba aku mendengar suara keributan antara Lian dan Tisha di belakang kami.
"Kak Julian sombong banget. Awas, ya, aku enggak bakalan beliin kopi lagi kalau pas Kak Julian kanker."
"Lo mah bisanya ngancem sih, Tis. Gue kan lagi fokus chatting-an sama pacar gue. Sana, minta tolong Bisma!"
Tisha mencebik diikuti tatapan kesal.
"Kak Bisma ajarin aku pakai kamera instan dong!" Tisha mendekatiku dan duduk di antara aku dan Naya.
"Lo bawa kamera?" Tisha mengagguk pelan. Lalu ia menunjukkan Instax SQ6.
"Kemarin aku lihat kamera punya anak design lucu banget, Kak, dan pengin punya. Akhirnya, malah jadi beli deh."
Anak sultan memang beda, begitu suka satu barang langsung beli. Beruntung sekali aku bisa berteman dengannya.
"Ini keren, Tis, format fotonya satu banding satu."
"Itu maksudnya apa, Kak?"
"Jadi, lo bisa dapet hasil berbentuk kotak persis." Tisha lalu ber-oh panjang.
"Terus, ini gimana, Kak, cara motretnya?"
"Ya, potret kayak biasa lo ambil gambar aja."
"Tapi aku takut hasilnya jelek."
"Kamera instan itu sepenuhnya tentang seni dan kreativitas, potret aja apa pun yang lo mau dan lo suka, Tis!"
"Oh, begitu ya, Kak."
"Coba lo foto satu objek. Foto Lian, deh, angle-nya bagus tuh!"
"Ih, ogah!" Tisha memasang tampang kesal. "Mending aku foto Kak Bisma. Boleh, ya, Kak?"
"Enggak!"
"Please, buat kenang-kenangan."
"Enggak. Lo foto pohon di sana aja, tuh!" Aku menunjuk pohon di samping kanan Naya.
Tisha menurut. Ia berjalan menuju pohon tersebut. Tidak hanya itu, Naya ikutan berdiri dan mengikuti langkah Tisha. Aku hanya mengamati mereka berdua dari jarak yang tidak terlalu jauh. Lagi pula mereka hanya akan memotret.
Beberapa menit kemudian, Naya terlihat memegang kepalanya. Ia lalu berjongkok, Tisha masih asyik memotret tanpa menyadari kondisi Naya. Aku segera mendekat, karena merasa ada yang tidak beres.
"Nay, kamu kelihatan pucat," kataku seraya berjongkok di depannya. Naya masih bergeming. Aku menunggunya.
"Kak Naya kenapa, Kak?" Tisha mendekat dan ikut berjongkok di sampingku.
"Nay, kamu mau pulang?"
"Bis!" panggilnya pelan. "Kepalaku pusing banget. Aku tadi kayak ingat sesuatu, tapi lupa lagi." Aku dan Tisha saling pandang, karena tidak mengerti maksud Naya.
"Kayaknya Kak Naya kecapekan deh, Kak. Kita pulang aja, yuk!"
Aku menyetujui usul Tisha, karena hari juga sudah makin siang. Aku membantu Naya berdiri. Tisha merapikan bawaan kami, sementara Lian membatu mengembalikan sepeda setelah kami menjelaskan kondisi Naya.
"Bis, a-aku ...." katanya putus-putus. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan gadis ini. Naya seperti sedang memikirkan sesuatu, tetapi aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
"Kamu kenapa, Nay?"
"Aku ...."
Detik berikutnya, Naya sudah terjatuh. Naya pingsan.
Setelah banyak hal yang harus diurus, akhirnya bisa up lagi. Mohon maaf, ya, gaes, aku selalu membuat kalian menunggu lama.
20 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top