RTI 14: Aku dan Persimpangan
Hai, aku kembali. Ada yang nungguin?
Aku baru kelar revisi Target Rasa plus menambah part, jadi maafkan kalau RTI terabaikan.
Kayaknya kalian harus baca part sebelumnya deh biar enggak lupa hehehe
Well, happy reading!
•
•
•
AKU dan teman-teman komunitas sepeda sudah berada di campsite. Tempat yang dipilih ini berada di kawasan Gunung Pancar, tepatnya di tengah-tengah hutan pinus. Dibandingkan Puncak, kami sengaja memilih daerah Sentul demi menghindari kemacetan.
Sebelumnya, Rizky sudah survei tempat dan mengatur segala kebutuhan kami. Rizky bilang, campsite ini menawarkan banyak kegiatan mulai dari gathering, outing, tracking, bersepeda, berkuda sampai hiking.
Gunung Pancar bukan tempat yang asing di telingaku. Beberapa tahun silam, aku pernah ke tempat ini untuk sekadar melepas rasa ingin tahu dan mengabadikan momen dengan kamera. Namun, informasi seputar campsite dan segala kegiatannya baru kudengar belum lama ini.
Sekilas, kupandang ke atas langit. Suasana asri sangat terasa dari pohon pinus yang menjulang tinggi. Wangi pinus ini sungguh menenteramkan, dan hijau daunnya pun mampu menenangkan hati. Sesekali 'musik alam' dari hutan pinus terasa seperti mendayu-dayu akibat gesekan puncak-puncaknya yang terbawa angin. Aku pernah membaca sebuah artikel yang mengatakan bahwa, ketika seseorang berjalan di hutan pohon pinus, kadar stresnya akan berkurang secara signifikan. Orang yang tadinya cemas pun bisa merasa lebih rileks ketika mencium aroma pohon pinus. Menurutku, studi tersebut terbukti tepat, setidaknya menurut pendapat pribadiku.
Pelan-pelan kurentangkan tangan ke atas beberapa detik, lalu kugerakkan asal jemariku. Rasanya seperti bisa kugapai dengan mudah ujung pohon pinusnya. Benar-benar tempat yang cocok, damai dan nyaman untuk berkemah. Kami juga tidak harus membawa tenda sendiri, karena semuanya sudah disiapkan pengelola. Kebetulan yang ikut hari ini lumayan banyak, sekitar ada dua puluh orang.
Bagiku, aktivitas bersepeda mampu mengeluarkan adrenalin dan endorfin yang mendorong mood-ku menjadi lebih baik, sehingga perasaan gembira yang terpancar akan meningkatkan kinerjaku. Manfaat lain yang didapat dengan bersepeda adalah lebih mengenal jalanan di wilayah tempat kita tinggal. Seperti aku, yang sudah hapal kota kelahiranku yaitu Kota Bogor.
Lian si Julid
Share loc. please!
Begitu bunyi pesan dari Lian saat aku sedang istirahat sembari minum kopi dengan cyclist lain usai tenda didirikan.
Jangan bilang kalau anak itu bakalan menyusulku di sini?
Oh, tidak.
Aku segera meneleponnya untuk mengetahui maksud pesan tersebut.
Aku hanya merasa tidak enak. Walau bagaimana pun, ini bukan acaraku saja. Ini acara komunitasku. Tentu saja aku harus minta izin lebih dulu kalau Lian ingin bergabung. Lagi pula kenapa Lian harus memutuskan dadakan begini sih? Kenapa tidak kemarin saja saat aku mengajaknya.
"Bis, kalau temen kamu jadi mau dateng enggak apa-apa kok. Bang Ibra barusan pulang, ditelepon istrinya. Katanya, anaknya mendadak demam." Kang Deni berujar usai aku mengatakan keinginan Lian untuk bergabung dengan kami.
"Oh gitu, Kang?"
"Iya. Jadi, kalau kamu mau setenda sama temen kamu bisa aja. Nanti Rizky bisa sama yang lain atau sama saya aja."
"Serius enggak apa-apa, Kang?"
"Enggak apa-apa atuh, santai aja. Kayak ke siapa aja kamu teh." Kang Deni menepuk bahuku sembari tersenyum santai.
"Nuhun, Kang. Kalau begitu, saya mau ngabarin temen saya dulu ya." Kang Deni mengangguk lalu menjauh untuk bergabung dengan cyclist lain.
Hari semakin sore, tetapi Lian masih belum memberikan kabarnya. Tidak mungkin lelaki itu nyasar saat mencari jalan 'kan?
Lian si Julid
Bis, sorry. Kayaknya gue enggak jadi nyusul, Jelita ngajak gue dinner. Besok doi ke luar kota soalnya.
Sudah kubilang 'kan, kalau Lian paling juara membuat orang lain merana.
Argh, dasar si Julid.
"Bisma, elah lo weekend begini bukannya jalan ke mana gitu. Ini malah nyetrika baju. Laundry udah menjamur di mana-mana, Man!"
Kehadiran Lian selalu membuatku terus mengingatkan diri bahwa masih lelaki ini akann banyak mengejutkanku, terutama membuatku kesal. Bagaimana tidak, pagi-pagi sudah datang ke studio dengan tangan kosong. Dan mulutnya itu tidak berhenti pamer sejak tadi. Jelita begini lah, Jelita begitu lah. Sudah muak aku rasanya.
"Males gue pakai jasa laundry."
"Gara-gara di laundry depan ada Mbak Stroberi?"
"Salah satunya itu."
"Lo sih PHP-in anak orang melulu, ngarep 'kan anaknya." Perlahan Lian memasang senyum bermakna godaan.
"Enak aja. Tipe kayak Mbak Stroberi itu enggak di PHP-in pun bakalan tetep mepetin, Yan." Tawa Lian pun tak terbendung lagi usai kalimat terakhirku meluncur.
"Tapi lo menikmati 'kan?"
"Astagfirullah, Ya kali, Yan!"
Mbak Stroberi adalah panggilan kami kepada wanita bernama Leri yang suka sekali dengan hal yang berbau stroberi. Mulai dari bajunya, ikat rambut, parfum, lipstik, soft case ponsel bahkan mungkin sampai dalaman yang dipakai pun penuh dengan gambar stroberi. Mungkin ya, karena aku belum pernah melihatnya sama sekali.
Namun, yang tidak kusukai dari Leri adalah ia terlalu agresif. Tisha saja masih kalah agresif kalau dibandingkan Leri. Dan agresif yang kumaksud bukan hanya sekadar verbal melainkan fisik. Masa sih aku harus melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Siapa yang akan percaya bahwa secara tidak langsung aku sudah diintimidasi atau bahkan dilecehkan olehnya?
Tawa Lian sudah mulai mereda lalu ia kembali berkata, "Terus senjata ampuh Mbak Stroberi kalau kita merasa risi, dia bakalan bilang ...."
"Cuma bercanda, jangan marah dong, Say!" ucapku dan Lian bersamaan, dan setelahnya kami hanya bisa mendumal.
Sampai sekarang, aku masih pun heran, kenapa ada wanita yang bersikap seperti Leri? Pernah sih aku mendengar para tetangga bergosip, katanya, Leri memang berstatus janda kembang. Statusnya ini sudah lebih dari dua tahun. Apa mungkin karena statusnya itu, Leri jadi rindu dibelai?
Bisa jadi.
Astaga, kenapa aku jadi memikirkan kelakuan Mbak Stroberi? Gara-gara Lian nih yang mengajakku membuka topik tiada akhir seperti ini.
Duh, meuni lieur.
"Ya udah keluar yuk, nyari makan apa gitu, Bis!"
"Mau gantiin kerjaan gue? Nih!" kataku seraya mengangkat setrikaan ke hadapannya. Lian langsung bergerak menghindar takut kena uap panas dari benda yang sedang kupegang. "Lo aja deh, nanti gue nitip beliin."
"Makan di luar aja, ayok!"
Lian memang hobi sekali mengganggu. Tidak tahu apa kalau aku sedang sibuk?
"Please, enggak usah maksa. Lagian ya, gue masih kesal sama lo gara-gara kemarin."
"Yaelah, Bis, dendaman amat jadi orang. Gue enggak bohong, Jelita memang mau ke Surabaya. Kalau udah begitu, bisa lama lagi kami ketemunya. Kangen maksimal deh gue. Makanya, waktu dia minta ketemu semalem, ya gue enggak bisa nolak."
"Tau ah."
"Ih, ngambek!" Lian mencebik.
Beberapa menit kemudian, saat kami masih sibuk beradu argumen, sapaan dari luar studio terdengar jelas. Aku meminta Lian melihat ke depan, karena kedua tanganku masih fokus melicinkan kemeja terakhir.
Lian terdengar bicara dengan seseorang, dan suaranya semakin lama semakin dekat. Aku menoleh sebentar ke sumber suara. Di sana sudah ada Tisha yang mengenakan setelan serba merah muda. Wajahnya terlihat sangat segar dengan senyum manis.
"Ya ampun, ini pemandangan langka banget deh. Aku abadikan ya, Kak Bis?"
Sejurus kemudian, Tisha sudah mengeluarkan ponselnya lalu membidikku tanpa ragu. Aku yang masih bingung hanya bisa bergeming menatap tingkah lakunya. Mungkin hasilnya akan terlihat fotogenik di mata penikmat foto.
Biar saja deh. Kapan lagi Tisha mendapatkan fotoku saat menyetrika.
Usai membereskan baju licin dan sebagainya, aku mengajak Tisha duduk di ruang tengah. Tempat yang biasa digunakan ketika klien menunggu. Lian tiba-tiba keluar. Lelaki itu beralasan ingin membeli pulsa. Tumben sekali.
"Dimakan, Kak! Kak Bisma belum makan 'kan?"
"Belum sih."
"Ya udah dimakan, Kak!"
"Thank you ya, Tis. Lo enggak makan?" Aku melihat ada yang berbeda dengan gadis ini. Seperti ada hal penting yang ingin diungkapkannya kepadaku.
"Tisha masih kenyang. Udah Kak Bisma aja! By the way, ini Kak Bisma lagi enggak ada project di luar kerjaan?"
"Ada. Nanti sore mau motret outdoor."
"Oh begitu. Jangan sampai telat makan ya, Kak. Kak Bisma enggak boleh sakit!" Aku hanya melempar senyum formal sembari menggigit burger pemberian Tisha.
"Kak!"
"Hemp."
"Bisa enggak, Kak Bisma enggak pura-pura bodoh lagi!"
"Maksudnya?"
"Aku suka Kak Bisma." Aku menatap lurus ke arahnya. Hari ini Tisha tidak memakai softlens. Bola matanya yang hitam pekat terlihat sangat tajam ketika memandangku. "Beneran, Kak, bukan cuma suka yang biasa aja. Aku sayang Kak Bisma."
"Tis, sorry, tapi gue--"
"Tisha tau, Kak Bisma bakalan respons kayak begini, tapi kasih Tisha satu alasan. Kenapa?"
"Kenapa? Apanya yang kenapa?" Burger yang baru satu gigitan, aku taruh kembali di atas meja. Tiba-tiba rasa laparku lenyap berganti cemas.
"Kenapa Kak Bisma enggak bisa suka sama Tisha?"
"Ya ... karena lo udah kayak adek gue sendiri, Tis."
"Please, enggak usah kasih Tisha alasan klise, Kak." Tisha melipat kedua tangannya di dada, wajahnya terlihat sangat kesal. "Ada cewek lain? Iya 'kan, pasti ada cewek lain yang Kak Bisma suka."
"Tis, sorry gue--"
"Siapa? Tisha perlu tau, siapa cewek yang udah bikin Kak Bisma enggak bisa berpaling darinya."
"Tis!"
"Jawab Kak, siapa dia?"
"Oke, oke," kataku menyerah. Aku membuang pelahan lalu menatap Tisha tepat di bola matanya. "Naya."
Tisha diam.
Aku masih menunggunya bicara, tetapi gadis ini masih saja bergeming. Aku takut Tisha marah atau melakukan drama yang membuatku jengah. Namun, beberapa menit kemudian ia tersenyum, meskipun sangat tipis sekali.
Aku menepuk bahunya pelan lalu berkata, "Suatu hari, gue yakin lo bakalan dapet cowok yang lebih baik dari gue."
"Tisha enggak butuh kalimat penyemangat!" katanya seraya melepas tanganku dari pundaknya.
Bagaimana ini? Bagaimana kalau Tisha sampai menangis?
Lian ke mana sih? Kenapa beli pulsa bisa sampai lama begini?
Ah ... iya, kenapa aku tidak bisa membaca kode aneh yang dibuatnya tadi?
"Naya enggak seperti dulu, Tis. Walaupun hati gue buat dia. Naya udah enggak bakalan bisa gue raih lagi."
Naya sudah sulit tergapai. Aku juga sudah tidak memahaminya lagi. Seperti dulu.
"Tisha bakalan bantu Kak Bisma buat deket lagi sama Kak Naya."
"Tisha!"
"Tisha mau Kak Bisma bahagia, karena Tisha sayang Kak Bisma."
"Enggak perlu, Tis. Maksud gue, thank you banget karena lo udah baik sama gue. Lo udah sayang sama gue, thank you for everything. Tapi, gue rasa itu enggak perlu. Naya udah enggak bisa gue jangkau lagi."
"Enggak ada yang enggak mungkin, Kak. Selama kita berusaha, Tuhan pasti bantu doa kita."
Aku paham maksud Tisha. Tuhan akan mengabulkan doa hambanya selagi kita berusaha keras. Hanya saja, hubunganku dengan Naya memang sudah berakhir. Ah, tidak. Bukan berakhir, karena memang kami tidak pernah memulainya. Kami hanya bertemu di satu tempat dan berjalan bersama, tetapi tujuan kami nyatanya berbeda. Aku pergi ke kanan, sementara Naya pergi ke kiri. Kami hanya bertemu di persimpangan.
08 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top