RTI 12: Ada Rindu

AKU menunggu Lian mengambil uang di mesin ATM sembari menggulir feeds di sosial mediaku. Dan yang pertama kali muncul di sana adalah postingan milik Tisha. Ada dua slide, yang pertama berisi swafoto dirinya dan di foto kedua Tisha tidak hanya sendiri. Ia bersama Naya. Hal ini membuatku sedikit terkejut. Pasalnya, pertama kali kenal Naya, Tisha menunjukkan sikap yang tidak bersahabat. Namun sekarang, semuanya tampak baik-baik saja.

Aku tidak bodoh. Aku tahu Tisha menaruh harapan atas diriku. Apalagi saat Naya bergabung dengan Andromedia, Lian terus saja membahas hubunganku dengan gadis itu. Mau tidak mau Tisha mendengar percakapan kami. Lebih tepatnya, suara Lian yang memang tidak bisa diajak berbisik-bisik.

Kendati demikian, aku tetap tidak bisa memandangnya sebagai wanita. Maksudku, Tisha begitu baik, manis dan perhatian. Akan tetapi, semua hal baik darinya tidak membuat hatiku berdebar. Tidak membuatku menginginkan hatinya juga. Tidak membuatku ingin terus menatap ke arahnya. Dan aku hanya bisa menganggapnya sebatas rekan kerja.

"Makan seafood kayaknya enak ya, Bis." Lian menghampiriku usai menyelesaikan transaksinya.

"Tadi katanya lo lagi pengin makan nasi goreng kambing. Gimana sih?" Aku mencebik sembari menatap kesal ke arahnya. Jelas-jelas tadi Lian terus saja merengek kepadaku ingin makan nasi goreng kambing yang biasa berjualan di depan studioku.

Sungguh tidak konsisten.

"Enggak jadi deh, Bis. Tiba-tiba gue lagi pengin makan kerang bambu nih." Lian berhenti melangkah karena tali sepatunya lepas.

"Ya udah buruan, daripada nanti anak lo ngeces."

"Rese lo!" dumal Lian yang masih berjongkok guna mengikat tali sepatunya.

"Lagian makanan yang lo pengin gonta-ganti melulu. Mirip orang ngidam tau, Yan."

"Ngidam anak lo ya, Bis." Lian sudah berjalan di sampingku seraya mengedipkan sebelah matanya.

"Amit-amit." Aku bergidik ngeri, berusaha berjalan lebih cepat darinya.

"Tunggu Bis, jangan lari dari tanggung jawab lo! Gue 'kan lagi mengandung anak lo."

Sial.

Salahkan aku yang mengajak Lian bercanda. Sudah tahu keahliannya hanya bekata pedas dan julid. Sekarang, kalimat yang dipilihnya pun malah semakin liar.

Pilihan akhir kami yakni makan di warung seafood pinggir jalan. Aku dan Lian biasa makan di warung ini saat kami kelaparan pulang lembur. Kendati warung seafood di sekitar kantor sudah menjamur, masakan di tempat ini terbukti paling enak di antara warung seafood lainnya. Maka tidak heran kalau pengunjungnya selalu ramai, dan untuk menikmatinya pun kami harus menunggu lebih lama.

Lian menepikan Mondi di sebelah motorku. Aku terbilang jarang sekali membawa motor ke kantor. Kalau bukan karena ban sepedaku bocor, aku malas naik motor karena pusing menghadapi lalu lintas yang tidak bisa diprediksi. Biasanya aku naik sepeda sampai stasiun, lalu dilanjutkan naik kereta. Sepeda tetap kutitip di parkiran stasiun. Beruntungnya, letak gedung Andromedia hanya di seberang stasiun. Jadi, aku tidak perlu naik kendaraan lagi untuk sampai ke kantor.

"Bis, ternyata ada si Tisha tuh." Lian berujar saat kami masuk ke tenda warung untuk mencari tempat duduk.

Aku mengedarkan pandangan mengikuti arah telunjuk Lian. Usai berhasil menangkap keberadaan Tisha, kami berjalan mendekat ke arahnya.

"Kak Lian, Kak Bisma di sini aja duduknya! Barengan." Tisha melambaikan tangan lalu menunjuk tempat duduk di sebelahnya.

"Hai," sapa Naya kepadaku dan Lian.

Surprisingly, ternyata Tisha sedang makan malam dengan Naya. Aku sempat canggung saat melihat bola matanya, tetapi berusaha keras untuk bersikap santai.

"Tau gitu tadi Tisha ajak sekalian, kirain kalian mau pada langsung pulang."

"Tadinya malah mau makan nasi goreng kambing." Aku menyahut seraya mengambil tempat duduk di sebelah Naya, karena Lian sudah lebih dulu duduk di samping Tisha.

"Terus kenapa enggak jadi?" Tisha masih ingin tahu.

"Nih, gara-gara si Lian ngidam yang lain." Telunjukku mengarah ke Lian yang sedang membaca buku menu. Tisha tertawa. Entah karena jawabanku atau karena Lian yang berusaha menjitakku. Namun, tidak kena karena aku berhasil menghindar.

Enak saja si Lian mau jitak kepalaku sembarangan.

"Kalian udah pada kelar makan?" Lian bertanya saat melihat piring makan kedua gadis ini sudah bersih.

"Udah sih, tapi lagi pesan kerang dara pengin dicamil aja. Iya 'kan, Kak Nay?" Naya menganggukkan kepala ketika menyesap air jeruknya.

"Ih gue juga lagi pengin makan kerang." Lian berujar diiringi wajah memelas.

"Ya udah buruan pesan. Nunggunya lumayan lama lho, Kak." Tisha memberi peringatan.

Sembari menunggu pesanan, kami berempat saling bertukar kalimat. Lian paling berisik saat topik yang dibahas seputar klien, deadline, dan job desc lainnya. Lalu pembicaraan semakin seru saat meluas ke masalah pribadi.

Dari obrolan ini, aku jadi tahu kalau Tisha sedang didekati oleh seseorang. Namun, gadis itu mendeklarasikan bahwa sedang menyukai seseorang di kantor.

Apakah Tisha sedang berusaha memberiku kode?

Ini bukan karena aku kepedean. Sudah kubilang, bahwa aku menyadari perhatian spesial yang diberikannya selama ini. Namun, saat hatiku tidak bisa menerimannya, senjata paling ampuh adalah dengan cara berpura-pura tidak peka.

Aku ikut tertawa kecil mendengar cerita Lian dan Tisha yang sedang meratapi kisah romansa masing-masing. Yang kusukai dari sosok Tisha adalah, ia fleksibel. Tisha bisa memosisikan dirinya di situasi manapun. Di kantor, Tisha lumayan segan terutama kepada Lian, sebab ia sering mendapatkan kritikan pedas. Namun, saat di luar kantor seperti ini, Tisha terbilang tidak pernah jaga image.

Aku melirik ke arah Naya yang masih sibuk memainkan ponselnya. Ia beberapa kali tersenyum saat bertukar pesan dengan seseorang yang kuyakini adalah Brian. Harus kuakui, kalau dadaku kian sesak menyaksikanya.

Topik sudah berubah haluan. Kini yang dibahas adalah pekerjaan Naya. Lian lalu menceritakan kinerja beberapa fotografer amatir yang sempat bekerjasama dengan Andromedia. Tisha tidak kalah heboh. Ia bahkan menginginkan profesi tersebut. Menurutnya, jadi fotografer itu keren.

"Momen klien aja diabadikan dengan sempurna, apalagi momen berdua sama pacar. Iya 'kan, Kak Nay?" Naya tertawa saat Tisha mulai menggoda profesinya.

"Bisa aja nih, Tisha."

"Lo tau enggak, Tis, kotak apa yang paling menyakitkan?" tanya Lian saat kami sudah mengurai tawa.

"Kotak yang menyakitkan?" Tisha mengernyitkan dahinya, tak terkecuali dengan Naya dan aku karena tidak tahu jawaban atas pertanyaan Lian.

"Ko tak sadar kalau selama ini aku cinta kepadamu." Kami geleng-geleng kepala mendengar jawaban yang berasal dari hasil plesetan itu.

"Haish, Kak Lian. Itu sih kau tak, bukan kotak. Receh banget deh."

"Biarin aja. Namanya juga plesetan. By the way, tebakan tadi tuh bukan dari gue buat lo ya, tapi dari lo buat gebetan lo. Itu baru cocok."

"Terus aja buli hamba." Tisha mencebik kesal, sementara Lian tawanya malah semakin pecah. Lian paling pintar membuat orang lain merana.

"Gombalin tuh Bisma, Tis, jangan Naya!" Lian menanggapi lagi, setelah itu fokusnya teralih pada kerang bambu yang baru saja disajikan di atas meja.

"Maunya sih begitu, Kak, tapi ...." Tisha menggantungkan kalimatnya, kemudian memandangku saat aku menyesap es teh manis.

"Kenapa natap gue begitu?"

"Eh, enggak apa-apa kok, Kak." Tisha buru-buru menarik piring berisi kerang dara ke hadapannya.

"Mas, aku minumnya nambah ya, air mineral aja." Naya berujar kepada pelayan yang membawa pesanan kami.

Tanpa berlama-lama, aku mulai menyatap bebek gorengku dengan lahap. Berusaha mengabaikan maksud ucapan Tisha tadi. Kami pun makan dalam hening karena aku dan Lian sudah lumayan kelaparan.

Usai menyantap makan malam yang kemalaman. Kami keluar tenda warung. Aku sudah siap berjalan ke tempat di mana motorku terparkir. Namun, tiba-tiba saja Lian menarik lenganku.

"Nay, lo pulang naik apa?" tanyanya saat Naya berjalan di depan kami.

"Naik kereta. Ini mau nebeng Tisha sampai stasiun," jawab gadis itu sembari memperhatikan kami berdua. Tisha kembali menghampiri usai melihat kami masih belum berpisah.

"Jadi enggak ada yang jemput?" Naya menggeleng. "Bisma mau nganterin nih, Nay. Dia lagi butuh udara segar katanya. Keliling sambil nganterin lo pulang kayaknya cocok banget sih."

"Beneran Kak Bis?" Ini pertanyaan Tisha. Raut wajahnya berubah kaget diikuti kebingungan.

"Lian terlalu berlebihan," jawabku sekenanya.

Tisha terlihat ingin menyanggah namun Lian kembali bicara, "Tisha 'kan naik mobil, ribet lho kalau harus ke stasiun dulu. Lagian lo beda arah sama mereka berdua 'kan, Tis?"

Tisha bergeming, sementara Naya menatapku dan Lian bergantian.

"Aku enggak masalah kok naik kereta. Udah biasa."

"Malam ini jangan dibiasain dulu deh, Nay. Lagian ya, Nay, Bisma tuh ada yang mau diomongin sama lo."

"Oh ya? Beneran, Bis?"

Oh Gusti, boleh tidak sih mulut Lian kubungkam dengan kerang biar diam?

"Hmm, itu ...."

"Hasil fotoku ada yang enggak oke?"

"Enggak, bukan itu."

"Nanti dijelasin di jalan aja. Udah, buruan sana kalian berdua naik motor. Nanti keburu turun hujan!"

Lian sudah mendorong bahuku agar berjalan maju. Aku memelototi Lian sembari berkomat-kamit berisi umpatan, tetapi ia justru memasang senyum super manis. Benar-benar menyebalkan ya anak itu. Aku mendesah panjang karena tidak enak kepada Naya.

Akhirnya, kami meninggalkan Lian dan Tisha. Aku segera mengajaknya berjalan menuju letak di mana motorku terparkir. Rasa canggung masih mendominasiku. Lagi pula, Lian terlalu memaksa. Bagaimana kalau Naya merasa tidak nyaman?

"Sorry, Nay. Lian terkesan maksa kamu buat ikut aku banget ya tadi?" tanyaku saat sudah berada di sebelah motorku.

"Enggak kok, santai aja. Cuma memang aku agak bingung, kenapa dia kayak kepingin kita deketan?"

"Dia memang suka iseng sih."

"Apa Lian belum tau ya, kalau aku udah punya tunangan?"

"Heum, yah bisa jadi. Sorry ya, Nay, kalau kamu merasa terganggu."

"Santai aja, Bis. Terus, ini kamu beneran mau nganterin aku?"

"Ayo aja sih kalau kamu mau."

"Aku mau kok, Bis. Lumayan 'kan hemat ongkos." Naya tersenyum dan itu sangat manis.

Sepertinya, aku kembali jatuh ke dalam pesona Naya. Atau memang, selama ini aku tidak pernah berpaling darinya?

Aku melajukan kendaraan roda duaku. Mulai membelah Jalan Raya Kedung Halang, bergabung dengan kendaraan lain. Momen ini bagaikan mimpi bagiku. Duduk di atas motor denganku, Naya justru terasa tidak nyata. Aku pernah memikirkan tentang momen pertemuan kami. Aku berpikir, saat kami kembali bertemu, aku bisa mengulang kebersamaan kami. Bertualang bersama, saling berbagi cerita, dan makan sepiring berdua. Nyatanya, semua itu hanya khayalanku saja.

Tepat melewati lampu lalu lintas, hujan mengguyur bumi. Membasahi tubuh kami secara cepat. Aku memeperhatikan sekeliling, lebih tepatnya mencari tempat berteduh. Kenapa ucapan Lian bisa terbukti begini sih? Aku tahu Bogor sering sekali diguyur hujan, tetapi kenapa harus malam ini juga turunnya?

"Hujan, Nay. Kita neduh dulu ya di warung itu. Aku enggak bawa jas hujan soalnya."

"Iya boleh, Bis."

Kami turun. Naya berlari lebih dulu ke arah warung, aku pun menyusulnya usai memarkirkan motor. Kami berdiri di depan warung kecil pinggir jalan setelah meminta izin kepada pemiliknya. Masalahnya, tubuhku dan Naya cukup menutupi bagian depan warung. Bahkan baju kami masih kena cipratan hujan akibat angin hujan yang lumayan kencang.

Detik sudah berganti menjadi menit. Namun, buliran air dari langit masih juga belum mau reda.

"Hujannya lumayan deras ya, mana udah malem banget. Kayaknya bakalan awet nih hujannya."

Kasihan Naya. Aku juga salah karena tidak membawa jas hujan. Baru ingat juga kalau benda itu masih kutaruh di sepeda. Karena tidak ingin membuat Naya bersedih, aku berusaha menghiburnya.

"Just to enjoy the moment, Nay. Hujan juga 'kan berkah." Naya memandangku dengan tatapan yang berbeda seperti ada hal yang ingin dikatakan. Lalu, puluhan detik berlalu ia memegang bagian kepalanya. Aku masih memperhatikan gerakannya sampai Naya sesekali meringis.

"Kamu kenapa, Nay?" Aku khawatir melihatnya seperti itu, sebab Naya tampak sangat kesakitan. Aku membawanya duduk di kursi yang ada di pojokan. "Teh, boleh minta air hangat?"

"Tunggu sebentar ya, A." Pemilik warung tersebut segera membuatkan pesananku.

"Apa karena kehujanan? Maaf ya, Nay. Kalau aku tau bakalan hujan, mending tadi kamu naik kereta aja."

"Enggak apa-apa, Bis. Aku memang kadang suka sakit kepala kalau lagi kecapekan mikir."

"Oh, ya?" Aku masih memandang Naya yang tampaknya sudah bisa mengatur rasa sakitnya. Meskipun sesekali gadis itu masih meringis.

"Ini A, air hangatnya."

"Makasih ya, Teh." Gelas berisi mimuman pesananku kini sudah pindah tangan. "Diminum Nay, biar tubuh kamu hangat. Atau kamu mau sekalian minum obat biar aku beliin."

"Enggak usah, Bis. Aku minum ini aja." Naya menyesap minuman hangat tersebut dengan pandangan menerawang. "Makasih ya, Bis."

"Aku yang minta maaf, Nay. Gara-gara naik motor bareng aku, kamu jadi kehujanan begini." Naya hanya tersenyum kecil, setelah itu kembali meneguk minumannya.

Aku tidak tahu apa yang sedang Naya pikirkan? Namun, aku teringat Naya yang dulu. Naya yang bersandar di bahuku saat ia sedang berada dalam masalah. Naya yang mampu mencurahkan isi hatinya tanpa kuminta. Naya yang membuatku selalu merasa baik-baik saja tanpa perlu mengkhawatirkannya seperti sekarang.

Kalau boleh egois, aku ingin mengatakan, bahwa saat ini aku merindukanya.

09 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top