RTI 11: Ada Luka
AKU berdiri di depan rumah sederhana yang terletak di daerah Ciomas. Rumah bergaya minimalis ini terlihat begitu teduh dan sunyi. Om Ardi memang sangat rewel terhadap kebersihan dan ketenangan rumah. Semua desain interior pun beliau yang mengatur, dibantu oleh teman arsiteknya. Untuk rumahnya, Om Ardi menginginkan plafon yang tinggi agar memudahkan udara panas bertukar ke udara dingin sebelum mencapai ke bawah.
Om Ardi bilang, rumah yang nyaman dapat dilihat dari sirkulasi ruangannya. Penggunaan jendela-jendela yang banyak dapat membantu udara serta cahaya masuk dengan lancar ke dalam rumah. Selain itu, posisi rumah terhadap matahari juga sangat berpengaruh bagi kenyamanan sebuah rumah tinggal. Maka tidak heran, saat aku diam-diam merokok di kamar mandi, Om Ardi langsung marah dengan cara memotong uang sakuku.
Kejadian itu sudah sangat lama, kalau tidak salah waktu aku naik ke kelas delapan. Aku hanya coba-coba merokok, karena temanku pernah bilang kalau cowok tidak merorok itu tidak keren. Maka dari itu, aku berusaha latihan. Sialnya, aku salah tempat. Dan lebih sial lagi aku ketahuan Om Ardi. Sejak saat itu, aku memilih mendapatkan cibiran dari temanku dibandingkan uang sakuku dipotong lagi. Aku masih butuh uang daripada rasa gengsi.
Sayup-sayup suara Tante Yuni yang memanggil nama Brisa terdengar dari dalam rumah. Itu artinya, ia sudah menutup restorannya atau mungkin sudah ada yang mengambil alih. Aku sempat mendengar, kalau kini restoran masakan Manado Tante Yuni sudah berkembang dan semakin dikenal.
Aku menarik napas perlahan, jantungku tiba-tiba berdebar lebih cepat dan telapak tanganku pun mulai berkeringat. Sahutan dari Om Ardi setelah aku mengetuk pintu, membawa posisi tubuhku lebih tegak.
"Bisma." Om Ardi begitu terkejut saat melihat kedatanganku. Ia masih mengenakan koko dan sarungnya.
"Sehat, Om?" tanyaku sembari menyalami punggung tangan Om Ardi.
"Sehat. Kamu gimana?"
"Yah, begini-begini aja sih, Om."
"Kamu tuh kalau ditanyain." Om Ardi menepuk bahuku dan aku membalasnya dengan cengiran lebar. "Masuk, Bis!" Aku mengangguk lalu mengekor di belakang Om Ardi.
"Siapa, Pah?" Tante Yuni muncul dengan apron yang melekat di tubuhnya.
"Ada Bisma, Mah." Tante Yuni tidak beda jauh ekspresinya dengan Om Ardi saat melihatku pertama kali.
"Aduh Bisma, kamu itu ke mana saja baru kelihatan?" Aku pun mencium tangan Tante Yuni lalu memberikan bungkusan kotak berisi kue lapis talas kesukaannya. "Sudah sukses nih kayaknya, jadi lupa sama kita di sini."
"Mah!" Om Ardi seperti memberikan kode rahasia kepada istrinya.
"Maaf Tante, Bisma baru bisa main lagi. Kerjaan memang lagi hectic banget. Kadang weekend Bisma ambil side job, lumayan buat jajan-jajan."
"Bagus deh kalau kamu sudah bisa mengurus diri sendiri." Aku hanya mengulas senyum menanggapi kalimatnya. Tante Yuni lalu kembali ke dapur setelah pamit menaruh kue dan membuatkan minum untuk kami.
Aku pun mulai mengobrol banyak hal dengan Om Ardi. Mulai dari pekerjaan sampai hobi naik sepeda yang akhir-akhir ini digelutinya. Padahal dulu beliau paling tidak mau naik sepeda setiap kali kuajak berkeliling di sekitar kompleks. Om Ardi lebih memilih lari atau berenang. Namun, setelah mendengar temannya terkena serangan jantung dan meninggal, Om Ardi mau hidup lebih sehat lagi.
"Kamu sudah makan malam atau belum?" Tante Yuni bertanya setelah meletakkan cangkir berisi teh hangat di depanku.
"Kebetulan banget belum, Tan."
"Ya sudah, nanti kita makan malam bareng saja. Tante lagi panasin semur ayam. Mungkin Brian sebentar lagi juga pulang." Aku menyetujui saran Tante Yuni. Namun, tiba-tiba saja aku ingin melihat keadaan kamarku waktu masih tinggal di sini.
"Tante, Om, kamar Bisma masih ada enggak?" tanyaku sok polos.
"Ya masih lah, Bis. Memang kamu pikir mau dipindahin ke mana?" Tante Yuni melempar pertanyaan dengan wajah sedikit kesal.
"Hehe, kirain."
"Kamu mau menginap, Bis? Biar nanti dibersihkan Mbak Nana dulu."
"Enggak, Om, Bisma cuma mau nengok sebentar. Boleh, enggak?"
"Boleh saja, tapi agak berdebu karena jarang dibersihkan."
"Enggak apa-apa Om, Bisma cuma mau lihat aja kok. Bisma ke atas dulu ya, Om, Tante."
Ada rasa syukur mengetahui bahwa kamarku masih ada. Maksudnya, kupikir Om Ardi akan menjadikan kamarku sebagai gudang atau mungkin dijadikan kamar tamu. Akan tetapi, semua itu tidak terjadi dan aku tahu satu hal, setidaknya mereka masih menganggapku sebagai keluarga.
Langkah kakiku menapaki anak tangga yang dulu sering kujadikan perosotan. Di lantai dua ada tiga kamar. Kamarku, Brian dan Brisa. Kulihat Brisa sedang berjalan bolak-balik di dalam kamarnya. Aku bisa melihatnya karena pintu kamar gadis itu tidak ditutup. Brisa masih asyik tertawa dengan seseorang di seberang telepon. Saat ia menoleh ke arahku, aku melambaikan tangan dengan senyum ceria. Namun, gadis itu justru membalasnya dengan gesture mengusir. Aku pun mencebikkan bibir bawah ke arahnya. Akan tetapi percuma, Brisa kembali fokus ke sambungan telepon di genggaman tangannya.
Lantas, aku segera membuka pintu kayu bercat cokelat. Aroma lembap dari kondisi ruangan menguar, dan hal itu membuatku bersin. Ini pasti karena kamarku jarang mendapatkan sinar matahari yang cukup. Aku berjalan menuju meja belajar, di rak buku masih berjejer rapi koleksi komikku. Mulai dari Dragon Ball, Crayon Shincan, Kungfu Boy dan banyak lagi. Waktu pindah ke studio, aku sengaja tidak membawanya karena kupikir tidak akan sempat membacanya lagi.
Kuraih satu frame berisi fotoku dan Brian yang sedang memegang piala. Kalau tidak salah ingat, waktu itu Brian juara Olimpiade Fisika Nasional. Dan foto itu diambil setelah aku memaksanya. Lihat saja, wajahnya di foto ini tidak terlihat senang sama sekali.
Setelah kuingat-ingat, Brian memang jarang berbagi kisah denganku. Hanya aku yang lebih sering bercerita tentang banyak hal, termasuk saat aku bertemu Naya di India.
"Kak Bisma, disuruh turun sama Mama dan Papa!" Brisa menyembulkan kepalanya di balik pintu. Aku masih diam kelewat kaget, karena penampilannya yang kini sudah rapi dengan gaya rambut dikepang. Aku menaruh kembali frame tersebut di tempatnya. "Buruan!"
"Iya, bawel." Aku menghampirinya lalu berusaha meraih pundaknya untuk kurangkul. Sebelum tanganku menyentuh ujung rambutnya, Brisa langsung menghindar.
"Awas ya, kalau berani nyentuh rambutku! Aku bakal marah besar. Ini butuh dua jam tau, supaya bisa kayak begini." Wajah yang dipasangnya saat ini sungguh sangat tidak bersahabat.
"Ya ampun, aku juga bisa kalau cuma ngepang rambut begini mah."
"Tapi ini bukan kepang biasa, Kak Bis. Ini namanya french braids style."
"Ah, sok Inggris," cibirku. "Tapi ini kamu mau ke mana? Rapi bener, wangi lagi." Aku mengendusnya, sementara Brisa mengerutkan kening dalam-dalam.
"Ke acara ulang tahun Katingku."
"Pasti cowok?"
"Kok tau?"
"Cowok yang kamu taksir ya?"
"Kok tau lagi. Kak Bisma udah alih profesi jadi cenayang ya?" Aku tertawa sebentar kemudian menepuk pundaknya pelan.
"Enggak harus jadi cenayang buat nebak penampilan kamu, Bris. Kamu dandan cantik begini pasti mau show up sama seseorang. Jangan-jangan Kating yang kamu taksir itu enggak suka sama kamu ya?"
"Ih nyebelin." Brisa mengentakkan kakinya lalu turun tangga lebih dulu. "Mah, Kak Bisma nyebelin nih masa doain Brisa enggak disukai cowok." Gadis itu berteriak dengan nada kesal.
Dasar, budak baong. Awas saja nanti!
Usai tiba di ruang makan, anak itu malah sudah menghilang. Kulihat Brisa sudah berjalan menuju halaman rumah setelah pamit kepada orang tuanya. Tante Yuni bilang, taksi online pesanannya sudah tiba.
"Ayo Bis, makan bareng!" Om Ardi berujar setelah keluar dari kamar mandi.
"Iya, Om." Aku berjalan menuju wastafel untuk cuci tangan, sementara Om dan Tante sudah mengambil tempat duduk.
"Itu pasti Brian," kata Tante Yuni saat kami mendengar suara mobil di depan. Aku menoleh, tetapi masih melanjutkan niatku mencuci tangan.
"Malam Om, Tante. Maaf ya, lama nunggu." Gerakan cuci tanganku terhenti, bahkan sabun ditangan masih menggumpal belum sempat kubilas.
Suara itu ... tidak salah lagi.
Aku segera menyelesaikan urusan cuci tangan. Namun, langkah kakiku terasa berat saat melihatnya di ruang makan. Tak hanya itu, tubuhku pun seolah membeku karena dugaanku tepat sasaran. Sosok itu semakin jelas di bawah gemilang cahaya ruang makan. Ditambah, lesung pipi di sebelah kanan membuat senyumannya terlihat sangat manis.
"Bisma, kenapa berdiri di situ? Sini, cepat makan!"
"Ah ... iya, Om." Aku menghampiri mereka dengan langkah cepat.
"Bri, sehat?" Aku mengulurkan tangan ke hadapannya, dan lelaki itu menyambutnya agak canggung.
"Kok ada Bisma di sini?" cicit Naya yang terlihat sangat bingung.
Bukannya dulu aku pernah bercerita ya, kalau aku dan Brian bersaudara?
Kami pun makan dengan tenang. Aku lebih banyak mendengarkan cerita antara Tante Yuni dan Naya. Mereka berdua terlihat cocok satu sama lain. Obrolan keduanya mengalir begitu saja, sesekali membicarakan sifat Brian yang dingin. Om Ardi juga menjelaskan hubunganku dengan mereka kepada Naya.
Tante Yuni lalu bercerita mengenai pertunangan Brian dan Naya. Mereka meminta maaf karena tidak memberitahuku. Mereka bilang, khawatir kalau aku sedang sibuk bekerja karena pertunangan Brian dan Naya diadakan ketika mereka liburan ke Singapura.
Aku tidak bisa menuntut apa pun, toh semuanya di luar kendali dan bukan kapasitasku untuk ikut campur. Mungkin, detik ini juga aku harus mulai merelakan Naya dan berhenti mengkhawatirkannya.
Usai makan malam, kami beranjak ke ruang keluarga. Namun, aku memilih ke teras untuk mencari udara segar. Dulu, aku pun lebih senang nongkrong di teras dibadingkan berkumpul di ruang keluarga. Kendati demikian, sesekali aku ikut bergabung dengan mereka hanya demi sopan santun. Bukan tidak suka. Hanya saja, selalu ada perasaan lain yang menyeruak di sudut hatiku saat melihat Om Ardi dan Tante Yuni bercengkrama dengan anak-anak mereka. Alasan itulah yang membuatku selalu pulang telat ke rumah, selain memang ada jadwal latihan olahraga.
Brian muncul dengan dua cangkir kopi di tangan kanan dan kirinya. Ia lalu meletakkan di meja bundar di depan kami.
"Diminum, Bis."
"Thanks, Bri."
"Sebelumnya sorry, Bis." Brian memulai dialognya. Suaranya terdengar putus-putus. Apa lelaki itu sedang gugup? Aku meraih cangkir kopi lalu menyesapnya perlahan. "Karena gue enggak pernah bilang soal ini ke lo. Gue cuma takut kalau--"
"It's okay, Bri. Gue ngerti."
"Serius?"
"Iya."
"Harusnya lo marah sama gue, Bis."
"Buat apa?"
"Memangnya lo enggak cemburu lihat gue sama Naya?"
"Kenapa gue harus cemburu sama hubungan kalian?" Aku tersenyum miris.
"Waktu lo ketemu Naya di India 'kan lo kayak jatuh cinta banget sama dia, sampai lo nyari tau alamat Naya ke pihak sekolahan."
"Kalau pun gue jatuh cinta, Naya belum tentu punya perasaan yang sama 'kan, Bri? Buktinya, dia milih lo."
"Sorry."
"No. Ini bukan salah lo. Enggak ada yang salah di sini. Lo enggak perlu khawatir, gue baik-baik aja. Congrats ya Bri, atas pertunangan kalian."
"Thanks, Bis."
Aku memasang senyum. Namun, aku masih tidak tahu arti senyum yang kuberikan untuk Brian. Hatiku saat ini terasa hampa, layaknya balon udara yang diterbangkan ke udara. Tinggal menunggu angin akan membawanya ke mana.
Tisha mendatangi mejaku, ketika aku sedang fokus melakukan teknik non-destructive pada gambar matahari terbenam. Aku masih bergeming sampai gadis itu menyodorkan map ke hadapanku.
"Ini hasil meeting kemarin. Sudah dapat approval dari Bu Elda, tinggal dikirim ke bagian layout."
"Terus?" Aku menaikkan sebelah alis ke arah gadis itu.
"Kak Bisma belum tanda tangan."
"Masa sih?" Tisha mengangguk yakin.
"Kemarin enggak ingat? Selesai meeting, Kak Bisma langsung kabur aja."
Saat meeting kemarin konsentrasiku lumayan pecah, karena terus memikirkan kejadian di jalan Dramaga. Lebih tepatnya, saat Naya masuk ke sebuah mobil yang kuyakini milik Brian. Namun, sekarang semuanya sudah jelas. Bahkan, aku sudah tidak berhak lagi memikirkan gadis itu.
"Sorry kalau begitu. Ini, di sini 'kan tanda tangannya?" Aku menunjuk kolom yang dimaksud oleh Tisha.
"Kak Bisma kenapa? Lagi ada masalah ya?" Tisha menatapku dengan raut muka khawatir.
"Ah, enggak kok, Tis. Gue cuma agak capek aja, kurang tidur kayaknya." Aku beralasan.
"Pokoknya kalau Kak Bisma butuh teman ngobrol, Tisha siap mendengarkan."
Aku mengulas senyum formal lalu membalas, "Thanks ya."
Siang ini, aku dan Lian makan di sekitar kantor karena tidak ingin telat meeting dengan penulis untuk project ulang tahun Kota Bogor yang harus release pekan ini.
"Naya jadi ke Jagatkarta, Bis."
"Lo ngasih pertanyaan atau pernyataan nih?"
"Pernyataan Bis, 'kan enggak ada tanda tanyanya."
"Ya mana gue tau lo pakai tanda tanya atau enggak, Yan." Lian malah tertawa ketika aku sudah mulai sewot. Sepertinya lelaki ini memang sedang menguji kesabaranku.
"Katanya nanti sore Naya mau ke kantor buat ngasih hasil hunting yang di Pura Agung Parahyangan."
"Ya udah, terus?"
"Lo kenapa sih? Muka lo lesu banget."
"Ngantuk," dalihku sembari menyesap kopi hitamku yang sudah mulai dingin.
"Masih kepikiran sama sikap Naya yang berubah itu?"
"Gue udah tau alasan Naya begitu."
"Apaan, Bis?"
"Naya udah tunangan sama Brian."
"Brian? Brian sepupu lo yang dokter itu?" Aku menjawab dengan anggukan kecil. Lian masih terheran-heran diikuti bola matanya yang melebar. "Wah, pinter banget si Naya nyari cowok. Naya bisa memperbaiki masa depan kalau nikah sama dokter."
"Maksud lo apa?"
"Eh, maksudnya. Parah, Bis, ini parah banget. Lo dicampakkan bahkan sebelum ada kata jadian. Pahit banget kisah romansa lo, Bis."
Boleh tidak aku mengumpat?
Ah, jangan!
Aku ini orang sabar. Aku hanya akan meminta kepada Tuhan agar diberikan sahabat yang lebih baik, lebih bijak dan lebih beradab dibandingkan Lian. Amin.
Bisma: Perih, Gaes.
Notes:
- Budak baong: Anak nakal
- Non-destructive: pengeditan gambar atau foto yang tidak merusak gambar aslinya.
22 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top