RTI 10: Ada Tanya
PIKIRANKU masih bercabang ke mana-mana ketika berusaha memecahkan kerumitan yang terjadi. Beberapa kali kutepis pun, gadis itu memang Naya. Shanaya Juanita. Kami satu SMA, sekaligus gadis yang menghabiskan waktu bersamaku di India dua tahun yang lalu.
Namun, kenapa sekarang ia justru mengajukan diri sebagai fotografer di Andromedia? Bahkan yang kutahu, Naya tidak pernah menggunakan kamera digital. Ia hanya pernah mencoba kamera instan milikku. Yah ... aku tahu, bisa saja selama dua tahun ini Naya mempelajari teknik fotografi. Aku pun masih ingat kalau Naya termasuk anak yang cepat sekali menangkap materi.
Akan tetapi tetap saja, aku masih tidak percaya bahwa kami kembali bertemu. Dan Naya ... Naya begitu berbeda. Sejak kapan gadis itu ada di Indonesia? Kalau memang Naya sudah lama berada di Kota Bogor, kenapa tidak mencariku? Seharusnya ia datang ke tempat kami membuat janji bertemu.
Tunggu!
Itu artinya, penglihatanku waktu itu tidak salah.
Akan tetapi, pertama kali melihatnya lagi, aku kelewat bingung harus bertanya mulai dari mana, sedangkan Naya terlihat biasa saja. Terkesan dingin bahkan. Tidak seperti dua tahun lalu. Naya yang ekspresif ketika berbicara denganku.
"Bis, lo yakin kenal sama Naya?" Pun Lian masih sama penasarannya dengan fakta yang hari ini terjadi. "Lo lihat sendiri tadi ekspresi Naya waktu ketemu sama lo. Kayak enggak kenal deket, Man. Lo enggak ngarang 'kan kalau pernah jalan sama dia di India?"
"Serah lo deh, Yan!"
Sedari tadi lelaki itu memang senang menggangguku dengan pertanyaan yang sama. Tidak tahu apa, kalau aku pun masih memeluk kecemasan dan rasa ingin tahu yang besar.
"Sorry kalau gue terkesan enggak percaya, tapi lo lihat sendiri tadi. Bagi orang yang kenal deket, seharusnya respons Naya enggak begitu sama lo."
Lian benar.
Aku teringat ucapan Naya saat di ruang meeting tadi.
"Oh Bisma yang kapten basket itu ya. Kalau aku enggak salah juga nih, waktu SMA kamu anak yang mau ngintip itu 'kan? Aku ingat waktu itu sempat mergokin kamu di depan toilet cewek."
Lagi-lagi kenangan itu yang diingat oleh Naya. Bukankah dua tahun waktu yang belum terlalu lama untuk dilupakan begitu saja, dibanding kejadian di masa SMA? Apa memang ingatan gadis itu sebegitu buruknya sampai melupakanku? Ah tidak, Naya tidak melupakanku. Hanya ... kenangan kami.
"Apa mungkin terakhir kali lo ada salah sama dia, Bis?"
"Gue enggak yakin, tapi kalaupun gue ada salah, Naya pasti bakalan tanya. Naya tipe orang yang suka bilang langsung daripada diem aja. Tapi, Yan, setelah hari itu ... Naya kayak ngilang aja gitu."
"Asli ini aneh, gue jadi penasaran, Bis."
"Lo jangan nanya apa pun dulu ya sama Naya, awas aja kalau sampai lo macem-macem!" Lian mencebik sembari melipat kedua tangaya di depan dada.
"Kelakuan sad boy memang mirip sama cewek PMS ya, bawaannya sensi melulu."
"Kampret!" Aku melempar bolpoin ke arahnya, tetapi meleset dan mendarat di lantai. Lian mengambilnya lalu mengembalikan lagi ke atas mejaku.
Tumben sekali Lian tidak membalas melemparnya. Ah, bisa jadi ia sedang berusaha memahami dan menghiburku. Yah, meskipun dengan caranya. Lagi pula, bisa-bisanya Lian bilang kalau aku sensi.
Lupa diri memang itu anak.
Aku masih ingat saat Lian harus LDR-an dengan pacarnya --yang kini sudah jadi mantan. Tiap ia bosan, pasti langsung datang ke studioku. Mending kalau bawa makanan atau camilan selagi aku kerja, ini hanya bawa badan. Ditambah sikapnya merepotkan sekali. Sebentar-sebentar bilang kangen padaku, padahal ia baru saja melakukan video call dengan pacarnya.
Kalau sudah begini, siapa yang lebih cocok disebut sad boy?
"Terus, lo mau diem aja? Dua tahun lho. Sekarang saat dia udah ada di sini, kenapa lo datar aja jadi cowok?"
"Ya gue juga harus nyari momen yang pas lah, Yan, buat buka obrolan tentang dua tahun yang lalu." Aku menyesap kopiku sampai tak tersisa, Lian masih diam menungguku bicara lagi, "Masa iya, gue langsung nanya ke Naya. Hai, Nay, kamu lupa sama aku? Kita 'kan dulu traveling ke India bareng, terus kamu bilang cinta ke aku." Aku menyunggingkan senyum miris.
"Iya juga sih. By the way, lo masih nyimpen foto yang Naya kasih terakhir kali?"
"Masih."
Aku membuka laci teratas, lalu mengambil foto yang dimaksud oleh Lian. Foto Naya berisi catatan di belakangnya masih kusimpan rapi di sana. Lian tampak terkejut sembari meraih foto di tanganku.
"Kalau jadi lo, mungkin gue udah nyari cewek lain sih." Aku tertawa miris lagi ketika tangan Lian kembali menyerahkan foto tersebut.
"Gue balik deh." Aku mengenakan jaket setelah layar komputer menggelap.
"Jangan lupa, besok lo yang hunting foto sama Naya. Be a professional!"
"Hmm." Aku beranjak dari tempat duduk seraya menyampir ransel. "Gue duluan."
"Hati-hati lo!" Aku melemparkan ibu jari ke arahnya kemudian meninggalkan ruangan.
Seperti permintaan Bu Elda, aku dan Naya berencana hunting ke lokasi yang sudah ditentukan. Acap kali atasan kami meminta para editor turut meninjau jalannya photoshoot di lokasi, terutama untuk project penting seperti ini. Tidak sering memang, hanya di awal project saja. Katanya, supaya tidak ada kesalahpahaman dalam mengartikan konsep yang sudah dibuat.
Aku sudah tiba di Gereja Katedral Bogor. Seperti yang sudah disepakati sebelumya, Bu Elda akhirnya menyetujui konsep yang aku dan Lian buat. Kami pun sudah membicarakannya dengan penulis artikel yang terlibat. Pilihan kami jatuh pada gedung-gedung yang memiliki gaya arsitektur neo-gothik.
Karena ini bukan hari Minggu, halaman gereja tidak begitu dipadati kendaraan. Hanya ada dua mobil dan beberapa sepeda motor. Sembari menunggu kehadiran Naya, aku memutuskan berkeliling dulu untuk mengambil gambar melalui kamera ponsel. Beberapa orang terlihat berlalu-lalang memasuki gereja.
Sepuluh menit berlalu, sosok yang dinanti pun kini muncul di hadapanku. Gadis itu terlihat mengatur napas dengan peluh di sekitar dahinya.
"Duh ... maaf, aku telat banget ya?" katanya menatapku dengan wajah cemas.
"Kita masih punya cukup waktu. Kamu ... kayak kecapekan banget?"
"Taksi online yang kutumpangi mogok enggak jauh dari stasiun. Jadi, aku jalan sampai sini."
"Jalan?" Aku menatapnya khawatir. Naya membuka ranselnya seperti mencari sesuatu. Ia menarik tisu lalu mengusap peluhnya dengan gerakan cepat. "Memang enggak pesan ojek online?"
Naya menggeleng cepat. "Kelamaan."
Setelah menaruh tisu kembali ke ransel, Naya mengambil air mineral. Ia lalu memberikan satu botol lain padaku. Aku menerimanya dengan penuh tanya diliputi rasa bingung.
"Ini ...."
Seperti mengulang kebersamaan kita, Nay.
"Diminum, Bis!"
"Ah, iya. Makasih." Naya mengangguk lalu menyimpan kembali botol minum usai meneguknya.
"Ini kita langsung masuk atau gimana? Kamu udah izin, Bis?"
"Tadi aku udah kasih surat izin sama romo yang bertanggung jawab di sini."
"Oke kalau begitu."
"Kamu mau foto di bagian dalam gedung atau luar dulu?"
"Di dalam dulu deh."
"Oke, mumpung di dalam lagi enggak begitu rame." Kami lalu masuk ke dalam gereja.
Naya mulai mengeluarkan kamera digitalnya. Tangannya begitu lihai memainkan tombol-tombol di sana. Aku terus memperhatikannya dalam diam ketika Naya membidik objek yang diinginkan. Naya benar-benar paham kamera layaknya profesional. Itu artinya, selama ini ia memang belajar memotret. Naya masih fokus membidik ke bagian langit-langit yang memberikan kesan mewah dengan arsitektur klasik. Ia lalu beralih ke bagian altar untuk mendapatkan spot ruangan secara keseluruhan dari sudut depan.
Usai menghasilkan banyak foto, Naya mengajakku ke luar gedung. Kali ini ia akan memotret bagian depan dan samping dari jarak jauh. Beberapa kali aku membantunya mengarahkan angle yang pas. Namun sepertinya hal itu tidak terlalu berpengaruh, sebab Naya sudah sangat cermat melihat spot yang bagus.
Kami memutuskan pergi ke jalan Dramaga setelah tugas memotret selesai. Naya mengeluh kelaparan. Waktu memang sudah memasuki jam makan siang, dan aku mengajaknya menikmati soto mi di sekitar IPB.
"By the way, kayaknya ada yang mau kamu tanyain ke aku?" Naya mulai bertanya saat soto di mangkuknya sudah habis. Aku sedikit bingung dengan pertanyaannya namun merasa gugup di waktu bersamaan.
"Aku?" Ia mengangguk yakin.
"Soalnya gerak-gerik kamu kayak ada yang mau ditanyain ke aku. Apa aku ada salah sejak kita ketemu kemarin?"
"Oh, itu ...."
"Aku bisa baca tatapan kamu, Bis."
"Kenapa tatapanku?" Aku mulai cemas. Naya memang terbilang peka dengan hal-hal yang menyangkut behaviour seseorang.
"Tatapan seseorang yang enggak percaya sama kemampuan motret aku."
"Nay, aku ... enggak begitu."
"Selama ini, banyak yang meragukan kemampuan memotretku, hanya karena aku cewek. Mereka berasumsi, kalau aku cuma modal cantik doang. Memang kenapa kalau aku cantik dan bisa motret?" Tatapan Naya kian menajam, dan aku bisa menangkap kegusaran di air mukanya.
"Aku enggak pernah memandang kemampuan seseorang dari gendernya kalau kamu mau tau. Aku harap, kamu juga enggak langsung menarik kesimpulan seperti itu! Aku cuma ... yah intinya, ada hal lain yang belum bisa aku jelaskan ke kamu."
"Maksudnya?"
"Ini kamu udahan 'kan makannya? Biar aku yang bayar." Aku langsung menuju kasir tanpa menjawab rasa penasaran Naya. Aku hanya tidak ingin membahas hal pribadi saat ini. Seperti yang Lian katakan kemarin, kalau aku harus bisa bersikap profesional. Yah, meskipun sulit.
"Kamu langsung balik ke kantor?" tanya Naya ketika kami sudah keluar rumah makan.
"Iya, aku mau langsung lihat hasil foto kamu. Bu Elda minta editan sore ini buat besok di-review pas meeting."
"Oh begitu."
"Untuk hunting selanjutnya kamu bisa sendiri 'kan?"
"Enggak masalah."
"Oke. Ini kamu mau naik apa?"
"Aku nunggu dijemput, soalnya mau pergi ke tempat lain lagi."
"Mau aku temenin sampai jemputan kamu datang?"
"Kamu enggak keberatan?" Ia menatapku dengan raut penuh tanya.
"Aku masih punya waktu," kataku seraya melihat jam tangan di lengan kiri. Masih ada waktu satu jam untuk meeting dengan tim kreatif.
"Makasih kalau begitu."
Aku dan Naya sama-sama diam menunggu. Gadis ini benar-benar berubah, lebih pendiam dan agak dingin di waktu tertentu. Lantas, kalau aku bertanya tentang kejadian dua tahun yang lalu, apa tidak jadi masalah?
Damn, kenapa aku jadi plin-plan begini sih?
Lagi pula, bagaimana kalau Naya memang menginginkan ini terjadi? Maksudku, apa Naya semacam gadis yang sering tebar pesona dan membuat para lelaki dengan mudah jatuh cinta kepadanya?
Menggoda.
Iya, bisa saja yang dilakukan Naya di India hanya sekadar godaan, termasuk pernyataan cintanya kepadaku.
Bahkan setelah aku sampai Indonesia dan ingin menghubunginya, gadis itu seolah lenyap ditelan jarak.
Aku sempat bertanya kepada Radha lewat email yang pernah ia bagikan malam sebelum pernikahannya. Namun Radha mengatakan, kalau sehari setelah aku sampai di tanah air, Naya juga pulang.
Kudu kumaha ieu teh? Aih, bodo pisan.
"Bis!" Panggilan Naya melenyapkan segala kecamuk di dalam benakku. "Jemputan aku udah sampai, tapi dia nunggu di pinggir jalan raya. Aku ke sana ya."
"Ya udah bareng aja, aku juga mau ke jembatan penyebrangan jalan." Naya tampak bingung, tetapi ia tidak bertanya apa pun. "Ada perlu," kataku pada akhirnya.
Sebenarnya, ini hanya alasanku saja. Aku juga ingin tahu, kira-kira siapa yang menjemput Naya?
"Itu mobilnya," tunjuk Naya ke arah depan saat kami sudah berada di pinggir jalan raya. "Aku duluan ya, makasih untuk hari ini."
"I-iya." kataku pelan. Aku bahkan belum mengatakan hati-hati kepadanya, karena atensiku lenyap oleh kendaraan roda empat berwarna hitam yang kutahu milik Brian.
Monmaaf kelamaan banget update-nya. Mood nulis lagi super jelek, jadi kemarin-kemarin aku rehat dulu.
Note:
Kudu kumaha ieu teh? Aih, bodo pisan: Harus gimana ini? Aih, bodoh banget.
16 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top