RTI 1: Kepingan Rasa

KAYUHAN sepeda kian memelan saat roda ban meluncur turun di jalan berkelok-kelok yang lumayan curam, membuatku harus berkonsentrasi penuh dan memainkan rem cakram dengan baik. Kendaraan yang berlalu-lalang pun sudah terlihat ramai dari arah sebaliknya. Mountain bike milikku berhenti tepat di Sentul Nirwana, aku menoleh ke belakang untuk memastikan cyclist lain tidak ada yang tertinggal.

"Pisah di sini ya, Bro," kataku pada teman-teman komunitas sepedaku.

"Lo langsung balik, Bis?" tanya salah satu temanku, Rizky namanya.

"Gue mau hunting foto dulu." Rizky membalas dengan anggukkan, setelah itu kami mulai berpencar dan melaju dengan tujuan masing-masing.

Tiga jam. Waktu yang kuhabiskan bersama cyclist lain usai ride ke titik KM Zero, tepatnya di desa Bojong Koneng, Sentul. Waktu tersebut terhitung dari tempat kami berkumpul sampai kembali turun ke Sentul City. Rencana ride ini sudah seminggu yang lalu diusulkan oleh teman komunitasku yang kemudian akhirnya dimasukkan ke jadwal "It's Saturday Ride". Aku memilih ikut karena sudah lama juga tidak main ke daerah Sentul.

Selepas subuh tadi, kami berkumpul di Sirkuit Sentul, kebanyakan dari mereka berasal dari Jakarta dan Depok. Kami bersebelas menempuh perjalanan melalui jalur Sentul City dilanjutkan melewati Rainbow Hill di jalan Cijayanti. Jalanannya lumayan bagus dan lebar, sehingga tidak khawatir rebutan ruas jalan dengan kendaraan lain yang lewat.

Aku melihat jam di pergelangan tangan, sudah pukul sepuluh lewat sepuluh menit. Aku kembali mengayuh sepeda menuju Jalan Jenderal Sudirman, tidak jauh dari area Bogor Junction aku punya langganan taoge goreng. Hari ini aku sangat ingin makan makanan favoritku sembari hunting foto ke beberapa tempat di sekitar sana. Konon katanya, kedai favoritku itu pernah diboyong Pak Presiden ke Istana Negara pada Rapat Kabinet Paripurna awal tahun 2017 lalu.

Sampai di tempat tujuan, aku mengeluarkan Instax90 dari tas kecil. Aku bersiap membidik objek di depanku yakni penjual taoge goreng yang sedang meracik pesanan pelanggan. Tadinya, aku berniat membawa kamera digital. Namun, kupikir terlalu berisiko saat naik sepeda, karena itu aku urung melakukannya. Lagi pula saat aku berangkat tadi, langit sedikit bergerimis dan hal itu semakin menguatkan alasanku untuk tetap meninggalkan kamera digitalku di rumah. Sebagai gantinya, aku membawa kamera analog yang sudah lumayan jarang kugunakan. Bukan karena aku tidak ingin memotret menggunakan kamera instan, hanya saja kenangan dengan kamera itu sedikit membuatku lemah.

"Enggak ada yang namanya salah atau benar dalam memotret. Kamera instan itu sepenuhnya tentang seni dan kreativitas, potret aja apa pun yang kamu mau, Nay!" Aku berhenti ketika hendak menekan shutter, padahal aku sudah siap membidik objek melalui viewfinder. Lagi-lagi aku kembali teringat kalimat yang pernah kuucapkan kepada seseorang.

Aku menggeleng. Aku tidak boleh terus mengingatnya, meskipun bayangan tentang gadis itu selalu membuatku khawatir. Namun, kekhawatiran itu tampaknya tidak berbuah hasil. Meski begitu, bodohnya aku masih selalu mengharapkan kehadirannya.

"Makasih, Mang."

Penjual taoge goreng mengantarkan pesananku dan tanpa berlama-lama lagi aku langsung menikmatinya. Beberapa kelompok orang mulai berdatangan, kedai pun semakin ramai, padahal jam makan siang masih satu jam lagi. Sepertinya kebanyakan yang datang berasal dari luar kota, hal itu bisa terlihat dari plat mobil mereka.

Selesai menikmati taoge goreng sebagai menu brunch, aku kembali mengayuh sepeda. Selang beberapa menit kemudian, aku berhenti di tepi jalan untuk membidik objek yang menurutku layak diabadikan. Aku mengangkat kamera, dari arah seberang jalan ada beberapa pedagang asongan yang sedang menjajakkan dagangannya di pinggir jalan. Pemandangan tersebut sungguh menarik perhatianku. Wajah lelah akibat teriknya mentari tak membuat pedagang itu berhenti berjualan, karena bisa jadi itulah satu-satunya sumber penghasilannya.

Aku langsung menekan shutter. Dan tidak perlu waktu lama, aku sudah bisa menikmati hasil fotoku.

Aku melanjutkan perjalanan ke Istana Bogor. Karena hari ini merupakan weekend, suasana di sana terbilang ramai. Beberapa pengunjung terlihat sibuk mengambil gambar melalui kamera ponsel, ada juga yang sedang bercengkrama sambil tertawa. Aku terus berjalan menuju taman. Membidik objek yang menarik minat.

Tiba-tiba perhatianku teralihkan oleh anak kecil yang menabrakku ketika berlarian. Ponsel di tanganku jatuh dan anak itu malah menangis. Mungkin ia takut aku akan memarahinya. Tak lama, seorang ibu-ibu menghampiri, dan kuyakin ia adalah ibunya. Ibu sang anak lalu meminta maaf padaku. Tentu, aku paham. Aku tidak ingin memperumit keadaan, lagi pula ini masalah sederhana. Aku hanya mengangguk sembari mengulas senyum tipis menerima permohonan maaf si ibu. Sebelum mereka pergi, aku memberikan foto Polaroid kepada anak itu. Tadi aku sempat memotret rusa-rusa yang sedang menikmati makanan dari pengunjung.

"Makasih ya, A."

"Sama-sama, Bu." Kemudian ibu dan anak itu meninggalkanku menuju sayap kiri taman.

Aku kembali mengedarkan pandangan, mencari objek lain yang lebih menarik. Dari jarak sekitar dua meter, aku bisa melihat seorang gadis dengan rambut ikal kecokelatan. Ia berjalan terburu-buru. Semakin dilihat, semakin mengingatkanku pada seseorang. Persis seperti gadis yang pernah kukenal sebelumnya. Gadis yang selalu kunanti. Demi rasa penasaran yang terus bercokol di hatiku, aku mulai mengejar.

Aku melihat ke kanan dan kiri, suasana di sekitarku lumayan ramai. Namun, aku hanya perlu fokus berjalan untuk melewati beberapa orang yang sedang bercengkrama. Punggung gadis itu masih tertangkap oleh mataku hingga akhirnya, aku menemukannya keluar melewati pintu 3. Aku mempercepat langkah dengan sedikit berlari. Pada saat aku tiba di gerbang, gadis itu sudah masuk ke dalam SUV hitam. Sempat terpikir untuk mengambil sepeda lalu mengejarnya, tapi sudah pasti aku kehilangan jejak. Waktu tempuh tidak akan cukup karena aku masuk lewat gerbang utama pintu 1.

Penasaran dan kesal adalah rasa yang mendominasiku saat ini.

Benarkah yang kulihat tadi adalah gadis itu? Naya? Apa mungkin Naya kembali untuk menemuiku?

Di sini. Di tempat kami pernah berjanji untuk bertemu.

Benarkah? Atau mungkin aku hanya salah lihat saja.

Irama ponsel mengalihkan perhatianku dari rasa sesak sejenak. Aku melihat id caller, dan di sana ada nama Lian memanggil.

Aku memusatkan perhatian pada layar komputer. Surelku berisi puluhan pesan yang bahkan belum sempat kubuka, dan kebanyakan berisi attachment foto.

Namun, fokusku tiba-tiba teralihkan oleh suara entakkan sepatu yang beradu dengan lantai marmer terdengar semakin mendekat. Aku sudah tahu pemiliknya, maka aku memilih diam dan kembali memandang ke depan layar. Gadis dengan perawakan mungil itu lantas menaruh kopi dari kedai kenamaan di atas meja kerjaku.

"Ini sebagai tanda terima kasih, karena Kak Bisma sudah mau bantu kerjaan Tisha kemarin." Gadis itu bicara hati-hati dengan senyum yang tak lepas dari sudut bibirnya.

"Sama-sama," balasku yang baru mengalihkan perhatian pada Tisha. "By the way, thank you ya kopinya." Tisha tersenyum malu-malu sampai membuat rona merah muda di pipinya tercetak jelas.

"Ya sudah, Tisha balik ke tempat ya, Kak. Di minum lho kopinya!" Aku hanya mengangguk dengan senyum tipis, lalu Tisha kembali ke kubikalnya. Selepas kepergiaan Tisha, muncul lelaki dengan pakaian necis menghampiriku.

Julian Darmawan, rekan sesama photo editor di Andromedia Weekly --yang lebih senior dari segi waktu dan ilmu-- menarik kursi kosong di kubikal sebelah. Lian mendudukkan dirinya di sana sembari menggeser agar lebih dekat denganku, sementara aku masih bergeming, berusaha tidak terganggu.

"Enak ya, ada yang ngasih perhatian kayak tadi. Kenapa enggak jadian aja sih?" Aku melirik dengan ekspresi sebal, lalu kembali menatap layar komputerku, tidak merespons apa-apa. "Canda, Bis. Serius banget sih!" Lian lalu tertawa.

"Lo enggak ada kerjaan?" Suaraku mengehentikan tawa Lian.

"Abis ngasih konsep ke Bagus, tapi sekarang udah beres."

"Katanya enggak mau pakai karya Bagus lagi?"

"Ngabisin kontrak dia. Gue udah ngajuin ke Bu Elda buat rekrut fotografer baru. Eh, tapi kata Bu Elda udah dapet sih orangnya."

"Anak kesayangan memang beda, cepet prosesnya."

"Nyindir!"

"Lho fakta, Yan."

Tak dapat dipungkiri, Lian memang menjadi "anak kesayangan" Bu Elda sebagai Editor in Chief kami. Itu semua karena Lian memang jenius dalam bidangnya, dan kurasa ia layak mendapatkannya.

Lian memiringkan kepala seraya berpikir. Lelaki itu lalu mengamati gambar-gambar yang silih berganti di layar komputerku. "Yang itu jelek, Bis," komentarnya.

"Iya gue tau."

"Ih itu juga jelek," Aku mendesah berat, mulai terganggu. Terkadang sikap Lian memang bisa sangat menyebalkan. "Stop!" Lian memerintah saat aku hendak menekan tetikus untuk beralih ke foto lain. "Yang itu ... duh parah banget. Belajar teknik fotografi enggak sih tuh orang?"

"Thank you ya, Yan, tapi gue bisa pilih sendiri kok foto yang bagus dan yang enggak. Jadi, sebaiknya lo pergi aja sana!"

"Ya ampun itu juga jelek, Bis." Lian tidak menggubris ucapanku, malah semakin asyik memberikan komentar pedasnya. "Lihat deh, gambar apa sih yang mereka ambil itu?" Aku ikut mengamati gambar di layar, lalu keningku berkerut lebih dalam. Sedari tadi bahkan kepalaku sudah pusing melihat gambar-gambar ini.

"Lo benar. Kira-kira apa ya yang mereka pikirin saat mengirim gambar ke email kita?"

"Mungkin mereka menganggap si photo editor itu buta warna." Lian kembali mengamati satu komposisi foto pemandangan alam yang blur, lalu ia menggeleng.

"Sakit mata gue, Yan, dari tadi milih gambar tapi belum ada yang oke."

"Makanya, jangan open recruitment asal-asalan!"

"Dulu 'kan gue kekurangan foto, jadi gue menerima foto apa pun yang mereka kirim ke email kita."

"Dan sekarang lo kelebihan foto. Alhasil, lo jadi pusing sendiri milihnya." Kata-kata Lian meluncur bebas, dan sayangnya itu benar-benar tepat sasaran. "Kenapa enggak lo aja yang hunting foto?"

"Kalau Andromedia mau bayar gue double sih, gue enggak masalah."

"Lo mau coba bargaining position sama perusahaan tempat lo kerja? Hebat!" Lian memberikan gesture tepuk tangan ke udara.

"Kalau mereka oke, kenapa enggak?"

"Ah, lo mah nyari side job melulu. Enggak cukup apa tuh freelance photographer?"

"Udah ah, ada lo di sini semakin bikin gue pusing, Yan." Lagi-lagi Lian cuek dengan perkataanku.

"Udah berapa kali gue ingetin, jangan asal terima hasil karya dari fotografer amatir. Lo bakal kewalahan sendiri, Bis!"

Kini aku memilih menyesap kopi pemberian Tisha, sementara Lian masih betah menyerocos. Aku lalu menyandarkan punggung ke kursi sembari memfokuskan pandang ke gambar di layar komputer.

"Selecting, editing, positioning and publishing. And you'll get the perfect picture. Itu job desc kita, Bisma. Gimana lo mau fokus ke tiga hal itu, kalau di poin pertama aja lo udah kewalahan."

Damn. Aku memilih diam tidak mendebat, karena ucapan Lian memang benar. Lian sangat cerdas dalam tiga hal itu, karena secara ilmu editing pun Lian masih di atasku. Namun aku harus bersyukur, karena lelaki itu sangat peduli terhadap kemajuanku walau terkadang cara penyampaiannya menyebalkan. Photo editor adalah pekerjaan yang dikenalkan Lian kepadaku. Berada di sini, tidak benar-benar membuatku meninggalkan dunia fotografi, toh pekerjaanku masih berhubungan dengan gambar.

"Amazon, Pexels, Pixabay atau minimal Pinterest lah. Gue jamin, mata lo enggak bakalan sakit ambil gambar di sana." Aku mengangguk sembari mendesah pelan. "Udah ah, kerja melulu, makan siang yuk!"

"Ke mana?"

"Taken, gimana?" Lian menyebutkan salah satu resto di Kota Bogor. "Lagi pengin makan makaroni panggang nih."

"Enggak kejauhan? Nanti kita ada meeting lho, Yan."

"Santai. Cuma preview hasil project kemarin kok. Mending kita fokus ke next project aja."

"Buat ulang tahun Bogor bulan depan?"

"Yap. Sekalian nyari inspirasi lah." Lian bangkit dari kursi, aku menyusul setelah menyambar jaket.

Sembari bertukar kalimat random, kami berjalan menuju rubanah. Dan tak perlu waktu lama bagiku untuk bisa langsung menemukan keberadaan Mondi.

Lian mengambil helm cadangan untukku, lalu ia melempar ke arahku tanpa aba-aba sama sekali. Dengan gerakan gesit aku mampu menangkap helm retro berwarna gelap itu tanpa mengenai wajah. Beruntung sekali, aku selalu punya sikap waspada dan kali ini amat berguna.

"Kalau sampai kena muka gue, fix Mondi jadi milik gue."

Mondi adalah sebutan untuk Ducati Scrambler Classic berwarna kuning bercampur cokelat yang bulan lalu baru saja dibeli Lian.

"Sembarangan. Gue bisa beli Mondi dari hasil nabung selama lima tahun tau, Bis."

"Ngapain susah-susah nabung? Bokap lo 'kan tajir. Minta uangnya lah!" Aku menahan tawa karena melihat Lian berubah kesal.

"Tajir kalau pelit juga percuma, Bisma." Lian mendecak sebal. Ini bisa juga dinamakan karma. Tadi Lian sangat mengganggu ketika aku fokus bekerja, tapi sekarang ia berubah kesal dengan obrolan seputar ayahnya.

Aku tahu, Lian tidak pernah akur dengan ayahnya yang terkenal pelitnya keterlaluan itu. Tapi menurutku, Lian terbilang beruntung. Setidaknya, ia tahu dan kenal dengan wajah ayah kandungnya sendiri.

Aku masih tertawa ketika naik di belakang Lian yang sudah menyalakan mesin motornya. Sebelum melajukan Mondi, Lian kembali menoleh ke arahku dan berkata, "By the way, yang kemarin lo lihat di Istana Bogor, beneran Naya?"

Tawaku hilang, berganti resah yang menyelimuti. Kepingan rasa itu kembali hadir setelah kejadian kemarin.

Lian pintar sekali membuat mood orang lain jatuh.

Siapa yang punya temen kayak Lian?

11 Agustus 2020

Follow IG @Sulizlovable

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top