RUANG RINDU
Semarang, 18 Januari 2017
Arjuna menginjak pedal gas hingga kecepatan penuh. Rasa sesak yang terlalu menggebu menghimpit dadanya dan membuat dia sulit bernapas. Tangan pemuda itu masih mencengkeram erat stir mobil sampai urat nadinya menyembul di kulit pergelangan.
Setelah pengakuan tak terduga ayah Tasya yang merupakan rahasia terbesar gadis kesayangannya, dia merasa orang paling bodoh di dunia. Dia menutup hati, mata, dan pendengarannya, memilih ego yang terbalut kecemburuan sampai tidak mau berpikir realistis. Sekarang, hidupnya bagaikan abu yang tertiup angin, tak tersisa apapun, semua telah pergi, menghilang darinya. Andai saja Arjuna lebih berpikir ke depan, pasti Tasya masih di sampingnya, mendampinginya, serta memeluknya erat sebagai pertanda dia aman.
Arjuna memukul mukul stir. Kemarahan meluap ke titik tertinggi. Kehancuran melindas kepercayaannya, menghantarkan dia ke lubang buatannya sendiri.
Tak terasa mobilnya melaju melewati jalan raya yang mulai sepi dari kepadatan kendaraan. Matanya tidak sengaja menangkap sosok gadis berhijab berdiri linglung di trotoar. Mata gadis itu menatap kosong ke depan seolah mengais mencari sesuatu yang hilang dari pandangannya. Wajah gadis itu datar, tapi menunjukkan keresahan. Dia melambatkan laju mobil. Di tatap sekali lagi wajah gadis itu, sampai detik kesepuluh, Arjuna baru menyadari gadis itu adalah Nuha. Sang malaikat tak bersayap yang selalu datang setiap dia kesepian. Arjuna menghentikan mobil tepat di depan Nuha, namun gadis itu tidak menggubris keberadannya. Mata Nuha masih menatap kosong, masih mencari-cari sesuatu yang hilang.
Detik terus belalu, menit terus berjalan, dan jam terus berdetak, menyisakan sekelebat ruang hampa yang penuh kerinduan. Ini sudah melewati satu menit, Nuha masih bertahan di posisinya. Menyudahi kekosongan di mata Nuha dan tiba-tiba terlintas ide, Arjuna membuka pintu mobil dan berdiri di samping gadis itu. Bahkan, saat Arjuna sudah berdiri tepat di samping Nuha, Nuha tetap tidak memedulikan Arjuna.
"Nuha," panggil Arjuna.
Gadis itu menolehkan kepala ke Arjuna. Wajah kaget tidak nampak, hanya sebuah tatapan kosong penuh pertanyaan yang sekarang tampil di sana.
Tanpa aba-aba Nuha mengerti maksud Arjuna dan menuruti kemauan lelaki itu.
|♧♧♧|
Nuha sebisa memungkin berhenti berharap dari kepalsuan. Mengganti dengan keyakinan yang pasti. Tetapi, alam tak membolehkannya untuk berlaku demikian.
Pertemuannya dengan Kaka setengah jam lalu menjelaskan berakhirnya hubungan mereka selama ini sebagai sepasang kekasih. Lari selama sebulan dari perhatian Kaka adalah cara Nuha pergi dari rasa sakit yang menumpuk. Dia tidak betah hidup berdampingan dengan sesaknya rasa sakit dan lelah untuk menyingkirkannya. Padahal bulek Fatimah memberikan wejangan agar tidak lari dari masalah, namun dia melakukan sebaliknya.
Dan sampai pada akhirnya, dia terjebak di sini, di dalam mobil bersama Arjuna. Tanpa lantunan musik grup band Oasis kesukaan lelaki tersebut, mobil menggiring mereka menuju daerah Gombel Indah. Dari balik kaca mobil yang disinari temaram rembulan, Nuha menemukan kehangatan sesaat ketika lampu-lampu rumah di bawah sana terlihat menyala seperti membentuk formasi indah ketika festival lampu yang sering dilihatnya di laptop.
Mobil berhenti di pelataran parkir dekat hotel. Tempat parkir hotel merupakan sebuah tebing yang ditumbuhi rumput dan beberapa pohon. Yang menarik dari pelataran parkir di sana adalah suguhan pemandangan kemerlap lampu rumah, gedung-gedung kantor, mall, dan hotel. Kita bisa melihat keramaian semarang dari atas sana. Arjuna membuka pintu dan keluar lebih dulu, disusul Nuha. Mereka duduk di atas kap mobil memandang gemerlap lampu bangunan-bangunan sembari menikmati suasana kedamaian yang menghembuskan angin malam. Suara jangkrik terdengar selepas air hujan menguyur beberapa menit lalu. Aroma rumput basah yang masih tertimbun tetesan hujan menguar menguatkan kesahajaan malam tenang tanpa taburan bintang di angkasa.
Mereka berdua menikmati sepi, memunculkan kenangan-kenangan dari memori kusut yang lama tak teringat.
"Eh, sorry, gue nggak maksud bawa lo ke tempat sepi kayak gini. Pikiran gue langsung ke sini, soalnya gue ... "
Belum selesai Arjuna berbicara Nuha memotong kalimatnya.
"Aku tahu." tandasnya tanpa basa basi.
Arjuna terdiam, terhenyak. Tuhan memang pemilik rencana terbaik. Mengirimkan Nuha kala resah menggerumul dihatinya merupakan obat paling mujarab sebulan ini.
Arjuna berdiri dari tempatnya, menuju mobil, mencari barang yang dibelin saat tadi mampir di mini market. Tak lama, dia kembali duduk di kap mobil.
"Nih, buat lo." Katanya sambil menyodorkan roti cokelat pisang. "Gue nggak mau ngajak orang tanpa bawa makan, takut kalo malah jadi makanan dia. Hehe." Dia terkekeh sendiri atas ucapannya.
Mau tak mau Nuha mengambil roti tersebut dari genggaman Arjuna. "Makasih, Ar." Dia tersenyum.
Kemudian mereka berdua kembali menatap langit hitam.
Hening tak bersuara. Raga mereka ada di sana, tetapi jiwa mereka melayang mencari potongan hati yang hilang. Gesekan lembut antara angin dan ranting pohon mengisi titik-titik kelenggangan serta derik jangkrik menambah ketiadaan jiwa sang kekasih.
Otak Arjuna terus menerus memutar kepingan kenangan bak film rusak yang dimakan zaman. Masih ada penyangkalan dalam hati, sampai-sampai kegilaan mulai menyerbu kewarasan otaknya.
"Tadi gue ketemu sama ayahnya Tasya." Itulah kalimat pertama yang keluar setelah lama keheningan mendominasi diantara ruang lingkup mereka.
Nuha menoleh pertanda dia mendengarkan Arjuna.
Lelaki itu mengadahkan wajah ke atas, menantang sang rembulan, berjudi dengan akal sehatnya. "Gue diseret Ceni ke rumah Tasya. Katanya, ada rahasia Tasya yang belum gue tahu. Dan ternyata benar, banyak rahasia Tasya yang belum gue tahu setelah kematiannya. Gue, gue, merasa orang paling bego, Nuh." Dia menenggelamkan wajahnya ke telapak tangan. Bahunya naik turun, napasnya terdengar seperti dicekik, air matanya menetes membuat jalur di tulang pipinya.
"Dia sakit, Nuh. Dia sakit kritis. Dan bisa-bisanya gue nggak peduli. Gue cowo macam apa Nuh, yang ninggalin cewenya pas lagi sakit, pas lagi butuh gue." Dia merasa udara di paru-paru tersedot habis tak meninggalkan sisa. Apalagi, saat bayangan wajah Tasya hadir memenuhi ruang hitam dalam otaknya, memberikan sensasi nyeri tersendiri yang hanya bisa dirasakan Arjuna. "Sesudah ibu pergi, gue cuma punya Tasya. Hanya dia yang bisa gue jadiin sandaran. Tapi, apa balasan dari gue ... gue campakin dia gara-gara gue cemburu buta lihat dia pelukan sama cowo lain. Padahal, cowo itu temen dia satu ruangan yang memang butuh penanganan lebih intens dari Tasya." Tangisnya meledak. Mengobarkan rasa sakit, sesak, lega, dan rindu menjadi satu, membentuk harmonisasi ringkih di hatinya.
Nuha tak berani menyuarakan diri. Dia hanya diam menatap Arjuna, membiarkan laki-laki yang dianggap seperti adeknya itu mengeluarkan uneg-uneg yang terpendam selama ini. Seolah terdapat cermin dihadapannya, Nuha berkaca.
"Gue harus apa, Nuh? Gue nggak tahu harus apa. Dia udah pergi jauh dari jangkauan gue. Nggak bisa gue peluk, terus minta maaf sama dia. Tasya udah pergi jauh dari gue." Katanya tersendat sendat akibat tangisan yang pecah.
Mendengarkan sisa tangisan Arjuna, Nuha menekuk kakinya, membawa sepasang kaki itu ke atas kap dan memeluknya. Bayangan kepergian Kaka terlintas lagi, mengembalikan dia ke beberapa jam lalu.
"Tadi aku bertemu Kaka. Dia meminta maaf dan tidak ingin menggangu kehidupanku lagi. Dia menyerah untuk berjuang. Dia pergi."
Kata-kata Nuha keluar lancar, menarik Arjuna ke alam sadar jika tak hanya dia yang sakit, tak hanya dia yang merasa sepi. Ada Nuha. Ada gadis itu yang sama-sama merasakan sakit juga sepi. Arjuna membersihkan sisa air mata dipelupuk.
"Dimana?"
Nuha menatap Arjuna sekilas. "Disaat kamu menemukan aku beberapa jam lalu."
"Lo ... suka?" Tanya Arjuna lagi. Dia mengerti luka macam apa yang bersarang di dalam Nuha. Menemukan sahabat dan kekasihnya sedang seks di kamar hotel, batalnya pernikahan yang seminggu lagi akan dihelat, dan kematian mendadak sahabatnya, membuat Nuha nekat mengikuti pertukaran pelajar sebagai kompensasi sakit hatinya.
Nuha menggeleng, lalu mengangguk. Dia bingung harus menjawab apa. "Aku bingung."
Arjuna memandang lekat gadis di sampingnya. Gadis yang diam saja ketika diseret untuk menemaninya mendinginkan pikiran, gadis yang tidak menampilkan ekspresi apapun walau Arjuna tahu dia memendam kekecewaan amat berat di hatinya, dan gadis yang tetap mengeluarkan kehangatan untuk sekitarnya.
Arjuna memalingkan wajah. Menatap kembali langit gelap di angkasa. Ada satu bintang yang tiba-tiba nampak dari balik arakan awan yang menutupinya. Gemerlap bintang itu mengundang secercah kebahagian di hatinya. Dia teringat ucapan Nuha tempo hari.
"Kamu hanya terfokus pada hamparan hitam ini sampai-sampai kamu lupa ada satu titik putih di sini." Ucap Nuha sambil menunjuk sebuah titik putih diantara luasnya warna hitam. "Seperti halnya, kamu lupa bahwa ada satu kebahagian yang hadir meski rasa sesak, marah, dan dendam lebih banyak. Jangan lupa Arjuna, kamu juga butuh kebahagiaan agar hidupmu selaras dan seimbang. Jangan hanya mementingkan egomu yang tak ada batasnya. Hiduplah seperti awan yang berarak kemana angin membawanya." Nuha mengulas senyum indah di bibir.
Arjuna tersenyum mengingat hal itu. Dia melirik Nuha yang melihat satu bintang yang sama.
Arjuna turun dari kap, mengambil sesuatu yang terbungkus tas hitam. Tanpa dibuka untuk mengetahui isinya, Nuha tahu ada sebuah gitar akustik kesayangan Arjuna yang selalu dibawa kemana pun lelaki itu pergi. Dia naik ke kap mobil seraya memandang Nuha.
"Kita adalah dua orang yang sama-sama terluka dari masa lalu. Kita adalah dua orang pecundang yang lari dari masalah. Kita adalah dua orang bego yang memendam rasa sakit itu sendirian padahal banyak tangan yang membantu. Tapi, kita adalah dua orang yang pintar menjaga kebahagian masa lalu walau terasa perih." Ucap Arjuna sebelum memangku gitar dengan duduk bersila lalu memosisikan gitar agar nyaman saat dimainkan.
"Dulu lo yang sering hibur gue waktu gue sedih. Sekarang, giliran gue yang hibur lo, sekalian gue mau menghibur diri gue sendiri." Nuha tertegun. Dia mengerlingkan mata cepat, tak mengerti maksud Arjuna. "Lo mau nggak mengingat masa lalu bareng gue? Mau ngga? Ini mumpung gratis, engga usah bayar. Jarang banget gue mau nyanyi demi gratisan." Ujarnya diselingi lelucon kelas teri yang sering digunakannya menjahili Ceni.
Tanpa sadar Nuha menganggukan kepala.
"Oke-oke, sabar ya." Arjuna berdeham beberapa kali. "Untuk dua orang pecundang dari masa lalu yang kini akan berubah menjadi orang terbaik seantero dunia yang dulu sempat terjebak nostalgia, lagunya mbak Raisa. Gue akan menyanyikan sebuah lagu untuk mengenang sang rindu."
Nuha terkekeh. Jilbab panjangnya bergerak pelan seiring hembusan angin. Suara jangkrik telah tiada, berganti petikan gitar akustik Arjuna. Kemerlap bintang satu persatu muncul memenuhi kanvas hitam sang langit malam. Cahaya rembulan berpadu cahaya lampu neon perumahan meningkatkan secuil kecerian yang lambat laun membentuk pulau di hati.
Kini, pertarungan dengan masa lalu telah berhenti. Tak ada lagi rasa sakit, selain kehangatan atas perdamaian setelah peperangan panjang. Ternyata, melepaskan sesuatu yang seharusnya dilepaskan adalah cara terbaik untuk mendapatkan kesempurnaan hidup. Tuhan tidak menutup mata untuk para hamba-Nya yang berjuang, Dia melihat seberapa kuat ketahanan hamba-Nya untuk sampai ke titik puncak. Lalu, memberikan hadiah sebagai balasan.
Sekarang Nuha dan Arjuna merasakan hal tersebut. Bercokol dengan masa lalu, menyimpan sakit sendiran merupakan cara terbodoh mereka. Dan untuk kesekian kalinya, mereka benar-benar melepaskan rasa sakit itu tanpa harus takut mengulang kesalahan yang sama, mereka menerima semua itu. Sebab, masa lalu adalah bagian dari mereka.
Ku saat itu takut mencari makna, tumbuhkan rasa yang sesakkan dada.
Kau datang dan pergi begitu saja, semua ku terima apa adanya.
Mata terpejam dan hati menggumam, di ruang rindu kita bertemu.
(Ruang Rindu, Letto).
|♧♧♧|
Haloo ...
Wuih udah lama nggak nulis lagi, serasa balik ke dunia tanpa penghuni. Hehe.
Oh, ya, ide ini didapat pas aku pergi ke rumah bulek aku atau pas perjalanan menuju undip. Gombel Indah. Yap, tempat terbaik untuk lihat pemandangan kota Semarang dari atas. Di samping cerita horor wewe gombel yang punya rumah di sana, Gombel Indah merupakan destinasi paling bagus, menurutku, buat kalian para pasangan kekasih. Ini sih menurutku aja. Soalnya dari duli aku pingin banget ke sana, tapi nggak pernah kesampean. Huftt.
Dan soal Arjuna. Dia itu sifatnya kek sepupuku banget. Yes, sepupuku suka nyanyi-nyanyi pake gitar. Aliran musik dia sejenis, Oasis, Muse, Nirvana, Greenday, sama One Ok Rock.
Terus ini buat kak Fatma. Makasih banget kakakku tercintaahhh, tanpamu aku butiran debu. Eak. Kak fatma ini yang cerewet koreksi kesalahan-kesalahan ceritaku, kadang juga kasih saran macem-macem. Senengnya sih aku yang ngerecokin kakaknya, tapi kak Fatma tetep sabar ngadepin aku. Pokoknya makasih banget kak Fatma, beneran deh, mungkin kalo kamu enggak koreksi ceritaku mesti banyak yang typo. Dan semoga kita segera bertemu ya kakak.
Yaudahlah, segitu dulu aja ya..
Makasih,
Mutiara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top