Weldy dan Rumahnya
Tinggi. Putih. Tampan.
Gizka menyenggol lengan Lindsy dan melirik dengan sudut mata. Dadanya berdebar dua kali lebih cepat ketika melihat Lindsy mendekat, menggiring seorang cowok yang berjalan di depannya dengan kedua tangan terangkat di samping kepala. Linsdy tetap menempelkan ujung tongkat bisbol di belakang kepalanya dengan sikap waspada—setengah jam yang lalu.
Debar jantung Gizma sudah kembali normal sekarang. Cowok itu duduk di kursi teras, di depan Lindsy dan Gizma. Melihat penampilannya, tidak mungkin kalau dia adalah seorang pencuri. Terlalu rapi. Terlalu tampan. Begitu penilaian Gizma ketika pertama kali melihatnya.
“Kamu siapa? Mengapa ada di kebun dalam rumahku? Apa yang sedang kamu lakukan di sana?” berondong Lindsy dengan suara tajam. “Jawab dengan jujur, atau aku akan memanggil polisi.”
Cowok itu tersenyum dengan sudut bibir kanan terangkat. Smirk yang menarik, pikir Lindsy. Semula Lindsy mengira bahwa cowok itu adalah laki-laki dewasa, melihat tinggi dan besar tubuhnya dari belakang. Lindsy menyadari bahwa dia masih muda, setelah cowok itu berbalik dan menatapnya dengan sorot mata penuh pertanyaan. Tangannya tetap terangkat di samping kepala dan dia sama sekali tidak memegang senjata apa pun.
“Namaku Weldy Daniga. Aku tinggal di sini.”
“Apa? Kamu tinggal di sini? Di rumah ini?” sambar Gizma cepat. Ia menatap Lindsy dan Weldy—cowok itu, bergantian.
“Tapi, ini rumah Lindsy.”
“Ya. Ini rumahku. Mengapa kamu mengaku-ngaku tinggal di sini? Atau jangan-jangan kamu adalah anak pemilik lama rumah ini?” tanya Lindsy curiga.
Weldy menggaruk tengkuknya. Ia masih bingung mengapa kedua orang gadis di depannya bisa memergokinya. Gadis yang dipanggil Lindsy itu, cantik tetapi aura galak dan tegasnya lumayan kencang. Dia memegang tongkat bisbol dan tampaknya tidak akan segan-segan memecahkan kepala siapa saja yang berani mengusiknya. Sedangkan gadis bernama Gizma, terlihat lebih ramah dan menyenangkan.
“Tidak. Aku memang tinggal di sini. Tepatnya, di ruang bawah tanah. Sudah bertahun-tahun aku tinggal di situ. Hanya kalian yang bisa melihatku.”
“Ruang bawah tanah? Kamu sedang bercanda, kan?” sergah Lindsy sambil mengacungkan tongkat bisbol. Lindsy memegang tangan Gizma. “Giz, telepon polisi. Cepat!”
Gizma mengangguk dan beranjak untuk masuk ke dalam. Namun, Weldy menyambar tangannya. “Jangan! Please, tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan. Jangan panggil polisi. Aku nggak bermaksud jahat.”
Gizma berhenti melangkah. Ia menatap tangan Weldy yang besar di atas pergelangan tangannya. Jantungnya mendadak berulah lagi. Ia beralih mata, kepada pemilik tangan dan melihat senyum di wajahnya.
“Gizma!”
Mendadak Gizma sadar dari keterpanaan. Weldy melepaskan tangannya dan Gizma salah tingkah melihat cowok itu mengedipkan sebelah matanya. Lindsy mengerrutkan kening melihat wajah Gizma yang merona. Gizma kembali ke tempat duduknya di sebelah Lindsy dan berbisik.
“Aku nggak yakin dia bohong. Bagaimana kalau kita beri kesempatan untukknya menjelaskan dulu?”
Alis Lindsy terangkat. Ia menunjuk Weldy dengan tongkar bisbol. “Jelaskan. Cepat dan jangan bertele-tele.”
“Rumah ini dulu rumahku, bertahun-tahun lalu. Ketika kedua orang tua dan adikku meninggal dalam kecelakaan, aku tetap tinggal di sini. Kemudian terjadi masalah dengan surat-surat kepemilikan rumah dan aku tidak bisa apa-apa ketika rumah ini akhirnya harus dijual. Masalahnya, aku nggak punya tempat tinggal lain, nggak punya sanak saudara, dan aku nggak sanggup meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan ini. Akhirnya, aku meminta ijin kepada pengacara yang mengurus penjualan rumah ini agar bisa tetap tinggal. Mereka mengijinkan, selama aku nggak terlihat, nggak ketahuan oleh penghuni. Pilihanku hanya ruang bawah tanah itu.”
“Ruang bawah tanah yang mana, sih? Kamu menyebut-nyebut soal itu terus sejak tadi. Aku sudah tiga bulan tinggal di sini, dan nggak ada ruang bawah tanah di dalam rumah. Jangan mengada-ada,” sentak Lindsy kesal.
“Ruang bawah tanah itu memang nggak ada di dalam rumah. Kamu sudah melihat pintu masuknya tadi. Di kebun. Hanya aku yang bisa membuka dan menutupnya, karena hanya aku yang tahu ruang bawah tanah itu ada,” sahut Weldy tenang. “Ada sebuah pintu tembus di dalam rumah, tapi sepertinya sudah lama di tutup. Di bawah konter dapur.”
Lindsy dan Gizma berpandangan. Lindsy berpikir sejenak, kemudian berdiri. “Tunjukkan! Kalau kamu nggak bisa membuktikan ruang bawah tanah itu ada, aku akan memanggil polisi.”
Weldy terlihat ragu. Ia tidak tahu apakah Lindsy dan Gizma seharusnya menegtahui tentang ruang bawah tanah itu, tempat berlindungnya selama ini. Tatapan mata Lindsy jelas menyiratkan ketidakpercayaan dan Weldy tahu, gadis itu tidak akan berpikir lama untuk menyerahkan dirinya ke polisi kalau Weldy tidak bisa membuktikan ucapannya.
“Aku akan menunjukkan kalau ruang bawah tanah itu ada. Namun, aku perlu jaminan dari kalian,” ucap Weldy sambil tersenyum.
“Jaminan?” Alis Lindsy terangkat lagi. Weldy menatap gadis berambut pendek itu, mengagumi garis-garis tajam wajahnya yang berbentuk hati. “Jaminan apa?”
“Kamu akan tetap membiarkan aku tinggal di sana. Setidaknya, kalau kamu merasa terganggu, sampai aku bisa menemukan tempat baru.”
“Kenapa aku harus melakukan itu?”
“Nggak ada keharusan. Aku hanya sedang meminta belas kasihanmu,” ujar Weldy sambil tersenyum. Manis. Menggoda. “Aku berjanji nggak akan mengganggumu. Kalau saja bukan kebetulan harus membetulkan letak semak yang menutup pintu ruang bawah tanah itu, aku yakin kalian nggak akan pernah menemukanku. Setidaknya, beberapa penghuni yang lain sama sekali nggak pernah tahu kehadiranku.”
“Bagaimana mungkin?” tanya Gizma heran. “Kamu nggak pernah keluar sama sekali?”
“Aku hanya keluar pada malam hari. Nggak menimbulkan suara, seperti hantu. Sudah bertahun-tahun begitu.”
“Bagaimana kamu makan? Sekolah? Kelihatannya usiamu nggak jauh berbeda dengan kami,” cecar Gizma.
“Aku nggak sekolah lagi. Aku bekerja di kelab malam. Tidur dari pagi sampai sore, malam hari aku bekerja sampai subuh. Aku sudah menjalani hari-hari seperti itu lama sekali. Kadang-kadang, aku malah berpikir kalau aku ini keturunan burung hantu.”
“Mengapa kamu tetap tinggal di sana selama ini. Kalau kamu sudah bekerja, aku yakin kamu punya cukup uang untuk menyewa rumah,” ketus Lindsy. “Mengapa malah tinggal di wilayah rumah orang lain.”
Wajah Weldy berubah. Ia menghela napas panjang. Wajahnya tampak murung dan matanya berkaca-kaca. “Aku lahir dan dibesarkan di rumah ini. Seumur hidup aku nggak pernah tahu rumah yang lain. Kenangan akan orang tua dan adikku sangat melekat di sini.”
Lindsy melihat perubahan air muka cowok di depannya. Weldy memiliki raut wajah yang tampan. Semua komponen yang membentuk wajahnya bagus dan serasi. Namun, dalam sesaat tadi, ketampanannya berlapis mendung. Lindsy bergdik, merasa aneh dengan pemikirannya sendiri bahwa dia merasa iba pada cowok di depannya.
“Baiklah.” Lindsy tidak tahu mengapa ia mengatakan hal seperti itu. “Kamu boleh tetap di sana, asal tetap menjadi seperti hantu, kalau kamu nggak berbohong soal ruang bawah tanah yang kamu sebut itu. Aku akan bersikap seperti penghuni lain. Nggak tahu ada orang lain di wilayah rumahku. Setidaknya, kamu nggak berada di dalam.”
Gizma menatap Lindsy dengan pandangan yang menyiratkan keheranan. “Kamu yakin, Lind? Bagaimana dengan papamu?”
“Papa nggak akan tahu,” jawab Lindsy setelah berpikir sejenak. “Weldy mengatakan dia sudah lama hidup seperti hantu. Papa pasti nggak akan menyadari kehadirannya, karena papaku sangat ketat soal jam tidurnya. Papaku selalu tidur pukul delapan dan nggak pernah terbangun lagi sampai pagi.”
“Ruang bawah itu sengaja dibuat untuk bersembunyi. Seseorang sengaja membuatnya untuk keprkuan pribadi. Mungkin, melakukan bisnis ilegal, atau sekedar menyembunyikan diri.”
“Maksudmu?” tanya Gizma.
Wajah Weldy berubah muram.
“Nggak ada. Jangan dipikirkan. Sekarang ini, aku berjanji, kalian sama sekali nggak akan menyadari kehadiranku. Suatu saat aku juga mungkin akan pergi.”
“Aku akan memegang kata-katamu. Ingat! Aku nggak akan segan-segan memanggil polisi kalau sedikit saja kamu membuat ulah. Tetaplah menjadi hantu.”
Weldy tersenyum. Ia berdiri dan melangkah keluar dari teras, diikuti oleh Lindsy dan Gizma. Ia merasakan ujung tongkat bisbol menyentuh rambutnya di belakang kepala. Lindys mengacungkan benda itu lagi untuk berjaga-jaga.
Weldy berdiri di depan lempeng besi dan melakukan sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh Lindsy dan Gizma. Punggungnya yang lebar menghalangi pandangan mereka.
Sebuah lubang terbuka, ketika lempeng besi itu bergeser dengan suara pelan. Weldy melangkah ke dalam lubang, menapaki tangga batu granit berwarna hitam. Ia berdiri pada pijakan tangga kedua dan menoleh. “Ayo.”
Lindsy menoleh dan menatap Gizma dengan alis terangkat. Gizma mengangguk, menjawab pertanyaan bisu Lindsy. “Dia nggak berbohong,” bisik Gizma. “Mungkin, nggak ada salahnya kalau kita lihat saja apa yang dia sebut rumah.”
Gizma mendahului Lindsy, mengikuti Weldy turun. Lindsy melakukan hal yang sama. Sebelas anak tangga batu, hitung Lindsy dalam hati. Ia menapak lantai dan matanya terbelalak ketika melihat apa yang terpampang di depannya. Gizma menyambar tangan Lindsy dan menggenggamnya erat.
Weldy berdiri di tengah ruangan yang terang benderang sambil melebarkan tangan. Senyumnya lebar. “Selamat datang di rumah, emh, sorry. Maksudku, selamat datang di ruang bawah tanahku.”
%%%%%
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top