Sekolah dan Teman Baru

“Jadi ini, anak baru pindahan dari Jakarta?”

Gadis berambut sebahu itu berdiri dengan tangan bersidekap di depan dada, mata terpicing dan bibir tersenyum sinis. Wajahnya manis, seandainya dia tidak memperlihatkan ekspresi julid seperti sekarang.

“Hai. Nama gue Lindsy,” ucap Lindsy sambil mengulurkan tangan.

Gizma menyenggol lengan Lindsy pelan dan berbisik sambil menunduk. “Aku. Jangan gue.”

“Ups, sorry,” Lindsy menutup mulut. “Namaku Lindsy.”

“Hm. Aneh banget, sih, pindah di pertengahan semester seperti sekarang. Kenapa? Kamu pasti dikeluarkan dari sekolah lamamu, ya?” Gadis itu menaikkan sebelah alisnya. Lindsy membaca nama di atas seragamnya. Lina Marliana.

“Apa aku membuatmu rugi, pindah ke sini di awal, pertengahan, atau akhir semester sekali pun?” tanya Lindsy sambil tertawa kecil. “Pertanyaan yang aneh.”

Lina menendang kaki meja Lindsy. “Sok cantik! Jangan coba-coba banyak gaya di sini. Kamu nggak akan diterima, dengan sikap dan perilakumu yang murahan itu.”

Emosi Lindsy naik ke ubun-ubun. Ini pasti bukan hari keberuntungannya. Ia berdiri dan menggeser meja dengan santai, kemudian mencondongkan tubuh ke arah Lina. Lindsy harus sedikit membungkuk, karena puncak kepala Lina hanya mencapai bahunya.

“Dengar, Nona Lina Marliana,” desis Lindsy. Ia menempelkan telunjuknya pada dada Lina. “Kepindahanku ke sini sama sekali tidak ada hubungannya denganmu. Kecuali, kamu merasa aku akan menyaingi reputasimu karena kamu merasa aku lebih cantik, lebih bergaya, atau lebih mungkin menarik perhatian, terserah. Jangan coba-coba mengusik aku, atau kamu akan menyesal.”

Lina menepis tangan Lindsy dan mundur selangkah. Ia tidak menyangka ternyata Lindsy jauh lebih tinggi darinya. “Hati-hati kamu!” Lina mendengkus kasar, mengancam dengan tatapan tajam. Ia berbalik dan melangkah dengan hentakan pada setiap pijakan kakinya di lantai. Empat orang gadis yang sejak tadi memelototi Lindsy mengikuti Lina.

“Dia kenapa, sih?” tanya Lindsy bingung. Ia mencolek tangan Gizma yang kelihatan gelisah. “Sikapnya aneh sekali.”

“Namanya Lina. Dia itu sekretaris Osis, ketua tim paduan suara dan juara lomba modeling selama dua semester berturut-turut. Banyak cowok yang menyukai dan mendekatinya,” bisik Gizma kaku.

“Lantas? Apa hubunganku dengannya?” tanya Lindsy sambil menggaruk-garuk hidungnya. “Aku baru satu minggu di sini dan dia sudah menganggapku musuh. Sepertinya ada kabel yang salah sambung di otaknya.”

Gizma tertawa kecil sambil menutup mulutnya. Ia menatap Lindsy dan mengakui, kalau ia menjadi Lina, sudah pasti akan bersikap seperti itu juga. Lindsy mempunyai kecantikan oriental yang menggemaskan. Kulit putih dan mulus, mata berbentuk almond dengan bola mata berwarna coklat terang, hidung bangir dan bibir tipis. Ditambah bentuk tubuh tinggi semampai dan rambut sepanjang punggung, lurus berwarna coklat mengkilat.

Lindsy mempesona. Gizma tahu, sejak hari pertama kedatangannya, puluhan pasang mata cowok di sekolahnya hanya tertuju pada Lindsy.  Sikap Lindsy yang cenderung dingin, malah membuat mereka semakin tertarik padanya.

“Hati-hati padanya, Lin. Dia suka bermain kasar,” bisik Gizma.

“Maksudmu? Dia menyambi bekerja sebagai kuli bangunan?”

Gizma tertawa mendengar lelucon yang diucapkan Lindsy dengan wajah serius. Ternyata, gadis di sebelahnya ini bukan hanya cantik. Dia juga menyenangkan dan humoris.

Lindsy menatap gadis montok di sebelahnya. Sejak pertama kali bertemu Gizma, Lindsy sudah menyukai gadis bertubuh montok itu. Gizma mempunyai wajah cantik yang khas, seperti anak kecil yang pemalu. Matanya besar dan jernih, dengan pipi kemerahan, hidung dan bibir kecil. Nyatanya, Gizma memang pemalu. Dia selalu menunduk dan suaranya hampir tidak pernah terdengar. Lindsy  merangkul Gizma. “Aku tidak takut. Kan, ada kamu. Bersama-sama, kita akan melawan kalau negara api menyerang.”

Gizma meringis. Ia suka mendengar kalimat yang diucapkan Lindsy.
%%%%%
Lina meremas-remas gantungan kunci berbentuk kepala beruang di tasnya dengan gemas. Ia masih teringat kejadian tadi siang di kelas XI IPA 3, ketika Lindsy mempermalukannya di depan teman-temannya.

“Lin, ternyata dia punya nyali besar,” gerutu Risti pelan. “Dan tubuhnya, tinggi sekali. Aku sampai kaget waktu dia berdiri.”

“Benar, Ris. Mendadak aja aku jadi minder,” timpal Ulfa segera. “Heran, kok bisa-bisanya cewek seperti dia masuk ke sekolah kita. Cantik dan tinggi seperti model. Aku yakin, di sekolah asalnya dia pasti menjadi idola.”

“Diam!” Lina menyentak tajam. Ia memelototi teman-temannya yang menciut. “Kalian tidak membelaku, malah memuji-muji anak sialan itu. memangnya apa kelebihan dia dibanding denganku?”

“Banyak. Ups.” Risti menutup mulutnya dengan cepat, kelepasan bicara. Ulfa dan Asya menyenggol lengannya keras. “Maaf, Lin.”

Lina tidak menjawab. Ia mengacungkan jari tengahnya kepada Risti dan berjalan keluar dari kelas. Wajahnya merah padam. Brengsek. Teman-temannya malah terlihat kagum pada gadis Jakarta itu.

Lina berjalan menyusuri koridor belakang kelasnya. Ia tahu, kelas XII IPA 2 sedang jam kosong. Evan dan teman-temannya pasti ada di kantin. Sudah dua hari Lina tidak bertemu Evan, dan ia merindukan cowok bermata tajam itu. kekesalannya pada Lindsy mungkin akan berkurang kalau sudah melihat senyum manis Evan.

“Kulitnya putih dan mulus sekali. Aku yakin, semut saja tidak bisa berjalan di kulitnya, pasti akan terpeleset.”

“Bukan hanya itu, Van. Tubuhnya. Wow. Tinggi, langsing, berisi. Sayangnya, kudengar dia dingin dan judes.”

“Wah, bagus, dong. Gadis cantik memang harus begitu, supaya cowok seperti kalian ini nggak sembarangan colak-colek. Aku malah lebih suka tipe gadis seperti itu. Makin sulit didekati, makin menarik buatku. Menantang.”

“Nah, kalau begitu, aku yakin kamu pasti akan langsung jatuh hati padanya, Van. Dia itu benar-benar gambaran gadis idamanmu.”

Lina membeku di balik tembok. Ia jelas-jelas tahu siapa yang sedang dibicarakan oleh Evan dan teman-temannya di kantin. Mereka duduk di meja belakang, dekat dengan tempat Lina berdiri. Untung saja ia tidak langsung membelok dan menghampiri mereka.

“Eh, Lina bagaimana?”

“Lina? Ada apa dengan Lina?”

“Kamu bukannya dekat dengan Lina? Jangan pura-pura nggak merasa, Van. Semua orang di sekolah ini tahu kalau Lina naksir kamu sejak kelas X. Dia sendiri jelas-jelas tidak segan menunjukkan perasaannya kepadamu.”

“Oya? Aku merasa biasa saja, kok. Wajarlah kalau kami dekat. Dia sekretaris Osis dan sering membantuku membuat surat-surat atau proposal kegiatan. Apanya yang harus diributkan?”

“Dasar nggak peka. Jelas-jelas Lina naksir kamu, eh malah sok cuek.”

“Bukan sok cuek. Aku memang menganggap Lina hanya sebagai teman dan rekan kerja di Osis, nggak lebih. Kalau dia suka padaku, itu haknya. Tapi , aku juga punya hak untuk menyukai orang lain, kan?”

“Benar juga. Kalau soal Lindsy,Van, aku yakin kamu akan langsung suka padanya. Dia benar-benar gadis yang layak untuk dikejar. Jauh di atas Lina, deh.”

Airmata Lina berlinang. Suara tawa Evan dan teman-temannya benar-benar menyakiti hatinya. Ia menggertakkan gigi dan berbalik. Ia harus melakukan sesuatu. Evan tidak boleh jatuh ke tangan Lindsy.
%%%%%

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top