Sabuk Merah
“Apa yang dia katakan padamu? Kepala Sekolah.”
Lindsy mengerutkan dahi. Ia berdiri mendekap beberapa buah buku yang baru dipilihnya dari rak, menatap seorang cowok yang tiba-tiba saja berdiri dan bertanya kepadanya. Cowok yang memberitahu bahwa Kepala Sekolah memanggilnya.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Lindsy setelah beberapa saat. Ia berjalan melewati cowok itu dan menaruh buku-buku dalam pelukannya ke atas meja. “Apa urusanmu?”
“Hati-hati, Lindsy. Lina itu keponakan kesayangan Kepala Sekolah, dan dia bisa sangat menyebalkan kalau sudah menyangkut keponakannya itu.” Cowok itu mengikuti Lindsy ke meja dan duduk di kursi. Ia memperhatikan Lindsy membukai buku-buku di atas meja satu-persatu.
“Kamu siapa?” tanya Lindsy, memberikan tatapan tajam pada cowok di depannya. Ia pernah melihat cowok itu memandanginya beberapa kali saat ia lewat di depannya. Tetapi, setahu Lindsy, bukan hanya dia yang melakukan hal seperti itu. Lindsy tidak pernah tertarik untuk memperhatikan. “Pacar Lina?”
“Namaku Evandi Yogara, XII IPA 2.” Evan mengulurkan tangan. Ia tersenyum miring, memperlihatkan lesung di pipi kirinya. “Aku bukan pacar Lina.”
“Oh. Ketua OSIS? Oke.”
“Kukira kamu tidak mengenalku.”
“Aku memang tidak mengenalmu.”
“Tapi, kamu tahu kalau aku ketua OSIS.”
“Aku punya mata dan telinga juga. Tahu nama dan jabatanmu, tidak berarti aku mempunyai kewajiban untuk tahu rupamu, kan?”
Kali ini alis Evan yang terangkat. Sikap Lindsy yang dingin membuatnya penasaran. Ia mendengar kalau Lina menangis di ruang Kepala Sekolah, tadi siang. Tas barunya kotor, tercoreng noda lipstik beraneka warna. Ada orang yang menaruh potongan-potongan lipstik di dalam laci bawah meja dan Lina menyimpan tasnya di sana seperti biasa, tanpa menyadari hal itu. Ia baru mengetahui keadaan tasnyas ketika akan pindah kelas ke laboratorium bahasa.
Semua orang yang mengetahui perseteruan Lina dan Lindsy, langsung berbisik-bisik dan mencurigai Lindsy yang melakukannya. Mereka mengatakan bahwa Lindsy melakukannya untuk membalas perbuatan Lina yang telah mengerjai Gizma dengan permen karet kemarin.
Evan baru selesai berbicara dengan pembina OSIS, ketika Kepala Sekolah memanggil dan memintanya memanggil Lindsy. Sebuah kesempatan yang ditunggu Evan, untuk memulai pembicaraan dengan Lindsy.
“OSIS dan majalah sekolah akan membuat kegiatan untuk menyambut bulan bahasa. Kamu mau ikut menjadi panitia? Kudengar, kamu menguasai tiga bahasa asing dengan baik.”
“Dengar darimana? Aku tidak pernah tahu, ada yang mengumumkan soal itu,” tanya Lindsy datar. “Lagipula, aku tidak tertarik melakukan apa-apa selain masuk dan pulang sekolah tepat waktu.”
“Tentu saja aku tahu. Pembina OSIS memintaku untuk membawamu dalam kepanitiaan. Kamu bisa menjadi pelatih untuk anak-anak kelas X yang akan mengikuti lomba pidato dan dongeng di Universitas Pendidikan Indonesia.”
“Aku tidak tertarik.”
“Kenapa?”
“Apa harus selalu mempunyai alasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu? “
“Kamu lucu,” ujar Evan sambil tersenyum.
“Kamu pernah melihat badut yang wajahnya mirip denganku?”
Lindsy menumpuk buku-buku di atas meja dan mengangkatnya. Beberapa buku terpelesat dari pelukan dan jatuh ke lantai. Evan tersenyum dan berjongkok memunguti buku yang jatuh. Ia mengambil sebagian buku dalan pelukan Lindsy.
“Ayo. Kubawakan buku-buku ini. Siapa tahu aku bisa membujukmu selagi membawakan buku-buku ini ke depan.”
Ulfa dan Risti—bersembunyi di balik rak buku tidak jauh dari tempat Evan dan Lindsy berbicara, saling berpandangan.
“Kita harus memberitahu Lina,” ujar Ulfa.
%%%%%
“Lindsy.”
Lindsy mendongak, mengalihkan perhatian dari buku yang sedang dibacanya. Sanit, teman sekelasnya, berlari masuk ke kelas dengan terburu-buru. Dia kelihatan takut.
“Ada apa, Nit?” tanya Lindsy heran. “Kamu melihat setan siang bolong begini? Wajahmu panik sekali.”
“Lindsy, aduh. Gizma ditahan oleh Lina dan gerombolannya di gudang kosong di dekat lapangan besar. Mereka bilang, kamu harus datang ke sana. Kalau tidak, mereka akan mengerjai Gizma.”
“A-apa?”
Lindsy menyambar tas. Ia menjejalkan semua buku dan alat-alat tulisnya asal saja kemudian setengah berlari ke arah yang diberitahukan Sanit dan melewati Evan yang sedang berjalan menuju kelasnya.
Evan menahan sanit yang mengekor di belakang Lindsy. “Sanit. Ada apa? Kenapa Lindsy terburu-buru dan kelihatan marah?”
Sanit menceritakan kepada Evan, yang langsung berlari mengikuti Lindsy. Ia melihat beberapa orang temannya sedang bermain basket di lapangan. Evan menghampiri lapangan dan memanggil mereka.
“Ayo ikut ke gudang kosong. Aku khawatir Lina akan bersikap keterlaluan kepada Lindsy dan Gizma.”
Lindsy sudah sampai di area gudang kosong yang dikatakan Sanit. Konon, area itu dulunya adalah pabrik penggilingan padi yang cukup besar. Pabrik itu ditutup dan ditinggalkan setelah terjadi kebakaran besar dan menewaskan beberapa orang pegawai dan pemiliknya. Sebuah gudang yang tersisa—sebagian atap dan dindingnya sudah rusak dimakan api—sering dijadikan tempat nongkrong para berandal dan anak-anak sekolah yang membolos.
“Lindsy,” jerit Gizma ketika melihat Lindsy melewati ambang pintu gudang yang sudah tidak berpintu. “ Lari, Lindsy. Jangan ke sini.”
Lina dan gerombolannya—Ulfa, Risti dan Asya tertawa dibuat-buat menyambut Lindsy. Asya yang bertubuh bongsor memegangi tangan Gizma. Ada tiga orang laki-laki bersama mereka. Dua orang di antaranya berambut panjang dan memakai anting-anting pada cuping hidung dan telinga. Lindsy yakin, mereka sama sekali bukan pelajar. Salah satu dari mereka, yang bertubuh paling tinggi, menghampiri Lindsy sambil tertawa-tawa.
“Jadi ini yang bernama Lindsy. Supermodel dari Jakarta? Hm?”
Laki-laki itu mengulurkan tangan dan mencolek dagu Lindsy dengan kurang ajar. Gizma menangis terisak-isak selagi Asya membentaknya menyuruh diam. Lindsy menatap laki-laki di depannya dengan dingin, membiarkan dia berjalan mengelilingi dirinya sambil mempermainkan rambut Lindsy. Dua orang temannya mendekati Lindsy.
“Kamu cantik sekali,” ujar salah satu yang beranting pada cuping hidung. Ia menjulurkan jari telunjuknya yang kusam karena nikotin dan menyentuh lengan Lindsy. “Kulitmu juga halus dan mulus.”
Lindsy memejamkan mata dan menghela napas panjang. Ia mulai kehilangan kesabaran. Bukan karena ketiga laki-laki kurang ajar yang menggodanya, tetapi melihat Gizma diguncang-guncang dan kata-katai oleh Asya dan Risti. Tidak bisa dibiarkan.
Tangan Lindsy terulur, ketika laki-laki dengan anting di hidungnya mencoba memegang tangannya. Detik berikutnya, suara sesuatu terbanting keras dan jerit kesakitan, menggema di gudang itu. Menyusul dua jeritan lain. Gizama berhenti menangis dan menatap pemandangan di depannya dengan mata melebar dan mulut terbuka. Begitu juga dengan Lina dan gerombolannya. Pegangan Asya terlepas. Gizma berlari ke arah Lindsy.
Tiga orang laki-laki berandal tergeletak di lantai gudang sambil mengerang, memegangi bagian tubuh mereka yang beradu keras dengan lantai. Lindsy masih memasang kuda-kuda kokoh. Salah satu dari ketiga laki-laki itu bangun dengan marah dan menyerang Lindsy sambil meneriakkan kata-kata kotor. Lindsy mendorong Gizma ke samping dan mengubah posisi kuda-kudanya. Ia mengelak dari pukulan yang dilancarkan laki-laki itu dan melakukan dollyo chagi (tendangan menggunakan punggung kaki), membuat laki-laki itu tersungkur mencium lantai. Lina dan gerombolannya menjerit.
“Kemari kalian.” Lindsy melambaikan tangan sambil berjalan mendekati Lina dan gerombolannya, yang sekarang melangkah mundur satu-satu. “Aku tidak akan membanting kalian, hanya ingin menjewer telinga kalian satu-satu. Lain kali, tidak usah berlagak main sinteron dengan menyandera temanku. Kalian bisa langsung mengundang aku ke sini. Aku pasti akan datang. Lumayan, sudah lama juga aku tidak latihan.”
Evan berdiri tertegun di ambang pintu gudang, demikian juga teman-temannya yang lain. Mereka sudah siap untuk bertempur ketika mendengar ajakan Evan untuk menyusul Lindsy. Pikiran Evan penuh dengan kekhawatiran saat berlari menyusul. Ia sama sekali tidak menyangka akan melihat adegan perkelahian yang tidak seimbang, antara Lindsy dengan tiga orang laki-laki yang lebih besar darinya. Lindsy mengalahkan mereka.
Lina melotot marah. Asya, Risti, dan Ulfa menarik-narik tangannya panik. Mereka berlarian keluar dari gudang ketika Lindsy tinggal dua langkah di depan mereka. Ketiga laki-laki kaki tangan Lina bangun dan berlarian keluar menyusul. Mereka melihat Evan dan rombongannya sudah siap dengan kuda-kuda.
“Lindsy,” Gizma memeluk Lindsy dan memeriksa. “Kamu tidak apa-apa? Tidak terluka?”
“Aku tidak apa-apa, Giz,” sahut Lindsy tertawa dan membersihkan baju seragamnya yang kotor. “Pipimu merah. Apa Lina menamparmu? Sialan! Akan kupatahkan tangannya lain kali.”
“Lindsy!”
Lindsy menoleh dan melihat Evan berjalan mendekat. Ada beberapa orang di belakangnya. Mereka menatap Lindsy dengan pandangan aneh. Evan meraih tangan Lindsy dan memeriksa, seperti yang dilakukan Gizma sebelumnya.
“Kamu tidak apa-apa? Kenapa kamu melawan mereka? Mereka itu preman, nekat dan berbahaya. Seharusnya kamu memanggilku dan teman-teman yang lain.”
Alis Lindsy terangkat dan ia menepiskan tangan Evan sambil tertawa. “Untuk apa? Kalian mau dihukum Kepala Sekolah karena tawuran?” Lindsy meraih tangan Gizma. “Ayo pulang, Giz.”
“Lindsy, kamu belajar taekwondo, ya?” tanya seorang cowok berkacamata, ketika Lindsy melewatinya. “Tendanganmu kuat sekali.”
“Sabuk merah. Bulan depan aku naik tingkat. Berminat menjadi teman latihanku?”
Cowok itu mundur sambil meringis. Evan memperhatikan punggung Lindsy semakin menjauh. Evan sadar, saat ini, ia sedang jatuh cinta.
%%%%%
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top