Prolog

Mereka berlumuran darah di atas lantai marmer berwarna putih. Seorang anak perempuan kecil berusia sebelas tahun—gaunnya berwarna biru muda dengan pita-pita kecil berwarna putih di sekeliling pinggang, ternoda warna merah yang tidak berhenti mengalir dari luka terbuka di dada dan perutnya, menggapai ke arah kanan tubuhnya.

Seorang wanita di pertengahan usia empat puluh, beringsut perlahan-lahan ke arah anak perempuan itu. Sebuah luka robek besar melintang dari bagian atas dahi sampai ke dagu, mengotori wajah cantiknya dengan darah kental yang terus menetes, meninggalkan jejak panjang setiap kali ia bergerak. Dada dan kaki kanannya remuk, begitu juga bagian belakang kepalanya.

“Jangan menangis, Nak,” bisik wanita itu ketika tangannya menyentuh tangan anak perempuannya. “Mama ada di sini.”

“Sa-sakit, Ma,” anak perempuan itu merintih.

“Sabar, Sayang. Sebentar lagi rasa sakit itu akan menghilang. Mama akan memelukmu supaya kamu tidak merasa sakit lagi.”

Wanita itu mengerahkan segenap kekuatan untuk meraih anak perempuannya dan mendekapnya erat. Ia dapat merasakan napas anak perempuannya berat dan tinggal satu-satu. Mengabaikan kesakitannya, ia mulai bersenandung. Lagu pengantar tidur yang biasa dinyanyikannya setiap malam. Matanya mulai terasa mengantuk.

“Mama!”

Seorang remaja laki-laki menjatuhkan tas dan buku-buku ke lantai. Matanya nanar melihat pemandangan mengerikan di depannya. Sejak melangkahkan kaki ke teras, perasaannya sudah tidak enak. Pintu-pintu terbuka lebar, pot bunga di teras, kursi-kursi dan meja di ruang tamu terbalik dan berantakan. Ia berlari ke dalam dan mendapati dua sosok tubuh berpelukan di lantai, di atas genangan darah mereka sendiri.

Wanita itu membuka kembali matanya yang terasa berat dan tersenyum. “Sayang.”

“Mama! Siapa yang melakukan ini semua, Ma, siapa? Akan kubunuh dia!”

“Pergi, Nak. Pergi sejauh mungkin,” bisik wanita itu. “Ambil perhiasan Mama di belakang lemari pakaian dan uang penjualan rumah kemudian pergilah jauh-jauh.”

“TIdak! Akan kubunuh dulu bajingan itu. Mama, bangun, Ma, bangun,” remaja laki-laki itu menghela tubuh wanita itu—mamanya—dan mengguncang tubuh anak perempuan dalam pelukan mamanya dengan panik. “Dik, bangun. Aku akan membawa kalian ke rumah sakit.”

Wanita itu tersenyum dan menutup matanya. Napasnya berhenti, tepat ketika pintu depan berderak keras. Remaja laki-laki itu menatap Mama dan adiknya yang telah meninggal dengan nyalang. Sebuah suara menggelegar, menyusul pukulan di kepala, membuat rahangnya mengeras.

“Hei, anak sialan! Siapkan makan malamku!”
%%%%%

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top