Pindah

Lindsy memicingkan sebelah matanya, dan menghela napas panjang. “Ini rumahnya, Pa?”

Arkan menghentikan kegiatannya menurunkan koper-koper dari bagasi mobil dan menghampiri Lindsy. Wajahnya sumringah. “Bagus, kan? Papa dapatkan rumah ini dengan harga jauh di bawah pasaran. Plus, sudah lengkap dengan perabot di dalamnya.”

“Papa nggak curiga, kenapa rumah ini dijual murah?” tanya Lindsy dengan dahi berkerut. “Rumah sebesar ini, sudah dengan perabot. Jangan-jangan .... “

“Jangan-jangan apa?” Arkan tertawa kecil sambil merangkul bahu Lindsy. “Pemilik rumah ini sedang membutuhkan uang untuk membayar hutang. Dia mendengar Papa sedang mencari rumah dan menawarkan rumahnya. Percayalah, ini pilihan yang paling baik untuk saat ini, mengingat keuangan kita yang sedang kacau balau.”

“Kita tidak akan selamanya di sini, kan, Pa?”

“Papa sedang berusaha untuk bangkit lagi, Sayang. Doakan saja yang terbaik. Pap juga minta kamu bersabar sebentar, sampai usaha Papa bisa kembali lancar seperti dulu.”

Lindsy menatap wajah Arkan—ayahnya. Laki-laki di awal usia empatpuluh tahun itu tampan, kalau saja tidak terlalu banyak kerutan di sekitar mata dan dahinya. Rambut hitamnya sudah mulai dihiasi uban di sana-sini dan ada lingkaran gelap di bawah matanya yang cekung.

Lindsy mengulurkan tangan dan memeluk Arkan erat. Ia merasa malu. Ayahnya sudah beruaha sangat keras untuknya, seharusnya ia lebih pengertian dan perhatian. “Tidak apa-apa, Pa. Rumah ini bagus dan lingkungan sekitarnya juga terlihat menyenangkan. Aku akan berusaha menyesuaikan diri dengan baik di sini. Papa tenang saja, ya. Fokus saja pada usaha Papa sekarang.”

Arkan mengecup puncak kepala Lindsy dan mengelus punggung putrinya dengan penuh kasih sayang. “Maafkan Papa, Sayang. Papa menyesal karena membuatmu harus mengalami semua ini dan tidak bisa memberikan yang terbaik untukmu. Papa janji akan menebusnya secepat yang Papa bisa. Bersabarlah sebentar, ya?”

“Papa apaan, sih. Kita jadi seperti sedang main sinetron.” Lindsy tertawa dan melepas pelukan Arkan. Ia berjalan ke mobil dan mengambil sebuah koper dari bagasi. “Ayo, Pa, kita harus beres-beres dengan cepat. Sebentar lagi malam turun.”

Arkan tersenyum dan mengikuti Lindsy. Tidak henti-hentinya ia bersyukur melihat keceriaan Lindsy. Ia tahu putrinya itu masih menyimpan kesedihan karena harus meninggalkan dan berpisah dengan sekolah dan teman-temannya di Jakarta. Namun, Lindsy adalah anak yang penurut dan penuh semangat. Ia tidak berlama-lama memperlihatkan kesedihannya ketika Arkan memberitahu bahwa ia pailit dan harus menjual semua asetnya—termasuk rumah berlantai dua yang mereka tempati. Dia membuat Arkan bertekad untuk kembali bangkit, meski pun harus memulai kembali dari nol.

“Rumah itu sudah lama tidak ditempati, Pak. Rumahnya bagus dan pemiliknya bersedia meninggalkan perabot di dalamnya,” kata Junaidi—mantan anak buah Arkan. Junaidi adalah salah satu dari delapanbelas orang anak buahnya yang terpaksa diberhentikan karena Arkan harus menutup usahanya. “Dia benar-benar sedang membutuhkan uang.”

Arkan berusaha menyalurkan anak buahnya ke berbagai perusahaan lain milik teman-temannya. Empat orang anak buahnya menolak dan memilih untuk membuka usaha sendiri, menggunakan uang pesangon yang diberikan Arkan. Termasuk Junaidi. Ia membuka toko kelontong di depan rumahnya setelah berhenti bekerja. Arkan meminta tolong kepada Junaidi mencarikan rumah untuknya dan Lindsy tinggal, setelah rumah mereka dijual.

Arkan melihat-lihat rumah yang ditawarkan Junaidi dan langsung merasa cocok. Letaknya memang jauh dari kota Jakarta, tetapi masih menungkinkan untuk ditempuh dengan perjalanan pulang pergi bila diperlukan. Lagipula harganya terbilang murah—untuk rumah sebesar itu—dengan taman di sekelilingnya dan perabot yang mengisi bagian dalamnya. Perabot minimalis yang terbuat dari kayu jati Belanda, kokoh dan berharga mahal. Arkan merasa beruntung.

“Papa, kok malah bengong,” panggil Lindsy dari teras. “Buka pintunya, Pa. Kita harus mulai bersih-bersih. Rumah sebesar ini memerlukan tenaga ekstra untuk membersihkannya.”

“Tenang saja, Lindsy,” ujar Arkan sambil mengeluarkan kunci dari saku jaket. “Malam ini kita bersihkan saja kamar-kamar yang akan kita tempati. Besok, ada pekerja yang akan membantu membereskan rumah. Penduduk setempat yang biasa bekerja membantu di rumah-rumah di sekitar sini.”

Lindsy mengangguk dan menarik kopernya, setelah Arkan membuka pintu. Ia berdiri di ambang pintu dan memandang ke dalam rumah. Matanya melebar dan mulutnya terbuka.
%%%%%
SMA Negeri 1 Jambudipa. Lindsy membaca tulisan berwarna hitam di atas latar belakang putih di depan sebuah gedung. Ia menggigit bibir bawahnya dengan masygul. Sekolah ini, bahkan tidak sampai setengah dari sekolahnya dulu, besarnya.

“Lin,” tegur Arkan, membuyarkan lamunan Lindsy. “Siap?”

Linsdsy memejamkan mata dan menghela napas panjang beberapa kali. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan membuat ayahnya cemas. Ayahnya sedang berusaha untuk bangkit dan mereka hanya memiliki satu sama lain. Ia tidak mau menambah beban pikiran ayahnya.

“Ayo!”

Lindsy dan Arkan berjalan keluar dari area parkir, menuju ruang Kepala Sekolah. Mereka melintasi lapangan basket dan banyak anak-anak bermain basket di sana. Kebanyakan laki-laki. Mereka menoleh ketika Lindsy dan Arkan melewati pinggir lapangan. Suitan-suitan usil mulai bersahutan.

Lindsy mengerutkan dahi, kesal pada situasi itu. Arkan menggenggam tangan Lindsy dan berbisik. “Sebenarnya Papa sudah tahu situasi seperti ini akan terjadi, tapi Papa tidak menyangka akan merasa kesal juga mendengar mereka menggodamu.”

“Papa sok tahu,” tukas Lindsy. “Bagaimana bisa Papa tahu mereka akan menggodaku.”

“Karena putriku satu-satunya, Lindsy Arkandiana itu sangat cantik dan tidak ada laki-laki normal yang akan tahan membiarkan gadis secantik kamu lewat di depannya. Mereka itu laki-laki normal, tapi tetap saja Papa kesal mendengarnya.”

“Gombal, ah,” Lindsy memukul bahu Arkan pelan. “Tuh, kantornya sudah kelihatan.”

Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Jambudipa adalah seorang laki-laki setengah baya—bertubuh agak gemuk dan suka tersenyum, Bapak Kasdi Arifin. Ia mempersilahkan Lindsy dan Arkan duduk di ruangannya dengan ramah. Ia mengamati Lindsy dan tampak agak cemberut melihat pakaian seragam yang dikenakan Lindsy.

“Saya minta maaf, Pak,” ujar Kasdi kepada Arkan. “Lindsy pindah di tengah-tengah semester dan koperasi sekolah tidak mempunyai persediaan baju seragam. Jadi, sepertinya Lindsy masih harus memakai seragam sekolah lamanya sampai koperasi memesan dan menyediakan yang baru.”

“Tidak apa-apa, Pak,” jawab Arkan segera. “Kami maklum, karena memang keterpaksaan kami juga harus segera pindah di tengah-tengah semester seperti ini. Saya berterimakasih karena sekolah Bapak bersedia menerima Lindsy.”

“Sama-sama, Pak. Kebetulan memang ada kursi kosong. Nah, Lindsy, setelah ini kamu akan langsung masuk ke kelas X1 IPA 3. Bapak akan memanggil salah satu teman sekelasmu untuk mendampingi kamu.”

Arkan menyentuh tangan Lindsy dan memberinya senyum tipis. Lindsy mengangguk dan membalas senyum ayahnya, untuk membuatnya tenang. Pak Kasdi keluar dari ruangannya dan berbicara dengan seseorang di luar.

“Kamu tidak apa-apa, Lin?”

“Tenang saja, Pa. Aku baik-baik saja. Papa tidak perlu menunggu aku. Pulang saja dan masak yang enak. Aku pasti akan makan sangat banyak pulang sekolah nanti.”

“Hm .... “ Arkan mengangguk-angguk lucu. “Papa mengerti. Menjadi anak baru pasti akan menghabiskan energi. Papa yakin, banyak yang akan mengantri untuk berkenalan denganmu.”

“Jangan lebay, Pa,” tukas Lindsy memutar matanya. “Papa juga harus segera mulai lagi. Tabungan kita akan semakin berkurang setiap harinya.”

“Siap, Nona Besar,” pungkas Arkan cepat sambil memberi salut.

Pak Kasdi masuk ke dalam ruangan. Seorang gadis mengekor di belakangnya. “Lindsy, kebetulan ada salah satu temanmu lewat. Dia akan mengantarmu ke kelas.”

Lindsy berdiri dan menyalami tangan Arkan. Gadis di belakang Pak Kasdi maju selangkah ke sisinya dan tersenyum malu-malu ke arah Lindsy. Pipinya yang montok bersemu malu-malu.

“Hai. Namaku Gizma.”
%%%%%

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top