Petualangan di Halaman
Lindsy melemparkan sekop dan duduk dengan kaki menjulur panjang di atas rumput. Wajahnya berkeringat dan berwarna merah. “Gizma, sudah dulu, deh, aku nggak sanggup lagi.”
“Sebentar lagi, Lind. Lihat. Masih ada bibit bunga krisan yang harus ditanam. Kamu saja istirahat dulu.”
Lindsy memperhatikan Gizma memaculi tanah untuk membuatnya gembur dan mengukur petak-petak dengan ukuran yang sama persis. Dia benar-benar membuktikan ucapannya soal berkebun. Gizma sangat antusias ketika Lindsy membuka paket berisi bibit yang dibeli papanya sebelum berangkat ke Surabaya.
Gizma tidak berganti bergerak sejak mereka mulai turun ke kebun. Ia mencabuti rumput-rumput liar, menyingkirkan tanaman yang sudah mati, memacul dan menyekop tanah. Lindsy sudah merasa bosan dan malas-malasan bergerak setelah dua jam berlalu dan mulai berkeluh kesah. Ia mengagumi energi Gizma yang seakan tidak habis, meskipun kaos yang dipakainya sudah basah dan menempel di tubuhnya, karena keringat. Untung saja matahari tidak terlalu terik, bahkan cenderung agak mendung.
Lindy merebahkan diri di atas rumput dan menatap langit di atasnya. Warna abu-abu menggantung di sela serat-serat putih awan yang bergerak lambat ditiup angin sepoi-sepoi. Lindsy mengantuk, tetapi perutnya tidak mau berkompromi dan mulai menyanyikan rasa lapar.
“Giz!” panggil Lindsy sambil kembali duduk. “Istirahat dulu. Kamu bisa kena malaria kalau terus bekerja seperti itu. Ayolah. Bibit-bibit itu masih bisa menunggu besok.”
Gizma melepaskan sarung tangan karet dan meletakkan pacul kecil di tanah. Ia mendekati Lindsy dan duduk di sebelahnya. Wajahnya yang montok terlihat segar dengan titik-titik keringat mengembun di dahi dan ujung hidungnya. Anak-anak rambutnya yang ikal menempel di pipi dan dahi. Lindsy menatap profil Gizma dan tersenyum.
“Kamu cantik. Seperti boneka.”
“Ish,” tepis Gizma tertawa. “Cuma kamu yang bilang begitu. Jadi, itu pasti bohong.”
“Hei! Walau pun hanya satu orang yang bisa melihat emas, belum dia mengada-ada. Bisa jadi dia lebih jujur dari sepuluh orang yang mengatakan melihat berlian.”
“Kadang-kadang aku nggak mengerti ucapanmu,” keluh Gizma. “Eh, Lind, besi apa itu, yang ada di bawah rumpun semak mawar?"
“Besi? Besi apa?”
Gizma menggapai tangan Lindsy dan memaksanya berdiri. Ia membawa Lindsy yang berjalan dengan langkah malas di belakangnya. Gizma membawa Lindsy ke ujung kebun dan menyibak rumpun yang sangat rimbun, mawar semak berwarna merah marun. Rumpun itu menutupi sebuah lempeng besi berbentuk kotak di atas tanah.
Lindsy mengetuk lempeng besi itu. Terdengat padat dan berat. Beberapa bagian pada lempeng besi itu berkarat. Ia mencoba mengangkat lempeng besi itu, tapi tidak bergeming sama sekali. Gizma mencoba membantu dari sisi yang lain. Sia-sia saja. Lempeng besi itu sama sekali tidak bergerak.
“Apa, sih, ini?” Lindsy berjalan mengelilingi lempeng besi itu, menginjakkan kaki di atasnya. “Pasti ada sesuatu di bawahnya. Kuburan seseorang?”
“Lindsy, please .... “
Lindsy tertawa melihat wajah Gizma cemberut. “Ayo. Nanti sore aku minta bantuan Pak Jajat untuk mengangkat besi ini. Siapa tahu ada harta karun terkubur di bawahnya, alih-alih kuburan. Lgipula, kalau kita membukanya begitu saja, semak-semak mawar ini akan rusak.”
“Pak Jajat?”
“Dia membantu Papa memperbaiki kamar mandi belakang waktu kami baru pindah. Rumahnya tidak jauh dari sini. Dia mungkin punya alat untuk mengangkat besi ini. Sekarang, kita beli makanan dulu, yuk. Perutku lapar.”
“Aku bisa memasak. Kulihat ada sayuran, daging dan telur di lemari pendingin. Aku akan membuatkanmu steak dan sayuran yang ditumis dengan mentega,” ujar Gizma ketika mereka masuk ke rumah. “Cuci tangan dulu.”
“Astaga. Aku akan menjadikanmu pacarku kalau aku dilahirkan sebagai laki-laki. Kamu cantik, baik hati, pandai berkebun dan bisa memasak.”
“Ngaco!” sentak Gizma sambil tertawa. “Kamu dan Evan, akan jadian?”
“Hm. Kamu pandai mengalihkan pembicaraan,” ucap Lindsy sambil mencuci tangan di watafel dapur. “Aku nggak tertarik pada Evan. Kudengar dia dan teman-temannya bertaruh soal aku. Ya, aku nggak tahu apa taruhannya. Namun, apa pun itu yang akan didapatkan Evan kalau dia bisa menjadi pacarku, tetap saja kuanggap sebagai penghinaan.”
“Kamu tahu darimana? Evan itu cowok yang baik. Nggak mungkin dia begitu. Kamu mungkin salah dengar atau .... “
“Aku mendengarnya sendiri. Nggak sengaja. Waktu itu aku melewati koridor di belakang perpustakaan dan melihat Lina menangis di sana. Aku ingin bertanya padanya, tapi dia pergi sebelum aku sempat menghampirinya. Aku mendengar Evan dan teman-temannya membicarakan aku dan Lina di ujung kantin. Sepertinya Lina menangis karena mendengar pembicaraan itu juga.”
“Ya, ampun,” bisik Gizma pelan. Wajahnya berubah murung.
“Aku nggak suka cowok ember seperti mereka.”
%%%%%
“Lin,” Gizma mengguncang tubuh Lindsy. “Bangun, dong.”
Lindsy bergerak dengan malas. Ia menggapai guling dan memeluknya erat. Gizma menggelengkan kepala dan membiarkan Lindsy meneruskan tidur. Dia pasti kelelahan setelah berkebun tadi siang. Lindsy mengajak Gizma menonton sebuah film animasi, tetapi baru sepuluh menit film berputar, dengkur halusnya sudah terdengar. Gizma mengambil selimut di ujung karpet dan menyelimuti Lindsy.
Adegan dalam film sedang berada di puncak ketegangan ketika Gizma mendengar suara berderak pelan di belakang. Ia berpikir, apa mungkin Pak Jajat akhirnya datang untuk membantu mengangkat lempengan besi di kebun belakang? Tadi sore ketika Lindsy dan Gizma mendatangi rumah Pak Jajat, istrinya mengatakan bahwa dia sedang menengok ibunya di rumah sakit dan akan memberitahukan mengenai kedatangan mereka kalau Pak Jajat tidak pulang terlalu malam.
Gizma mengecilkan suara televisi dan keluar dari rumah. Suara itu terdengar lagi, ditambah suara seseorang bersiul pelan. Gizma mengendap memutari beranda ke belakang. Entah mengapa ia melakukannya, tetapi firasatnya mengatakan ada sesuatu yang aneh. Kalau benat Pak Jajat yang datang, mengapa dia langsung ke kebun belakang. Lindsy tidak mengatakan pertolongan apa yang diperlukannya tadi, ketika berbicara dengan istri Pak Jajat. Bagaimana mungkin dia tahu apa yang harus dilakukan dan langsung menuju kebun belakang, alih-alih menemui Lindsy lebih dulu.
Di dalam keremangan lampu taman yang redup, Gizma melihat seseorang berjongkok di depan lempengan besi di atas tanah itu. Kelihatannya dia sedang melakukan sesuatu. Gizma menyipitkan mata, berusaha melihat lebih jelas penampakan orang itu dan beberapa saat kemudian memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia ragu, sosok tinggi dengan rambut sebahu itu adalah Pak Jajat. Menurut Lindsy, usia Pak Jajat mendekati 60 tahun dan sosok yang sedang melakukan sesuatu di kebun terlalu gagah untuk kisaran usia itu.
“Lind, bangun. Ada seseorang yang mencurigakan di kebun. Kelihatannya dia sedang melakukan sesuatu pada lempeng besi itu.”
Lindsy menggeliat dan membuka mata, setelah beberapa saat Gizma mengguncang tubuh dan menepuk-nepuk pipinya. Mata Lindsy terasa lengket. Ia bangun dan melepaskan selimut dari kakinya.
“Mungkin itu Pak Jajat, Giz,” gumam Lindsy dengan suara mengantuk.
“Tapi, Lin, Pak Jajat belum tahu apa yang harus dia lakukan karena kita nggak menyebutkan soal itu kepada istrinya. Mengapa dia langsung ke kebun belakang dan mengotak-atik lempeng besi itu?”
“Benar juga.” Lindsy menyisiri rambutnya dengan jari dan berdiri. Ia berjalan ke wastafel dan mencuci mukanya dengan cepat. “Ambil tongkat bisbol di bawah lemari itu, Giz. Bawa dan berjalan di belakangku.”
Gizma mengambil tongkat bisbol dan mengikuti Lindsy. Ia memegang ujung kaos Lindsy dan menghela napas berkali-kali. Dahi dan tangannya berkeringat. Lindsy membuka pintu dan berjalan tanpa menimbulkan suara ke kebun belakang. Ia mengikuti arahan Gizma yang memberinya petunjuk dengan isyarat tangan.
“Itu bukan Pak Jajat,” bisik Lindsy ketika mereka sampai di ujung selasar beranda yang mengitari rumah. Lindsy menarik Gizma berjongkok dan mengintip dari atas pagar beranda. Pandangannya leluasa langsung ke arah kebun yang terbuka. Laki-laki yang dimaksud Gizma sedang berdiri sambil bertolak pinggang, membelakangi mereka. Kelihatannya dia sedang memperhatikan sesuatu di depannya. Dia bersiul pelan, tanpa nada.
“Pencuri?”
Lindsy mengamati laki-laki itu dan menggeleng sangsi. “Kamu lihat pakaiannya? Dia terlalu santai untuk menjadi pencuri. Kaos, celana jins dan sepatu kets? Dia kelihatan seperti orang yang baru pulang dari kampus.”
“Apa kita perlu memanggil polisi?”
Lindsy menggeleng. Ia mengambil tongkat bisbol dari tangan Gizma dan memberi isyarat agar Gizma tidak bersuara dan menunggu. Ia mengendap-endap mendekati laki-laki di kebun, sambil memegang erat-erat tongkat bisbol di tangannya. Bersiap dalam posisi memukul.
“Hei! Anda siapa?”
Linsdy berdiri di belakang laki-laki itu, menguatkan kuda-kuda kakinya dan menempelkan tongkat bisbol di belakang kepala laki-laki itu. Ia akan menghantam kepala dengan gerakan cepat kalau sampai laki-laki itu melawan.
Laki-laki di depan Lindsy berhenti bersiul dan sikap santainya berubah. Tubuhnya yang tinggi menjadi kaku. Ia mengangkat kedua tangan ke samping kepala. “Kamu bisa melihatku?”
%%%%%
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top