Perisak

Gizma membeku di tempat duduknya. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya bergetar. Perlahan-lahan matanya mulai memanas dan sudut-sudut matanya berair. Ia menahan jangan sampai isaknya jatuh. Gizma mengambil berlembar-lembar tissue dari dalam tas dan menyeka mata kuat-kuat.

Lindsy masuk ke dalam kelas sambil bersiul-siul. Ia melihat Lina dan teman-temannya bergerombol di ujung koridor sambil tertawa-tawa dan langsung diam ketika ia lewat di depan mereka. Lina tersenyum sinis. Lindsy sama sekali tidak memedulikan mereka.

“Giz, ayo ke kantin dulu. Aku lapar, nih,” ajak Lindsy setelah menaruh tas di laci bawah meja. “Aku traktir risoles mayo dan donat tiramisu kesukaanmu. Tadi malam Papa memberiku uang lebih, katanya proyek di Sukabumi sudah berjalan dan Papa sudah mendapat komisi.”

“Lindsy,” ucap Gizma memelas. “Aku tidak bisa berdiri.”

“Ha? Kamu sakit, Giz? Wajahmu pucat.” Lindsy memegang dahi Gizma dan dahinya sendiri. Membandingkan suhu. “Normal, kok.”

“Bukan itu,” bisik Gizma sambil menunjuk kursi. “Rok aku menempel ke kursi. Ada yang menaruh permen karet di sini.”

Wajah Lindsy memerah. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Ia membantu Gizma berdiri pelan-pelan supaya roknya tidak robek. Gizma berdiri dan menengok bagian belakang rok. Ada noda permen karet menempel sebagian di sana. Sebagian lagi tetap tertinggal di kursi.

“Putar rokmu ke depan, Giz,” ujar Lindsy sambil mengacak-acak tas, mencari sesuatu. “Nah, ini dia. Untung aku belum mengeluarkannya.”

Gizma menuruti perkataan Lindsy dan memutar rok bagian belakang ke depan. Lindsy menukar kursi Gizma dengan kursi di belakang kelas. “Duduk, Giz.”

Lindsy melapisi bagian dalam rok Gizma dengan beberapa lembar kertas. Ia merapikan bagian rok yang terkena permen karet dan menyemprotkan sesuatu dari botol di tangannya ke  atas rok kemudian meniup-niup. Bau agak menyengat membuat hidung Gizma berkerut.

“Itu apa, Lind?”

Hairspray,” jawab Lindsy. “Sebentar lagi permen karet ini akan mengeras dan mudah dikelupas.”

Gizma tersenyum dan memegang tangan Lindsy. “Terimakasih, Lindsy.”

“Tenang saja. Aku kubalas si pengacau itu nanti.”

“Jangan, Lin,” cegah Gizma. “Biarkan saja. Aku tidak apa-apa, kok.”

“Ini bukan masalah dia merisakmu, Giz,” tukas Lindsy. Wajahnya cemberut. “Dia merusak jadwal sarapanku. Harusnya sekarang aku sedang makan risoles, donat, dan minum coklat panas di kantin, bukannya mengurusi permen karet ini. Lihat saja, aku tidak pernah membiarkan siapa pun merusak jadwal makanku.”

Gizma tercengang, kemudian tawanya meledak.

%%%%%

“Tas barunya, yang kemarin dia pamerkan ke mana-mana.”

“Wah? Hancur, dong?”

“Yang jelas, kotor semua. Tuh, dia sedang menangis di ruang kepala sekolah, mengadu.”

Alis Lindsy terangkat dan dia kembali ke kelas dengan senyum lebar. Kerumunan di depan kelas Lina cukup memberinya info tentang apa yang sedang terjadi. Gizma menatap Lindsy dengan pertanyaan di matanya. Ia gugup dan tidak berani bergerak sejak tadi, seperti seorang buronan yang takut terlihat oleh polisi.

“Lindsy?”

“Berhasil, Giz.”

“Ya, ampun.” Wajah Gizma bersemu merah. Ia ingin tertawa, tetapi rasa takut tetap membuatnya gugup. “Aku takut ketahuan, Lind. Dia itu sebenarnya cengeng dan suka mengadu, lho.”

“Biarkan saja. Yang paling penting adalah, ada yang berani melawannya. Seorang perisak biasanya hanya berani bertindak kalau dia beramai-ramai atau korbannya lemah dan takut. Pilih salah satu, lawan dia ketika sendiri, atau cari siasat untuk membuatnya mundur.”

Gizma tersenyum dan mengangguk pelan. Bagaimana pun, ia tidak seberani Lindsy untuk melawan Lina dan kelompoknya. Sejak kelas X ia sudah sering menjadi bahan olok-olok Lina. Mungkin karena ia terlalu pendiam, gemuk, dan jelek. Alasan yang paling mudah untuk membuat seseorang merisak yang lainnya.

Baru satu bulan Lindsy menjadi teman satu bangku, Gizma sudah merasa hari-harinya di sekolah menjadi lebih menyenangkan. Lindsy berani dan tidak pernah membiarkan Lina merajalela di sekitarnya. Dia tahu, Lina mempengaruhi teman-teman yang lain untuk menjauhi Lindsy karena cemburu dan merasa tersaingi. Namun, Lindsy bukan gadis yang mudah digertak. Dia sama sekali tidak terpengaruh oleh perilaku Lina. Lindsy tetap tenang dan santai seperti biasa.

Kemarin sore, tiba-tiba saja Lindsy datang ke rumah Gizma dan mengajaknya melakukan sesuatu. Balasan untuk Lina. Lindsy berkeras Lina  telah merusak jadwal sarapan paginya, karena ulah Lina mengerjai Gizma telah membuat  Lindsy repot  mengurusi rok Gizma yang lengket dan kotor.

“Jangan, Lind. Aku takut.”

Lindsy menepuk-nepuk kepala Gizma lembut. “Tenang. Aku tahu caranya, kok. Kamu diam saja dan perhatikan, ya. Kita akan buat si pengacau itu kapok.”

Lindsy memasukkan potongan-potongan lipstik beraneka warna itu dengan hati-hati, mengaturnya agar menyebar merata. Menurut pengalamannya, siswa yang memasukkan tas ke dalam laci bawah meja biasanya tidak akan memeriksa dulu. Mereka akan langsung saja memasukkan tasnya.

Besok pagi, Lina juga akan melakukan hal yang sama. Dia akan memasukkan tasnya ke dalam laci tanpa memeriksa dulu ada apa di dalam lacinya. Lipstik yang disebarkan Lindsy akan menodai tasnya tanpa ampun.

“Lind, bagaimana kalau Lina marah dan mencari keributan denganmu? Aku khawatir.”

“Nggak apa-apa. Aku sudah biasa menghadapi orang-orang seperti Lina.”

Lindsy dan Gizma, berjalan bergandengan tangan dengan satu tangan yang lain masing-masing memegang es krim. Mereka sengaja datang ke sekolah setelah lepas maghrib, untuk menyimpan potongan-potongan lipstik yang sengaja dipatahkan, di laci bawah meja Lina.

Gerbang sekolah ditutup, tetapi Lindsy tahu jalan lain. Ia memutar lewat tembok belakang, dekat kantin sekolah. Mak Uki—istri Pak Iday, penjaga sekolah dan pengelola kantin sudah memberinya ijin masuk lewat pintu kecil di belakang yang terhubung ke rumahnya. Mak Uki menyukai Lindsy yang ramah dan royal. Dia sering membayar lebih dari jajanan yang diambilnya dan kadang-kadang membawakan buah-buahan.

“Tapi, Neng, jangan lama-lama, ya,” ujar Mak Uki ketika meminta ijin kembali ke kelas. “Keburu Bapak pulang nanti.”

“Nggak, Mak. Cuma menyimpan surat, masa lama.”

“Surat buat siapa, sih, Neng? Kenapa nggak diberikan sekarang?”

Lindsy mendekatkan dirinya pada Mak Uki dan berbisik. “Rahasia, Mak. Gizma naksir cowok di kelas IPA 2 dan dia terlalu pemalu. Nah, kalau surat itu disimpan di lacinya nanti malam, besok pagi-pagi pasti terlihat, kan.”

“Siapa, Neng, cowoknya?” tanya Mak Uki penasaran.

“Ih, Mak, kan rahasia. Nanti kalau Mak tahu, terus Mak rebut cowok itu, kasihan Gizma, dong,” ledek Lindsy sambil tertawa.

Mak Uki menepuk paha Lindsy dan ikut tertawa. “Anak ini, ada-ada saja. Ya sudah nanti lepas maghrib saja ke sini. Mak buka pintunya.”

“Ayo. Giz, ke kantin. Aku membawa apel dan mangga untuk Mak Uki. Untukmu juga ada. Kemarin papaku pulang membawa buah-buahan banyak sekali, pemberian rekannya di proyek.”

“Papamu tidak marah, kamu sering memberikan oleh-oleh darinya untukku dan Mak Uki?"

“Tentu saja tidak. Dia malah senang kalau makanan yang dibawanya selalu habis. Di rumahku tidak ada siapa-siapa selain kami berdua, bagaimana caranya menghabiskan semua itu? Ayo, Giz, nanti istirahat keburu selesai.”

Lindsy dan Gizma baru setengah jalan ke arah kantin, ketika seorang cowok memanggil dari belakang.

“Lindsy!”

Lindsy dan Gizma menoleh serempak. Alis Lindsy terangkat melihat cowok yang berjalan mendekat. “Ya?”

“Kamu dipanggil ke kantor Kepala Sekolah.”
%%%%%

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top