Lina Menghilang
Risti menggenggam tangan Asya erat-erat. Wajahnya merah dan matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Asya mengusap sudut matanya yang terasa perih dan mengguncang tangan Risti.
“Sudah, Ris. Kita percayakan saja semua pada pihak yang berwajib. Mereka pasti akan segera menemukan Lina.”
“Aku khawatir, Sya. Lina nggak akan menghilang begitu saja. Ini aneh.”
“Kalian belum mendapat kabar apa-apa tentang Lina?”
Risti dan Asya menoleh bersamaan. Evan mengambil tempat duduk di sebelah Risti. Ia melihat orang tua Lina baru saja berjalan keluar dari kantor kepala sekolah dengan seorang polisi bersama mereka. Pembina OSIS juga sudah memanggil Evan dan meminta agar Evan membantunya membuat pengumuman mengenai Lina.
“Apa yang harus kita lakukan, Van?” tanya Risti memelas. “Ini sudah hampir satu minggu dia menghilang.”
Evan berhitung dalam hati dan membenarkan perkataan Risti. Ini sudah hari kelima sejak terakhir kali Lina terlihat. Tidak ada yang tahu di mana keberadaanya. Lima hari yang lalu, Evan melihat Lina masih di dalam kelas, setelah jam pulang sekolah, sedang mengotak-atik sesuatu di dalam kelas.
“Kamu belum pulang, Lin?” tegur Evan sambil memasuki kelas. “Semua teman-temanmu sudah pulang, kan?”
Lina mengalihkan perhatian kepada Evan. Senyumnya mengembang lebar melihat Evan menghampiri. Ia melambai. “Sebentar lagi, Van. Ada yang harus aku lakukan hari ini. Penting.” Lina mengulurkan sesuatu di tangannya kepada Evan. “Ini. Bisakah kamu menolongku memasang slide film? Aku tidak tahu caranya.”
Evan mengambil kamera berwarna merah dengan motif bunga-bunga kuning yang disodorkan Lina. “Kamera baru?”
“Ya. Aku harus mencari bukti dengan kamera ini.”
“Bukti?” Alis Evan terangkat. Tangannya yang sedang bergerak membuka tutup tempat memasang slide film berhenti. “Maksudmu bukti apa? Kamu sedang melakukan sesuatu?”
“Van,” panggil Lina sambil mendekatkan diri kepada Evan. “Kamu tahu soal Lindsy, kan? Jangan bilang kamu tidak mendengar beritanya. Aku tahu kamu sudah mendengarnya dalam beberapa hari ini.”
“Lindsy?” Evan bergumam. “Berita tentang dia tinggal serumah dengan seorang cowok? Pacarnya? Kamu yang menyebarkan berita itu, kan?”
“Aku melihatnya dengan mata dan kepala sendiri, Van,” sergah Lina kesal. “Semua orang menganggap aku hanya berusaha menjatuhkan Lindsy karena cemburu. Well, memang awalnya seperti itu. Aku tidak menyukai Lindsy karena dia sok dan karena dia ..., er, membuatmu menjauh dariku. Tapi, aku benar-benar melihat dia dengan cowok itu malam-malam bercumbu di teras rumahnya, Van.”
“Untuk apa kamu mengintip rumahnya malam-malam?”
“Aku ingin mengerjainya. Aku membawa karung berisi sampah untuk kutaburkan di teras rumahnya malam itu dan sampai di sana aku melihat mereka berdua. Sialnya, aku lupa membawa telepon genggamku dan nggak bisa mengambil foto mereka.”
“Masalahnya, Lin, Lindsy itu bukan pacar siapa pun. Dia berhak melakukan apa saja dengan siapa saja, apalagi di rumahnya sendiri. Kamu nggak berhak memata-matai dan kemudian menyebarkan berita yang belum tentu benar tentang dirinya.”
“Aku hanya ingin menunjukkan kepada semua orang yang mengaguminya bahwa dia bukan seperti yang mereka pikirkan. Kalian semua sudah tertipu olehnya. Dia nggak sebaik dan sehebat yang selama ini kalian sangka.”
Evan menutup tempat slide film dengan putus asa. Ia menyodorkan kamera itu kepada Lina dan menatapnya dengan sungguh-sungguh. “Aku nggak tahu apa rencanamu, tapi aku harap kamu pikirkan kembali apakah apa yang akan kamu lakukan itu benar. Kurasa sebaiknya kamu lebih berhati-hati, jangan sampai emosi membuatmu malah melakukan kesalahan yang merugikan diri sendiri.”
Evan berdiri dari kursi dan meninggalkan Lina.
Evan menatap ke arah kantin. Lindsy dan Gizma terlihat duduk berdua di sudut kantin sambil makan sesuatu. Mereka makan sambil mengobrol, sesekali tertawa bersama dan membalas sapaan teman-teman yang menegur. Tidak ada beban atau kekhawatiran sama sekali.
“Van, kamu punya dugaan tertentu tentang hilangnya Lindsy?” tanya Asya, membuyarkan lamunan Evan. “Kamu dan Lina juga dekat selama ini.”
“Nggak,” jawab Evan dengan berat hati. “Kami jarang mengobrol akhir-akhir ini. Aku nggak bisa menduga apa-apa.”
“Kamu terlalu asyik pada mainan baru,” tuduh Risti dengan nada ketus. “Padahal dulu kalian adalah pasangan yang serasi, sebelum Lindsy muncul dan membuatmu berpaling dari Lina.”
“Risti!” sergah Evan gusar. “Nggak ada ikatan apa pun antara aku dengan Lina. Kami memang dekat, tapi sebatas teman biasa saja. Kami sudah berteman sejak di sekolah dasar dan kebetulan rumah kami juga berdekatan. Jangan asal bicara dan menimbulkan gosip.”
Risti mencebik kesal. “Terserah apa pun katamu, Van. Kamu memang cowok playboy. Lihat saja, kalau sampai Lina kembali, nggak akan aku biarkan dia dekat denganmu lagi. Kamu hanya selalu membuatnya kesal dan menangis.”
“Apa maksudmu?”
“Sejak kedatangan Lindsy dan melihatmu begitu antusias mendekatinya, Lina sering melamun dan bersedih. Dia juga jadi semakin emosional. Apa kamu tahu bahwa selama ini Lina menyukaimu lebih dari sekedar teman sejak kecil? Kalian para mahluk berjenis kelamin laki-laki memang nggak punya hati.”
Risti menghentakkan kaki ke lantai untuk mempertegas kemarahan dan berbalik, berjalan cepat menjauhi Evan. Asya dan Ulfa berpandangan kemudian mengekori Risti dengan langkah tergesa-gesa.
Evan mendesis kesal dan mengalihkan pandangan kembali ke kantin, Lindsy dan Gizma sudah tidak ada di sana.
%%%%%
“Sudah hampir satu minggu, Lin,” ujar Gizma pelan. “Aku melihat ibunya datang lagi ke sekolah tadi pagi, dengan seorang polisi.”
“Kemana dia sebenarnya,” sahut Lindsy sambil berpikir. “Kalau dugaanku benar, tempat terakhir yang dia datangi sebelum menghilang pasti rumahku, kan?”
“Kamu yakin?”
“Nggak juga. Aku hanya mendengar sekilas saja ketika melihat dia dan Evan berduaan di dalam kelas, membicarakan aku. Kurasa dia berniat menyelidiki rumahku dan mencari bukti bahwa aku bermesraan dengan cowok di rumahku sendiri.”
“You did it?”
“Eh, kenapa kamu menanyakan itu?” Alis Lindsy bertaut. “Tentu saja nggak begitu. Kami hanya mengobrol biasa. Kebanyakan hanya obrolan tentang rumah dan keadaan sekitar.”
“Hm. Mungkin nggak seperti itu yang terlihat oleh Lina. Dia pasti kesal karena banyak yang tidak nggak percaya pada omongannya dan menganggap dia hanya ingin mengada-ada untuk membalasmu.”
“Itu sebabnya dia kembali untuk mencari bukti.”
“Kamu sudah memeriksa halaman dan sekita rumahmu? Siapa tahu ada barang milik Lina tercecer di sana selagi mengintai?”
“Nggak ada apa-apa di sana.”
“Huft! Untung saja. Kalau sampai Lina datang ke rumahmu dan meninggalkan sesuatu di sana, kamu pasti harus berurusan dengan polisi.”
“Aku juga nggak akan tinggal diam kalau sampai menemukan jejak Lina di rumahku, terlepas dari tujuannya mendatangi dan mengintai rumahku.”
“Hati-hati, Lind, jangan sampai ada orang lain yang tentang dia di rumahmu. Aku khawatir akan terjadi masalah besar kalau sampai ketahuan. Aku kasihan padanya, tapi aku lebih khawatir padamu.”
Lindsy tidak menjawab. Ia mengambil sebuah buku dari rak dan berjalan menuju meja baca. Gizma melakukan hal yang sama dengannya dan duduk di sebelah Lindsy.
Evan merangkak pelan menjauhi koridor di antara rak buku, tempat ia berjongkok sebelumnya. Langkahnya cepat ketika ia keluar dari perpustakaan. Ia mendengar pembicaraan Lindsy dan Gizma sebelumnya, di balik rak buku tempat mereka berdiri dan berbisik-bisik. Membicarakan Lina dan seseorang lain yang mereka sebut sebagai “dia”.
Ada yang aneh dengan menghilangnya Lina. Evan yakin, Lindsy dan Gizma terkait dengan itu. Ia tidak akan tinggal diam.
%%%%%
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top