Jangan Suka Penasaran

“Jadi, kamu nggak makan pagi dan makan siang?”

“Kadang-kadang,” tawa Weldy sambil melipat selimut. “Aku nggak terlalu banyak makan, sebenarnya.”

“Aneh. Pantas saja kamu begitu kurus. Memangnya kamu nggak pernah mencoba memasak?”

“Memasak?” Weldy memandang sekeliling ruang bawah tanah. “Aku bisa mati tercekik asap kalau memasak di sini. Nggak. Aku hanya membeli makanan yang kuinginkan saja, untuk kuhabiskan sekali makan. Lebih praktis.”

“Jangan-jangan, kamu melakukan semuanya karena harus bersembunyi di sini? Kamu nggak mau ketahuan orang-orang kalau kamu tinggal di sini? Kenapa?”

Weldy menoleh dan menatap Lindsy dengan alis terangkat. “Kamu ternyata lumayan cerewet.” Tangan Weldy terangkat dan mengelus pipi Lindsy lembut.

“Hei!” Lindsy menjauhkan diri dari Weldy. Ia meraih bantal dari atas sofa dan melemparnya kepada Weldy. “Jauhkan tanganmu. Dingin!”

Weldy tertawa terkekeh-kekeh melihat wajah Lindsy merona. “Sejak dulu aku memang nggak suka berada di luar rumah. Keluargaku bukan jenis keluarga yang suka bergaul dengan tetangga sekitar. Kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama di dalam rumah, bersama-sama. Aku bahkan mengambil program home schooling. Keluargaku .... rumit.”

“Itu sebabnya kamu jadi sangat kehilangan dan memilih tetap tinggal di sini—meski pun harus hidup seperti hantu, setelah keluargamu nggak ada?”

“Sort of,” jawab Weldy pelan. “Aku menikmati hidupku dengan baik.”

“Tapi, apa itu cukup? Kamu harus mencari pasangan dan menikah dengan seseorang kelak, kan? Atau kamu sebenarnya sudah mempunyai kekasih? Gadis yang bekerja bersamamu di kelab itu, mungkin?”

“Aku senang sekali,” ujar Weldy. Ia menoleh dan menyunggingkan senyum kepada Lindsy. “Kamu ternyata mempunyai kepedulian terhadapku.”

“Tutup mulut!” tukas Lindsy. Wajahnya merona lagi. “Aku hanya ingin tahu, sampai kapan kamu berencana tetap tinggal di ruang bawah tanah rumahku. Aku memberimu ijin tetap tinggal di sini karena aku kasihan padamu—terlepas apakah kisah yang kamu ceritakan itu benar atau nggak, begitu adanya atau dilebih-lebihkan. Tapi, kamu nggak boleh membawa orang lain ikut tinggal di sini."

“Orang lain?”

“Kekasihmu. Atau istrimu, kalau nanti kamu sudah menikah.”

Kening Weldy berkerut. “Aku nggak akan menikah dengan siapa pun.”

“Apa?” alis Lindsy bertaut. “Nggak mungkin kamu tidak menikah. Atau jangan-jangan kamu mengidap gamophobia?”

“Apa itu?”

“Takut untuk menikah dan membuat komitmen dengan seseorang.”

Weldy menatap Lindsy. Ia menyukai tatapan gadis itu, yang penuh selidik dan ingin tahu. Kedua alisnya yang tebal bertaut, menaungi sepasang mata dengan iris berwarna coklat hangat dan bibirnya yang penuh setengah terbuka. Tanpa sadar, tangan Weldy terulur dan menyentuh bibir Lindsy.

Lindsy terkesiap ketika jari telunjuk Weldy mengusap bibirnya. Ia memundurkan kepala. Jari Weldy terasa dingin seperti es, tetapi hati Lindsy malah terasa hangat. Mata Weldy penyebabnya, mungkin. Mata itu menatap Lindsy dengan lembut.

“Maaf,” desis Weldy seraya menurunkan tangan. Ia mendekatkan kepala pada Lindsy dan tersenyum simpul. “Seandainya benar aku mempunyai phobia seperti itu, sepertinya sekarang akan sembuh. Kamu bisa jadi obatnya.”

Lindsy mendorong dahi Weldy dengan telunjuknya pelan dan tertawa. “Aku nggak suka cowok bermulut manis. Pulanglah. Aku mau tidur.”

Weldy tertawa geli. Ia menarik tangan Lindsy dan mengecup punggung tangannya sekilas. “Aku serius. Tidurlah. Aku akan menjagamu dari tempatku.”

Sepasang mata memerhatikan adegan di teras rumah Lindsy dengan kening berkerut.
%%%%%

Lindsy meletakkan tas di atas meja dan duduk di kursinya dengan wajah menekuk. Ada yang aneh pagi ini. Ia tahu, sejak kedatangannya ke sekolah ini, selalu ada saja orang yang menatapnya saat berjalan. Namun, bukan dengan pandangan aneh seperti yang baru saja terjadi. Bahkan, beberapa kelompok gadis-gadis di depan kelas masing-masing dan di koridor, saling berbisik ketika ia melewati mereka.

“Lind?”

Gizma duduk di sebelah Lindsy. Ia melihat wajah Lindsy yang suram, tidak seperti biasanya. Lindsy bukan orang yang suka tertawa dan selalu tersenyum. Dia cenderung tidak banyak bicara dan dingin. Namun, wajahnya tidak pernah terlihat murung. Wajah datar berbeda dengan murung, menurut Gizma. Pagi ini, Lindsy cenderung murung.

“Giz.” Lindsy menyentuh tangan Gizma. Ia merendahkan suara. “Aku merasa ada yang aneh sejak datang tadi pagi. Semua orang yang berpapasan denganku menatap dengan aneh. Beberapa orang yang bergerombol malah berbisik-bisik sambil menatapku.”

“Bukankah itu sudah biasa?”

“Nggak, Giz. Ini berbeda. Mereka sedang membicarakan aku, bukan sekedar menatap. Aku yakin, isi pembicaraan mereka juga tentang sesuatu hal yang nggak baik.”

Kening Gizma berkerut. Ia berpikir sejenak. “Lin, aku akan mencoba mencari tahu. Tunggu sebentar di sini.”

Gizma keluar dari kelas dan berjalan menyusuri koridor ke arah toilet wanita. Biasanya, para biang gosip suka berkumpul di sana untuk membahas hal-hal yang menurut mereka wajib disebarluaskan atau hanya sekedar mencari kehebohan.

Gizma menyelinap ke dalam salah satu bilik dan mengunci pintu. Tidak lama ia mendengar beberapa orang gadis masuk ke dalam toilet dengan suara riuh. Ia memasang telinga dan mendengarkan pembicaraan mereka.

“Aku sih nggak yakin kalau itu benar. Nggak ada buktinya, hanya omongan Lina dan teman-temannya. Kalian tahu, kan, kalau mereka itu musuh bebuyutan Lindsy.”

“Masalahnya, Lindsy itu pindahan dari Jakarta. Maklum saja, kehidupan remaja kota besar dengan kita di sini jauh berbeda. Siapa tahu apa yang dikatakan Lina itu benar. Aku yakin, Lina nggak akan berani bicara sembarangan kalau dia tidak melihatnya sendiri.”

“Benar juga, sih. Lina sudah beberapa kali dikalahkan Lindsy, dia pasti nggak akan berani macam-macam lagi dengan Lindsy, kecuali kalau dia yakin pada kebenaran beritanya itu.”

“Waduh, parah sekali kalau begitu. Yang aku tahu, ayahnya si Lindsy itu bekerja di luar kota dan jarang berada di rumah. Apa dia tahu kalau anak gadisnya suka membawa cowok ke rumahnya malam-malam?”

“Kata Lina, mereka malah bermesraan segala.”

“Iya. Pegang-pegangan tangan dan hampir berciuman. Nah, kalau Lina hanya mengada-ada, nggak mungkin dia hanya mengatakan hampir, kan. Sudah pasti ceritanya akan lebih heboh dan banyak tambahannya.”

“Lina melihatnya sendiri?”

“Entah. Kudengar dia sedang mencari cara membalas dendam pada Lindsy. Dia mengintip ke rumah Lindsy dan melihat adegan itu dari balik pagar.”

“Ih, ngeri. Malam-malam berduaan di rumah yang hanya ditempati sendiri. Mereka pasti nggaktakut ditangkap hansip dan dinikahkan mendadak.”

“Kalau cowoknya ganteng, sih, aku senang.”

“Uh, dasar. Ayo ke kelas, sebentar lagi bel masuk.”

Gizma menggigit bibir bawahnya. Ia mengerti apa yang sedang dibicarakan gadis-gadis di toilet itu. Mereka membicarakan Lindsy dan cowok yang berada di rumahnya. Cowok  yang disebut bermesraan dengan Lindsy. Itu pasti Weldy.

Lindsy dan Weldy bermesraan di teras rumah tadi malam. Gizma menelan ludah yang terasa pahit. Ini masalah.
%%%%%

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top