Gizma dan Kisah Sedih

“Serius, Giz? Mereka sama sekali tidak bertanya apa-apa?”

Gizma mengangguk pelan. Pipinya yang ditampar Lina dua hari yang lalu masih terasa perih. Namun, ada hal lain yang lebih perih daripada sekedar pipi yang ditampar. Orang tuanya sama sekali tidak bertanya, apalagi menghibur dan mengobatinya. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing.

“Orang tuaku sibuk. Mereka tidak punya waktu mengurusi anak sepertiku,” sahut Gizma lirih. Matanya terasa panas dan tanpa dapat ditahan, sebutir air bening mengalir melintasi pipi dan jatuh ke atas rok seragam. “Aku ini hanya seorang anak yang tidak terlihat, karena mereka jauh lebih sibuk melihat kesalahan satu sama lain.”

“Gizma.” Lindsy menarik Gizma ke dalam pelukan dan mengusap-usap punggungnya. Ia membiarkan sahabatnya itu menangis terisak-isak. Pantas saja Gizma begitu pemalu dan pendiam. Orang tuanya yang membuat Gizma menjadi seperti itu. “Menangislah sampai merasa lega.”

Gizma menyeka matanya setelah beberapa saat. Ia memegang lengan Lindsy dan tersenyum. “Terimakasih, karena kamu mau menjadi temanku. Belum pernah ada orang yang peduli dan membelaku seperti yang kamu lakukan. Kamu pasti kesal karena aku terus-menerus menyusahkanmu, Lind.”

“Hei!” Lindsy menjentik dahi Gizma pelan. “Membentuk opini tanpa melihat latar belakang masalah, itu namanya julid. Aku nggak merasa disusahkan, kok. Baru kali ini aku memiliki teman bukan karena apa yang aku miliki, tapi karena dia benar-benar menyukai diriku.”

“Maksudmu?”

“Pokoknya, ketika aku pindah, aku nggak merasa kehilangan teman-temanku di sana. Aku bahkan nggak peduli, kalau di sini aku nggak mempunyai teman sama sekali. Namun, ternyata aku bertemu denganmu. See? Who’s lucky here?”

Pipi montok Gizma merona. “Aku kira hidupmu baik-baik saja. Kamu cantik, cerdas, dan kaya. Orang tuaku, mereka jarang berbicara denganku, kecuali hanya untuk memberi perintah atau marah. Mereka juga jarang berbicara satu sama lain, kecuali untuk bertengkar. Entahlah. Kadang-kadang aku bingung, untuk apa mereka menikah dan mempunyai anak, kalau hanya untuk diperlakukan seperti aku sekarang.”

“Kadang-kadang, orang dewasa memang suka mengambil keputusan yang nggak masuk akal. Papa aku juga begitu. Katanya, dulu dia dan mamaku menikah tanpa restu orang tua mereka. Jadi, sampai sekarang aku nggak pernah dekat dengan Nenek dan Kakek dari kedua belah pihak. Kata Papa, dia nggak menyesal melakukan hal itu, karena cintanya pada mamaku.”

“Papamu nggak pernah menikah lagi? Dia masih muda dan tampan.”

“Ada seorang sahabat mamaku yang dekat dengannya. Namun, kelihatannya Papa benar-benar hanya menganggapnya teman. Entahlah.”

“Lindsy!”

Lindsy dan Gizma menoleh. di ambang pintu kelas, Evan berdiri dengan sebuah gulungan karton terkepit di lengan kirinya. Dia tersenyum dan melambai kepada Lindsy. Gizma menepuk lengan Lindsy dan berbisik. “Evan naksir kamu.”

Lindsy tersenyum misterius. Ia beranjak dari kursi dan menghampiri Evan. Gizma memperhatikan mereka dengan tatapan tidak terbaca.
%%%%%
Gizma berdiri di depan gerbang besi berwarna hitam yang kokoh dan tinggi. Sulur-sulur mawar pagar berwarna merah marun dan merah muda menjalar di antara batang-batangnya, seperti tirai.

Pintu gerbang itu tidak tertutup rapat. Ada sedikit celah terbuka di atara ambangnya. Gizma menyelinap masuk dan berjalan pelan melintasi jalan setampak berumput panjang menuju rumah besar di depannya.

“Lindsy?”

Gizma mengetuk pintu dan menunggu. Ia berdiri dengan kaku. Sebuah tas ransel besar tergeletak di samping kakinya. Gizma mempertanyakan apakah keputusannya datang ke rumah ini tepat. Rumah besar di depannya ini tampak misterius dan dingin. Halaman luas tidak terawat dan jendela-jendela besarnya seperti wajah dengan mata besar dan janggut lebat.

“Gizma?” Lindsy berdiri di ambang pintu, menatap Gizma dengan alis terangkat. Ia melihat ransel besar di kaki temannya itu. “Kamu mau ke mana, dengan ransel sebesar itu?”

Wajah Gizma memerah dan matanya berkaca-kaca. “A-aku boleh menginap di sini? O-orang tuaku ....,”

“Masuk,” pungkas Lindsy memotong ucapan Gizma. Ia menarik tangan Gizma dan mengambil ransel. Lindsy menggiring Gizma masuk dan menutup pintu. “Duduk dulu. Aku ambilkan minum.”

Gizma menuruti Lindsy dan duduk di atas sofa panjang dan empuk di ruang tamu. Ia melihat berkeliling ruangan dan mendesah takjub. Ruangan dalam rumah ini luas dan tidak bersekat. Ruang tamu bersambung dengan ruang keluarga, ruang makan, dan dapur tebuka. Sofa-sofa besar dari bahan kulit mengisi ruang tamu, sedangkan ruang keluarga dipenuhi oleh karpet tebal dan bantal-bantal hias di atasnya. Sebuah televisi besar dan perangkat stereo modern, piano dan lemari sepanjang dinding melengkapi ruang tengah. Ruang makan bergaya bar menyatu dengan dapur bersih.

“Giz, minum.” Lindsy menyodorkan gelas berisi cairan berwarna oranye. Ia duduk di sebelah Gizma dan memeluk bantal sofa. “Kabur?”

Gizma meletakkan gelas di atas meja setelah meminum isinya sedikit. Ia menatap Lindsy dan melihat pandangan bertanya di matanya. “Aku tidak tahan mendengar suara bising pertengakaran orang tuaku, Lin. Sekarang mereka mulai saling mengungkit kesalahan di masa lalu dan melemparkan barang-barang.”

“Hm. Itu pasti terlihat seperti adegan sinetron di stasiun televisi ikan terbang, kan,” ucap Lindsy jenaka. Ia melebarkan tangan dan menarik Gizma ke dalam pelukan. Ia mengusap-usap punggung Gizma lembut. “Kamu datang di saat yang tepat, my partner in crime.”

“Kamu nggak keberatan aku menginap?” tanya Gizma hati-hati. “Papamu, marah nggak?”

“Nope! Papaku baru saja berangkat ke Surabaya selama tiga atau empat hari. Sialnya, Bibik yang biasa datang untuk beres-beres rumah dan memasak, mendadak minta ijin untuk tidak bekerja dulu karena anaknya yang kecil sakit dan harus dirawat. Jadi, aku sendirian.”

Gizma bergidik dan memandang berkeliling. “Kamu nggak takut, sendirian di rumah sebesar ini?’

“Nggak. Aku nggak suka suasana terlalu ramai dan nggak pernah merasa nyaman di antara banyak orang, sebenarnya.”

“Kenapa?” tanya Gizma hati-hati. “Di Jakarta, kamu punya banyak teman pastinya, kan.”

“Banyak.” Lindsy menghela napas dan cemberut. Wajahnya berubah keruh. “Semua menyukai Lindsy yang kaya raya dan royal, yang mempunyai barang-barang bagus dan mahal. Jadi, ketika mereka tahu papaku bangkrut, semua berubah. Mereka menjauh dan aku berubah menjadi seorang pesakitan.”

“Mereka jahat sekali,” rutuk Gizma kesal. “Aku heran kenapa banyak sekali perisak di dunia ini. Perisak yang terang-terangan mengganggu dan menjahati orang lain, juga perisak terselubung. Orang-orang yang berpura-pura baik dan dekat karena mempunyai maksud tertentu saja, kemudian mencela dan menjatuhkan saat orang yang dituju sudah tidak sesuai keinginan mereka.”

Lindsy tercenung. Ia menatap Gizma sejenak kemudian senyumnya melebar. “Nggak usah mikir yang berat-berat, deh, ya. Kita punya banyak hal yang harus dilakukan mulai malam ini. Yuk, ke kamarku dulu.

Lindsy mengambil tas ransel Gizma dan mengajaknya ke kamar. Gizma berdiri di ambang pintu dengan mata terbelalak. Kamar tidur Lindsy sangat berbeda dengan kamarnya sendiri yang bernuasa feminin. Warna cat dinding merah muda pucat, lukisan, foto-foto. dan gambar-gambar lucu di dinding, penutup tempat tidur motif bunga, boneka-boneka bulu lembut dan karpet berwarna merah marun adalah isi dominan kamar tidur Gizma.

Kamar Lindsy di cat dengan warna biru dongker di satu sisi dan warna putih dan abu-abu di tiga sisi lainnya, dibuat dalam bentuk mozaik. Tempat tidur besar diletakkan di bagian tengah, di atas karpet tebal yang mengisi hampir seluruh ruangan. Perangkat televisi dan pengeras suara yang lebih kecil daripada yang ada di ruang keluarga diletakkan miring di sudut kamar, bersisian dengan sebuah boneka Jack O’Lantern ukuran raksasa, berdiri dengan tubuh kurus dan tinggi sambil menyeringai. Tangannya yang panjang memeluk sebuah boneka beruang yang penuh luka dan kepalanya dibalut perban.

Lemari besar berwarna abu-abu, menyatu dengan meja belajar dan lemari buku mengisi dinding bagian barat. Dua buah bantal-bantal besar berbentuk bulat, masing-masing dengan motif tengkorak hitam dan putih diletakkan sembarangan di dekat tempat tidur dan beberapa buah novel dan majalah berserakan di dekatnya. Gizma bergidik.

“Lin, kamarmu, seram,” ujar Gizma sambil melangkah ke dalam. “Ini, seperti Haloween.”

Lindsy tertawa dan menaruh tas ransel Gizma di sudut kamar. Ia menarik tangan Gizma dan mengajaknya duduk di atas bantal besar. “Aku yakin, kamarmu pasti bernuansa merah jambu dengan boneka-boneka bulu yang lucu dan penutup tempat tidur berbunga-bunga.”

Gizma tersenyum malu dan mengangguk tanpa menjawab. Ia sama sekali tidak menyangka, gadis secantik Lindsy ternyata mempunyai banyak keunikan. Mereka seperti langit dan bumi, tetapi anehnya Gizma merasa nyaman berada bersama Lindsy di kamarnya yang bernuansa horor ini. Satu-satunya yang terasa feminin di dalam kamar ini adalah wangi vanilla yang manis dari penyegar ruangan di sudut dinding.

“Besok setelah sarapan, aku harus membereskan kebun. Kamu mau membantu? Papa membeli beberapa bibit bunga dan pohon buah-buahan yang harus aku tanam.”

“Aku suka berkebun,” jawab Gizma antusias. “Aku mempunyai sebuah rumah kaca kecil di rumahku. Yah, meski pun sekarang rumah kaca itu tidak terurus.”

“Bagus! Kita akan bersenang-senang besok. Siapa tahu kita menemukan satu atau dua kuburan tua di halaman belakang itu.”

“Lindsy!”

Lindsy tertawa terbaha-bahak melihat wajah Gizma yang memucat.
%%%%%

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top