What Stays, What Not (2)
Minggu pagi, Yuna mendapat tugas belanja mingguan dari ibunya. Selain dekatnya jarak toko dan peluang menikmati udara luar setelah sekian lama, nilai plus lain belanja hari ini adalah uang lebih yang—mengutip kata sang ibu—'terserah mau kaupakai apa'. Jumlahnya kira-kira cukup untuk sebungkus es krim atau susu kotak stroberi.
Sebungkus? Aku bisa dapat dua kalau diskonnya kuhitung.
Untuk ketiga kali, Yuna melakukan kalkulasi awang yang mengacu pada daftar belanjaan, menerka berapa harga barang-barang tersebut dengan kortingnya sekali. Saking seriusnya, gadis itu tidak menyadari seseorang yang berjalan sama tak fokus dengan dirinya dari arah berlawanan. Ia memekik terkejut ketika orang ini tak sengaja menyenggol bahunya agak keras.
"Ma-Maafkan aku! Aku kurang hati-hati .... Maaf!"
Seorang gadis yang tampak sebaya Yuna, dengan mata bulat besar dan pipi penuh, berulang-ulang membungkukkan tubuh tanda menyesal. Yuna yang tidak terlalu memikirkan ikut menunduk-nunduk, mengatakan 'tidak apa-apa' pada dara yang wajahnya becek oleh jejak tangis itu. Rasanya wajar jika seseorang yang habis menangis menjadi kurang awas, jadi Yuna tidak terlalu ambil pusing, walaupun penyebab menangisnya gadis tadi masih ia pertanyakan hingga melewati pintu minimarket.
"Selamat datang."
Suara yang familier ini membuat Yuna berpaling ke meja kasir sesaat sebelum mengambil keranjang belanjanya. Ia disambut senyum pramuniaga yang lebih lebar dari standar, juga menular, pada wajah yang (janggalnya) kucel.
"O, Seokmin-a! Kamu juga ada shift Minggu pagi?"
Kawan Yuna yang pekerja keras tersebut memang tidak lagi menjadi pekerja paruh waktu di hari kerja, tetapi Sabtu-Minggunya sangat padat demi tugas di meja kasir minimarket, pembagi selebaran di taman kota, loper koran, dan pelayan coffee shop. Menurut jadwal yang Yuna ingat, Seokmin harusnya berkeliling mengantarkan koran di Minggu pagi alih-alih berjaga di balik mesin kasir toko ini.
"Aku menggantikan seseorang sementara, jadi shiftku memanjang lima jam. Sebentar lagi orangnya datang, kok."
Yuna manggut-manggut. "Kalau begitu, hwaiting! Aku akan jadi pembeli terakhirmu sebelum pulang."
Benar saja. Pegawai yang harusnya mengisi shift Minggu pagi datang setelah pembeli berikutnya masuk. Seokmin memberi kesempatan orang yang ia panggil 'Hyeong' itu berganti seragam, jadi ia masih kebagian tugas menghitung total belanja ketika Yuna selesai. Di tengah menunggu kembalian serta nota, gadis itu menangkap sosok kurus tinggi dengan snapback menutup wajah yang sedang berteduh di serambi minimarket.
"Dia seperti Minghao."
"Siapa—o." Seokmin tertawa kecil begitu tatapannya jatuh pada arah yang sama dengan Yuna. "Itu memang Minghao. Dia awalnya mencariku ke rumah, tetapi Chan bilang aku masih bekerja, jadi dia menjemputku."
"Hah? Tumben. Kalian ada rencana setelah ini?" Yuna menerima kantung belanjanya.
"Kau penasaran?" gurau Seokmin. "Cemburu, ya?"
"T-Tidak! Aku cuma tidak menyangka kalian masih bertemu di luar sekolah." Pipi Yuna merona. Buru-buru ia mengalihkan pembicaraan pada kemasan kecil dingin yang dikaitnya dari dasar kantung belanja. "Nih, susu stroberi. Eomma memberi uangnya kelebihan, aku pakai buat jajan saja."
"Cie, ada yang ditraktir pelanggan."
Seokmin yang baru akan menyampaikan terima kasih sontak menoleh pada pegawai yang lebih senior darinya itu.
"T-Tolong jangan laporkan aku, Jonghyun-hyeong! Aku ... aku ...."
"Iya, aku mengerti. Ditraktir pelanggan bukan dosa juga, kali. Sudah, pulang sana dan tidur. Mukamu kusut, tuh."
"B-Baik. Terima kasih, Hyeong." Seokmin membungkuk, masih dengan susu stroberi di genggaman, lalu menyerahkan 'singgasananya' pada sang sunbae. "Aku mau ganti pakaian dulu. Terima kasih susu stroberinya, Yuna-ya."
"Eung."
Yuna dan Seokmin berjalan ke arah berlawanan. Gerak pintu kaca yang didorong membuka menarik perhatian pemuda yang sejak tadi hanya memandang ujung sepatunya—dan momentum itu memang Yuna tunggu-tunggu. Minghao mengerjap cepat, tak percaya akan bertemu sekretaris kelasnya terdahulu, dan ujungnya menyapa dengan sedikit enggan.
"Belanja mingguan?"
"Seperti yang kaulihat." Yuna tersenyum cerah. "Kau juga mau beli sesuatu?"
"Tidak, cuma menjemput Seokmin. Dia sudah digantikan, kan?"
Yuna mengiyakan. "Mau jalan-jalan bersama?"
"Kira-kira begitu," jawab Minghao sekenanya, kelihatan betul ingin percakapan ini segera diakhiri, berlawanan dengan mau Yuna.
"Bagaimana kelas baru?"
"Sama saja."
"Benarkah? Tanpa Mingyu juga sama saja?"
Minghao mengerang. "Kau macam ibu-ibu yang sudah lama tidak ketemu putranya, sumpah."
Yuna refleks menempelkan ujung-ujung jarinya ke bibir, merasa bersalah, tetapi masih ingin Minghao bicara lebih banyak. Entah, mungkin ia hanya kangen bahasa Korea Minghao yang cadel?
"Itu mengganggumu?"
"Ya, karena kau pasti akan membahas 3-E lagi. Aku sudah selesai dengan kalian dan tidak mau kembali, jadi tolong jangan bicarakan itu denganku. Aku tidak suka."
Apa? 'Tidak mau kembali', katanya?
"Kau harus kembali suka tidak suka, Minghao."
"Memang apa urusanmu? Kalau aku dikeluarkan, untung-ruginya aku semua yang menanggung, bukan kau!"
Suara Minghao meninggi, rahangnya terkatup rapat, dan Yuna mundur selangkah.
"Ming—"
"Dengar, keluargaku tidak pernah mempermasalahkan apa yang baik dan buruk untukku, lalu mengapa kau dan Jisoo sangat ikut campur? Aku tidak melihat apa bagusnya meneruskan belajar di kelas bobrok yang terus-terusan mengekangku. Lihatlah segalanya dari sudut pandangku, maka kau pasti akan merasakan hal yang sama. Berhentilah memaksakan semua pendapat—"
"Minghao, cukup."
Menurut Yuna, dari tiga sekawan asal 3-B yang pindah ke kelas istimewa, Seokmin adalah yang paling tenang dan selalu berhasil mengondisikan kedua temannya agar suasana tidak semakin panas. Kali ini tidak berbeda. Minghao serta-merta mengerem cercaannya sebelum memberi ruang supaya Seokmin bisa berdiri di antaranya dan lawan bicaranya.
"Kau akan membicarakan sesuatu yang penting, kan?"
"Ya. Sebaiknya, kita cepat ke rumahmu."
"Tidak. Kita antar Yuna pulang dulu dan ceritakan semuanya di jalan."
"Apa?!"
Pucuk-pucuk alis tajam Minghao bertemu di tengah, tetapi semengancam apa pun raut itu tidak menggoyahkan keputusan Seokmin.
"Buat apa dia ikut dan mendengarkan semuanya?"
"Karena dia harus tahu lebih lanjut soal tekadmu untuk berhenti dari Seoul Global High."
Rupanya, Minghao serius soal perkataannya barusan, Yuna mengeratkan pegangan pada kantung belanjanya. Selama ini, Yuna memandang Minghao sebagai siswa yang menikmati kompetisi, meski ia tidak seambisius anak-anak klub fisika dalam mencapai prestasi. Oleh karena itu, pernyataannya yang menyebut soal keluar dari sekolah terdengar tidak sungguhan, tidak peduli betapa menggebu ia mengucapkannya tadi.
"Oke, oke, aku akan ceritakan semuanya. Aku berani jamin kau akan memintaku untuk berhenti saja dari sekolah ini setelah ceritaku berakhir, Yuna."
Tantangan itu Yuna jawab tanpa gentar.
"Coba saja."
Masih tampak tak senang, Minghao beranjak dari serambi minimarket, mendahului Seokmin dan Yuna yang tak perlu waktu lama untuk menyamai langkahnya. Posisi mereka tidak berubah; Seokmin tetap berjalan di antara si pelajar Tiongkok dan gadis sahabatnya.
"Inti dari sekian banyak alasan mengapa aku ingin berhenti cuma satu, Seokmin-ah," Aku tidak dianggap, batin Yuna dongkol, "yaitu berhenti memenuhi harapan orang-orang. Sejak masuk lima belas besar, bibiku jadi selalu mengawasi belajarku. Beliau tidak menghukumku atau apa ketika aku keluar dari 3-E, tetapi harapannya sudah jelas: agar aku kembali. Selama ini, aku semangat belajar karena aku menyukainya, bukan karena memenuhi sasaran tertentu, apalagi sasaran itu ditentukan oleh orang lain. Ah, sudah lama aku tidak belajar dengan senang gara-gara sistem konyol Kepala Sekolah Park; bukankah aku memang harus keluar dari sekolah itu?
"Kedua, Jisoo juga tahu aku masuk 3-E. Sialan, aku tidak tahu memberitahunya bakal berefek separah ini. Kau tahu kan, dia setiap hari menanyaiku soal Ryu Sujeong?"
Sesuatu menyala di kepala Yuna. Jaehyun menyebutkan nama 'Park Jisoo' ketika berbicara dengan Sujeong di klinik sekolah bulan lalu. Apakah Jisoo yang Minghao sebut ini adalah Park Jisoo yang Jaehyun maksud? Yuna menyimpan pertanyaannya sejenak sebab Minghao tidak dalam posisi bisa disela.
"Aku berada dalam tekanan setiap hari dan dia menambah bebanku dengan menyuruhku mengawasi Ryu Sujeong! Itu mungkin mudah jika kami masih sekelas, tetapi Jisoo tidak mau tahu. Dia begitu marah waktu aku bilang terakhir melihatnya Rabu lalu; aku memang tidak sempat mengawasinya pada Kamis dan Jumat. Ryu Sujeong memang sahabat Jisoo dan Jisoo tidak bisa menjaganya lagi dari perundungan, tetapi haruskah itu menjadi tanggung jawabku sekarang?"
Tunggu, perundungan? Seseorang—atau sekelompok, yang lebih buruk—benar-benar merundung Sujeong?
"Dan, akhirnya," Seokmin menimpali, "dia memutuskan hubungan denganmu di depan minimarket tadi?"
"Ya! Gara-gara hal sepele seperti ini! Aku masih mengawasi Ryu Sujeong dan menghindarkannya dari bahaya sebisaku, tetapi Jisoo tidak mau menghargai usahaku!"
'Putus di depan minimarket' membawa Yuna pada dua kesimpulan. Satu, Jisoo sebelumnya adalah kekasih Minghao. Dua, kemungkinan besar, Jisoo adalah gadis bermata bulat yang menabraknya dalam perjalanan menuju minimarket.
"Jisoo sudah pergi, maka aku bisa melepas tanggung jawabku dengan tenang, kan?" Pada titik ini, Yuna rasa semua orang yang melintasi mereka bisa mendengar keluh kesah Minghao. "Tapi, kau tahu, Mingyu belakangan membanjiri kotak masuk ponselku, menanyakan apa aku mau belajar bersamanya. Tanpa mengatakannya secara terang-terangan pun, aku mengerti apa yang dia mau: aku kembali ke 3-E! Gila saja, kembali ke kelas siksaan itu? Aku lebih baik mati! Kami bisa tetap bersahabat di luar kelas, lalu mengapa dia memintaku kembali? Itu membuatku stres!
"Kegagalan memenuhi harapan orang-orang ini sangat memuakkan! Aku akan berhenti berusaha dan bersenang-senang seperti yang aku mau, tanpa memikirkan masa depan, bibiku, Jisoo, ataupun Mingyu ... dan satu-satunya jalan hanya keluar dari sekolah terkutuk itu!"
Dada Minghao kembang kempis di penghujung curahan hatinya yang lumayan panjang. Yuna juga menemukan kilatan di pelupuk mata Minghao yang mengumpul di bagian bawah, serupa genangan air mata, tetapi gadis itu tidak ingin mengartikan hingga setetes tangis jatuh betulan.
"Kau tidak ingin mengecewakan siapa pun, tetapi kau merasa tidak mampu memenuhi harapan mereka lagi sehingga memilih mundur. Begitukah?" Seokmin meringkas. Minghao cepat membenarkan.
"Selain itu, kau menganggap keluarnya dirimu dari 3-E adalah kegagalan yang tidak bisa ditoleransi mereka di sekitarmu." Sekali lagi, Minghao mengangguk setuju dan Yuna terpaksa melontarkan pertanyaan yang kurang tepat atas dorongan emosi.
"Jika kau keluar dan tidak lagi memedulikan harapan orang-orang, bukankah itu berarti kau telah mengecewakan dirimu sendiri?"
Minghao secara otomatis menyergah.
"Aku tidak kecewa! Berhenti adalah hal terbaik untukku!"
Kendati demikian, suara Minghao terpecah dan usahanya untuk menyembunyikan tangis gagal total. Ia bergegas menengadah untuk menyelamatkan harga dirinya yang berantakan.
"Kau sangat menjengkelkan, Choi Yuna ...."
Dalam diam, Seokmin menghampiri Minghao yang langkahnya baru saja terhenti, menepuk lembut bahu lungsur itu serta mengusapnya perlahan. Susah payah, Minghao menahan isakannya lolos, lengan bawah kemeja flanelnya ia gunakan untuk menutup kedua mata. Tak lama setelah itu, ia justru menunduk, menarik topinya serendah mungkin, dan Yuna dapat melihat punggungnya naik turun tak teratur. Seokmin mengisyaratkan agar Yuna berjalan di samping Minghao dan tetap diam untuk sementara waktu.
Ingin rasanya Yuna menyentuh telapak Minghao dan meyakinkan bahwa semua tidak akan berjalan seburuk dugaan pemuda itu, tetapi ia mengerti bahwa Minghao tidak membutuhkan omong kosongnya. Yuna tidak tahu apa yang terjadi dua minggu terakhir pada Minghao—selain keluar dari 3-E dan diputus kekasih—hingga merasa demikian putus asa. Mungkinkah pace belajar yang lambat di kelas reguler membuat cita-cita kembali ke kelas unggulan terlihat mustahil? Bisa jadi juga, Minghao kehilangan motivasi dengan tidak adanya Mingyu dan Seokmin—sahabat-sahabat baiknya—di sisi. Dia pun berkali-kali menyinggung soal sang bibi; apakah ada masalah yang lebih besar di keluarga Minghao yang berpengaruh besar pada kehidupan sekolahnya?
Yuna menghela napas dalam. Kata-kata Jaehyun kembali terngiang: bagaimana mengangkat mereka yang sudah merah tanpa ikut basah, itulah tantangannya.
"Kau ... pasti sudah menahan semua perasaan ini sendirian selama dua minggu ini. Aku minta maaf tidak bisa mendampingimu di saat-saat tersulit."
Minghao menggeleng: ini bukan salahmu.
"Seandainya aku bertanya, apa kau ingin kembali ke 3-E, apa kau masih akan menjawab tidak?"
"Aku ingin," Akhirnya, dia mengaku, kata Yuna lega dalam hati, "tapi tidak bisa ...."
"Mengapa?" Yuna merendahkan tubuhnya sedikit untuk mencari wajah mantan teman sekelasnya di balik snapback. "Kau kan rajin dan pandai."
"Kalau sifatku sesuai dengan perkataanmu, aku tidak akan keluar dari kelas."
"Jadi," Seokmin masuk dalam percakapan, "siapa pun yang berada di luar 3-E bukan orang yang pandai?"
"Bukan begitu ...."
"Lalu?"
Di bawah bayang-bayang topi, bibir Minghao mencebik lagi.
"Kurasa, a-aku hanya sangat kecewa pada diriku sendiri ...."
Kecewa pada diri sendiri. Sepanjang masa sekolahnya, Yuna sering sekali merasakan ini apabila nilainya berada di bawah standar kelulusan hingga harus mengikuti ujian perbaikan. Itu juga yang mencambuknya hingga bisa melaju di atas kecepatan rata-rata setelah masuk SMA, tetapi beberapa orang yang perfeksionis—misalnya Minghao—terdampak cukup hebat sampai kesulitan bangkit.
"Xu Minghao, temanku," Tahu-tahu, Seokmin berdiri di hadapan Minghao dengan kedua telapaknya belum meninggalkan bahu sang kawan, "kamu bukan orang yang mengecewakan buatku, justru sebaliknya; kamu adalah kekuatanku. Misalkan ucapanku tidak cukup meyakinkanmu bahwa kau bisa meraih apa pun yang kau inginkan, katakanlah apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu percaya."
Wajah Minghao terangkat untuk pertama kalinya dalam lima belas menit. Yuna baru sadar betapa tebal kantung mata Minghao dan bagaimana si jagoan kimia memucat setelah dua minggu berjalan.
"Aku akan pulang ke Haicheng jika bulan depan tidak masuk lima belas besar. Ya, bulan depan, kau pasti akan memandangku layaknya sampah."
"Kau belum hidup di bulan depan, jadi kau tidak akan tahu soal itu sekarang. Aku meyakini hal yang berlawanan," Yuna meraih telapak Minghao, "tetapi yakin maupun tidak, itu adalah pilihan. Kami selalu mengharapkan yang terbaik untukmu. Kamu boleh tidak kembali ke 3-E selama kamu memang tidak ingin kembali, bukan karena kamu merasa tidak bisa masuk ke sana."
Seokmin tersenyum saat ketiganya berjalan kembali.
"Dan, jika kamu pergi pun, aku akan usahakan di antara kita, tidak ada yang berubah. Kamu masih temanku, Mingyu, Yuna, dan bagian dari sekelompok pejuang di kelas istimewa."
Beruntung, setelah itu, Minghao bersedia jujur atas perasaannya sendiri. Ia belum bisa banyak berujar; kosakatanya hingga tiba di rumah Yuna terbatas pada 'ini memalukan' dan 'maaf', tetapi Yuna mafhum. Sedu sedan yang menyakitkan itu agak reda setelah kedua pemuda tadi masuk ke rumahnya untuk beristirahat sejenak (tak lupa, Yuna meminta ibunya yang mudah penasaran untuk muncul jika ia memanggil saja). Dari dapur, sambil menyiapkan suguhan, sang dara memandang gembira dua sahabat di ruang tamunya.
Minghao, kami di 3-E sangat bangga padamu dan Sujeong yang mesti melalui kesulitan ini. Peluangmu lebih luas dari ruang kelas kita, tetapi jika kamu berkenan kembali, kami lebih dari bahagia menerimamu ....
***
Agaknya, Senin itu, Yuna tiba terlalu pagi. Jam besar di dekat atap sekolah menunjukkan pukul 06:58. Luar biasa. Ia telah mengalahkan rekor paginya sebelum ini di angka 07:02, tetapi sekolah begitu lengang hingga ia merinding. Koridor dicekam sepi dan Yuna si penakut jadi berpikir yang tidak-tidak. Beberapa sosok berseragam yang juga kepalang datang awal bahkan menjadi target kecurigaannya; mereka punya kaki, kan, tidak mengambang?
Konyol, sih. Rumor-rumor seram di ruang web tongkrongan siswa Seoul Global High sudah dipatahkan beberapa kali, masa Yuna masih percaya?
Derit pintu aula menggaung dalam kehampaan ketika digeser membuka. Tidak ada siapa-siapa di dalam. Yuna mengambil langkah pertama memasukinya, disusul langkah kedua dan seterusnya hingga ia berada di tengah-tengah ruang tersebut.
"Betulan cuma ada aku? Ya ampun."
Suara Yuna teramplifikasi oleh keadaan aula yang kosong. Tanyanya tak berjawab. Lebih baik begitu; adanya jawaban akan menambah horor suasana yang sudah beku ini alih-alih mematahkannya. Derap sepatu Yuna menjadi satu-satunya teman menunggu hingga ia duduk di lantai aula, memeluk ransel, dan menekuk lutut.
"Sepinya ...."
Yuna menyuarakan semua yang ada di benaknya untuk mengalahkan ketakutan ini, termasuk di grup obrolan kelas ('aku jadi yang pertama datang, siapa menyusul?' ditutup emotikon senyum). Chaeyeon, sesuai ekspektasi, jadi yang pertama membalas pada pukul 07:08 ('sebentar, aku sedang sarapan secepat mungkin!'). Notifikasi-notifikasi yang masuk berikutnya begitu ramai setelah Yuna menonaktifkan mode hening dan Yuna sedikit terhibur oleh beragamnya tanggapan yang masuk dari teman sekelasnya. Ia baru saja menertawakan candaan Pimook soal sarapan yang belum dikirim dari Bangkok tatkala mendengar bunyi kayu diketuk.
Terdengar jauh, tetapi juga dekat.
Anginnya kencang, ya?
Namun, bunyi itu berulang lagi di luar irama angin. Jaraknya masih sama dari pendengaran Yuna; sumbernya tak berpindah. Barangkali, itu bunyi tepian atap yang dipukul ranting atau ulah kucing liar yang tidur dekat tumpukan kayu di samping gudang olahraga.
Duk-duk-duk.
Ketukannya bertambah?
Yuna mulai resah. Ia simpan ponselnya di saku seragam sebelum berdiri menghadap lapangan olahraga, dari arah mana bunyi itu terdengar. Pintu yang menghubungkan aula dengan lapangan tertutup rapat, tetapi mengapa bunyi itu masih bisa mencapai rungunya?
Jangan-jangan, sumber suara itu ada tepat di balik pintu ini?
"Yuna?"
"Astaga!" Nyaris seketika, Yuna berbalik pada seseorang yang mengejutkannya dan mengelus dada lega. "Jaehyun, syukurlah itu kamu .... Jantungku mau copot rasanya!"
"Maaf." Si pemuda kulit susu melangkah ke tengah ruangan. "Aku dengar ada yang butuh ditemani karena ketakutan di aula. Ada apa memang dengan pintunya?"
"Tidak tahu. Dari tadi, aku mendengar bunyi aneh .... Duk-duk-duk—"
Duk-duk-duk-duk.
"I-Itu! Jaehyun, kau dengar?" Telunjuk Yuna teracung ke pintu. "Arahnya dari sana. Aku takut memastikan dari mana sumbernya, tetapi bunyinya menggangguku ...."
Jaehyun menunggu bunyi yang samar tadi kembali terdengar, sayangnya selama sekian puluh detik kemudian, suasana sunyi. Pemuda itu berjalan hati-hati di atas lantai kayu aula yang rapuh agar tidak menginterupsi ketukan kayu yang sebelumnya kabur.
"Ah, aku mendengarnya sekarang," ujar Jaehyun begitu meraih gagang pintu aula. "Asalnya bukan dari pintu ini, sedikit jauh."
Jaehyun mendorong pintu, Yuna rapat di belakangnya. Tidak ada apa-apa di balik pintu; dugaan Jaehyun terkonfirmasi.
"Hilang. Bunyinya hilang."
Tepat setelah Yuna mengucapkan itu, ketukan kayu kembali terdengar—lima kali, tetapi lebih lamban. Yuna meredam pekikannya dengan mencengkeram lengan baju Jaehyun, sementara si pemuda terus bergerak maju.
"Gudang olahraga."
"Maksudmu dari tumpukan kayu yang tak terpakai di sebelahnya?" bisik Yuna.
"Bukan. Dari dalam."
Yuna menelan ludah. Gudang itu terkunci, demi Tuhan! Apa yang bisa mengetuknya dari dalam?
Kedua pengurus kelas tegak di depan pintu yang tergembok.
"Apa kita harus memanggil Pyo-abeoji kemari?" Pyo-abeoji adalah panggilan akrab para siswa Seoul Global High pada petugas kebersihan yang paling senior di sekolah. "Beliau memegang kuncinya."
"Aku tidak yakin Pyo-abeoji punya kunci cadangan untuk ini." Jaehyun mengangkat gembok berkarat di depannya. "Lihat, ada sepotong logam di lubang kuncinya, pasti pas dengan patahan di bawah sepatuku."
"Di bawah sepa—"
Kalimat ini tak tuntas. Perhatian Yuna tersita oleh sekeping logam campuran berbentuk segilima di bawah sol Jaehyun. Setelah dipungut, Yuna pun mengenali bentuk itu sebagai patahan kunci.
"Gemboknya berkarat, jadi mungkin kuncinya tersangkut dan patah, tetapi ... mengapa tidak segera dibetulkan kemarin?"
"Satu, karena Pyo-abeoji—atau petugas lain yang mengunci bangunan paling akhir—berpikir tak ada masalah selama gudang ditinggalkan dalam keadaan terkunci. Mengeluarkan patahan kunci bukan hal urgen." Jaehyun meraih sebatang kayu panjang dari tumpukan di samping gudang, menggulingkan seekor kucing yang tertidur di atasnya. "Dua, ada yang sengaja mematahkan kuncinya untuk mengurung seseorang di dalam."
"Apa?" Yuna menutup mulut dengan telapak tangan. "Mereka yang dikurung petugas di dalam sana jelas orang yang berbahaya! Jangan gegabah—Jung Jaehyun, jangan dobrak pintunya atau poinmu berkurang! Kita panggil petugas sekarang."
Menanggapi seruan panik wakilnya, Jaehyun tersenyum miring.
"Silakan saja panggil petugas. Sekali-sekali, lakukan hal mendebarkan begini untuk mewarnai masa mudamu, Choi Yuna."
"Kau akan menambah tugas hukumanku hari ini!"
"Biar aku yang kerjakan nanti."
Satu-satunya hal baik dari sisi iseng Jaehyun hanya bagaimana ia tetap terlihat tampan. Kenekatan, persuasi, dan after effect kejahilannya merupakan kombinasi yang merepotkan, walaupun membuat Yuna penasaran hingga tak sanggup beranjak.
Tanpa aba-aba, Jaehyun menumbukkan ujung kayu panjang ke arah selot bergembok secara cepat dan kuat. Selot itu tidak semenyusahkan gemboknya, memudahkan sang ketua kelas membuka pintu tanpa menghancurkan bagian besar pintu tersebut. Berdebar, Yuna mendorong daun pintu dan mendapati sosok yang detail kondisinya akan Yuna ingat seumur hidup.
Seorang siswi. Rambut panjang ikal terurai. Mulut dilakban. Tangan-kaki diikat dasi. Seragam kotor. Ujung sepatu yang menimbulkan bunyi menggelisahkan berjarak beberapa sentimeter saja dari daun pintu.
"Sujeong."Jaehyun menepuk-nepuk pelan pipi mantan teman sekelasnya yang malang. "Gawat,dia dingin. Bantu aku lepas ikatannya, Yuna. Dia butuh pertolongan medissegera."
___________________________________________________________________
Percayalah gaes, ff ini gak update krn aku ngerjain ff lain di wordpress pribadi. krn libur, aku pingin nulis sebanyak2nya tapi ujungnya malah lama update ini. tapi jujur, sendirinya aku melihat diriku menulis chapter sebanyak ini tanpa hiatus terlalu lama rasanya menyenangkan ^^ rough feelnya masih berlimpah sih. semoga ttp berlimpah sampe akhir biarpun masanya 97 udah lewat nanti. *mendadak teringat exo*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top