The Court (1)
Diketemukannya Sujeong dalam kondisi yang begitu mengenaskan nyatanya tidak membuat pagi Yuna dan Jaehyun lebih sibuk. Begitu mereka berdua melapor, petugas dan guru yang sudah hadir segera menghubungi ambulans. Guru Jo termasuk yang datang awal, maka ia langsung memberikan penanganan pertama sebisanya dengan fasilitas klinik sekolah, lalu ikut mengantarkan Sujeong ke rumah sakit. 07:43, Yuna dan Jaehyun sudah masuk aula kembali, berkumpul bersama siswa-siswi 3-E yang ingin tahu.
"Apa yang terjadi pada Ryu Sujeong? Dia ... tidak meninggal, kan?"
"Tidak, Lisa. Dia masih bernapas walaupun lambat, tetapi badannya memang sangat dingin. Mungkin dia dehidrasi," jawab Yuna sebelum Mingyu dengan heboh menyela.
"Sudah berapa lama kira-kira dia di sana? Siapa yang mengurung dia? Benar-benar keterlaluan!"
"Kami tidak bisa menjawab itu." Jaehyun berujar. "Tidak ada yang bisa dipastikan meskipun kami sudah melihat banyak."
"Tapi, tadi dia terikat, bukan?" Yiyang tak biasanya tampak cemas. Ia, yang datang bersama Yibo setelah Jaehyun, membantu pengurus kelasnya melepaskan simpul-simpul yang membatasi gerak Sujeong dengan gunting. "Bukankah itu berarti seseorang sengaja menguncinya?"
"Mari tidak berpikir hal-hal yang menakutkan begitu." Yuna tersenyum tak enak, benci membayangkan apa yang Yiyang sebut barusan. "Kita hanya perlu mendoakan yang terbaik untuk Ryu Sujeong sekarang."
"Guru Jang sudah datang." Jaehyun menyekat pertanyaan-pertanyaan lain saat sosok wali kelasnya tertangkap netra dari kejauhan. "Kita lanjutkan ini nanti. Tolong segera berbaris."
Beberapa kepala yang penasaran memutar tubuh mereka kecewa, tetapi tetap patuh membentuk barisan sesuai nomor absen. Sebelum menempati ruang kosong di belakang Jaehyun, Seokmin sempat berbisik ketika melintasi Yuna.
"Minghao pasti tahu sesuatu."
***
"Teman-teman, aku mohon perhatian sebentar."
Tak disangka, Jaehyun justru membuka persidangannya sendiri di jam istirahat sore yang panjang.
"Seperti yang kalian ketahui, kejadian pagi ini akan ditindaklanjuti dengan sidang kekerasan sekolah. Untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi mengenai Ryu Sujeong dan kemungkinan pelaku , sekolah menggali informasi dari dua kelas, 3-A—di mana Ryu Sujeong sekarang belajar—dan 3-E yang dulu ia tempati. Agar penyelidikan bisa berjalan paralel, dewan guru fokus pada kelas 3-A, sedangkan untuk kelas 3-E, aku yang sementara akan memimpin."
"Aku tidak mau bermain polisi-polisian denganmu, Kunyuk." Junhoe tertawa meremehkan sembari beranjak dari kursinya. "Bersenang-senanglah tanpa aku."
"Tidak, Goo Junhoe!" Tegas, Yuna menahan tangan si berandal. "Kamu mantan siswa kelas A, tidak mungkin kami melewatkan informasi darimu. Tolong duduk kembali."
Junhoe mengempaskan telapak Yuna kasar hingga gadis itu terjajar mundur.
"Aku tidak tahu apa-apa soal Ryu Sujeong! Mau menanyaiku apa pun, kau tak akan memperoleh informasi dariku!"
"Kau terdengar semakin mirip dengan seorang pelaku kejahatan, Goo Junhoe."
Pernyataan yang berani ini asalnya dari Jiho di bangku paling belakang. Chaeyeon memang pernah bilang bahwa di kelas A, yang cukup bernyali melawan Junhoe dengan mulut pedasnya hanya Jiho seorang.
"Tidak usah menuduhku, Jalang!"
"Apa? Siapa yang menuduh? Aku cuma—"
Sebelum Jiho menuntaskan kalimatnya, kepalan tangan Jaehyun mendarat keras pada papan putih di balik punggungnya, menimbulkan bunyi yang meredam seketika seluruh suara selain suaranya.
"Tolong tenang. Aku akan melaporkan siapa pun yang bertindak tanpa seizinku di forum ini dan dewan guru bisa langsung menghentikan langkah kalian di Seoul Global High. Goo Junhoe-ssi, itu akan berarti kekalahan mutlak untukmu."
Yuna terpaku menyaksikan raut dingin Jaehyun di depan kelas. Bagi seseorang yang berpembawaan demikian tenang, sang ketua kelas tampak sangat menakutkan saat ini, bahkan mungkin bagi Junhoe. Usai pemuda berantakan itu duduk lagi dengan setengah menggerutu, Yuna pun kembali ke kursinya, tak mampu mengalihkan tatapannya dari Jaehyun.
"Aku minta maaf atas sikap kasarku, tetapi kasus Ryu Sujeong adalah masalah serius yang terlewatkan, maka tidak boleh ada yang meremehkan hal ini lagi." Intonasi yang tak berubah tak lantas membuat Yuna buta akan penyesalan dalam kata-kata Jaehyun. "Kita harus bekerja sama dengan dewan guru agar masalah ini cepat selesai dan tidak terulang. Sekarang, apakah dari kalian ada yang pernah melihat secara langsung Ryu Sujeong mengalami perundungan?"
Kelas sejenak sunyi hingga Yibo mengangkat tangan.
"Aku pernah melihat Kim Jiho," munculnya nama ini mengejutkan sebagian besar anggota kelas, "bersama dua siswi kelas A lain—Ha Sooyoung dan Kim Minkyung—menumpahkan kopi kaleng secara sengaja ke seragam Ryu Sujeong di kelas dua."
"Apa?!" Alih-alih si empunya nama, justru Chaeyeon yang lebih dulu memberi respons. "Jiho tidak mungkin melakukan itu!"
"Chaeyeon," tegur Jaehyun singkat dan Chaeyeon langsung tertunduk. "Wang Yibo, silakan teruskan."
"Hanya sekali aku melihat secara langsung tindakan perundungan terhadapnya, tetapi Ryu Sujeong sering mengalami kejadian-kejadian aneh yang mirip dengan insiden jas lab robek beberapa waktu lalu. Seragam olahraga yang hilang, sepatu yang diselipi sampah, hal-hal seperti itu."
Jaehyun mengangguk paham. "Kim Jiho, apakah pernyataan Wang Yibo tadi benar?"
Jiho menggeleng datar. "Ryu Sujeong memang sering membuat gempar kelas dengan kejadian-kejadian yang Wang Yibo jelaskan sebelumnya, tetapi itu semua bukan kesalahanku."
"Sudah ada saksi mata, masih saja mengelak," serang Junhoe.
"Tidak menutup kemungkinan Wang Yibo memberikan kesaksian palsu, kan?" Tatapan tajam Jiho membalas serangan musuh bebuyutannya dari kelas satu itu, membuat emosi si pemuda Goo mendidih lantaran tuduhan Jiho berpindah sasaran pada sang kawan karib. Sebelum suasana lebih panas lagi, Chaeyeon buru-buru mengangkat tangan.
"Aku hanya ingin berpendapat mengenai pelaku perundungan Ryu Sujeong. Satu-satunya yang bisa kita pastikan adalah bahwa pelaku berada di kelas 3-E bulan kemarin," ucapnya takut-takut. "Insiden jas lab robek itu bisa dibilang bukti perundungan, bukan? Untuk melakukannya, pelaku harus bisa masuk ke kelas ini. Masalahnya, Jiho belum menjadi siswa 3-E bulan lalu, jadi tidak mungkin dia pelakunya. Jacob Bae juga tidak mungkin karena posisinya sama seperti Jiho, yaitu murid pindahan."
"Jadi, kesimpulannya, kecurigaanmu mengerucut pada semua penghuni kelas 3-E bulan lalu?"
Chaeyeon mengiyakan pertanyaan ketua kelasnya, tetapi Mingyu jadi meradang.
"Maksudmu, Minghao juga jadi terduga pelaku? Dia bahkan tidak sekelas dengan Ryu Sujeong sebelumnya!"
"Mingyu, tolong tenang." Yuna memperingatkan, lalu mengacungkan telapak, mohon izin bicara.
"Silakan, Yuna."
"Aku menyarankan Minghao juga dipanggil untuk bersaksi. Ia tidak dekat dengan Ryu Sujeong, tetapi ada seseorang ..." Sejenak Yuna ragu, tetapi Seokmin mengisyaratkan padanya untuk meneruskan. "... Park Jisoo, mantan pacar Minghao, adalah sahabat Ryu Sujeong yang tidak bersekolah di Seoul Global High. Park Jisoo meminta Minghao untuk 'menjaga kawannya', kemungkinan besar dari tindakan perundungan, sehingga Ryu Sujeong telah berada dalam pengawasan Minghao. Sekarang, Minghao tidak bisa mengawasi Ryu Sujeong seintens saat di 3-E, tetapi masih melakukannya; terakhir, ia melihat Ryu Sujeong Rabu lalu. Bisa jadi, ia sudah menyaksikan tindakan perundungan lain terhadap Ryu Sujeong pada hari-hari sebelumnya. "
Yuna mendapati Jaehyun mengulang nama si gadis Park dengan sunyi di sela penjelasan ini, jadi pemaparan lebih lanjut sepertinya tidak dibutuhkan. Jaehyun bahkan mungkin lebih tahu mengenai Jisoo dibanding dirinya.
"Terima kasih, Yuna. Ada lagi yang mau berpendapat?"
Kelas hening hingga seseorang di bangku belakang mengangkat telapak tangan pelan—dan menurunkannya lagi sambil menggeleng-geleng.
"Katakan saja, Sicheng, tidak usah ragu." Raut Jaehyun melunak.
"Tidak jadi, itu terlalu konyol ...."
"Keterangan dan dugaan apa pun penting, jadi silakan disampaikan." Yuna meyakinkan sambil tersenyum, merasa kasihan pada jagoan matematika yang sering minder gara-gara bahasa Korea kemandarin-mandarinannya itu.
"Anu .... Di hari jas lab Ryu Sujeong robek, aku meminjam gunting Yiyang untuk memotong halaman belakang buku laporan praktikumku yang berantakan agar tidak kena hukum Guru Woo. Guntingnya tumpul, maka aku pinjam alat potong dari orang lain."
Gelisah, Sicheng mencuri pandang sebentar-sebentar ke arah jam sebelas.
"Cutter Myoui Mina cukup tajam untuk memotong kain."
Yuna tersentak. Mina sangat dingin dan seakan-akan hanya peduli pada diri sendiri sehingga tak heran, pernyataan Sicheng yang menyiratkan prasangka ini menghebohkan kelas. Apa motivasi sang balerina andai ia benar pelakunya? Apa mungkin Mina yang demikian bersinarnya mencederai reputasi dengan mengasari Sujeong? Dia yang kebetulan membawa cutter di hari jas lab Sujeong koyak tidak bisa membuktikan banyak hal, apalagi sebelumnya, ia berada di kelas D, bukan A.
"Keteranganmu sangat mungkin diangkat di sidang kekerasan sekolah bila tidak ada lagi yang membawa alat potong tajam selain Myoui Mina pada hari itu," ucap Jaehyun. "Apa ada lagi yang membawa—atau mengetahui ada yang membawa alat potong hari itu?"
Alih-alih jawaban, Jaehyun hanya menerima dengung spekulasi.
Bunyi benda diletakkan di atas kayu memutar kepala-kepala yang tertarik ke bangku Mina. Manik Yuna melebar begitu menemukan cutter bergagang plastik transparan berwarna ungu di meja sang balerina. Pemiliknya bersilang lengan, tak terusik oleh tuduhan yang secara otomatis terarah padanya.
"Aku memang menyimpan cutter bersama alat tulis lainnya dalam bangku, tetapi aku tidak merusak jas lab Ryu Sujeong." Mina menatap Jaehyun menantang. "Silakan laporkan aku pada dewan guru agar semuanya jelas di sidang kekerasan sekolah nanti; aku tidak akan menutup-nutupi perbuatanku seperti seseorang—atau beberapa orang—di kelas ini."
Secara tidak langsung, Mina menuduh beberapa orang bersalah atas perkara Ryu Sujeong, tetapi siapa mereka tidak penting bagi Yuna. Yang jelas, semua orang di 3-E menyimpan kecurigaan pada satu sama lain sekarang dan situasi itu sangat tidak kondusif untuk belajar. Bisakah seseorang belajar dengan nyaman apabila berada di bawah bayang-bayang kecurigaan khalayak? Yuna hanya berdoa agar Jiho dan Mina tidak kepikiran; permukaannya boleh tangguh, dalamnya siapa tahu?
"Kau membenarkan pernyataan Sicheng, maka kau akan menjadi salah satu yang wajib menghadiri sidang kekerasan sekolah, Myoui Mina." Jaehyun menekan suatu tombol di ponselnya; apa seluruh perkataan orang-orang tadi ia rekam? "Jika tidak ada yang memberikan keterangan lagi, kalian bisa kembali beristirahat."
Pimook mengacung.
"Kapan sidang kekerasan sekolah akan dilaksanakan?"
"Setelah fisik dan mental Ryu Sujeong cukup pulih untuk bicara di sana. Myoui Mina dan Kim Jiho bisa dipanggil pula bersamanya, tergantung keputusan dewan guru setelah mendengar laporanku, tetapi sisanya harus tetap belajar di kelas."
Pimook mengerang, barangkali sebal karena gagal dapat bahan obrolan panas. Dalam hati, Yuna juga mengerang; ia sungguh penasaran akan tindak lanjut dewan guru atas kejadian yang menimpa Sujeong!
***
Tak pernah Yuna melalui akhir pekannya dengan kegelisahan sebesar sekarang. Pesan singkat yang ia kirim pada Sujeong—menanyakan apakah ia boleh menjenguk—tidak dibalas, padahal ini sudah lima hari sejak ia dibawa ke rumah sakit. Jangan-jangan, gadis malang itu belum sadar? Sayang sekali, Yuna tidak memiliki kontak lain yang dapat menghubungkannya dengan Sujeong, baik keluarga maupun teman, sehingga ada kemungkinan, ia tidak dapat menjenguk sang kawan sampai akhir.
Lee Seokmin: Minghao tahu rumah sakit dan kamar di mana Sujeong dirawat. Mau kuantar ke sana?
Semula berguling-guling tanpa minat di ranjang, Yuna langsung duduk tegak begitu pesan ini masuk. Ia mengetik 'mau' ditutup tanda seru, berterima kasih berkali-kali, dan membanjiri jendela balasan dengan emotikon gembira. Segeralah ia bersiap-siap karena Seokmin akan menjemputnya setengah jam setelah pesan itu dikirim. Ia langsung pamit pada ibunya saat bel sepeda Seokmin berdering di depan pagar dan berjingkat keluar rumah.
"Kau tidak kerja?"
"Jiyeon-noona tukar shift denganku di kafe, jadi hari ini, aku kosong," cengir Seokmin, memakaikan sebuah snapback pada si gadis. "Nih. Matahari sedang terik-teriknya. Sudah kucuci, rambutmu tidak bakal bau."
"Iya, iya. Terima kasih." Yuna membenahi letak topi bersulam logo mini market tempat Seokmin bekerja itu, lalu dengan santai menempati jok belakang. Roda sepeda pun berputar pelan dan selagi penumpangnya menikmati semilir angin, pengemudinya bertanya.
"Tumben kau tidak mengajak Jaehyun?"
"Aku mengajak, kok. Masalahnya, dia bilang ada acara keluarga Sabtu ini. Dia tahu di mana Ryu Sujeong dirawat, tetapi waktu kutanya lewat pesan, dia tidak menjawab .... Jadilah aku tidak berangkat. Ryu Sujeong juga tidak membalas pesanku."
"Benarkah? Minghao bilang Ryu Sujeong tampak cukup segar untuk memegang ponsel walaupun makannya masih sedikit dan infusnya belum dilepas."
Yuna lega mendengar ini; setidaknya ada jaminan bahwa Sujeong sudah sadar.
"Tadinya, aku mau menjenguk dia sendiri mumpung kosong karena kukira kau sudah punya rencana dengan Jaehyun. Ternyata, kau masih bertanya padaku."
"Minghao mempermainkan aku!" gerutu Yuna kesal. "Aku juga bertanya padanya, apa dia tahu di mana Ryu Sujeong dirawat, tetapi dia malah meniru Mingyu: menagih bayaran! Apa-apaan, sih? Aku kan sedang serius! Mana responnya lambat sekali. Makanya, aku tanya kau."
"Begitu?" Seokmin terkekeh. "Baguslah, tandanya dia sudah mau membuka diri untukmu. Moodnya cukup baik untuk mengerjai seseorang dan itu perkembangan yang berarti jika mengingat bagaimana dia minggu lalu."
Yuna mengangguk. Minghao terlihat cool, tetapi sebenarnya setengil 'kembarannya' si juara fisika dan bisa sentimental juga. Tangisnya yang tumpah karena merasa tidak ada jalan yang cukup lancar untuk lulus membuat Yuna sedih. Ia berharap apa yang dikatakan Seokmin benar: bahwa pesan-pesan usil yang dikirim bocah Haicheng itu pada Yuna mencerminkan keadaan terbaru jiwanya.
Di awal jam besuk akhir pekan, koridor rumah sakit belum ramai pengunjung. Seokmin, dengan sekantung apel di tangan yang ia beli untuk Sujeong (duh, Yuna sendiri lupa membawa oleh-oleh saking senangnya akan bertemu Sujeong lagi), mendahului sahabatnya menuju kamar yang dimaksud. Benar, pada pintu kamar eksklusif di mana keduanya menghentikan langkah, tertulis nama lengkap si gadis pemalu. Sebelum sempat membukanya, Yuna keduluan seseorang yang membuka kenop pintu dari dalam.
"Lho, kamu—"
Seorang gadis berpipi tembam—yang minggu lalu tersedu-sedu sambil berlari menjauhi minimarket tempat kerja Seokmin—keluar dari kamar Sujeong. Pembesuk yang diduga adalah Park Jisoo itu mengerutkan kening setelah sebelumnya terkejut, tatapannya tak ramah pada Yuna.
"Ya, kau siapa? Mau apa kema—Lee Seokmin! Sudah kubilang jangan bawa orang asing mendekati Sujeongie! Apa Minghao tidak memperingatkanmu?"
Semula hampir melabrak Yuna, sasaran si gadis tembam berpindah pada Seokmin yang ia kenal. Ia melangkah maju sangat cepat hingga Seokmin terpojok ke dinding seberang koridor seraya mengangkat tangan defensif.
"Tidak, Jisoo, tolong dengar dulu. Dia Choi Yuna, sekretaris kelas 3-E, dan kami ke sini benar-benar cuma mau menjenguk Ryu Sujeong. Nih, kami juga membawakannya apel."
Rupanya, dia memang Park Jisoo, mantan kekasih Minghao sekaligus sahabat Ryu Sujeong, batin Yuna, tidak berkutik ketika lawan bicara Seokmin meliriknya tajam, seakan mencoba mendeteksi niat buruk dalam dirinya. Ini bisa dimaklumi; Jisoo yang demikian protektif pada Sujeong mungkin akan makin menjadi setelah insiden menghebohkan yang menimpa kawan karibnya.
"Aku percaya padamu, Seokmin, jadi kalau sampai kawanku terluka lagi gara-gara perempuan itu, aku tidak akan membiarkanmu."
Jisoo beranjak dengan langkah mengentak dan ketegangan seketika luntur dari bahu Yuna. Seokmin meringis. "Aku minta maaf."
"Mengapa minta maaf jika bukan kau yang salah?" Yuna tersenyum santai. "Ayo, kita masuk."
Daun pintu kamar terbuka sedikit, tidak sempat dirapatkan Jisoo yang marah-marah. Sosok kurus Sujeong mengintip, terbenam di antara setumpuk bantal untuk menyangga punggung, rambut ikalnya tergerai dan bibirnya pucat. Laki-laki tua yang duduk di sebelah tempat tidurnya tampak letih, tetapi kontan bercahaya kembali waktu menemukan penjenguk yang tak pernah berjumpa dengannya sebelumnya.
"Terima kasih sudah datang! Bahagia sekali aku, Sujeongie ternyata punya lebih banyak teman dari yang kutahu!" Pria itu menjabat tangan Yuna dan Seokmin hangat, penuh syukur. "Aku kakek Sujeong, salam kenal. Siapa nama kalian?"
Berbeda dengan cucunya, semangat si kakek mampu mencerahkan kemuraman atmosfer kamar. Yuna dan Seokmin menyebutkan nama, lalu pria itu memberi mereka waktu mengobrol sambil meminta izin pada Sujeong untuk pergi sebentar. Sujeong mengangguk lemah, sebuah isyarat agar dua penjenguknya mendekat. Seokmin menyisihkan sekeranjang apel di meja samping ranjang, sementara Yuna duduk di kursi yang semula ditempati kakek Sujeong.
"Kami ... mengganggu istirahatmu, ya?"
Sujeong menggeleng. "Selain keluargaku dan Jisoo, tidak pernah ada yang menjengukku saat sakit, jadi rasanya agak aneh dikunjungi banyak orang begini," lirihnya. "Terima kasih, Choi Yuna, Lee Seokmin. Maaf aku tidak membalas pesan kalian. Harabeoji memegang ponselku agar aku bisa beristirahat total."
Yuna membulatkan bibir, sejenak saling pandang dengan Seokmin yang sepemikiran. "Ya Tuhan, aku harusnya tak perlu cemas." Dara berambut lurus itu mengetuk dahi. "Bagaimana keadaanmu sekarang?"
"Lumayan."
Namun, Sujeong tidak cukup memenuhi kriteria 'lumayan' Yuna. Tubuhnya sangat tipis, wajahnya kelabu, kantung matanya tebal, dan rautnya sedikit sekali berubah. Ia seperti baru keluar dari kamp konsentrasi.
"Makanan rumah sakit tidak enak, ya?"
Sujeong terkikik amat pelan. "Mengapa kamu berkesimpulan begitu, Choi Yuna?"
"Habisnya, kamu kurus sekali .... Minghao kemarin berkunjung ke sini dan bilang pada kami bahwa kamu masih sulit makan."
"Iya, tetapi itu bukan karena makanan yang tidak enak, kok .... Aku saja yang tidak selera."
Sudut-sudut bibir Yuna tertekuk ke bawah. "Rumah sakit memang tidak senyaman rumah, tetapi kamu harus tetap semangat biar bisa cepat keluar dari sini."
"Tapi, di sini lebih nyaman dari rumahku."
***
aku mengubah strategiku(?) dengan mempublish satu chap setiap update. mungkinkah bisa menambah pembaca? aku sebenernya sdh nyelesaiin tiga chapter.
dan buset aku baru update sebulan. mian. makasih utk yg tetep ngikutin rough sampai sejauh ini, chap ke 20 (dan masih sepi aja)! jujur konfliknya rough ini sangat ribet sampe aku takut ga pas detilnya dengan chap sblmnya. if u find some inconsistencies, please tell me through the comment section ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top