Room of Mirrors (1)
Sebelumnya: Setelah Seokmin menceritakan masa lalu Jaehyun padanya, Yuna yang merasa bersalah semakin kuat tekadnya untuk memulihkan hubungan-hubungan yang merenggang di kelas 3-E ini. Masalahnya, orang-orang yang hendak dijangkau Yuna tenggelam semakin jauh dalam trauma dan depresi, tidak terkecuali Jaehyun yang selama ini tampak paling tangguh ....
***
Siang itu, menunggu kedatangan pembimbing, anggota tim fisika angkatan 31 mengobrol ngalor-ngidul. Dengan seenaknya, mereka menyeret kursi-kursi dari tempat semula agar bisa duduk berdekatan, mengacaukan tatanan bangku. Sesungguhnya, sebentar lagi mereka akan menghadapi kompetisi nasional, tetapi mereka lebih tertarik untuk membahas kekeliruan teoretis dalam film mengenai antariksa yang kemarin mereka tonton bersama.
"Bukankah itu masih mungkin kalau stasiun antariksa menimbulkan gravitasi buatan yang sama dengan deselerasi pesawat?" Pimook mencoba berargumen soal mengapa benda-benda masih melayang dalam sebuah pesawat ruang angkasa yang hendak mendarat ke stasiun antariksa.
"Adegan benda yang melayang itu berlangsung sejak pesawatnya lepas landas. Harusnya ada akselerasi, tetapi mengapa benda-benda itu seakan masih tidak punya berat?" tangkal Junhoe menggebu. "Ke mana pun arahnya, akselerasi maupun deselerasi bisa dianggap sebagai 'gravitasi' juga."
"Kita tidak membicarakan inersia." Jungkook menyela. Ia membalik lembar salinan soal percobaan olimpiade dan membuat skema gaya di halaman kosong. "Aku bisa menerima kesalahan teoretis saat pesawat itu lepas landas, tetapi kalau digambarkan seperti ini, kejadian benda melayang dalam lapang gravitasi stasiun antariksa masih mungkin terjadi."
"Kita tidak bisa mengesampingkan inersia, tahu. Deselerasi pasti akan membuat posisi benda-benda setidaknya berubah sebelum melayang. Di film itu tidak." Junhoe kembali berargumen.
"Kau memerhatikan perubahan posisi benda dalam filmnya? Kurang kerjaan sekali!" Yugyeom, si keriting jangkung yang duduk di sebelah Junhoe, teralih fokusnya pada ketelitian temannya. Junhoe, tentu saja, menjitak Yugyeom akibat komentar yang menjengkelkan itu. "Maaf .... Aku saja masih berusaha memikirkan kemungkinan melewati lubang cacing tanpa adaptasi khusus."
"Memangnya ada adaptasi yang bisa membuat manusia melawan efek merusak dari zat sepadat inti lubang cacing?" timpal Mingyu seraya memutar-mutar iseng pensilnya. "Lagi pula, bukankah ruang itu sangat rawan kolaps—"
"Ya, gravitasi dulu, gravitasi!" Jungkook mengetuk-ngetuk keras skema buatannya. "Kau yang pertama kali membuat kita bingung dengan adegan benda melayang itu, sekarang seenaknya saja mau ganti bahasan!"
"Rileks, Bung! Kau kelihatannya butuh kopi."
"Ide bagus!" Pimook tahu-tahu menyodorkan sekeping koin. "Mau latte, dong. Kalian mau juga?"
Mingyu melotot, tidak ada niatan untuk pergi jajan sama sekali, tetapi pesanan berdatangan tiba-tiba, dengan atau tanpa koin (karena Junhoe sukanya traktiran). Yugyeom dengan sedih menolak sebab perutnya sebah sedari pagi.
"Tapi, kalau kamu mau, belikan minuman hangat di kafetaria, dong! Apa saja boleh!" cengir Yugyeom, akhirnya mengangsurkan selembar won.
"Bangsat," dengus Mingyu, memasukkan genggaman berisi uang teman-temannya ke saku celana. "Ya sudah, aku beli dulu."
"Kalau ada kembaliannya, kasih, ya."
"KAU BAHKAN TIDAK MEMBAYAR, KUDIS!" tunjuk Mingyu pada Junhoe yang baru saja bicara. "Kalian ini, bisa-bisanya memanfaatkan sahabat ganteng nan baik hati sepertiku. Semoga perbuatan kalian dibalas suatu hari nanti."
Mingyu berbalik, hendak keluar kelas beriring kelakar kawan-kawannya, tetapi Yugyeom memanggil lagi.
"Apa la—"
Tersentak Mingyu ketika teman-temannya yang memesan minuman menghilang dari sekeliling meja, kecuali satu orang yang berbilur-bilur di seluruh badan. Dahi, pelipis, kepala bawah, dan sudut mulutnya meneteskan darah segar. Satu tangan orang itu memegangi perut kanan atas, menahan nyeri yang hebat dari sana. Anehnya, si keriting jangkung masih dapat tersenyum di sela gempuran sakit.
Tubuh Mingyu mendadak beku. Terngiang suara-suara sarat duka di kepalanya, milik pria dan wanita, suatu hari di rumah abu.
"Kata dokter, talasemia minor akan menyebabkan beberapa perubahan pada tubuh Yugyeom. Limpanya memang jadi agak besar dan lebih rawan pecah jika terkena benturan, tetapi ... bukankah kalian menjaganya dengan baik selama ini?"
"Hentikan. Jangan salahkan teman-teman Yugyeom. Kejadian ini di luar kehendak kita ...."
"Tapi, andai Yugyeom tidak menyelamatkan anak itu, maka—"
"Hentikan sekarang juga, Minhee. Kematian anak kita bukan salah siapa-siapa ...."
Air mata menuruni pelupuk Mingyu tanpa disadari.
Tentu saja salah siapa-siapa.
Si keriting jangkung yang duduk dengan sekujur tubuh terluka itu tersenyum pada Mingyu.
"Mingyu-ya ... tangan Junhoe patah. Tolong dia saja."
Sial. Itu adalah pesan terakhir Yugyeom sebelum pergi untuk selamanya, kecuali bahwa penerima pesan waktu itu bukan Mingyu, melainkan Jungkook. Mengapa sampai waktu yang penghabisan, bocah cengengesan itu masih begitu peduli pada orang lain? Berandal-berandal yang menantang Junhoe memang mematahkan tangannya, tetapi Yugyeom mengalami pendarahan dalam karena limpanya pecah; siapa yang lebih butuh pertolongan?
Anak sebaik itu. Andai ditanya siapa yang membunuhnya, mungkin dia tidak akan menyebutkan nama siapa pun. Tidak para berandal. Tidak Mingyu yang lambat menolong. Tidak Jungkook yang histeris. Tidak Pimook yang menggigil ketakutan. Tidak juga Junhoe yang menjadi akar perkelahian. Malahan, Junhoe-lah orang yang paling ingin ia lindungi di penghujung hidupnya.
"Jangan mendekat, Goo Junhoe, atau aku akan membunuhmu."
Dan, bukannya melindungi Junhoe seperti mau Yugyeom, Mingyu malah mengusir si kepala api jauh-jauh.
Mimpi yang terasa demikian nyata itu menyentak Mingyu—yang pipinya basah dan lehernya tercekat—sampai terjaga pada jam tiga dini hari. Ia turun dari sofa ruang media, berhati-hati agar tidak membangunkan Minghao yang tidur di lantai, dan melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Selama ini, aku sudah mengecewakanmu, Yugyeom-ah, tetapi aku akan segera menebus dosaku.
Telapak Mingyu mengerat pada tepian wastafel.
Akan kutunjukkan bahwa aku berbeda dengan Jung Jaehyun yang berani menyakiti siapa saja demi menyelamatkan mukanya sendiri. Jung Chaeyeon, lihatlah. Aku serius tentang 'memulai ulang'--dan kita semua akan bisa berbahagia lagi.
***
Lima detik lebih dari pukul 16.27, kesempatan yang Mingyu tunggu-tunggu sehari itu akhirnya datang. Chaeyeon pergi ke dapur untuk mengambil air, sedangkan Junhoe baru saja berjalan masuk dari arah kolam renang. Mingyu, yang sejak tadi mengerjakan soal di ruang tengah, langsung berdiri dan mencegat Junhoe.
"Mau a—"
"Junhoe, aku minta maaf!"
Semula tidak tertarik dengan apa yang terjadi di ruang tengah, Chaeyeon menengok begitu mendengar kata maaf mendadak dari Mingyu. Pemuda itu tampak serius dengan ucapannya, padahal perselisihan tim fisika seakan tidak bisa mencapai titik damai. Itulah yang menarik Chaeyeon untuk menyimak percakapan Junhoe dan Mingyu diam-diam.
"'Maaf'? Dari seseorang yang pernah sesumbar akan membunuhku?"
Mingyu menelan ludah seolah ada ganjalan besar di tenggorokan. "Apa penting mengingatnya sekarang? Masa depanmu dipertaruhkan. Kita harus berjuang bersama-sama supaya seluruh 3-E dapat meraih peringkat tertinggi di evaluasi bulanan, jadi kau akan tetap berada di sini. Mana bisa hal itu diwujudkan kalau segala permasalahan antara anggota kelas tidak diselesaikan?"
Junhoe mengernyitkan kening, menelisik kesungguhan dalam diri Mingyu. "Boleh saja kau bilang sesuatu yang muluk begitu, tetapi kau menghajar Jaehyun karena perkara Chaeyeon kemarin."
Mingyu terbelalak, sedangkan Chaeyeon tanpa sadar mencengkeram gelasnya.
"I-Itu ...."
"Aku tahu ini. Kau memang selalu memamerkan sisi baikmu kepada semua orang, sama saja dengan Bajingan Jung," Junhoe melirik Chaeyeon yang menatapnya balik dengan tajam, "yang mana pun. Tindakan-tindakan baik kaulakukan setiap kali ada yang melakukan hal lebih buruk. Dulu, kau mencegah Jungkook menghajarku, tetapi mengancamku di belakangnya. Sekarang, kau meminta maaf padaku di depan orang yang tidak bisa meminta maaf pada temannya sendiri."
Rentetan fakta ini memukul Mingyu amat keras. Ia tidak sadar bahwa dirinya juga berpura-pura seperti orang yang sekarang paling dibencinya: Jaehyun. Kata-kata Junhoe seketika membungkam otaknya—dan kediaman Mingyu ini malah memancing lawannya menyerang.
"Kau mengira dirimu paling baik, tetapi berbohong menjadi kejahatan terbesarmu sejak Yugyeom meninggal. Satu hal dapat dipastikan: kau dan Jungkook akan selalu membenciku karena aku telah membunuh Yugyeom."
Meski sarat amarah, kalimat Junhoe memuat racun yang menyakiti dirinya sendiri. Ketika pemuda itu meninggalkan Mingyu yang masih mematung, Chaeyeon pun beranjak meninggalkan meja makan. Ia dapat mengerti perasaan Junhoe yang merasa berdosa karena menghilangkan satu nyawa.
Jaehyun juga akan selalu membenciku karena aku membunuh ibunya.
Melihat Chaeyeon berlalu masuk kamar, Mingyu mengatupkan rahang sebelum memukul keras pintu belakang. Maaf tidak ia peroleh dan, ia yakin, Chaeyeon tak akan teryakinkan setelah peristiwa yang memalukan ini. Rencananya gagal total, tetapi rasa jengkelnya yang terbesar, tentu saja, adalah karena ia tidak bisa mengungkapkan maaf pada Yugyeom atas kegagalannya ini.
"Sialan!"
***
"Seokmin, boleh bicara sebentar?"
Yuna hari ini mengenakan kemeja flanel hitam putih dan celana panjang yang kedodoran. Seokmin baru menyadari bahwa gadis itu lebih tirus dari sosok yang mendampinginya di rumah sakit. Biarpun pedih menyaksikannya, Seokmin tetap memaksakan seulas senyum.
"Boleh." Melihat kotak pensil di tangan Yuna, Seokmin menambahkan. "Sekalian mengerjakan soal bareng?"
Yuna menggeleng sembari tersenyum tipis. "Aku tidak mau diganggu soal," katanya, lalu pergi ke kamar untuk menyimpan kotak pensilnya. Setelahnya, ia dan Seokmin beranjak ke halaman samping yang sepi. Masih ada bekas gundul di sana, mengingatkan Yuna pada malam Chaeyeon membakar kotak kayu yang isinya berhasil dibongkar Mingyu. Kotak kayu itu berisi kenangan Chaeyeon dengan Jaehyun dan kedua orang tuanya—atau kedua orang tua Jaehyun, lebih tepatnya.
"Aku," Yuna memulai bahkan sebelum ia dan Seokmin duduk di bangku taman samping, "tak sengaja mendengar Junhoe menolak permintaan maaf Mingyu pagi ini."
Seokmin terpaku. Mingyu membicarakan tentang itu dengannya sepanjang siang. Yuna membicarakan topik yang sama adalah hal terakhir yang Seokmin mau.
"Karenanya, aku jadi berpikir, konflik antara mantan anggota tim fisika tidak akan pernah mereda sebab Yugyeom tidak akan hidup lagi. Hubungan Jaehyun dan Chaeyeon juga tidak akan membaik; alasannya mirip." Yuna terkekeh getir. "Padahal kupikir, sebelum 3-E berakhir, segala masalah di antara kita akan terselesaikan. Sudah kuduga, ujungnya harapan tinggal harapan."
"Jangan pesimis begitu, Yuna," sahut Seokmin. "Lagi pula, ditiadakannya kelas ini tidak berarti hubungan antara para penghuninya akan terputus. Kita pasti akan dapat menyelesaikannya, bahkan setelah terpisah kelas."
"Terpisah kelas hanya akan membuat kita semua saling melupakan," sangkal Yuna. "Memang kelihatannya, masalah-masalah seperti ini hanya bisa dipecahkan dengan sesuatu yang hampir mustahil."
"Apa maksudmu?"
Bagaimana Yuna kemudian menengok dengan cepat dan penuh pengharapan pada Seokmin menyudutkan si pemuda seketika.
"Sistem 3-E yang berjalan bertahun-tahun tanpa terusik bisa runtuh karena satu pemberontakan yang kaurencanakan, bukan? Siapa mengira kalian bersedia mengambil langkah seberani itu?"
Seokmin terbelalak. "Kalau kau berpikir pendekatan yang sama akan bekerja kali ini, kau salah!"
Namun, Yuna seakan mengerut gara-gara teguran itu dan raut Seokmin seketika melunak. "Dengar. Saat itu, aku dan Chaeyeon tiba-tiba ditunjuk sebagai ketua dan sekretaris kelas, tetapi karena pikiran kami sedang kacau, kami justru menyalahgunakan posisi itu." Seokmin mengepalkan tangan di atas pangkuan. "Pada akhirnya, yang tersisa hanya luka dalam diri masing-masing."
"Tapi, kamu berhasil membebaskan kita dari kekangan para guru, itu yang penting."
"Tidak ada yang baik dari tindakan berlebihan seperti itu." Seokmin memperingatkan. "Kita harus menyerah. Jaehyun dan Chaeyeon butuh ayah mereka, sementara Mingyu, Junhoe, dan Jungkook butuh orang dewasa yang bijak menengahi."
"Tidak!" Suara Yuna meninggi. "Yang pasti mereka butuhkan adalah hidupnya Nyonya Jung dan Yugyeom!"
Dada Seokmin ngilu menyaksikan Yuna yang tampak kehilangan pegangan. Impian Yuna untuk menyembuhkan seluruh personel 3-E, dari awal, memang sedikit sulit diwujudkan, tetapi Seokmin kira itu masih bisa dicapai perlahan-lahan. Masalahnya, selama ini, kerjasama Yuna dan Jaehyun-lah yang menjadi kunci kesejahteraan 3-E. Dengan terbongkarnya perlakuan Jaehyun kepada Chaeyeon, retaklah ikatan antara kedua pengurus kelas. Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa 3-E akan dihapuskan dari Seoul Global High.
Sekarang, tidak cuma bermimpi ketinggian, Yuna juga berhalusinasi.
"Mereka sudah meninggal, mana bisa hidup kembali?"
"Seokmin, kalau aku menghidupkan mereka dengan tindakan yang seekstrem dirimu dulu, apakah kamu akan mendukungku?"
Walau tidak dapat membaca rencana Yuna sedikit pun, Seokmin merasa Yuna akan menghancurkan dirinya sendiri jika ia mengiyakan pertanyaan tersebut. Jadi, dengan berat hati, Seokmin menggeleng. Ia hanya tidak ingin Yuna menyelamatkan orang lain dengan mengorbankan diri sendiri—seperti yang dulu Seokmin dan seluruh 3-E lakukan demi kembalinya Yuna dan Jaehyun.
Begitu Seokmin berkata 'tidak', Yuna mendelik.
"Mengapa?!" –Seokmin terenyak; Yuna seperti sedang kerasukan sosok lain sekarang—"Mengapa kau boleh menolong orang lain sampai melukai dirimu, sedangkan aku tidak?!"
Tangan Seokmin terangkat, hendak merengkuh bahu Yuna, tetapi Yuna menepisnya. Rasa sakit di tangan yang ditepis itu menjalar sampai ke tangan lainnya yang mengerut karena luka bakar.
"Kau terpaksa meledakkan sekolah karena aku tidak melakukannya lebih awal." Yuna terengah, pandangannya tidak fokus. "Jadi, sekarang, biar aku yang mengambil langkah ekstrem agar tidak ada lagi yang menderita!"
"Yuna—"
"Benar. Aku tidak butuh persetujuan untuk menyelamatkan seseorang. Ingat saat kita bertemu setelah kau terkejang di bawah lampu jalan? Bukankah kau 'memaksaku' untuk menerima rencana berbahaya yang tak aku tahu?" Suara Yuna bergetar. "Ya. Aku akan bertindak. Biarpun tak ada yang mendampingiku, aku akan bergerak!" []
---
sesuai kataku, rough update setiap gfriend comeback yuhuuuu. selama masa promosi 'apple' ini kuusahakan update lebih dr 1 chapter. doain ya ges. aku juga lagi ngerjain novel online yg terbit mingguan soalnya >< aku tau di sini mgkin menjadi lapak shipper jaehyuju but i wrote jaehyun x lovelyz sujeong on another platform. yg pingin tau cek link di profilku ya ^^ di chap ini linknya tdk bisa dikopas heu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top