Lowest in Hierarchy (1)
Ini Kamis pagi yang 'istimewa' bagi para siswa 3-E karena untuk pertama kalinya dalam sejarah Seoul Global High, ujian termodinamika berubah format menjadi ujian praktikum. Tidak seperti minggu sebelumnya di mana Chaeyeon membantu menimbang zat dan Sujeong mencatat, Yuna harus mengerjakan semuanya sendiri kali ini. Cekaman atmosfer laboratorium sedikit menyusahkan si gadis bercepol tinggi untuk memaksimalkan performa; ia kelimpungan, menggulingkan tabung reaksi berkali-kali (yang untungnya kosong), dan kehilangan 'sentuhan dewanya' di atas neraca ketika menimbang garam kalsium. Selalu saja selisih ukur zatnya dengan jumlah yang ditentukan di soal lebih dari setengah gram, ya Tuhan. Peluh mulai membasahi dahi sang dara yang tak tertutup poni, napasnya tertahan di depan sejumlah bubuk putih berkilau.
Oke, selisihnya sudah masuk batas toleransi!, batin Yuna ketika massa zatnya terbaca timbangan. Waktunya mereaksikan!
Yuna memasukkan garam kalsium ke timbangan dan memerhatikan baik-baik perubahan angka di termometer, tetapi mengawasi digit hitam sangat membosankan, jadi sesekali, sang sekretaris kelas melirik teman-temannya. Chaeyeon lagi-lagi kesulitan dengan neraca, membuat Yuna gatal ingin membantu. Di belakangnya, Seokmin tampak kebingungan mencari sesuatu; pembakar Bunsennya dalam keadaan terbuka. Pimook geleng-geleng kepala, dari kanan diam-diam mengangsurkan korek api dan Seokmin menyampaikan terima kasih sunyi sambil cengar-cengir.
Kikuk sekali.
Berbeda dengan beberapa kepala di 3-E yang masih canggung menangani berbagai bahan percobaan, Jaehyun dan Minghao melakukan multitasking. Pembakar Bunsen mereka menyala, tetapi tangan mereka bergerak menyeimbangkan reaksi garam klorida pada lembar jawaban. Begitu timer berbunyi, sejenak alat tulis diletakkan; keduanya mematikan pembakar dan mencatat suhu basa barium di atas kawat kasa, kemudian menambahkan larutan baru ke dalamnya. Selagi menunggu angka di termometer berganti, mereka kembali berkutat dengan kertas hitungan.
Luar biasa. Yuna pasti kebingungan kalau membagi pikirannya seperti itu. Ia lebih memilih menuntaskan semua reaksi dan mencatat hasil pengamatannya, baru mengalkulasi pertukaran energinya belakangan. Toh mereka punya satu setengah jam untuk menyelesaikan semuanya, tetapi pemenang lomba kimia kan memang beda.
Jaehyun, terutama. Mengapa kharismanya dalam jas putih panjang dan kacamata pelindung justru menguat, ya?
Mungkin gara-gara merasa diawasi, Jaehyun menoleh dan bersitatap dengan Yuna secara tak sengaja, memerahkan pipi sang dara. Pemuda itu tersenyum, telunjuknya terarah ke termometer digital Yuna saat Guru Woo—pengawas hari ini—tidak melihat.
Ups. Suhu larutan Yuna sudah terbaca, rupanya. Gadis itu mengangguk penuh terima kasih, malu-malu kembali ke lembar kerja dan memasukkan angka ke tabel suhu.
"Ryu Sujeong, mau ke mana kau?"
Meski Guru Woo tidak berteriak, suaranya terdengar lantang di tengah kesunyian lab, cukup untuk memaku Sujeong di tempat. Gigil gadis itu mulai bangkit dan Yuna tak bisa tak cemas ketika kondisi tersebut bahkan mampu mengalihkan perhatian Jaehyun dari soal praktikumnya. Apakah trauma yang ditimbulkan Guru Woo akibat insiden statif dan gelas ukur tempo hari masih sebegitu hebat mengguncang Sujeong?
"Tidak ke mana-mana, Ssaem." Minghao—yang mejanya bersebelahan dengan si peringkat empat belas—menjawab datar sambil menekuk punggungnya ke bawah. "Dia hanya mengambil bolpoin yang terjatuh."
Alat tulis warna oranye yang dimaksud, Minghao sodorkan pada Sujeong. Gadis itu lirih mengucap terima kasih, lantas meneruskan bekerja, tetapi netra 'master kimia' kelahiran Haicheng di sampingnya masih menempel ke punggung Guru Woo yang baru saja berbalik; tidak lama, namun sarat amarah. Yuna sendiri merasa seorang guru yang mengerti kondisi khusus murid-muridnya—apalagi yang sudah 'setampak' Sujeong—harusnya beradaptasi dengan mereka. Nada menegur tidak semestinya digunakan untuk memanggil siswa yang mudah gugup saat ujian jika para guru paham betapa krusialnya satu setengah jam itu untuk prestasi anak didik mereka. Awalnya mengira pemikirannya berlebihan, Yuna beroleh persetujuan dari dengusan samar dan bertautnya alis Minghao.
***
"Yuna-ya, nilai ujian praktikum sudah keluar! Kali ini, ada remedial untuk yang nilainya kurang dari tujuh puluh!"
Gara-gara seruan Chaeyeon, Yuna yang masih menyabuni badan buru-buru menuntaskan mandinya, berpakaian, dan keluar bilik toilet sekolah. "Mana? Mana? Aku mau lihat!"
Bukannya menunjukkan hasil ujian, Chaeyeon yang lebih dulu selesai mandi malah menertawakan si rambut basah.
"Kau sudah jelas tidak bakal ikut remedial, tidak usah tergopoh-gopoh sampai kancing seragam miring semua begitu. Sini, kubetulkan."
"Huwaa, jangan!" Yuna menyilangkan tangan malu di depan dada. "Biar kukancingkan sendiri!"
"Tidak usah sungkan. Kita sama-sama perempuan, lagi pula," Chaeyeon tersenyum jahil, "kamu kan seksi, untuk apa malu?"
"Chaeyeon—kyaaa!!!"
Sejenak, kedua siswi itu heboh sendiri karena Chaeyeon bersikeras membenahi letak kancing Yuna, sementara gadis yang lebih tinggi senantiasa menghindar sembari berusaha melesakkan buah bajunya ke lubang yang benar. Kekacauan kecil yang mereka buat sampai-sampai mencegah seseorang untuk masuk ke toilet putri. Bagaimana tidak? Chaeyeon sukses menyudutkan Yuna ke wastafel, meloloskan kancing sang kawan dalam posisi yang kurang menyenangkan, ketika Sujeong membuka pintu.
"Ma-Maaf aku mengganggu."
Adegan yang terjeda berjalan kembali dengan lambat setelah Sujeong memutar kenop pintu dari luar. Chaeyeon menarik tubuhnya dari atas Yuna, membiarkan sang sekretaris kelas menata ulang letak kancing seragamnya, lantas dua sahabat itu saling bertatapan.
"Kira-kira, apa yang dipikirkan Ryu Sujeong melihat kita barusan, ya?" ringis Chaeyeon, meronakan Yuna seketika dan memicunya segera mengalihkan isu.
"Mana nilainya, Chaeyeonie? Ponselku ketinggalan di kelas."
"O, iya." Chaeyeon membuka tautan yang dikirim ke grup obrolan kelas oleh ketua mereka, menampilkan sebuah dokumen berisi tabel skor. "Sebenarnya, kamu tidak perlu khawatir karena yang kubilang tadi sungguhan: kamu tidak ikut remedial. Cuma dua orang kok yang nilainya di bawah tujuh puluh dan itu bukan kita."
Yuna bersyukur mendapati angka 95 di kolom nilainya, peringkat tiga dari keseluruhan. Jaehyun berada di tempat pertama dengan nilai seratus bulat, di bawahnya menyusul ... Mina? Mana Minghao?
O, itu dia, nomor dua belas, di luar perkiraan.
Baris nomor empat belas dan lima belas berwarna kuning, tanda bahwa dua nama di dalamnya wajib mengambil ujian ulang. Mingyu—sekali lagi ada hasil yang di luar perkiraan Yuna—memperoleh nilai 65, sementara nama yang di bawahnya—Ryu Sujeong—hanya meraih 59 poin.
Teringat Yuna akan raut sembab Sujeong di ambang pintu kamar mandi sebelum ini.
"Kapan remedialnya akan dilaksanakan?"
"Kamis ini, kata Jaehyun di grup." Chaeyeon menggulung layar gawainya ke atas. Yuna terkesiap.
"Tapi itu mepet sekali dengan evaluasi bulanan! Kupikir mereka akan menjadwalnya minggu depan supaya tidak berbarengan!"
"'Memang tidak berbarengan, kan?' Pasti Guru Woo akan menanggapi begitu jika ada yang memprotes pelaksanaan remedial kali ini. Tahu sendirilah dia orangnya bagaimana: tidak akan tenang dia kalau muridnya belum menderita. Walaupun ini akan memberatkan murid yang mengulang praktikum untuk bisa lolos evaluasi bulanan, dijamin dia tak akan peduli."
Yuna jadi muram memikirkan kemungkinan perubahan dini komposisi kelasnya. Dia kan belum mengenal baik mereka semua, lebih-lebih Sujeong yang menurutnya berada di ujung tanduk. Tanpa meremehkan kemampuan akademik si dara ikal, Yuna pikir kondisi psikis Sujeong yang mudah goyah akan jadi batu sandungan terbesarnya mempertahankan peringkat. Dalam keadaan sendiri, seseorang akan merapuh, bukan? Jika Sujeong tetap mengunci diri hingga evaluasi bulanan nanti, Yuna khawatir ia akan terusir dari 3-E selamanya.
Setibanya di kelas, Yuna disambut oleh Mingyu yang bersimpuh di depan meja Jaehyun, kedua telapak tangannya bertemu di depan wajah. Minghao di belakangnya berkacak pinggang, sedangkan Jaehyun mengusap tengkuk dengan tampang bingung.
"Kumohon ajari aku! Kau tahu sendiri betapa kejamnya Minghao padaku! Dia itu bukan pengajar yang baik, tetapi penghajar yang baik, jadi kumohon padamu, Pak Ketua, ajari anak buahmu yang payah ini!"
Yuna dan Chaeyeon hampir tertawa andai tidak sadar bahwa tindakan itu akan sangat kejam di mata Mingyu.
"Kau sendiri, sih, mengapa langkah praktikumnya tidak kauikuti dengan runtut? Jadi salah semua kan hitunganmu?" Minghao mengomel. "Seokmin yang ceroboh saja bisa dapat 92 karena malamnya belajar dan cukup istirahat. Kau malah iseng meneruskan proyek charger alamimu itu!"
"Habis mau bagaimana, di tengah-tengah belajar ada ide yang muncul mengenai proyek itu yang membuatku tidak tenang. Daripada kepikiran, mending langsung kukerjakan saja!" Bibir Mingyu mengerucut terus selama bicara. "Lagi pula, kau ikut mengisi daya ponselmu pakai charger itu paginya!"
Minghao hendak menimpali lagi, beruntung Jaehyun mencegatnya sebelum bertambah parah.
"Akan lebih bagus kalau kau bertindak sesuai prioritas, Mingyu-ya, tetapi yang lalu biar berlalu. Kalau mau belajar," Pemuda berkulit seputih susu di hadapan Mingyu mengeluarkan buku panduan praktikum dan catatan kimianya, "sekarang juga bisa, kok. Mana yang menurutmu sulit?"
"Dia bukannya tidak paham teori, cuma gegabah mengerjakannya," komentar Minghao sebelum beranjak pergi. Mingyu meleletkan lidah pada kawannya itu sebelum meminta Jaehyun mengabaikan si Xu dan kembali fokus ke remedialnya. Sedikit janggal menyaksikan sepasang partner in crime ini tak akur, jadi Yuna menghampiri Mingyu untuk menanyakan perkara tersebut.
"Aku tidak tahu, mungkin dia sedang datang bulan. Merepet melulu, capek aku menanggapinya." Mingyu menggeleng-geleng. "Akhir-akhir ini, dia jarang main ke rumahku buat mengerjakan proyek-proyek kecil kami atau sekadar ngegame. Katanya sibuk belajar. Hah! Bercanda!"
"Tapi mungkin Minghao tidak berbohong." Seokmin berpaling pada tiga kursi paling belakang yang semuanya tak berpenghuni: Sujeong entah berada di mana, sedangkan Minghao—setelah mengkritik Mingyu tadi—langsung mengajak Sicheng ke perpustakaan. "Dia jadi sering belajar matematika bersama Sicheng dan Yiyang, padahal biasanya sesantai kau."
"Nilai beberapa orang di kelas kita agak menurun belakangan, salah satunya Minghao. Aku mengerti kalau ia ingin menggenjot nilainya dengan lebih banyak belajar—dan mengajar juga termasuk salah satu metode belajar," tambah Jaehyun.
"Ah, benar. Barangkali dia memaksa untuk mengajarimu agar sekalian belajar untuk peningkatan nilainya?" Yuna berpendapat, tetapi Mingyu yang mulai jengah memaksa gadis itu untuk berhenti memperbincangkan Minghao. "Kok aku jadi melantur. Maaf, Mingyu-ya, kamu belajar saja dulu."
"Kamu tidak perlu minta maaf, Yuna." Mingyu mendadak salah tingkah. "Nanti aku akan coba tanya Minghao; malas juga aku kalau suasana antara kami terus-terusan tidak nyaman begini. Duh, kurasa aku sedang kacau karena pengumuman ujian ulang Kamis yang berdempetan dengan evaluasi bulanan ...."
"Siapa pun bakal bersikap sepertimu jika diapit situasi yang sama-sama mendesak. Kami semua siap membantu, jadi tenang saja dan jangan terlalu dipikirkan." Jaehyun memaklumi.
"Mingyu ini memang ahlinya tidak-terlalu-memikirkan-sesuatu."
"Oi, maksudmu aku bodoh begitu?"
Selagi Seokmin meronta-ronta dalam kuncian lengan kokoh Mingyu, Jaehyun sejemang beralih pada Yuna.
"Sujeong ada di perpustakaan, seandainya kamu mencari. Tolong berhati-hati, sepertinya ia sedang sangat kalut."
Ajaib. Perang dingin antara Mingyu dan Minghao hampir saja mengalihkan Yuna dari Sujeong. Bagaimana Jaehyun dapat menebak bahwa Yuna ingin menemui si pemalu?
"Baiklah, aku akan coba menemui dia. Semoga saja ada yang bisa kubantu."
Jaehyun mengangguk.
"Yuna-ya, aku ikut!"
Baru saja Chaeyeon hendak menggamit lengan sahabatnya, Jaehyun lebih dulu meraih telapaknya, beriring siulan nakal Mingyu.
"Chaeyeon, setelah ini aku ingin membicarakan tugas kelompok bahasa Inggris denganmu."
Pipi Chaeyeon mendadak bersemu dan Yuna tak sanggup menahan senyum. "Oke, aku tak akan mengganggu. Selamat bersenang-senang ... maksudku, selamat bekerja!"
Sayup terdengar deheman usil Mingyu dan kikikan Seokmin ketika Yuna menutup pintu kelas.
Perpustakaan ternyata sudah diisi tiga orang siswa sebelum kedatangan Yuna. Dari kejauhan, mereka tampak sangat serius membahas soal-soal di buku kerja aljabar, tetapi dalam bahasa Mandarin yang samar saja Yuna tangkap artinya. Sicheng yang sehari-harinya bengong dan pacarnya yang kadang melakukan hal aneh semacam beryoga di gimnasium saat jam istirahat kini benar-benar berkonsentrasi menjelaskan kurva turunan pada Minghao yang sesekali memijat lelah pangkal hidungnya. Begitu menemukan Yuna di dekat meja petugas perpustakaan, ketiganya menyapa ramah—sekaligus lelah. Tekanan evaluasi bulanankah?
"Apa ada tugas hukuman lagi, Choi Yuna?" tanya Yiyang khawatir. Wajah leganya setelah Yuna menjawab sesungguhnya lebih manis.
"Tidak. Aku mencari Ryu Sujeong. Apa kalian melihatnya?"
Sicheng menggeleng ragu. "Dari kita masuk tadi, dia tak ada."
"Hm? Jaehyun bilang tadi Ryu Sujeong ke perpustakaan."
"Mungkin kau bisa menemukannya di sekitar rak buku. Kadang-kadang, ada yang membaca di lantai, kan?" saran Minghao kemudian.
"Baiklah, terima kasih, Sicheng, Yiyang, Minghao." Diam sebentar. "Hwaiting untuk evaluasi bulanan kedua, teman-teman!"
Meniru Yuna, Yiyang mengangkat kedua tangannya, sementara dua cowok di sebelahnya hanya tersenyum. "Hwaiting juga untukmu!"
Berdasarkan saran Minghao, Yuna menyusuri sela-sela rak buku berdebu, tidak lupa toleh kanan kiri ke ruang-ruang tersempit yang tak terjangkau penglihatan para pelajar Tiongkok. Benar saja; ia menemukan Sujeong di balik rak buku sejarah Korea yang terabaikan, merangkum buku teks kimia seraya berurai air mata. Buku tulis yang hangus setengah di bawah buku teks itu membuat Yuna tersentak.
"Choi Yuna?" Parau Sujeong memanggil, tangannya mengusap cepat sisa tangis. "Sedang apa ... di sini?"
Tolong berhati-hati, sepertinya ia sedang sangat kalut.
Perlahan, Yuna berlutut di hadapan Sujeong sembari mengulas senyum tulus.
"Aku mencarimu. Sedang membuat rangkuman kimia untuk remedial?"
Sujeong mengangguk lemah, tergesa mengumpulkan buku dan alat tulisnya untuk berpindah tempat, tetapi Yuna lembut menahan tangannya.
"Apakah ada yang bisa kubantu untukmu?"
Masih bungkam, Sujeong hanya menggeleng. Tangannya ia tarik dari Yuna, tetapi begitu sadar wajah Yuna digelayuti mendung disebabkan penolakan tersirat ini, gadis canggung itu meralat.
"Choi Yuna, kamu sangat baik, tetapi lebih baik kamu menjauh dariku kalau tidak ingin celaka. Untuk apa juga membantu seseorang yang tidak mungkin bertahan di 3-E lebih lama lagi?"
"Mengapa tidak kita coba dulu?" bujuk Yuna; pesimisme Sujeong mengingatkannya pada Seokmin yang pernah nyaris dikeluarkan. "Kalau kesulitan terus dipendam dan solusinya tidak juga ketemu, itu akan semakin menyusahkan, bukan? Tidak masalah kok, berbagi sedikit, siapa tahu kami bisa menolong."
Sujeong mendekap erat barang-barangnya, termasuk buku catatan yang hangus tadi, dan karena lengan bajunya agak tersingkap, tampaklah plester luka besar yang melintangi lengannya.
"Semua orang cuma ingin tahu, bukan ingin membantu."
Terpukul Yuna oleh kalimat Sujeong ini. Buru-buru ia meninjau balik niatnya mencari si pemalu itu: bukankah ia juga mau menolong, tidak sekadar ikut campur?
"Maafkan aku, Choi Yuna, aku sudah lama berhenti memercayai orang lain."
Dengan itu, Sujeong menegakkan tubuh dan keluar perpustakaan sambil berlari. Yuna yang tidak mengantisipasi ini sontak berdiri untuk mengejar Sujeong.
"Tunggu, Ryu Sujeong!"
Sayang sekali, yang dipanggil sudah menghilang di koridor, meninggalkan Yuna dan gumaman sesalnya.
"Kita kan bisa bicara dulu pelan-pelan ...."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top