Lee Seokmin (2)

Selama ini, Mingyu tidak pernah kedapatan demikian 'meledak'. Sang peraih medali sains biasanya sanggup mengontrol emosi atau menutupi perasaannya menggunakan humor-humor, tetapi getar halus di sekujur tubuhnya ketika berteriak mengirim ketegangan pada Yuna pula. Permusuhan Mingyu dan Junhoe tidak berlangsung sebentar, maka Yuna patut mengantisipasi konflik berikutnya yang mungkin berujung pada pengurangan poin ketertiban. Beruntung, Jaehyun merentangkan tangan di depan Mingyu, membiarkan Junhoe berlalu tanpa sedikit pun luka dari mantan anggota tim fisikanya.

"Maaf menahanmu."

"Tak apa. Aku justru berterima kasih, Jaehyun." Mingyu menghela napas, tinjunya melonggar, dan ia tampak lebih menguasai diri setelah Junhoe hilang dari hadapannya. Bukan berarti Yuna bisa tenang; arah pandang Mingyu lurus pada si peringkat tiga dan Yuna mau tak mau berpaling ke sana. Seokmin terganggu oleh fakta bahwa dia—dengan melakukan pelanggaran—telah menyusahkan kedua kawannya, padahal Yuna paham tekanan sekuat apa yang membuat Seokmin nekat melanggar.

Jaehyun sekilas menatap Yuna. Entah bagaimana, Yuna secara kebetulan melirik Jaehyun, seakan sepemikiran. Lantas, Jaehyun menepuk-nepuk pundak Seokmin yang tahu-tahu melungsur.

"Kita kerjakan tugasnya bersama-sama saat istirahat sore, oke? Jangan mematung begitu, seram, tau."

Sayangnya, senyum tipis Seokmin dan permohonan maafnya yang lirih pada Jaehyun tidak memuaskan Yuna sama sekali.

Kegagalan aksi meloloskan diri Seokmin mencetak sejarah pertama pengurangan poin di kelas 3-E angkatan ini. Karena itulah, di hari usai tertangkap basah, Seokmin tidak lagi mencoba melarikan diri di jam istirahat. Mingyu dan Minghao ngomel-ngomel lantaran sang eksekutor utama justru memilih pasif ketika rencana baru yang lebih matang tuntas dirancang.

"Yuna!" Mingyu memekik frustrasi begitu si gadis semampai kembali dari toilet. "Tolong nasihati temanmu ini, kalau mau usaha itu ya harus sampai titik darah penghabisan! Kita sudah semalam suntuk memikirkan nasibnya, dia malah mau menyerah!"

"Aku cuma tidak mau kejadian kemarin terulang!" Seokmin meninggikan suaranya tanpa melebihi ambang wajar. "Aku sudah berdiskusi dengan ibuku dan beliau mengerti. Aku juga punya rencana untuk tetap membantu ibuku dengan kerja penuh waktu di akhir pekan, jadi aku bukannya menyerah. Kalau poin Yuna dan Jaehyun berkurang gara-gara aku lagi, aku—"

"Sebenarnya, urusan ini akan jadi mudah kalau kau bersedia menerima bantuan dana dari kami," tukas Minghao, sorot nanarnya memberikan penekanan. "Rasional saja. Dengan kondisimu yang sekarang, segala pilihan memang mustahil kecuali kami memberimu uang secara langsung."

Akibat kata-kata Minghao, Seokmin merasa terpojok dan tampak kesal. Menyaksikannya membuat Yuna memaksa Mingyu dan Minghao pergi dengan isyarat tangannya, menyisakan rongga untuk ia isi sendiri. Satu tarikan napas kemudian, Yuna buka suara.

"Seokmin-ah, menerima bantuan bukan berarti kamu tidak mampu, lho. Bukan juga berarti kami meremehkanmu. Selalu ada jalan buat setiap kesulitan; bisa saja solusi masalahmu disampaikan Tuhan melalui tangan kami, kan? Mengapa kamu membuangnya dari pilihan yang bisa kamu ambil?"

Kehati-hatian dan kelembutan ucapan Yuna melunakkan Seokmin sedikit. Rasa jengkel menguap dari air mukanya, terganti rasa bersalah, dan tak lama, Seokmin menggeleng-geleng.

"Aku tidak tahu, Yuna." Dengan siku bertumpu di meja, jemari Seokmin membelah belantara rambut ikalnya dan berhenti di sana saat ia tertunduk. "Aku tidak tahu harus bagaimana menghentikan ketergantunganku pada kebaikan kalian. Dari kelas satu, aku tidak pernah sanggup menolong diri sendiri; aku cuma bisa mengandalkanmu, Mingyu, Minghao, Donghyuk, termasuk Jaehyun yang kujadikan panutan supaya aku setidaknya tetap bertahan di sekolah ini.

"Maksudku ... mungkin ... dari awal, aku ... memang tak pantas berada di sini ...."

"Seseorang mengatakan itu padamu?"

Alangkah terperanjat Seokmin begitu vokal dalam yang tak asing ini menyapanya dari belakang.

"Jaehyun ..."

"Katakan," Jaehyun duduk menyerong di kursinya, menghadap Seokmin, "apa ada yang mengatakan kau tak pantas berada di sini? Atau itu hanya keyakinanmu yang invalid?"

"Jaehyun." Nama sang pemimpin kelas meluncur dari lisan Yuna, singkat namun padat makna.

Jangan desak Seokmin lebih jauh dari yang sudah Mingyu dan Minghao lakukan.

Kendati Yuna meminta, Jaehyun menolak berhenti; netra cokelat gelapnya masih menuntut jawaban.

"Mungkin, mungkin ... itu cuma opiniku, tetapi bukankah pikiran semacam itu cukup untuk membuktikan betapa tidak layaknya aku?"

"Seokmin, jika kamu memang tidak layak, lalu mengapa kamu bisa berada di 3-E, puncak tertinggi hierarki Seoul Global High? Kamu berjuang lebih keras dari yang lain selama dua tahun penuh, maka kamu berhak menuai hasilnya. Dari sisi mana pun, bagiku kamu layak mendapatkan ini semua, tidak peduli berapa lembar won yang ada di dompetmu atau dompet ibumu," kelakar Yuna di akhir kalimatnya, memancing senyum tipis Seokmin—yang kelewat tipis.

"Terima kasih," –tapi Seokmin mengucapkannya setengah hati tatkala bangkit dari bangkunya—"aku sudah lebih baik sekarang."

Sebelum Seokmin meninggalkan tempat, Jaehyun menyusulkan kalimat yang menghentikan langkah si pemuda berkacamata.

"Aku tahu di kelas satu dan dua, kamu menerima perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa orang," –Yuna terbelalak; menyinggung hal ini berpotensi menyakiti Seokmin sebab Seokmin kerap tersiksa karena hal tersebut sampai tidak menyadari sebesar apa ia terpengaruh—"tetapi kompetisi kita sekarang bukan lagi menyangkut status sosial, melainkan intelegensi dan kerja keras. Dalam persaingan yang demikian, kamulah pemenangnya, Seokmin, jadi jangan mau dipecundangi, apalagi oleh dirimu sendiri."

Seokmin tidak berbalik.

"Terima kasih, Jaehyun."

Dan para pengurus kelas tidak dapat menangkap raut yang mengiringi getar suaranya.

Yuna menutup wajah dengan dua belah tangan. "Kamu benar, Jaehyun. Semua yang kamu katakan itu benar. Mengapa Seokmin selalu merasa tak setara dengan kita, cuma karena kehidupannya yang substandar? Ah, bahkan label 'substandar' itu juga dia sendiri yang menyematkan! Aku sungguh tidak peduli dengan merek ponselnya, apa pekerjaan orang tuanya, termasuk sepatunya yang berlubang. Dia teman yang baik! Ia bersedia berkorban untuk kawan-kawan yang membutuhkan, lalu kenapa .... Hah! Sampai bingung aku mau mengatakan apa soal dia!"

"Kamu benar-benar tidak ingin Seokmin pergi, ya?"

"Tentu saja!" Duh, jadi fals suara Yuna. "Siapa mau kehilangan orang seberharga Seokmin? Tidak ada!"

Jaehyun menyanggakan sisi wajahnya pada telapak. Kurva di bibir melesakkan celah kecil tempat lesung pipinya biasa berada, sejenak membuat Yuna kelimpungan.

"Sudah ditetapkan, misi pertama kita sebagai pengurus kelas adalah mempertahankan Seokmin agar tidak meninggalkan bangkunya."

***

Jam istirahat. Yuna dan Jaehyun sedang mengerjakan tugas hukuman di perpustakaan. Beruntung, butir soal yang harus mereka selesaikan hari ini hanya lima, jadi mereka bisa membicarakan Seokmin di sela-sela menuntaskan soal pilihan ganda.

"Seokmin semakin membuatku khawatir."

"Sama," Yuna menanggapi. "Kalau diingat-ingat, kedatangannya beberapa pagi ini mepet jam berkumpul, sampai-sampai bekal yang kubawakan buatnya baru dia makan saat jam istirahat siang."

Jaehyun mengusap belakang kepalanya. "Kita bicara berbusa-busa waktu itu, ada efeknya, tidak, sih?"

Yuna mengangkat bahu. "Kalau dia tidak mau dengar, ya sudah. Biar pusing sendiri andai nilainya jeblok nanti."

"Jangan berdoa yang jelek buatnya, Yuna. Memangnya kamu rela dia keluar sekolah—"

"TIDAK! Tidak mau, tidak mau, tidak mau! Pokoknya, Seokmin tidak boleh keluar!"

Manik Jaehyun membola oleh penolakan keras ini dan dia berdecak kagum.

"Kau sebegitu sayangnya pada Seokmin?"

"Aku—a-apa?" Kontan wajah Yuna terbakar. "Tidak! Bukan sayang yang seperti itu, tetapi sebagai sahabat! Teman akrab, teman akrab; Jaehyun mengerti, kan?"

"Ehem, ehem! Ada yang tidak mau mengaku, nih."

"Jaehyun!" Bibir Yuna mengerucut, dengan perlahan memukul lengan atas ketuanya yang spontan tertawa.

"Iya, iya, aku paham, kok. Padahal sudah dekat, tetapi tetap saja tidak berbagi rahasia, rasanya jadi tidak benar-benar 'bersahabat', kan?"

Mengiyakan ucapan Jaehyun, anak mata Yuna bergulir ke samping. Dia tidak boleh menyalahkan Seokmin yang enggan berbagi rahasia jika ia sendiri masih belum berkenan menumpahkan semuanya pada Seokmin—atau pada Jaehyun. Terbayang persahabatannya dengan Eunbi yang jauh lebih mudah ketimbang dengan dua cowok ini; mungkinkah karena laki-laki dan perempuan terlampau kontras hingga butuh kepercayaan sangat besar untuk saling terbuka? Karena laki-laki merasa kuat dan perempuan takut laki-laki tidak cukup peka buat mengerti?

Apakah niat baik semata tidak cukup untuk mengeratkan ikatan persahabatan?

Segala pemikiran acak Yuna seketika lenyap setibanya di kelas. Adrenalinnya membanjir begitu melihat bangku Seokmin telah dipenuhi coretan cemoohan dan bergeser tiga ubin dari tempat semula. Buru-buru si gadis menghampiri meja itu dengan wajah tegang, panas dari dasar hatinya membumbung sampai permukaan.

'Anak miskin'. 'Enyah'. 'Bodoh'. 'Sampah'.

"SIAPA YANG MELAKUKAN INI, CEPAT MENGAKU!!!"

Semua orang yang berada di kelas mematung, tidak menyangka sekretaris kelas mereka yang biasanya periang dan kalem tiba-tiba membentak. Sebagian besar terdiam, satu-dua berbisik pada siapa yang duduk di sampingnya, tetapi seseorang bangkit dan melempar kaleng cat semprot kosong ke dekat kaki Yuna.

"Aku," –Yuna tidak terkejut menyaksikan siapa yang kini dihadapinya— "lalu kau mau apa? Memohon pada Guru Jang agar poinmu tidak dikurangi?"

Getar ketakutan yang biasa menyelinap dalam hati Yuna kala berinteraksi dengan orang ini, ajaibnya, tidak muncul saat itu. Si gadis mengepalkan tangan di sisi sebelum berteriak sekuat tenaga hingga getar halus merambati sekujur tubuhnya.

"Mengapa kamu melakukannya?! Apa salah Seokmin?! Dia sedang tidak dalam keadaan baik dan kamu akan menambah buruk keadaannya, Junhoe!"

Disembur habis-habisan seperti itu oleh Yuna sepertinya tidak mengusik Goo Junhoe, si pemicu kekacauan. Dengan santai, ia duduk di kursi Seokmin, melipat lengan dan menyilangkan kaki. Senyum miringnya seakan meremehkan Yuna, menganggap kemarahan Yuna lelucon belaka.

"Kesalahannya? Si miskin itu bernapas di ruang ini saja sudah salah. Baguslah besok dia sudah angkat kaki dari sini."

"Tidak ada yang angkat kaki dari kelas ini sebelum lulus, jadi sekarang bereskan semuanya sebelum Seokmin datang, lalu minta maaf!"

Menyaksikan ekspresi jengkel Yuna malah membebaskan kekehan Junhoe.

"Kau marah cuma gara-gara aku menghias meja Seokmin? Ini hadiah dariku, kenang-kenangan sebelum dia dikeluarkan dari 3-E; aku baik, kan?"

Rahang Yuna terkatup rapat, ingin mengumpat atau meludahi muka angkuh Junhoe, tetapi ia tahan sebisa-bisanya lantaran sadar betul itu perbuatan yang tak patut. Selain itu, Yuna merasa sikapnya sudah kelewatan, bahkan jika yang dihadapinya adalah siswa paling menyebalkan satu sekolah. Dasar kurang kerjaan! Ucapannya tentang Seokmin yang akan 'dikeluarkan' pun pasti sekadar alat untuk memancing amarah Yuna, bukan sebuah kebenaran. Seokmin tidak akan dikeluarkan. Untuk apa? Dia siswa berprestasi dan tidak pernah merusuh macam Junhoe.

Omong-omong soal Junhoe, bukankah dia yang seharusnya dikeluarkan?

Jaehyun menepuk bahu Yuna, menenangkan sang sekretaris. Ia lantas maju selangkah, mendekati Junhoe usai Yuna memberinya jalan.

"Apa untungnya bagimu melakukan ini? Kau senang melihat orang lain kesusahan karena sikapmu?"

"Ya," sahut Junhoe cepat, senyum congkaknya melebar, "dan apa yang kulakukan bukan urusanmu."

"Tentu jadi urusanku, dan ini bukan melulu tentang poin ketertiban. Sikapmu yang begini mengganggu anggota kelas. Lagi pula, dua tahun keberadaan Seokmin di sekolah ini tidak pernah mengusikmu. Mengapa sekarang kau menghendakinya segera angkat kaki?" Sejenak Jaehyun memberi jeda. "Atau ..."

Terusan kalimat Jaehyun tidak tertangkap rungu Yuna sebab pemuda Jung berkulit cerah itu agak menunduk ketika bicara, suaranya rendah dengan volume minimum pula. Yang Yuna tahu, detik berikutnya Junhoe melayangkan bogem mentah yang memberi warna keunguan di pipi putih Jaehyun. Biarpun tidak mengantisipasi serangan ini dan sangat syok dibuatnya, refleks Yuna menangkap Jaehyun yang terhuyung ke belakang sangat bagus.

"Lega bisa menonjokmu lagi setelah sekian lama, Jaehyun. Terima kasih sudah memancingku melakukannya."

Di antara desisnya menahan nyeri, Jaehyun masih bisa menyisipkan senyum—puas?

"Terima kasih kembali."

"Goo Junhoe!" bentak Yuna lagi manakala Junhoe melajukan tungkainya menuju pintu. "Jaga sikap—"

"Yuna, sudahlah."

Denyut hebat di pipi Jaehyun tidak terus membuatnya naik pitam. Ia mencegah Yuna berbuat lebih jauh seraya berdiri perlahan-lahan, masih memegangi pipinya yang nyeri. Pandangan Jaehyun tidak beranjak dari punggung Junhoe yang akhirnya menghilang ke balik pintu kelas.

"Guru Jang dan Guru Shin pasti akan menyidang kita lagi," dengus Yuna, "tapi kesal rasanya disidang karena vandalisme Junhoe—di meja Seokmin, lagi!"

"Daripada mengkhawatirkan hal itu," Jaehyun berpaling pada bangku Seokmin yang berantakan, "cat semprot kalengan susah dihapus, apalagi kalau sebanyak ini. Kita benar-benar harus mencari meja baru sebelum Seokmin tiba."

"Tidak usah, Jaehyun."

Sepasang perangkat kelas yang baru akan menukar meja Seokmin spontan berpaling ke belakang. Yuna membelalak kecewa lantaran Seokmin datang lebih cepat dari bayangannya, sehingga ia tidak sempat menutupi perbuatan Junhoe. Pemuda berkacamata di ambang pintu menatap nanar mejanya yang tercoret-coret, sejemang kemudian beralih pada lebam di pipi Jaehyun. Rasa bersalah jelas tergambar di permukaan obsidiannya, cukup gamblang tanpa ia mengungkapkan.

"Aku akan ambil meja di ruang musik."

"Akan kubantu!" Kaki jenjang Yuna segera memangkas jarak antaranya dan Seokmin, sementara Jaehyun mengikuti mereka tanpa suara. Ketiganya berjalan beriringan menuju ruang musik dalam hening. Meskipun ingin sekali membuka konversasi, suasana hati Yuna masih kacau. Dampaknya, otak si gadis belum sanggup merangkai kata dengan rapi. Level kemuraman Seokmin sangat berbahaya; Yuna takut kalau ia salah ucap, Seokmin akan remuk. Belum pernah Seokmin dinaungi mendung setebal ini dan Yuna tidak mau memicu badai menggunakan susunan aksara yang keliru.

"Terima kasih, Yuna, Jaehyun. Maaf sudah menyusahkan kalian, tetapi apa yang Junhoe bilang," –Tanpa memandang lawan bicaranya, Seokmin membuka pintu ruang musik—"itu benar."

Kata-kata Seokmin menimbulkan gambaran yang begitu nyata di kepala Yuna, mendenyutkan nyeri dalam dadanya.

"Bohong." Si gadis jangkung menyangkal; kedua tangannya memegang dua sudut dari salah satu meja, siap membantu Seokmin mengangkatnya keluar. "Kamu tidak punya alasan untuk keluar."

"Yuna, biar aku. Tolong bukakan saja pintunya," komando Jaehyun, mengambil alih sisi lain meja. Dalam hitungan ketiga, ia dan Seokmin menggotong meja keluar ruangan. Yuna menutupkan pintu ruang musik untuk mereka, hendak bertanya lagi andai Jaehyun tidak mendahuluinya.

"Seokmin, ini serius. Kamu lebih buruk dari minggu lalu. Ada apa, maukah kamu menjelaskannya?"

Namun, bahkan Jaehyun yang telah menata ucapannya tidak menggoyahkan Seokmin.

"Maaf, aku tidak bisa."

Gesekan kaki meja dan ubin menutup percakapan. Sehabis menukar meja, Yuna berdiri agak lama di samping bangku, berharap Seokmin mau bertutur barang sedikit, sayangnya bibir Seokmin tetap terkunci hingga bel masuk berbunyi tidak lama kemudian. Terpaksa Yuna duduk, mengikuti jadwal demi jadwal sampai tuntas dengan fokus tak penuh. Jam istirahat, Seokmin berlalu dari kelas secepat angin dan menghilang; langkah yang bagus untuk tidak 'diinterogasi'. Begitu pula saat pulang; dalam bus sekolah yang mengantar mereka kembali ke rumah, ia mengabaikan seluruh pertanyaan senada mengenai masalahnya.

"Si bisu. Biarkan saja dia," ujar Minghao yang gemas melihat usaha Yuna dan Jaehyun tak bersambut, menutup malam Yuna dengan cara yang kurang menyenangkan.

Selesai menjalani ritual tidur, Yuna mengecek ponsel untuk terakhir kali dan menemukan pesan masuk dari Jaehyun.

Apa kamu tahu di mana rumah Seokmin?

***

"Mereka sudah pindah."

Minggu, pukul delapan tepat, Jaehyun menjemput Yuna di depan sekolah dengan sepeda. Mengejutkan bagaimana kendaraan seseorang dapat mengubah auranya; Jaehyun yang sedang mengayuh terkesan lebih 'terjangkau' dibanding biasanya. Sekonyong-konyong, Yuna teringat Seokmin yang sering terlihat mengayuh ke banyak tempat kerja sebelum kelas tiga dan merasa kehilangan sosok ceria di atas sadel butut itu.

Sayang sekali, sesampainya di rumah yang harusnya rumah Seokmin, Yuna disambut seorang perempuan tambun bertampang jahat yang dengan garang mengatakan keluarga Seokmin tidak meninggali rumah itu lagi.

"Pindah? Ke mana, Bi?"

"Mana kutahu, pokoknya mereka tidak bayar sewa, ya kuusir. Terserah mau tinggal di mana."

Bibir Yuna berkerut, begitu pula keningnya. Jahat!

"Jadi, Bibi benar-benar tidak ta—"

"Tidak, Cantik. Apa kau tuli? Aku bilang tidak tahu dan aku tidak peduli juga!" tukas wanita pemilik rumah sewa. Apa-apaan?

"Baiklah, kalau begitu kami permisi. Maaf mengganggu Bibi."

Senyum Yuna yang dibuat-buat langsung menguap begitu ia menemui Jaehyun yang menunggu di luar gerbang kalau-kalau mereka salah alamat.

"Seokmin sungguhan pindah dan bibi itu tidak tahu ke mana pindahnya," dengus Yuna, marah dan sedih bercampur ganjil pada rautnya.

"Berarti dugaanmu benar. Sepeda Seokmin tidak terparkir di halaman seperti katamu karena memang dibawa pemiliknya pergi. Kira-kira ke mana—sudah, jangan cemberut terus. Jangan dendam sama bibi-bibi jelek, rugi kalau kau ikutan jelek."

Kaget tiba-tiba ditegur Jaehyun, Yuna nyengir lebar, tangannya melambai-lambai. "A-ah, tidak. Buat apa aku dendam sama bibi-bibi tua?" tanyanya retoris, dengan hati-hati duduk di jok belakang. "Setelah ini, sebaiknya kita mengecek ke mana, ya?"

"Mencari rumah sewa yang Seokmin tinggali di antara sekian banyak rumah sewa akan memakan waktu," gumam Jaehyun. "Yuna, kau punya kontak teman-teman Seokmin yang tidak berasal dari kelas 3-A?"

"Siapa? Teman Seokmin di luar kelas 3-A tidak terlalu akrab, aku ragu mereka tahu di mana Seokmin tinggal. Omong-omong, Bibi itu kelihatannya mau melempar kita—"

"SIAPA YANG KALIAN BILANG BIBI-BIBI TUA?! HAH! CEPAT PERGI!"

"Wow, wow! Baiklah, Bi, tidak usah marah-marah!" Jaehyun buru-buru mengayuh menjauhi rumah sewa yang pemiliknya seram itu, menghindari talenan yang—untungnya—membentur pagar. Yuna refleks mengeratkan genggaman pada sisi pakaian Jaehyun, pandangnya belum berpindah dari talenan yang tergeletak di muka rumah.

"Ada apa, sih, dengannya?"

"Paling-paling sakit gigi," jawab Jaehyun asal. "Bisa susah kalau sehari-harinya Seokmin menghadapi pemilik rumah sewa model begitu."

"Benar. Katanya ia mengusir keluarga Seokmin gara-gara mereka tidak bayar uang sewa .... Aku yakin mereka tidak sungguh-sungguh 'tidak membayar'."

"Bisa jadi cuma terlambat, ya." Jaehyun menanggapi. "Aku benci mengatakan ini, tetapi andai Seokmin betulan dikeluarkan dari sekolah, besar kemungkinan alasannya mirip dengan alasan ia diusir dari rumah sewa."

"Tidak membayar biaya bulanan?"

Sepeda Jaehyun berbelok ke kanan. "Begitulah."

"Masa, sih? Aku pernah kelupaan membayarkan uangnya sampai bulan berikut dan baik-baik saja, tuh."

"Kau pernah melakukannya?" tanya Jaehyun sembari menahan kekehan, memerahkan pipi Yuna. "Oke, oke, kembali ke topik. Satu-dua bulan mungkin tidak masalah bagi pihak sekolah, kalau lebih?"

Kalau lebih? Yuna tidak tahu. Penghasilan keluarganya berada di atas rata-rata, maka ia tidak pernah merasakan kesulitan teman-temannya yang menunggak. Mustahil sekolah tinggal diam pada siswa-siswa ini; mereka kan sudah dianggap melanggar peraturan, padahal mereka sendiri pasti ingin selalu membayar tepat waktu. Membayangkan Seokmin 'diburu' pihak sekolah dalam keadaan uang sewa rumah yang belum terlunasi memuramkan Yuna seketika. Bila Yuna murung hanya dengan memikirkan itu, apalagi Seokmin yang mengalaminya langsung.

"—na? Yuna, ponselmu bunyi."

"Ah! I-iya, sebentar."

Yuna tergopoh melonggarkan tali pada tas mungilnya agar bisa mengambil ponsel di dalam. Ia ketikkan sandi secepat kilat untuk mengaktifkan si ponsel—dan notifikasi pesan singkat kontan terpampang di monitornya.

Xu Yiyang: Yuna, hari ini jadi mencari tempat tinggal Lee Seokmin?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top