Lee Seokmin (1)

Pukul setengah delapan kurang dua menit, Yuna berjalan tergesa menuju aula. Di tangannya, ada kotak bekal biru berisi kimbab yang ibunya siapkan pagi ini. Bukan buatnya, tentu; ia sudah sarapan sendiri di rumah dan tugasnya setelah itu adalah memastikan si penerima kimbab punya cukup waktu untuk menghabiskan nasi gulung dalam kotak. Masalahnya, pukul 07.45 tepat, semua siswa harus siap dipindah ke kelas dan sehabisnya, tidak akan ada lagi kesempatan makan hingga istirahat siang. Belajar dengan perut keroncongan pastinya tak akan nyaman, bukan? Oleh karena itu, Yuna mesti secepatnya tiba di aula.

Setengah delapan, ish! Mengapa aula harus berada jauh di bagian belakang?!

"Yuna! Apa kita terlambat?"

Berbalik, Yuna menemukan Jaehyun yang bingung tengah berupaya menyamai kecepatan jalannya. O, pantas dari tadi seperti ada yang mengikuti. Dan, ada salah paham juga, rupanya; Jaehyun kan tidak tahu kebiasaan pagi Yuna yang ini.

"Ah, bukan, bukan. Aku cuma mau mengantarkan sarapan buat seseorang," ringis Yuna, melambatkan langkah. Jaehyun mengatur napas usai dia berhasil menyebelahi Yuna dan tertawa malu.

"Kukira aku tidak menerima pesan tertentu di grup kelas."

"Kamu tidak melewatkan pesan apa pun, kok." Yuna mengonfirmasi, kembali menatap lurus karena berlama-lama memandang Jaehyun tidak bagus buat jantungnya. Sejak mengatakan 'jangan takut' padanya, Jaehyun jadi semakin menyilaukan di mata Yuna, entah mengapa, dan Yuna berharap itu bukan sebuah reaksi ekstrem atas perbuatan Jaehyun. Gadis yang berdebar-debar gara-gara perbuatan Jaehyun itu sangat normal, sugesti Yuna pada dirinya sendiri, menolak untuk mengatakan dirinya tertarik pada Jaehyun, apalagi cin—ah, sudahlah.

"Memangnya pada siapa kamu akan mengantarkan kotak bekal itu?"

"Seokmin."

Alis Jaehyun terangkat tak mengerti. "Seokmin? Mengapa kamu membawakannya sarapan?"

"Jika tidak begitu, ia pasti akan melewatkan makan pagi. Ia ..." Yuna menengok ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang menguping, "... bekerja mulai setengah enam pagi untuk membantu ibunya. Tidak akan sempat ia pulang lagi untuk masak sarapan. Dia sering masuk sekolah dalam keadaan loyo karena lapar sejak kelas satu dan sejak mengetahui keadaannya yang sulit, aku memutuskan untuk membantunya sedikit."

"Begitu." Jaehyun manggut-manggut. "Maaf sebelumnya, tetapi apakah keluarga Seokmin sedang terbelit masalah finansial? Kalau iya, mungkin aku dan beberapa anak di kelas bisa menawarkan bantuan."

Yuna menggeleng. "Tidak bakalan dia mau menerima. Seokmin itu keras kepala sekali. Sudah berapa orang yang membujuknya: aku, Mingyu, Minghao, juga Kim Donghyuk teman sekelasnya dulu ... semua ia tolak karena katanya 'tidak mau mengemis'. Kami lama-lama jadi membiarkannya."

"Tapi kita sudah kelas tiga sekarang. Jam pelajaran kita juga lebih panjang dan intensif. Kalau ia meneruskan kerja sambilannya itu, ia akan kelelahan nanti."

Jaehyun punya poin di situ, sehingga Yuna langsung setuju. "Makanya."

Pembicaraan mengenai Seokmin terjeda sesampainya Yuna dan Jaehyun di aula. Tidak ada tempat duduk di sana, maka siswa-siswa yang sudah datang mengambil tempat senyamannya. Ada yang ngobrol di sisi panggung, ada yang berselonjor di lantai, ada pula yang iseng menduduki bagian dalam podium. Sosok berkacamata yang Yuna cari berada di dekat podium itu, berbincang dengan Mingyu yang menduduki podium, Minghao yang berbaring di sebelahnya, berbantal tas, dan Pimook yang bersila sambil makan roti.

"Nah, ini dia sarapannya Seokmin!" Mingyu berucap keras begitu netranya menangkap figur ramping Yuna. "Dari tadi perutnya berisik sampai kami tidak bisa ngobrol enak, Yuna!"

"Kimbab datang, kimbab datang! Begitu, cuma Seokmin yang dimasakkan!" Pimook mengompori.

"Enaknya .... Di rumah, justru aku yang disuruh bikin sarapan." Minghao memainkan suaranya, menjahili Seokmin.

"Kalian membuatnya terdengar ambigu, tahu tidak?" potong Seokmin yang malu berat sebelum minta maaf dan menerima kotak bekal Yuna. "Terima kasih. Maaf merepotkanmu dan membuatmu risih karena cecunguk-cecunguk ini!"

Gerombolan cowok itu langsung gaduh akibat celetukan Seokmin. Berbagai reaksi seperti 'enak saja cecunguk!', 'kalau kita cecunguk berarti kau cecunguk juga!', dan sebagainya bermunculan dari mereka, bersahut-sahutan sampai Yuna meredakannya.

"Jangan mempermalukan diri di hadapan Jaehyun kenapa, sih? Seokmin-ah, cepat makan sebelum ada guru yang datang."

"Benar juga. Sudah jam 07.35 ...." Seokmin buru-buru membuka kotak dan mencomot kimbab. Ia mengunyah secepat mungkin, tetapi ia lantas menyadari sesuatu.

"Se-selamat pagi, Jaehyun, maaf kelupaan menyapamu ... dan maaf lupa menawarimu ini."

Cara Seokmin menyapa Jaehyun—dengan sopan dan mulut penuh—membuat kawan-kawannya, termasuk Yuna, tergelak. Tentu Yuna menahan kekehnya sebab kekaguman Seokmin sesungguhnya tidak pantas dijadikan lelucon. Dalam pandangan Seokmin, Jaehyun bukan teman sekelas belaka, melainkan sebuah jalan hidup, dan mengejek Seokmin saat mengagumi Jaehyun sama saja menghina seluruh detik masa remajanya.

Tapi, yah ... hal itu masih bisa sedikit ditertawakan. Lihat saja Jaehyun yang salah tingkah akibat sikap Seokmin.

"Selamat pagi. Aku sudah sarapan, Seokmin, terima kasih. Habiskan saja semuanya."

Seokmin tersenyum, pipinya masih gembung, dan ia lanjut mengunyah, tampak sangat kelaparan. Yuna tahu-tahu teringat saat pertama ia membawakan Seokmin sarapan gratis; pemuda itu tegas sekali menolak sampai Yuna agak marah, tetapi sepanjang hari, Seokmin sempoyongan dan performanya rendah sekali. Tak tega, Yuna mengajaknya berbaikan terlebih dahulu, sehingga sejak itu, Seokmin—yang merasa sungkan—terima-terima saja setiap Yuna membawakannya sarapan. Biarpun Seokmin selalu rendah diri, ia punya kualitas baik yang aslinya bisa disejajarkan dengan Jaehyun, yaitu kegigihan.

"Omong-omong," bisik Yuna pada Seokmin yang barusan menggigit potongan kimbab terakhir, "bagaimana kerja sambilanmu setelah ini? Apa kau akan meninggalkannya? Kau tidak mungkin keluar lingkungan 3-E untuk kerja paruh waktu siang nanti."

"Aku sudah memikirkannya." Seokmin bicara sama lirih. "Mingyu dan Minghao punya cara untuk membobol pintu tanpa ketahuan. Agak rumit, tetapi aku yakin akan berhasil. Aku tidak mau membuat kalian berdua kena pengurangan poin."

"Bukannya kami pesimis akan rencanamu itu," Jaehyun menatap Seokmin lurus-lurus, "tetapi apa tidak sebaiknya kamu berhenti? Jadwal kita sangat padat dan celah keluar dari lingkungan 3-E hampir tidak ada."

"Andai bisa, maka aku akan berhenti, tetapi untuk saat ini mustahil," sahut Seokmin sembari tersenyum pahit, lantas menyuapkan potongan kimbab terakhir. "Siapa lagi yang mampu membantu Ibu selain aku? Adik-adikku belum sanggup mencuri waktu sepertiku. Mau tak mau, akulah yang mesti mencari kesempatan."

"Seokmin-ah, Jaehyun benar. Kau sungguh tidak bisa—"

Kalimat Yuna terpenggal oleh isyarat Mingyu dari belakang bahu Seokmin. Pemuda itu menyilangkan telunjuk di depan bibir, meminta Yuna diam saja, sebab argumen seperti apa tidak akan mematahkan kekeraskepalaan Seokmin yang sekarang. Bibir Mingyu bergerak-gerak sunyi, membentuk serangkai kata: 'serahkan saja padaku', dan Yuna pun bungkam.

07.45. Guru Jang masuk ke aula. Isu mengenai kerja sambilan Seokmin sementara tersisihkan. Yuna tidak mau poinnya langsung berkurang pada hari pertama pemberlakuan hukum khusus 3-E gara-gara membicarakan seorang siswa yang hendak kabur di jam istirahat.

***

"Yuna, ke kantin, yuk!"

Sesi belajar hari ini sama intens dengan hari sebelumnya. Kepala Yuna tertelungkup, rambut panjangnya yang terurai melengkung-lengkung di atas meja begitu bel istirahat siang berbunyi. Lelah sekali rasanya, Yuna ingin mengistirahatkan kepalanya barang sejenak, tetapi panggilan dari Chaeyeon menggagalkan usahanya. Biarlah, lagipula perut Yuna juga sudah keroncongan. Ia mengangkat kepala dengan muka mengantuk, mengiyakan ajakan Chaeyeon, tetapi tak disangka, Chaeyeon malah merangkum kedua sisi wajahnya.

"Kamu habis begadang, ya? Jangan begitu, ah! Kita kan sudah belajar di sini sampai malam, kalau di rumah harusnya istirahat, dong!"

"Eh, i-iya ...."

Kendati merupakan salah satu kompetitor kuat dari 3-E, Chaeyeon tidak tampak senang 'menyiksa diri' di balik setumpuk paket latihan ujian. Yuna—yang merasa bisa masuk 3-E hanya melalui keberuntungan—sering tersugesti bahwa bila ia melepaskan bolpoin dan buku dari genggamannya, ia akan terdepak ... dan Chaeyeon tak suka cara berpikir itu. Ia bahkan lebih menyayangi stamina Yuna ketimbang Yuna sendiri; berkali-kali gadis bersurai sepunggung itu menyuruh Yuna istirahat, mengajak Yuna beli makanan, atau sekadar mengobrol santai untuk mengurangi kepenatan Yuna. Baru sehari berjumpa, Chaeyeon sudah mengenali tanda-tanda Yuna kurang tidur dan langsung mencerewetinya, mirip ibu Yuna saja.

Malah bagus, sih. Siapa yang akan memperingatkan Yuna tentang batas kemampuan fisiknya jika tidak ada Chaeyeon?

Seokmin, dulunya.

Sekarang, sosok itu bahkan tak tampak lagi di mejanya. Mingyu dan Minghao ikut raib pula.

Apa mereka betul-betul menjalankan rencana itu? Kira-kira berhasil tidak, ya?

Chaeyeon menyeret Yuna cepat-cepat karena perutnya bergemuruh (tidak kedengaran, sih, tetapi kata Chaeyeon di dalam sudah ada badai). Menu makan siang hari ini bulgogi dengan porsi lebih besar dari yang dibagikan di kantin untuk siswa reguler. Kemarin menunya jjigae, juga berporsi besar, dan Yuna kenyang sekali dibuatnya, itu pun masih ada sedikit sisa di dasar mangkuk. Masalahnya, kemarin Yuna tidak makan bersama Chaeyeon dan dia cukup terkejut menemukan Chaeyeon yang sangat menikmati makanannya hingga tetes bumbu terakhir. Selangsing itu, lambungnya tangguh juga!

"Kamu kuat, ya, menghabiskan bulgogi segitu banyaknya?" tanya Yuna sebelum mengunyah perlahan-lahan, berharap kalau makanannya lebih lembut ia tidak akan cepat kenyang.

"Biasanya kalau di rumah, aku makan lebih banyak dari ini."

"Serius? Curang! Chaeyeon makan banyak, tetapi tidak gendut-gendut, sedangkan aku—aduh!" Yuna memekik, lebih akibat kaget daripada kesakitan. Ujung telunjuk Chaeyeon menempel ke dahinya, gestur yang tidak mudah dilayangkan dari seseorang yang belum kenal lama. Namun, lambat laun, Yuna terbiasa; Chaeyeon justru terasa akrab jika bersikap begini kepadanya.

"Jangan sekali-sekali berpikir kamu gampang gendut, deh. Kita ini berada di kelas 3-E, makan saja yang banyak! Toh nanti energi kita habis lagi di kelas. Nah, ayo, makan, makan."

Senyum Yuna terkembang. Kembali ia menyuapkan sejepit daging dan menghaluskannya dengan gigi.

"Chaeyeon kelihatannya tidak suka pilih-pilih makanan, ya."

"Setiap makanan punya manfaat, jangan disia-siakan. Eh, tapi aku sebenarnya tidak terlalu suka sundubu."

"Benarkah? Berarti jjigae kemarin—"

"Ya tetap kuhabiskan, tetapi hm ... begitu, deh. Memangnya Yuna tidak geli sama makanan yang kelewat gampang hancur seperti tahu?"

"Geli?" Yuna terkekeh. "Kok bisa? Tidak, tuh."

"Hebat! Tekstur sundubu padahal membuatku agak bergidik," –dan Chaeyeon betul-betul bergidik setelahnya—"Seperti ... mereka akan bersalto dalam perutmu setelah ditelan, lari-lari waktu lambung berusaha meremat makanan karena mereka licin. Ih."

Sungguh, Yuna tidak menyangka percakapan konyol begini bisa dibuka oleh seorang tuan putri macam Chaeyeon. Sisi anggun yang tersibak menampilkan gadis yang lebih ekspresif di baliknya, sungguh menyenangkan. Tegangan yang Yuna rasakan jika bersama Chaeyeon lebih mudah menurun daripada kekakuan antara dia dan Jaehyun; apakah ini semata karena perbedaan jenis kelamin, atau memang Chaeyeon yang lebih pandai membangun suasana?

"Parahnya, dulu aku pernah keliru membawa sundubu masuk kamar mandi karena kukira sabun."

Bahkan, saking nyamannya berbincang dengan Chaeyeon, aib Yuna yang satu ini terbongkar dan Chaeyeon tergelak karenanya. Sebagai informasi, baru Eunbi yang mendengar kisah memalukan soal sundubu dan sabun batangnya Yuna, pada satu istirahat makan siang di kelas dua.

"Bentuknya kan berbeda jauh!"

"Entahlah. Mungkin aku terlalu capek habis pulang dari hagwon dan tergesa ingin mandi."

"Tapi ... astaga, aku tidak bisa membayangkan kalau kamu menggosokkan sundubu itu ke badanmu!"

Yuna cekikikan, akan menanggapi Chaeyeon jika saja bunyi dari speaker kantin tidak menginterupsi pembicaraan santainya, mengubah total atmosfer yang sebelumnya menggembirakan.

"Panggilan kepada seluruh siswa 3-E, diharap untuk segera kembali ke kelas. Sekali lagi, panggilan kepada seluruh siswa 3-E, diharap untuk segera kembali ke kelas."

***

Langkah pertama Yuna memasuki ruang belajar disambut atmosfer yang membekukan. Guru Shin dan Guru Jang berdiri di depan kelas. Jaehyun di sebelahnya masih berusaha mengulas senyum, tetapi Seokmin, ketika bersitatap dengannya, justru menghindar ketakutan. Ia jadi lebih sering membenahi letak kacamatanya, gestur khas ketika sedang sangat gelisah. Setelah Yuna dan Chaeyeon masuk, masih ada tiga siswa yang belum hadir, maka kedua guru belum memulai pembicaraan dan Yuna punya cukup waktu untuk bertanya apa yang terjadi.

"Lihat saja nanti."

"Apa ini tentang ... Seokmin?" bisik Yuna lagi, membuat dugaan agar Jaehyun—yang tampaknya sudah paham insiden latar belakang pertemuan 'darurat' ini—lebih mudah mengarahkannya pada jawaban. Jaehyun menggeleng, tetapi sepertinya itu tidak berarti jawaban atas pertanyaan Yuna adalah 'tidak'.

"Tunggu saja dan sikapi kasus pelanggarannya dengan tenang."

Pelanggaran? Baik. Kalimat Jaehyun itu tepat sasaran karena emosi Yuna bisa melonjak jika nilainya dikurangi untuk suatu kesalahan yang tidak ia lakukan, tetapi Yuna sudah mempersiapkan diri sejak namanya muncul sebagai sekretaris kelas. Semua orang pasti memiliki alasan khusus melangkahi aturan, bukan cuma iseng, apalagi ini kelas 3-E yang harusnya hanya berisi siswa-siswa pilihan. Yuna meyakinkan dirinya bahwa selain pengurangan poin ketertiban dan tambahan soal latihan, pertemuan darurat ini tidak akan menimbulkan dampak buruk yang lebih jauh.

"Kurasa penjelasan Kepala Sekolah Park mengenai kesepakatan kelas kemarin mudah kalian pahami," mulai Guru Jang. "Siapa pun yang berusaha untuk keluar dari lingkungan 3-E sebelum jam pelajaran ketujuh belas berakhir, poin ketertibannya akan berkurang sebesar 25, begitu pula dengan poin ketertiban pengurus kelas. Hal ini harusnya kalian jadikan pertimbangan jika akan melanggar peraturan, tetapi ternyata, di kelas ini masih ada saja yang tingkat kepeduliannya kurang."

Jeda.

"Lee Seokmin."

Yang dipanggil langsung menengadahkan wajah, menghadap Guru Jang yang memandangnya datar. Hampir otomatis, Yuna dan beberapa siswa lain mengarahkan mata mereka pada Seokmin, tetapi berbeda dengan Guru Jang, mereka memandang Seokmin dengan rasa iba.

"Aku agak susah mempercayai bahwa pelanggar pertama dari kelas ini justru kau, Si Peringkat Tiga, padahal kesan pertamamu sangat baik dan cenderung pengecut, menurutku. Mengejutkan, kau rupanya berani mengambil risiko yang membahayakan Jung Jaehyun dan Choi Yuna, pengurus kelasmu."

Ternyata ini benar-benar soal Seokmin yang mencoba kabur, batin Yuna, pikiran buruknya bercabang. Kalau begitu, apakah Mingyu dan Minghao juga akan tertangkap? Mereka kan selalu membantu Seokmin dalam hal ini? Poinku dan Jaehyun bisa saja berkurang 75 karena ada tiga orang yang kepergok!

Beruntung, kekhawatiran Yuna tidak terbukti. Mingyu tampak bergeser tak nyaman di kursinya, Minghao duduk kaku di baris paling belakang, tetapi baik Guru Jang maupun Guru Shin tidak mencari tahu soal keterlibatan mereka. Sampai akhir, mereka masih terus mengintimidasi Seokmin, tetapi tidak banyak yang bisa Seokmin lakukan buat membela diri.

"Maaf, Ssaem."

"Kamu tentu mengerti maafmu tidak bakal menyelesaikan persoalan." Guru Shin—yang bagi Yuna terlalu kasar untuk orang seusianya—menyerahkan lembar soal dan jawaban tugas hukuman dengan setengah membantingnya ke meja Seokmin. "Aku tidak mau tahu apa alasanmu menyelinap, yang jelas itu merupakan pelanggaran berat yang harus ditindak tegas. 25 soal dari paket Fisika 1, kumpulkan sebelum pulang sekolah. Jung Jaehyun, Choi Yuna, kalian juga harus mengerjakan tugas hukuman dan mengumpulkannya di akhir jam ketujuh belas."

Yuna tak bisa berkata apa-apa ketika lembaran maut dari tangan keriput Guru Shin mendarat di mejanya setelah salinannya mendarat di meja Seokmin dan Jaehyun.

"Dengan begini, kami ingin kalian tahu bahwa peraturan tidak dibuat untuk dilanggar. Jung Jaehyun, Choi Yuna, kalian yang ditunjuk sebagai pengurus kelas juga akan kena imbasnya jika tidak menjalankan tanggung jawab mengondisikan kelas dengan sungguh-sungguh. Kuharap ini akan menjadi pelanggaran pertama dan terakhir agar kelas dapat berjalan lancar. Sebagai informasi, jika ada yang melakukan pelanggaran lagi di kemudian hari, waktu istirahat kalian akan terpotong seperti ini dan kalian jelas akan sangat rugi. Pelajaran Bahasa Inggris dimulai sepuluh menit lagi, jadi silakan melanjutkan rehat sebelum bel berbunyi."

Usai berucap demikian, Guru Jang meninggalkan kelas bersama Guru Shin. Hal pertama yang terdengar dari para siswa sepeninggal kedua guru tersebut adalah desahan keras Junhoe.

"Aish, mata empat sialan! Kalau kau merasa tidak sepintar itu dalam membobol pertahanan tempat ini ya tidak usah mencoba, lah! Mengganggu tidur siangku saja!"

Tidak ada tanggapan dari Seokmin dan Junhoe semakin kesal. Kursi Seokmin ia tendang hingga pemuda berkacamata itu nyaris terjungkal jatuh, kursinya bergeser beberapa sentimeter. Mingyu yang geram berdiri, tangannya terkepal di atas meja.

"Jaga mulutmu, Goo Junhoe!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top