Labyrinth (1)

[WARNING: TRIPLE UPDATE!]

Sebelumnya: Kelembutan Yuna dalam menghadapi Chaeyeon justru membuat Chaeyeon tak stabil. Gadis itu kolaps setelah meracau soal membunuh ibu Jaehyun. Yuna pun membawa Chaeyeon pulang ke rumah musim panas, tetapi kemudian ia dikejutkan wajah asli Jaehyun yang sangat mengerikan. Ia dengan tajam mengutuk keberadaan Chaeyeon sehingga Yuna, secara tak terkendali, menamparnya keras-keras.

***

"TUTUP MULUTMU, BANGSAT!"

Panas di telapak tangan, denyut gendang telinga, dan pedih kalbu Yuna hanyut dalam gelegak amarahnya. Seokmin terperangah, tetapi cepat menguasai diri dan menarik Yuna menjauh.

"Hentikan—"

"Chaeyeon sahabatku, dia tidak boleh mati!" Yuna menyembur ganas Jaehyun, lupa bahwa sosok itu sudah menjadi rekan yang luar biasa baginya selama berbulan-bulan. "Dia tidak ada hubungannya dengan kematian ibumu!"

"YUNA, CUKUP!!!"

Seokmin menyurukkan Yuna kasar ke sofa terdekat, membungkam si gadis sekaligus mengalihkan perhatiannya. Sejak pagi digempur emosi, akhirnya tanggul itu bobol; Yuna mencebik, lama-lama terisak, dan tumpahlah keluh kesahnya dengan terbata.

"Chaeyeon tidak bersalah, tetapi disalahkan! Mengapa kau membela Jaehyun, Seokmin-ah? Kau pasti sudah tahu ceritanya, lalu mengapa ... mengapa ...."

"Bukan begitu, Yuna," sela Seokmin, berusaha tetap tenang meski secara alami, ia mengerut di dalam karena sudah memperlakukan sang sahabat dengan tidak semestinya. "Kita semua tak boleh sembarangan menyimpulkan kisah ini jika cuma serpihannya yang kita punya. Mingyu baru berhasil membongkar kotak kayu Chaeyeon, sedangkan kau," sejenak Seokmin menghela napas, "pasti sudah dengar dari Chaeyeon langsung."

"Aku juga 'sembarangan menyimpulkan', maksudmu?!" Mingyu tak terima. "Aku sudah tahu apa yang disimpan si busuk ini!"

"Jangan bicara seperti itu pada Jaehyun!" serang Sicheng yang terprovokasi. "Dan, Choi Yuna, aku selama ini sangat menghargaimu, tetapi apa-apaan sikapmu sekarang?!"

"Berhenti semuanya!" Kembali Seokmin membentak. "Sementara, kembalilah ke kamar kalian masing-masing untuk menenangkan diri. Kalau kepala kalian sudah cukup dingin, mari bicara lagi baik-baik agar tak ada yang menyesal nanti."

Mingyu mendecak kesal. "Kukira dulu Junhoe cuma meracau tanpa alasan soal kau. Ternyata, dia benar," gerutunya sembari meninggalkan ruangan; 'kau' yang ia maksud adalah Jaehyun.

Menghapus air matanya kasar, Yuna bangkit lambat-lambat dari duduknya. Pandangnya nyalang tertuju pada Jaehyun—yang balik menatapnya hampa.

Mengapa dia mengatakan sesuatu yang sangat kejam mengenai nyawa seseorang? 

"Choi Yuna, akhirnya kau melihatku—dan reaksimu sangat mudah ditebak."

Kalimat Jaehyun yang kering ini memaku Yuna di tempat, mendenyutkan ngilu.

"Kau merasa sudah memahamiku hanya karena kita melewati krisis besar di 3-E bersama? Huh," dengus Jaehyun di sela senyum meremehkannya, "kau sama saja dengan kebanyakan orang. Dengar, aku yang asli bukan seorang pengasih seperti dugaanmu. Kalau jalanku terhalang, siapa pun akan kusingkirkan, termasuk kau."

Bukan. Seluruh batin Yuna berontak. Kamu bukan Jaehyun.

Tapi, tak ada yang terucapkan hingga tinggal ia dan Seokmin di ruangan itu. Yuna hampir saja jatuh di atas lututnya andai Seokmin tak menahan. Sorot mata yang terbingkai lensa itu serius—mengingatkan si gadis pada sebuah malam di mana Seokmin menyudutkannya ke sisi jalan dan menjanjikan kehancuran 3-E untuknya.

"Kau harus menyimak penjelasanku setelah ini baik-baik."

***

Musim panas mendidih begini, seseorang mengguyurkan air bersuhu tinggi dari shower untuk membakar kulit. Kamar mandi yang tak tertutup sempurna mengepulkan uap mengerikan dari celahnya, tetapi tak seorang pun melihat. Bagaimana tidak, pintu kamar saja dikunci; pemuda di dalam sana memang tidak berniat ditemukan ketika sedang menghukum diri sendiri.

Aku meminta teman-teman untuk saling terbuka dan memaafkan, tetapi ternyata, dendamku sendiri begitu sulit dilenyapkan. 

Jaehyun memutar keran secara maksimal, menderaskan tetes-tetes panas yang terus menyisipi pakaian, membasahi rambut, dan melukai setiap sudut yang tersentuh olehnya. Pada setiap alir sungai kecil menuju saluran pembuangan, mengalir pula perihnya kenangan—yang selalu saja diawali kebahagiaan. Kadang, kenangan-kenangan itu membuat Jaehyun ragu untuk bahagia lagi. Dari mana asal kutukan ini, sebetulnya?

Jaehyun terlahir dalam keluarga yang luar biasa dalam segala aspek. Ayahnya seorang pengusaha besar yang tak pernah melupakan rumah, sementara ibunya yang berasal dari keluarga terpandang merupakan epitom kesempurnaan. Sebagai anak tunggal dalam istana Jung, Jaehyun dibesarkan dengan kedisiplinan yang masih kental kasih sayang, mengubahnya menjadi seorang pecinta yang punya banyak pengagum.

"Halo, aku Jung Jaehyun, kelas 2 SD Kyungbuk Gangnam. Sepertinya kita seumur—"

"Memangnya aku tanya? Pergi kalau tidak mau kutonjok!"

Bahkan Goo Junhoe, bocah jabrik yang terus menyendiri selama pesta makan malam grup perusahaan Jung, juga Jaehyun akrabi perlahan-lahan. Darinya, Jaehyun belajar apa itu 'perceraian': betapa menyakitkan ketika kedua orang tua yang sama-sama kausayang bertengkar tiada henti—dan betapa tak berdayanya bocah-bocah seperti Junhoe setelah perkara ini dimejahijaukan. Berkuranglah penghuni rumah yang dulunya tenteram. Junhoe pun tak lagi sama sejak ibunya angkat kaki, kalah dalam perebutan hak asuh anak, padahal cuma pada wanita itu, ia dapat sepenuhnya beristirahat dari hari-hari penuh tuntutan. Jaehyun cilik tidak mampu membayangkan buruknya keadaan itu, tetapi ia bersedia menemani Junhoe dalam susah dan senang agar si jabrik anak teman ayahnya dapat tumbuh dengan gembira. Nyonya Jung tentu saja mendukung persahabatan ini hingga titik di mana Junhoe ikut mengibukannya—dan Jaehyun tidak keberatan berbagi. Setiap momen yang bersinar—saat menang lomba, saat bertambah usia, atau sekadar bermain dengan bebas sebagai dua anak laki-laki yang sehat—diabadikan Nyonya Jung dalam kameranya, memastikan ikatan yang manis ini bisa menghibur di masa depan, ketika segala hal menjadi sulit.

Kemudian, tibalah masa sulit yang dikhawatirkan tersebut, diawali oleh sebuah adopsi. Tuan Jung yang merencanakannya, dengan restu sang istri, atas dasar keinginan Jaehyun memiliki saudara.

"Nama saya Park Chaeyeon, salam kenal."

"Mulai sekarang, namamu Jung Chaeyeon—dan panggil aku 'Oppa'!"

Jaehyun, kelas satu SMP, tampak sangat bangga ketika Park Chaeyeon—yang memperoleh nama marga dari panti asuhannya—malu-malu memanggil 'Oppa' sesuai permintaan. Gadis sederhana berpipi tembam itu memang sepuluh bulan lebih muda dari Jaehyun, maka meski lahir di tahun yang sama, keduanya juga cocok sebagai kakak-beradik. Duka berpisah dari saudara-saudara di panti asuhan dengan segera bertukar menjadi kebahagiaan. Dalam waktu singkat, Chaeyeon melekati Jaehyun dan panggilan 'Kakak' seakan bergema tiada berhenti kapan pun mereka bersama. Adakah yang lebih menghangatkan hati orang tua ketimbang menyaksikan putra-putrinya begitu akrab? Pertengkaran keduanya paling-paling hanya dipicu perebutan makanan atau acara teve—yang seusainya malah semakin memaniskan persaudaraan mereka. Tak jarang suami-istri Jung menggodai Jaehyun dan Chaeyeon saat sedang bertengkar ('nanti kalau Chaeyeon cari kakak baru, bagaimana?' atau 'kelak Oppa-mu akan sibuk sama pacarnya, kamu akan menyesal mendiamkannya, lho') sehingga mereka akur kembali, tak tahan dengan ide perpisahan.

Namun, lama-kelamaan, kegelapan menyisip di hati masing-masing mereka. Pada masa remaja awalnya, Chaeyeon menjadi terlalu peka terhadap sekitar. Ia menyadari beberapa tatapan mengadili dari gadis-gadis di kelas jika Jaehyun mengajaknya makan siang bersama. Selain itu, pujian-pujian orang dewasa yang dilayangkan buat sang kakak tidak sebanyak yang diterimanya—dan ia benci mengakui bahwa dirinya memang jauh tertinggal dibanding si sulung, sebaik apa pun pencapaiannya sesungguhnya. Bahkan parasnya tak serupawan Jaehyun—meski terus-menerus Jaehyun menegaskan Chaeyeon telah sempurna apa adanya. Ia akhirnya memohon, sebagai hadiah kenaikan kelas, untuk diizinkan membuat kelopak mata ganda dan memancungkan hidungnya melalui operasi plastik.

"Bukannya aku tidak setuju, tetapi ... aku bakal kangen dengan wajah lama Chaeyeon yang polos dan imut ini. Ya, kan, Eommoni?"

Jaehyun (dan Chaeyeon) tidak yakin apa yang mereka rasakan saat Nyonya Jung malam itu menyunggingkan senyum teramat tipis, menanggapi pertanyaan tadi. Sepasang manik cokelat gelap yang lembut kini memandang tajam lekuk-lekuk wajah yang akan diubah di meja bedah—seolah-olah dua mata itulah mata pisaunya. Chaeyeon takut-takut mengurungkan niatnya untuk dioperasi 'jika Eommoni segitu bencinya', tetapi Nyonya Jung menggeleng dan memasang raut keibuannya lagi, mengatakan selama Chaeyeon paham konsekuensi dari keputusannya, gadis itu berhak memperoleh apa saja.

Rumah sakit dikunjungi, berkas ditandatangani, dan Chaeyeon mengutarakan tidak sabarnya ia punya wajah yang sama rupawan dengan Jaehyun. Di lain pihak, pikiran Jaehyun dikacaukan oleh potongan-potongan kurang menyenangkan yang ia saksikan saat Chaeyeon tidak menyebelahi ibunya. Tentang bagaimana ibunya mengungkapkan betapa wajah Chaeyeon mirip dengan Tuan Jung—dan seseorang yang lain. Tentang alasan mengapa Chaeyeon dipilih dari sekian banyak anak di panti asuhan untuk datang ke rumah mereka. Tentang tangisan perempuan itu yang diam-diam Jaehyun dengarkan.

Tentang bisik-bisik pelayan yang menyimpulkan semua nukilan percakapan.

"Nyonya Besar kelihatannya mengira Nona Muda adalah hasil perselingkuhan Tuan Besar dengan wanita lain."

Jantung Jaehyun berdebar cepat. Perselingkuhan. Cara para pelayan bergosip mengesankan alangkah buruknya hal tersebut, tetapi mungkinkah ayahnya melakukan hal buruk? Ayahnya tak pernah marah. Tak pernah memukul. Mengumpat sesekali, sih, tetapi tidak padanya, apalagi pada Chaeyeon atau ibunya. Lelaki itu sangat penyayang, jadi tidak mungkin ia berselingkuh—atau apa pun itu?

Sayang, lembar-lembar foto Chaeyeon dalam album Nyonya Jung membuktikan bahwa prasangka itu bukan tanpa dasar.

Chaeyeon memang mirip Abeoji .... Apakah itu salah satu alasan aku merasa bisa dekat dengannya di awal pertemuan kami? Kalau begitu, Chaeyeon adalah anak ayah ... dari perempuan yang bukan Eommoni?

Tangan Jaehyun gemetar memeluk album foto.

Tapi, itu berarti Chaeyeon dan aku sungguhan bersaudara. Bukankah itu bagus? Jaehyun memaksakan seulas senyum. Memangnya mengapa kalau dia terlahir dari ibu yang berbeda? Chaeyeon bukan orang lain yang dijadikan adikku; dia betulan adikku!

Optimisme Jaehyun patah dalam waktu singkat. Sekeluar Chaeyeon dari rumah sakit, hati Nyonya Jung sontak digempur ngilu. Putri angkatnya, dengan lipatan mata ganda, hidung bangir, dan rahang yang tergaris lebih halus, sangat-sangat mirip suaminya, padahal hanya Jaehyun satu-satunya anak yang pernah ia kandung. Perempuan itu mulai bersikap berbeda, dingin dan angkuh, pada Chaeyeon. Teriakan-teriakan yang berusaha diredam di balik pintu kamar pasangan Jung mulai mencapai telinga anak-anak. Pelayan-pelayan makin santer bergunjing. Chaeyeon terisak-isak sendiri dalam kamar, bertanya-tanya apakah operasi plastiknya turut andil dalam keretakan hubungan ayah-ibunya, tetapi tak seperti biasa, Jaehyun enggan menenangkan. Seluruh warna memudar, suara-suara terbungkam, dan indra pemuda itu seakan menumpul.

Keluarganya tidak seperti ini sebelum Chaeyeon datang.

Frustrasi, Jaehyun berubah lebih agresif dari biasanya. Ia memang anak baik, tetapi tidak akan menghindari perkelahian jika itu menyangkut Junhoe. Rasa jengkel yang menumpuk dapat disalurkannya melalui pukulan demi pukulan yang ia layangkan ke wajah para penantang sahabatnya. Kegembiraan gelap menyambanginya ketika menang melawan beberapa berandal SMA yang ingin adu kuat dengan si kepala api—dan Junhoe bukan tidak menyadarinya.

"Kau kelihatan bersemangat betul membunuh orang hari ini. Bukannya aku tak suka, sih."

"Syukurlah kalau kau justru merasa terbantu karena itu, Junhoe. Aku memang sedang kesal sekali. Siapa lagi yang harus kita hajar?"

"Hari ini cukup dulu, lah. Tenangkan dirimu. Kau tahu ... kupikir ayah-ibumu tidak akan bercerai secepat itu ... karena hubungan mereka tidak seperti orang tuaku dahulu."

Tepat sasaran. Jaehyun tidak pernah mampu bersembunyi dari Junhoe, memang. Si pemuda pucat lantas mengedikkan bahu dan tersenyum miring, dengan putus asa berusaha menutupi kemurungannya saat berkata ia telah kehilangan dunianya yang lama. Tidak ada jawaban dari Junhoe, tetapi satu tepukan bahu yang menguatkan darinya sudah cukup bagi Jaehyun. Biarpun kasar, Junhoe sesungguhnya mudah berempati, apalagi kepada orang-orang yang tertimpa masalah serupa dengannya. Inilah sifat yang menahan Jaehyun di sisi si bocah brutal selama tujuh tahun terakhir, sebuah rahasia yang terselimuti kontrasnya citra mereka sehari-hari.

Junhoe adalah satu-satunya pilar di mana Jaehyun dapat bersandar, sayangnya Nyonya Jung yang benaknya mulai ruwet berangsur-angsur melupakan pondasi persahabatan sang putra.

"Walaupun Eommoni sayang kamu yang bagaimana juga, Eommoni lebih suka kamu bersikap baik. Dengan begitu, Jaehyun-ie kesayangan Eommoni akan punya banyak teman dan tidak sering terluka karena berkelahi."

Tapi, bagaimana bersahabat dengan Junhoe tanpa menghantamkan satu-dua bogem? Mengubah kepribadian seseorang tidak semudah membalikkan telapak tangan, jadi ucapan Nyonya Jung dapat diterjemahkan sebagai 'menjauhlah dari anak itu'.

Jaehyun tentu tak setuju, tetapi tak mengungkapkannya. Malam tersebut adalah satu dari waktu-waktu langka di mana ia merasa terusik berada di dekat sang ibu. Malah Chaeyeon yang hadir, menawarkan secangkir teh lavendel seduhan sendiri serta pijatan di bahu. Nyonya Jung sejenak kehilangan tatapan benci yang ia pasang berhari-hari ini, dengan tulus menerima kebaikan Chaeyeon, dan keduanya menghabiskan waktu seperti dulu. Nyonya Jung bahkan meminta maaf karena sudah bersikap menjengkelkan padanya belakangan.

Jaehyun menangis untuk Nyonya Jung (dan dirinya sendiri) sebelum tidur. Ia tahu, entah bagaimana, bahwa paras Chaeyeon masih menjadi sumber rasa sakit untuk sang ibu saat ini. Ia tak terlalu memahami bagaimana sebuah perselingkuhan menyulut amarah (dan bagaimana Chaeyeon menyakiti ibunya hanya dengan ada), tetapi ia tahu saja. Sebegitu gelisahnya pemuda itu hingga ia sulit tidur, memikirkan sang ibu yang secara tak terduga mendatanginya, membelai puncak kepalanya.

Pura-pura terlelap, Jaehyun mendengarkan kalimat-kalimat menyayat dari bibir Nyonya Jung.

"Kamu menangis. Pasti menyedihkan mendengarkanku berteriak melawan ayahmu setiap malam, kan? Aku benar-benar minta maaf. Aku ... bukan ibu yang baik untukmu. 

"Lain denganku, kamu adalah anak yang berhati besar, Jaehyun-ie. Aku sangat bangga karena kamu dapat menemukan anugerah bahkan dalam setumpuk kekecewaan. Kuharap kau selalu berbahagia, putraku .... Jadilah anak yang bisa ayahmu banggakan. Aku sangat, sangat menyayangimu ...."

Kecupan Nyonya Jung terasa begitu dingin dan basah di pipi Jaehyun. Mungkinkah kecupan itu tercampur air mata?

Jangan pergi, Eommoni. Jika kau masih ingin menangis di sisiku, tinggallah ....

Harapan Jaehyun tertelan begitu saja oleh malam. Ia tak dapat mengungkapkannya dengan baik pula pada pagi berikutnya; sebuah dekapan sebelum berangkat sekolah tidak benar-benar meredakan gemuruh hati Nyonya Jung.

Libur musim panas tiba, tetapi Jung Junhyuk masih sesibuk biasa. Di sisi lain, istrinya secara mendadak dan ganjil kembali ceria, dengan antusias merencanakan vakansi ke vila mereka yang sejuk. Rencana ini kontan menghapus kemuraman yang menaungi Jaehyun dan Chaeyeon berhari-hari sekaligus melekatkan ketiganya. Mereka menyusun rencana liburan bersama-sama, sebagian besarnya dilakukan di dalam rumah. Alih-alih mengurangi keasyikan, kakak-beradik Jung berpikir aktivitas yang dilakukan bertiga di bawah atap justru makin seru. Berangkatlah mereka ke vila dengan janji akan mengabari Tuan Jung setiap harinya. 

Nyonya Jung, anehnya, tidak ikut mengucapkan janji ini. 

[WARNING: TRIPLE UPDATE!]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top