Kim Mingyu (1)

Guru Shin, penanggung jawab kedisiplinan di 3-E, selain memiliki sifat yang jelek juga mengampu mata pelajaran yang amat membosankan: sejarah Korea. Fakta ini dan peraturan pengurangan poin di 3-E merupakan kombinasi maut yang menyiksa para siswa selama satu setengah jam. Bayangkan, kelopak matamu sudah digantungi kantuk, tetapi seorang pengajar galak siap memukul dan mensubstraksi poinmu (plus pengurus kelasmu!) bila kau sesekali mencuri waktu untuk tidur. Yuna dan hampir semua siswa di bangku depan, untungnya, cukup tangguh menghadapi cobaan ini. Dengan cermin di rautan pensil, sesekali sang sekretaris kelas memantau kondisi di belakang. Yap, Sicheng mulai memejam, pasti sudah 'lewat' kalau Sujeong tidak menyentuh bahunya. Ups, Lisa juga; khusus gadis kuncir tinggi ini, Pimook telah siap dengan 'cubitan sayang'. Kulit putih si cantik memerah, tetapi ia cuma mendumel menanggapinya: 'kapan pelajaran ini selesai?'.

Tunggu, tidak usah jauh-jauh. Ketika Guru Shin berjalan ke bangku belakang sambil menerangkan soal Tiga Kerajaan, Seokmin tertunduk dalam di mejanya, sementara pulpennya jatuh di atas buku. Gawat. Posisi duduk Yuna saat ini tidak mengizinkannya menjangkau Seokmin, padahal Guru Shin sudah hampir memutar tubuhnya.

Namun, ketua kelas Yuna yang peka cepat tanggap. Kepalan tangannya pelan meninju lengan atas Seokmin, menyadarkan pemuda berkacamata itu seketika, dan saat Seokmin berterima kasih, Jaehyun membalasnya dengan sehelai tisu wajah yang dipilin.

"Ini permen kopi."

Menarik bagaimana Jaehyun menukar plastik yang berisik dengan pembungkus berbahan kertas, sehingga penangkal kantuk mini itu berhasil Seokmin kulum tanpa ketahuan. Yuna mengembuskan napas lega, menduga situasi aman terkendali hingga bunyi dahi membentur bangku terdengar dari arah jam dua.

Astaga, Guru Shin cepat sekali berjalan ke meja nomor lima itu! Yuna gelagapan, Jaehyun mendesiskan nama si empunya bangku dalam satu keputusasaan untuk membangunkannya, bahkan Chaeyeon yang duduk tepat di depannya ikut panik dan mencolek lengan si pemuda jangkung, tetapi guru mereka mendahului. Tongkat bambu berkontak keras dengan kayu di sisi siswa yang tidur, mengacaukan mimpinya seketika.

"Beraninya tidur pada jam pelajaranku, Kim Mingyu! Minus sepuluh poin! Khusus untukmu, kutambah tugas hukuman silsilah keluarga raja-raja Silla, kumpulkan besok siang jam dua belas di kantorku!"

Mingyu yang masih setengah sadar kontan pening diberondong bentakan dan rincian tugas yang demikian, tetapi usai sadar penuh, si bocah berkulit gelap akhirnya mengerti bencana apa yang baru saja menimpanya.

"Argh, sial!" Mingyu mengumpat sangat lirih di balik punggung Guru Shin, lantas dengan raut menyesal yang amat berlawanan, mempertemukan dua telapaknya menghadap Jaehyun dan Yuna. "Maafkan aku! Sumpah, aku tidak bermaksud!"

Yuna mengibaskan tangan, sudah terbiasa, kemudian menunjuk-nunjuk Guru Shin yang hendak memutar badan menghadap para siswa lagi. Biarpun mengerti instruksi Yuna untuk tetap fokus, Mingyu mengikuti sisa mata pelajaran sejarah dengan ganjalan di hatinya. Ini adalah kali pertamanya tertangkap basah, padahal ia sering memakai trik terlarang untuk menghindari surveilans; ia tak tahu mengapa hari ini Dewi Fortuna sedang tidak memihaknya.

Di lain pihak, sekretaris 3-E menganggap pelanggaran ini sebagai sesuatu yang wajar. Tujuh belas jam pelajaran merupakan waktu netto belajar, tetapi di luar itu, mereka juga masih membuka buku dan mengerjakan soal latihan. Ancaman dikeluarkan dari sekolah bukan main menakutkannya bagi para elitis Seoul Global High, tetapi untuk mempertahankan itu, mereka kadang memacu diri melebihi kemampuan--yang ujungnya berdampak pada kelelahan. Ingin berhenti jelas tidak mungkin; hanya di 3-E, pesimisme yang berwujud kemalasan akan berdampak pada orang lain, dan siswa normal yang masih punya sisi altruis mustahil menyeret teman sendiri pada hukuman pengurangan poin. Itulah sebabnya Yuna sangat menolerir hukuman terkait pelanggaran 'tak disengaja' semacam ketiduran di kelas; ia dan Jaehyun bahkan berkomitmen membantu mereka yang sulit terjaga dengan segala cara. Terbuka dengan inovasi, para pengurus kelas memperoleh banyak ide dan penyuplai terbesar mereka adalah Kim Mingyu; permen kopi berbungkus tisu merupakan salah satu gagasan segarnya. 

Hari ini, mantan juara olimpiade fisika itu kembali mencetuskan ide mengenai tempat mengerjakan tugas hukuman.

"Wah, aku tidak pernah kepikiran belajar di atap sekolah. Di sini sejuk dan lapang sekali," ujar Yuna, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Beberapa kursi dan meja ditumpuk sembarang di sana; barangkali itu adalah kelebihan inventaris kelas yang akhirnya tak terpakai. Area ini bersih dari siswa reguler sebab hanya tangga dari unit tersembunyi 3-E yang berujung ke sini, menciptakan suasana tenang yang mereka butuhkan untuk belajar, tidak jauh berbeda dari perpustakaan. Yuna sendiri heran mengapa ia dan tugas hukuman sangat menempel dengan ruang buku tersebut, padahal ada lokasi lain yang lebih luas dan berwarna.

"Kalian jangan terpancang pada stereotip kaku perpustakaan. Kita ini kan makhluk hidup, butuh oksigen yang kaya untuk berpikir," ucap Mingyu sok bijak. "Buat apa mengurung diri di antara lemari kayu dan buku-buku tua kalau bisa menikmati indahnya langit?"

Seokmin yang berdiri di sebelah Mingyu membungkukkan tubuhnya.

"Maaf, ya, dia ini suka berpuisi kalau level percaya dirinya meningkat drastis. Tolong jangan puji dia lagi, termasuk yang tersirat sekalipun."

"Oi! Ini sungguhan! Kalian kan memang sering membatasi diri, jadi aku mena--"

"Cerewet, kerjakan saja tugasmu." Minghao mendudukkan Mingyu ke kursi terdekat sebelum pemuda yang lebih tinggi menuntaskan kalimat. "Ingat, kau harus selesaikan juga silsilah kerajaan itu."

"Aish, iya, iya," desis Mingyu sembari mengusap-usap bagian belakangnya yang sebelumnya membentur keras permukaan kayu. "Yuna, Jaehyun, kalian juga ambil kursi, deh. Aku akan gabungkan mejanya supaya cukup untuk semua."

Setelah bangku siap, Yuna, Jaehyun, dan Mingyu mengeluarkan lembar tugas hukuman masing-masing. Sepuluh butir soal panjang sastra Korea padat aksara membuat Yuna menghela napas; ia lebih memilih dihadapkan pada rumus-rumus serta hapalan ketimbang cerita. Dari semua subyek yang bisa dijadikan bahan sanksi, mengapa harus sastra? Soal singkat sejarah Korea yang sesuai dengan jam mata pelajaran di mana pelanggaran dilakukan malah mending.

Untung cuma sepuluh poin ....

"Tidak, aku benci sastra ...."

Rupanya, bukan Yuna seorang yang malas setengah mati berhadapan dengan teks. Baru melihat banyaknya tulisan dalam lembar sanksi saja, Mingyu langsung tumbang, kepalanya tertelungkup di meja persis saat dia ketiduran tadi pagi. Jaehyun tampak menahan tawa, lalu setengah membujuk teman sekelasnya untuk kembali bangkit.

"Kau laki-laki, jangan kalah cuma sama lembar soal. Lagipula, di suneung jumlahnya lebih banyak dan teksnya lebih panjang."

"Itulah masalahnya. Aku sama sekali tidak tertarik mengejar suneung. Kalaupun aku harus mengambil jalur itu, setidaknya yang tidak ada soal noneksak, kek. Aku tidak suka soal berbelit-belit yang memperumit hal mudah—macam sekolah kita saja."

Minghao memutar bola matanya bosan. Perhatiannya sampai teralihkan dari buku sketsa gara-gara omongan kawan baiknya.

"Lagi-lagi bicara tidak realistis. Kau mau mendemo Kepala Sekolah Park?"

"Inginku, sih, tetapi aku tidak punya massa yang besar untuk bisa memojokkan si perempuan tua." Mingyu mulai mencoret salah satu opsi soal sastranya sembari menyangga dagu.

"Apa kalau kau sudah punya massa, kau dijamin akan bertindak?" tanya Jaehyun skeptis. "Jika melihat pendidikan menengah atas di seluruh Korea Selatan saat ini, gerakanmu cuma akan dianggap kenakalan remaja terstruktur dibanding usaha untuk mengubah pola yang ada."

"Walaupun kita lebih muda, bukan berarti kita selalu salah. Kenakalan remaja bisa juga dilatarbelakangi pembelaan terhadap kebenaran." Wah, baru satu soal, pulpennya sudah diletakkan, kagum Yuna selagi Mingyu bersedekap dan bersandar. "Orang-orang berorientasi pada ujian berbasis sains, maka tentu saja, kemampuan di bidang seni dan olahraga tidak akan diapresiasi. Sekolah harusnya tidak membatasi kemampuan siswanya dengan memperbanyak jam sains dan terus mengurangi porsi nonsains, kan? Lihat kita. Padahal fasilitas ada, tetapi waktu tidak ada gara-gara harus mengerjakan tugas hukuman."

"Aslinya, kau kesal karena tidak bisa main basket di jam istirahat."

"Memang!" Nah, dia mengaku, batin Yuna dan Jaehyun di saat bersamaan. "Justru itu, penting bagi kita melakukan revolusi supaya tidak terus-menerus ditindas! Kasihan kan adik kelas kita yang selanjutnya menempati 3-E jika kegiatan belajar-mengajar tetap mirip neraka?"

"Ya, ya, ada baiknya selesaikan dulu tugasmu sebelum menyusun rencana selanjutnya, Kim Mingyu-ssi." Sebagai pemuda baik, Seokmin tidak pernah terdengar jahat ketika menyindir, lebih seperti mengingatkan. Ia mendorong kembali lembar jawaban pada Mingyu, memancing desis putus asa pemuda berkulit gelap itu yang kemudian meraih tugasnya lagi.

"Kalau pembawa perubahannya dikekang terus, kapan Seoul Global High akan maju?"

"Berhentilah berlagak, rencanamu saja belum matang. Kasihan Yuna dan Jaehyun menunggumu selesai dari tadi." Kali ini, Minghao bicara dengan dingin tanpa mengangkat pandang dari gambar yang sedang ia kerjakan.

"O, iya."

Meski masih sesekali mengerang, Mingyu bersedia menelusuri kata demi kata untuk menaklukkan sepuluh soal cerita di lembarnya. Yuna tersenyum; menurutnya, sikap bandel yang ditunjukkan Mingyu sebelum kelas tiga semata untuk mewujudkan cita-cita memperbaiki Seoul Global High. Tidak ada pernyataan Mingyu yang tidak Yuna setujui dan andai Mingyu sudah menyusun langkah-langkah jelas untuk membuat perubahan, Yuna pasti akan mendukungnya sepenuh hati. Namun, seperti yang Jaehyun sampaikan, sistem yang akan mereka rombak bukan hanya milik Seoul Global High, tetapi seluruh Korea Selatan, dan hingga detik ini, orang-orang dewasa yang sombong masih mengatai mereka 'butuh bimbingan' jika sekali saja berulah. Selain itu, tantangan Mingyu untuk mencapai cita-cita itu adalah sifat tidak ingin menyusahkan teman; bandingkan dengan Junhoe yang senantiasa bertindak atas asas 'asal dia senang'. Konsekuensi yang akan ditanggung pengurus kelas akibat perbuatannya juga pasti akan ia pertimbangkan, maka semakin lambatlah rencana perubahannya berkembang. Tahu-tahu, mereka nanti sudah suneung saja.

"Mungkin," Semua mata tertuju pada Yuna yang mengungkapkan opini perdananya di forum khusus cowok ini, "kita harus menciptakan ledakan besar dan menampilkan petisi kita di lapangan agar guru memedulikannya?"

Hampir semua anak lelaki yang mendengar usulan Yuna ternganga. Gadis itu tidak serius ingin meletupkan bom di sekolah, tetapi Mingyu berbinar-binar dan langsung menangkup kedua tangan Yuna, tubuhnya condong pada si gadis. Di belakang, saking kagetnya, Minghao tak sengaja menjatuhkan buku sketsa.

"AKHIRNYA, ADA ORANG YANG SEPENDAPAT DENGANKU!!! Kau mau pakai apa, kalium klorat atau nitrogliserin?"

"Kau sudah gila, ya?" Seokmin tampak panik. "Kau hampir meledakkan rumah Minghao pakai kalium klorat, sekarang malah pakai nitrogliserin?! Yuna, dia psikopat!"

Mendengar rentetan kalimat Seokmin membuat Yuna merinding.

"Kalian sungguhan menguji coba zat-zat itu? Memangnya dari mana kalian mendapatkan kalium klorat? Penjahat, kalian sudah biasa begini, ya?!"

Seokmin menggeleng cepat, menyatakan dirinya tidak ikut-ikutan, saat Minghao mengangkat satu sudut bibir dengan telunjuk mengarah padanya.

"Dia konsultan utama geng kami, Yuna. Dia otaknya!"

Sementara itu, Jaehyun menarik kursinya maju, antusias.

"Hei, mengapa kalian memakai bahan peledak pabrikan yang terlalu berbahaya dan mahal? Gunakan saja sabun batang dan minyak tanah, atau kepala korek api yang dipotong dan dikumpulkan dalam satu wadah."

"Daya ledaknya kurang, Jaehyun, makanya konsultan kami," Minghao menepuk bahu Seokmin ('ti-ti-ti-ti-tidak, Jaehyun, aku ma-ma-ma-mana mungkin terlibat pengerusakan skala besar begini!'), "mengusulkan untuk pakai kalium nitrat atau klorat yang murni. Aku siap-siap saja membuat larutannya dengan bahan dari lab kimia, tetapi karena rencana Mingyu masih berantakan, ya kami tidak mau mengambil risiko dua kali."

Kok Jaehyun jadi nimbrung juga? Bahaya!

Menyaksikan para juara lomba kimia memperbincangkan sesuatu yang demikian destruktif memaksa Yuna memadamkan obrolan.

"Sudahan, yuk, membicarakan bomnya .... Aku cuma bercanda, kok, tadi ...."

"Iya, kalian ini, Yuna jadi takut, tuh!" tegas Seokmin dan Mingyu jadi manyun.

"Padahal lagi asyik. Duh, kurang dua soal lagi."

Yuna diam-diam mengembuskan napas lega setelah tidak ada kata 'ledakan' di antara mereka. Rupanya, untuk urusan kejahatan sistematis, Mingyu menjadi ancaman yang lebih besar dibanding Junhoe. Suasana terkendali untuk beberapa waktu dan Yuna kembali mengamati hingga ia menemukan fakta baru: Seokmin, yang sedikit-sedikit mencuri waktu istirahatnya untuk belajar jika sedang bersama Yuna dan Jaehyun, akan memainkan aplikasi komposer musik di ponsel Mingyu jika berkumpul dengan kawan-kawannya dari kelas 2-B itu. Minghao juga sedari tadi menyelesaikan desain coat pria di bukunya alih-alih membabat isi bank soal persiapan ujian.

Apa mungkin ini adalah 'efek Mingyu'? Jungkook dan Pimook juga tidak pernah belajar kalau istirahat .... Lebih baik begitu ketimbang suntuk terus. Apa sebaiknya aku ikut mencoba, ya?

"Whoa, selesai juga!!!" Mingyu memekik, lembar sanksi ia lempar ke atas, mengejutkan Yuna yang langsung mengalihkan pandang dari layar ponsel Mingyu begitu Seokmin menengadah. "Ayo main baskeeet!!!"

"Ah, tugasnya!"

Soal hukuman diketik hanya pada sehelai kertas, mudah tertiup angin dan kebetulan, hari itu anginnya sedang kencang. Hasil kerja keras (dan mengomel) Mingyu bisa saja terbang keluar atap dan mendarat di lapangan olahraga, sehingga Yuna secara refleks bangkit buat meraih tugas hukuman tersebut. Namun, si kertas ternyata melayang ke arah Jaehyun; pemuda itu menangkapnya tanpa harus berdiri, sementara Yuna yang hampir terjungkal gara-gara hilang keseimbangan kini memerah. Wajahnya dekat sekali dengan Jaehyun!

"Aduh, maaf!"

Semula membelalak kaget, Jaehyun lantas mengulas senyum santai usai Yuna menarik diri karena malu.

"Tidak masalah, lagipula yang harusnya minta maaf sudah lari duluan. Yuk, kita kumpulkan tugasnya. Oi, Mingyu, jangan lempar-lempar hasil kerjamu sembarangan, dong."

Yang dinasihati Jaehyun telah berlari menuju gimnasium, Minghao rapat menyusul.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top