Jung Chaeyeon (1)
"Letakkan tas kalian semua di atas meja. Semua siswa laki-laki berbaris di hadapan Guru Woo, yang perempuan di depan Guru Noh. Dalam hitungan kesepuluh, jika barisan tidak terbentuk, poin kalian akan kami kurangi."
Pada suatu istirahat siang, tiba-tiba seluruh siswa 3-E dipanggil ke ruang kelas. Guru Jang, Guru Woo, dan Guru Noh memasang tampang sangar, kedua lengan bersilang di balik punggung. Situasi mencekam yang familier ini pastilah pertanda inspeksi dadakan. Meski bukan tipe orang yang sering terjaring, posisi pengurus kelas memaksa Yuna mewaspadai beberapa kepala dengan potensi mencederai poinnya dan Jaehyun, apalagi pemeriksaan ini sangat tiba-tiba; hampir mustahil para pelanggar mengantisipasinya. Jika ada barang-barang terlarang yang tertangkap mata guru kedisiplinan, apalagi berasal dari dua siswa atau lebih, ia akan benar-benar disusahkan.
Selagi para siswa diperiksa, Guru Jang menggeledah tas masing-masing siswa. Sesekali melirik ke belakang, Yuna menggigit bibir dalamnya ketika wali kelas 3-E itu sampai di meja Junhoe.
Aman, aman, aman ....
"Sekotak rokok di sekolah, Goo Junhoe-goon?"
Tidak. Sepuluh angka akan tersubstraksi dari total 155 poin Yuna dan Jaehyun setelah ini. Sementara sang sekretaris kelas memejam rapat, si biang keladi tak ambil pusing, bahkan menantang Guru Jang usai kotak sigaretnya masuk ke kardus 'bawaan haram'.
"Apa rokok itu disita karena Anda akan menghisapnya, Ssaem?"
"Minus sepuluh poin lagi untukmu atas tindakan meremehkan guru. Teruslah menurunkan poin Choi Yuna dan Jung Jaehyun, Kepala Api."
Astaga, dua puluh poin dalam satu waktu! Nyaris saja Yuna menepuk dahi. Mengapa Junhoe tidak pernah mengerti pentingnya kerjasama tim di 3-E? Untung bicaranya yang tak perlu berhenti sampai di situ—atau peluang lulus Yuna dari Seoul Global High akan kian susut. Gadis itu mencari Jaehyun dari sudut mata; si pemuda tampak sama tegang dengannya.
Lima bangku terakhir. Napas Yuna tercekat. Lalisa, Mina, Sicheng, Sujeong, dan Minghao. Kecuali Minghao yang tergabung dalam geng cerdik-setengah-bandel Mingyu, sisanya merupakan murid-murid bereputasi baik. Sekalipun misalnya Yuna kurang hoki hari ini, ia pasti bakal memperoleh minus dari Minghao saja yang jumlahnya tak signifikan, tetapi kalau Mingyu hari ini bersikap baik, harusnya Minghao pun demikian.
"Apa ini, Lalisa?"
Satu kantung berukuran sedang berwarna merah muda ditarik keluar dari tas sang siswi Thailand, mengerutkan dahi Yuna. Yang ditanya ikut bingung dan jawabannya untuk Guru Jang agak di luar dugaan.
"Itu bukan milik saya, Ssaem."
Entah pembelaan itu tertangkap pendengaran Guru Jang atau tidak, kantung itu tetap dibuka dan satu set kosmetik di dalamnya kontan menjebak Lalisa. Si kuncir tinggi terbelalak dengan bibir membulat, darinya keluar patahan-patahan tak teratur yang sepertinya merupakan penyangkalan.
"Itu sungguh ... bukan .... Bagaimana bisa di situ? I-ini tidak seperti yang Anda bayangkan. Memang aku suka berhias, tetapi aku tidak pernah ingin melanggar—"
"Apa pun katamu, membawa alat berdandan ke sekolah adalah terlarang, Lalisa."
"TAPI ITU SUNGGUH BUKAN MILIK SAYA!" Nada Lalisa meninggi. "Ssaem, Anda harus percaya pada saya. Mana mungkin saya berniat menyusahkan Yuna dan Jaehyun dengan sengaja membawa make-up? Itu namanya tidak setia kawan ...."
"Penampilanmu sehari-hari tidak menunjang sanggahan yang kau ungkapkan." Guru Noh, wanita Korea kuno yang mata sipitnya amat mengintimidasi, membenahi letak kacamatanya. "Kami sudah curiga kau memakai kosmetik sejak kau masih kelas satu, tetapi kami tak pernah punya cukup bukti. Melegakan menemukannya sekarang; harusnya kami lebih ketat menjalankan penertiban di sekolah agar bahaya-bahaya laten sepertimu bisa ditangani lebih awal."
"Minus sepuluh poin," pungkas Guru Jang, "jadi totalnya, Choi Yuna dan Jung Jaehyun akan menyelesaikan tiga puluh soal hukuman hari ini."
"Tapi—"
"Ssh."
Di waktu-waktu begini, lebih jauh melayangkan protes bisa mendatangkan malapetaka. Pimook mengambil langkah yang bagus dengan merentangkan lengan di hadapan Lalisa, lalu membisikkan sesuatu untuk meredam si gadis. Kendati demikian, Lalisa masih tampak kecewa dilempari sepuluh soal hukuman untuk kesalahan yang barangkali memang tidak dilakukannya. Selain itu, tentu saja, yang lebih dirugikan dari tindakannya adalah para pengurus kelas.
Tatkala menatap Yuna, mata Lalisa berkaca-kaca, sehingga sang sekretaris kelas buru-buru mengisyaratkan 'tak apa-apa' menggunakan lambaian tangan, begitu pula mulutnya.
***
"Itu sungguhan bukan punyaku ...."
Siang, kepala Lalisa tertelungkup di bangku, mengeluhkan betapa tidak adil hidup memperlakukannya tanpa segera menyentuh soal hukuman, padahal Yuna sudah menyelesaikan enam soal.
"Apa boleh buat, habis ditemukannya di tasmu, sih," ucap Yuna lembut, menghibur. "Guru-guru pasti juga akan susah percaya kalau kamu bilang itu bukan milikmu."
"Kamu percaya kan itu bukan tas kosmetikku?" Tahu-tahu, Lalisa menangkup telapak Yuna dalam dua belah tangannya. "Isi tas kosmetik tadi terlalu lengkap untuk dandananku yang standar. Dari rumah, aku cuma pakai krim, bedak, dan pelembab bibir; tidak terlalu berlebihan, kok! Guru Noh saja yang iri dengan kecantikanku, makanya bilang seakan-akan riasanku keterlaluan."
Di sebelah Lalisa, Pimook terkekeh akibat ujung kalimat barusan. Ia bicara dalam bahasa ibunya pada Lalisa, yang balasannya tak lantas membuat Yuna mengerti, tetapi mereka kelihatannya bertengkar kecil sebelum akhirnya Lalisa mengalah. Mengencangkan ikat rambutnya, Lalisa kembali ke tugas awalnya sambil setengah menggerutu, setengah menyesal.
"Yuna ... maaf ya sudah menambah tugasmu dan Jaehyun ...."
"Jangan terlalu dipikirkan; hukuman kita toh sebatas mengerjakan soal, bukannya lari keliling lapangan, Lalisa."
"Panggil dia Lisa; cuma orang asing yang memanggilnya 'Lalisa'," ralat Pimook, yang disambut anggukan si empunya nama.
"Benar, Yuna. Kamu dan Jaehyun harus mengakrabi sebanyak-banyaknya anak di kelas supaya bisa melawan jajaran guru menyebalkan yang mengurung kita di sini." Biar ucapannya memuat ancaman, Lalisa—ehem, Lisa—mengungkapkannya dengan raut bersahabat yang manis. "Lisa adalah nama panggilan untuk kawan-kawan terdekatku, jadi kamu bisa mulai memanggilku dengan nama itu."
Pipi Yuna bersemu senang, tidak menyangka gadis-gadis cantik di kelasnya sangat supel dan terjangkau. Kemarin Chaeyeon, disusul Yiyang, lalu Lisa ... Mina mungkin akan jadi 'target' Yuna berikutnya.
"Kawan terdekat .... Berarti Pimook juga memanggilmu Lisa?"
"Tidak, aku memanggilnya Pokpak." –dan Lisa langsung memukul pemuda berwajah lucu di sebelahnya menggunakan kotak pensil. "Mengapa marah? Kan benar."
Lisa mengomel dalam bahasa Thailand, tetapi segera meminta maaf lagi pada Yuna. "Dia ini suka memberiku nama panggilan yang aneh, huh!"
"Berhenti mendumel dan kerjakan saja supaya cepat ketemu soal sulitnya, jadi aku bisa cepat membantumu. Aku harus menyusul Mingyu dan Jungkook di gimnasium."
"Main basketnya nanti saja, kan sudah sering."
"Ish."
"Kalian mesra betul, tidak tahu apa kami ini masih sendiri? Yuna, iri tidak?"
Sepasang lengan ramping mengalung melalui bahu Yuna dari belakang. Lisa dan Pimook seketika mengalihkan pandang ke sumber suara, sementara Yuna menengadah untuk mencari tahu siapa yang tiba-tiba menempelinya.
"Ya ampun, Chaeyeon. Bukannya kau sudah punya Jaehyun? Biarkan kami pacaran sebentar, bosan tiap hari belajar terus."
Dasarnya ceplas-ceplos, kata-kata Pimook sukses memancing keingintahuan Yuna tentang hubungan si pemuda dengan Lisa, juga hubungan Chaeyeon dengan Jaehyun. Jadi, Pimook dan Lisa adalah sepasang kekasih, bukan hanya rekan pelajar asing dari negara yang sama? Bagaimana dengan Chaeyeon, apakah sikapnya yang kadang-kadang canggung di dekat Jaehyun mewakili perasaan sukanya? Mengapa Yuna tak tahu apa-apa?
"Berisik, ah." Chaeyeon yang salah tingkah mengambil tempat di sisi Yuna. "Jaehyun tidak pernah sadar, jadi tidak usah diungkit-ungkit. Daripada itu, kalian punya tugas yang lebih penting."
Ekspresi malu-malu ... ya Tuhan. Primadona Seoul Global High ternyata punya pujaan hatinya sendiri? Mengesampingkan tugasnya yang baru selesai seperlima, Yuna menarik kursinya mendekati Chaeyeon.
"Kamu menyukai Jaehyun?"
"Duh, memangnya siapa yang tidak menyukai dia?" Chaeyeon tertawa sedikit terlalu keras saking gugupnya 'diserang' Yuna. "Jaehyun teman yang sempurna; pasti aneh kalau dia sampai punya musuh."
Penyangkalan tersirat ini justru memancing Yuna berbuat jahil. "Ayolah, kamu tahu apa yang kami maksud: menyukai yang 'seperti itu', lho. Kok tidak mau mengaku, sih?" kejarnya sambil mencolek-colek lengan Chaeyeon. Yang 'diserang' makin merah mukanya dan buru-buru berucap lirih langsung ke telinga sang kawan.
"Nanti aku cerita semua setelah Pimook pergi."
"Apa? Apa? Kamu bilang apa?" Lisa mencondongkan tubuh panjangnya, telinganya menghadap depan, membuat Chaeyeon buru-buru menarik diri dan mendorong Lisa jauh-jauh.
"Sudah, kalian pacaran sana!"
"Inginnya sih begitu, tapi Pokpak tidak selesai-selesai mengerjakan—oi!"
Pimook tidak sempat menuntaskan kalimatnya gara-gara pitingan Lisa. Gadis itu menyahut lembar soal dan jawaban sebelum menyeret si pemberi julukan keluar kelas.
"Yuna, aku mengerjakan di gimnasium saja, ya! Jangan khawatir, pasti aku selesaikan dengan cepat!"
Usai beramah-ramah pada Yuna, lagi-lagi Lisa mendumel dalam bahasa asing. 'Pokpak' masih sesekali terdengar dalam kalimatnya, berselimut malu, tetapi Pimook tertawa saja. Yuna tak mampu menahan senyum; menurutnya, mereka lumayan serasi sebagai sepasang kekasih, walaupun kelakuan dua sejoli ini tak ada romantis-romantisnya sama sekali.
"Kok melamun? Iri sama Lisa, ya?" goda Chaeyeon.
"T-Tidak!"
"Kalau mau pacaran, jangan dengan Pimook, tetapi boleh dengan Jaehyun. Dia kelihatannya menyukaimu."
Yuna tertegun, sebentar kemudian berusaha membenarkan ujaran Chaeyeon.
"Mustahil orang selevel Jaehyun punya perasaan semacam itu padaku."
"Tapi, apa kamu tidak merasa kalau," Chaeyeon diam-diam menarik lembar jawaban Yuna yang kedua tanpa melirik pemiliknya sedikit pun, "pandangan Jaehyun padamu selalu penuh kekaguman?"
Sejenak, mendung yang menggelisahkan Yuna menyinggahi paras ayu Chaeyeon. Andai Jaehyun sungguh laki-laki yang Chaeyeon idolakan, maka kecemburuannya sangat masuk akal, tetapi demi Tuhan, tak pernah sekali saja Yuna merasa ditatap Jaehyun begitu rupa. Memang bagian mana dari dirinya yang bisa membuat takjub sang ketua kelas? Di lain pihak, Chaeyeon memiliki banyak pesona, jadi kalau Jaehyun jatuh hati padanya, itu lebih beralasan.
"Aku tidak mengerti bagaimana Jaehyun biasa melihatku," Kedua lengan Yuna melingkari siku Chaeyeon, "tetapi aku maunya sama Chaeyeon saja!"
Tentu saja Yuna yang tengah menyandarkan kepalanya di bahu Chaeyeon itu sedang bergurau. Saat pertama kali putus cinta dulu, sering ia menggelayut pada Eunbi untuk menyembuhkan diri, begitu pula sebaliknya. Ia ingin efek serupa muncul saat bersama Chaeyeon sebab kemuraman di awal persahabatan tak pernah menjadi tanda baik dan harus segera diusir.
Gayung bersambut. Chaeyeon menutul-nutul pipi Yuna gemas.
"Aku juga mau sama Yuna sampai nenek-nenek!"
Usai bermanja-manja, keduanya tertawa geli dan selanjutnya bernapas lega: 'untung tidak ada yang melihat!'. Biar sama-sama perempuan, beraegyo bukan hobi Yuna dan Chaeyeon, tetapi bolehlah bila hanya sedikit; toh cara tersebut efektif untuk mempererat persahabatan.
"Omong-omong, Chaeyeon, kamu mau apa dengan lembar jawabanku?"
"O, ini?" Kertas berstempel divisi akademik Seoul Global High yang semula kosong kini berhias sebaris formula dan diagram elektromagnetik karya Chaeyeon. "Aku membantumu mengerjakan separuh soal. Nah, sekarang kamu tinggal mengerjakan sembilan lagi, deh."
Terbelalak Yuna mendengarnya.
"Kamu tidak boleh melakukan itu! Guru-guru bisa menghukummu!"
"Santai, santai. Aku punya bakat yang belum kamu ketahui. Akan kutunjukkan setelah satu soal selesai dan kubuat kau heran, Yuna."
Chaeyeon terlihat percaya diri, maka Yuna membiarkannya dan menunggu dalam diam, meskipun sering celingak-celinguk untuk mengantisipasi mata lain yang mengawasi kecurangan ini. Beruntung, soal elektromagnetik tidak memakan banyak waktu bagi si peringkat empat, sehingga belum semenit, kertas bercap sudah terangkat di hadapan Yuna.
"Jjang! Aku hebat, kan?"
"Astaga!" Yuna meraih lembar jawaban yang ia isi dan membandingkannya dengan pekerjaan Chaeyeon. "Keren, bagaimana tulisanmu bisa begitu mirip denganku?"
"Namanya juga bakat tersembunyi." Chaeyeon menyibakkan rambut sepunggungnya ke belakang penuh gaya. "Jangan terlalu khawatir, tidak ada mata-mata sebanyak itu di sini. Aku tidak akan melakukannya sering-sering, janji."
"Kamu sungguh tidak keberatan mengerjakannya? Ini semua kan bukan kewajibanmu."
"Masa, sih? Setahuku, membantu teman adalah sebuah kewajiban."
Bohong jika dibilang Yuna tidak terenyuh, biarpun cara Chaeyeon menolong dirasanya sedikit ilegal. Selain itu, ia takut dianggap mengusir bila terus-terusan menolak dan menyakiti perasaan Chaeyeon, jadi dengan senyum tipis tersungging, Yuna kembali menderas persamaan fisika selama sisa istirahat siangnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top