Five to Seven Points (3)

Sebelumnya: Kepala Sekolah Park kembali menimbulkan kegelisahan siswa 3-E dengan membagi kelas menjadi dua yang diampu dua guru berbeda masing-masing pelajarannya. Berbagai pendapat dilancarkan Jaehyun dan Yuna untuk menolak sistem, mengingat bagaimana Eunbi--dan mungkin juga siswa kelas-kelas lain--akan dirugikan dengan sistem baru, tetapi mereka gagal ....

***


Sepeninggal Kepala Sekolah Park dan Guru Jang, perintah untuk menjaga ketenangan langsung dilanggar oleh para murid.

"Tuh, kan? Aduh, mengapa aku harus masuk paruh atas, sih? Pasti nanti belajarnya lebih capek ...." Yiyang menggelosor ke meja. Yuna menepuk-nepuk pelan punggung gadis itu buat menghiburnya.

"Ya, Jung Jaehyun!" Mingyu langsung mendatangi bangku ketua kelasnya. "Kali ini, kau jangan cuma diam saja. Kau dulu bilang mau bertindak jika mereka bertindak sewenang-wenang!"

Dari belakang, Seokmin menarik mundur Mingyu sedikit. "Jaehyun sedang berusaha. Pemberitahuannya semendadak ini, mustahil langsung tercetus ide untuk mengatasinya, kan?"

"Kau juga jangan terima-terima saja diperlakukan begini!" serang Mingyu balik pada kawan mata empatnya.

"Dasar berisik. Mulut besarmu itu sama saja seperti mulut-mulut keriput barusan."

Sebelah tangan Mingyu mengepal tatkala ia merenggut kerah seragam Junhoe, beruntung Yibo beranjak dari bangku sebelah untuk menurunkan tangan Mingyu dari pakaian Junhoe.

"Kau sebaiknya duduk kembali sebelum Guru Shim datang, Kim Mingyu."

Baru akan mengajukan protes, Mingyu sudah dijauhkan dari sepasang sahabat dari kelas A itu oleh Seokmin.

"Sudah, sudah. Duduklah, Mingyu-ya."

Setelah Mingyu yang masih mendumel kembali ke kursinya, Pimook angkat bicara dari baris ketiga.

"Ayolah, semuanya, mengapa tegang sekali? Itu kan gertak sambal saja. Tidak bakal semengerikan ancaman mereka," ujar si remaja Bangkok santai sembari memutar-mutar pensil panjang di antara jemarinya. "Kita coba dulu jalani sebulan. Kalau ternyata sistemnya menyebalkan, kita bisa ledakkan sekolah ini."

"Kedengarannya asyik." Minghao menyetujui, dan kembar beda kewarganegaraan itu melakukan hi-five.

"Semoga memang dewan guru cuma menggertak, bukannya betulan mengintimidasi kita." Lisa bersilang lengan.

"Selama kita tidak melanggar peraturan mereka, aku rasa kita tidak akan dirugikan, Lalisa ...." Sujeong berpendapat lirih.

Dari setiap respons yang Yuna tangkap, ia mampu menarik satu kesimpulan melegakan bahwa teman-temannya sekali lagi berusaha untuk memenuhi tuntutan. Namun, keputusan dewan guru tidak serta-merta bebas cacat. Kegiatan belajar-mengajar harusnya tidak semenguras ini, ibu Yuna suatu hari beropini. Ada sesuatu yang wajib diperbaiki dari 3-E, masalah yang akan diwariskan ke generasi berikutnya andai tidak dibenahi.

Yuna mempunyai sebuah inisiatif. Pesan masuk berisi dokumen konsep yang ia terima bisa jadi sejalur dengan angan tersebut.

Jung Jaehyun:

Lampiran: (Draf Inti) Laporan Tertulis Mengenai Pelanggaran Hak-Hak Siswa dalam Kegiatan Belajar-Mengajar Kelas 3-E Angkatan 2015 Seoul Global High.

Waktu Yuna menoleh, Jaehyun memasukkan gawai ke saku tas sebelum menegakkan punggung demi menerima bendel tugas hukuman.

***

Selama delapan belas tahun hidupnya, Jaehyun tidak pernah merasa sinar mentari begini menyakitkan mata. Semalam, ia tidur agak larut lantaran masih harus memeriksa surel yang Yuna kirim setelah belajar. Di dalamnya, Yuna menautkan satu berkas setengah jadi, pengembangan kerangka laporan yang Jaehyun tunjukkan pada sang sekretaris seminggu lalu. Setelah hari itu, mereka berdua membahas penyusunan laporan dengan cukup serius di sela waktu belajar, tentunya secara diam-diam; semakin sedikit pihak yang terlibat, akan semakin sederhana prosesnya dan semakin cepat pula keluarannya terlihat. Untuk membantunya tetap terjaga dan fokus, Jaehyun menyeduh kopi tengah malam, tetapi membiarkan cangkirnya tak terawasi merupakan kesalahan besar. Kepalanya terasa berat, begitu pun kelopak matanya, justru sesudah minumannya tandas. Ia jatuh tertidur di atas papan kunci komputernya—yang menjelaskan banyaknya huruf acak pada jendela dokumen laporannya—dan baru terbangun pukul tujuh pagi berikutnya dengan pandangan berkunang-kunang.

Anehnya, Jaehyun terbangun di tempat tidur dan alarm ponselnya dinonaktifkan. Ia tahu ulah siapa semua ini, termasuk siapa yang kemungkinan memasukkan sesuatu dalam kopinya.

Sadar akan terbatasnya waktu, Jaehyun mengecek dokumennya sejenak, memastikan tidak ada yang berubah. Aman, hanya ada abjad-abjad yang tak sengaja terketik. Ia menyimpan berkas itu dan mematikan komputernya, lantas bersiap-siap dalam keadaan tubuh serta pikiran yang masih mengambang.

"O, Tuan Muda akan berangkat ke sekolah?" Pelayan pribadi Jaehyun panik mendapati majikannya—dalam balutan seragam—menyandang tas dan menuruni tangga. "Anda baik-baik saja? Bukankah Anda sedang tidak enak badan?"

"Aku sehat-sehat, kok," jawab Jaehyun, melengkungkan bibirnya ke atas untuk mendukung pernyataannya. Ia masuk ke ruang makan dan tidak terkejut dengan apa yang menyambutnya. "Wah, semua sudah dibereskan? Abeoji sudah berangkat, ya?"

"Ya, Tuan Besar sudah berangkat lebih dulu. Mohon maaf, Tuan Muda, kami akan menyiapkan sarapan segera untuk Anda." Pelayan tua yang mengurus Jaehyun sejak kecil itu meminta bagian dapur untuk bergegas menyiapkan makan pagi, kemudian membersihkan meja dan menarikkan kursi untuk Jaehyun. "Tuan Besar sebelumnya mengatakan Anda sedang sakit. Beliau kesulitan membangunkan Anda pukul setengah tujuh tadi."

Jadi, Abeoji yang membangunkan aku rupanya bukan mimpi, batin Jaehyun. Lesung pipinya tercetak mengenang bagaimana pria yang sibuk itu selalu membangunkannya di pagi hari dan mengantarnya ke sekolah setiap ada kesempatan. Sebenarnya, ia juga ingat guncangan di bahu dari sang ayah setengah jam lalu, tetapi tidak ingat apa yang terjadi setelahnya.

"Tuan Besar bilang Anda mengeluh sakit kepala, jadi ia menulis surat izin yang hendak diantarnya ke sekolah."

"Apa?" Jaehyun urung memotong telur goreng di piringnya. "Abeoji tidak perlu melakukan itu. Aku baik-baik saja, sungguh. Lagi pula, bukankah dia harus tiba sangat awal untuk rapat pasca ekspedisi? Gawat, aku mesti menghubunginya sekarang."

"Tuan Muda jangan khawatir, lanjutkan saja sarapannya. Saya akan segera menghubungi Tuan Besar."

Selagi pelayannya menelepon, Jaehyun bersantap sambil merenungkan 'serangan-serangan' yang ia terima di rumah sebulan ini. Ia sudah sering menjadi korban keisengan adiknya—sadel sepeda berlem, buku catatan yang hilang, dan sebagainya—tetapi obat tidur dalam kopi? Gila. Iblis cilik itu juga pasti telah berbohong soal kesakitannya sehingga Jaehyun tidak bisa berangkat bersama sang ayah, padahal siapa yang tahu kapan kesempatan itu akan datang kembali?

Dasar haus kasih sayang.

"Tuan Muda, Tuan Besar ingin bicara dengan Anda."

"O?" Ponsel berpindah dari tangan si pelayan ke celah antara bahu dan sisi kepala Jaehyun yang dimiringkan; dua tangannya masih memegang piranti makan. "Ya, Abeoji, ini Jaehyun."

"Aigoo, apa kau betulan sehat, Anakku? Badanmu tidak demam, tetapi kau mengigau dan sakit kepala. Aku minta Pak Ra memanggil dokter untukmu segala! Kalau memang capek, tidak usah memaksakan diri, lah. Istirahat!"

Menjadi orang tua tunggal memaksa laki-laki ini jadi banyak bicara. Jaehyun acapkali merasa geli sekaligus bersyukur oleh curahan perhatian tersebut.

"Terima kasih, Abeoji. Aku segar bugar setelah tidur nyenyak semalam." Sesuap telur dan daging Jaehyun kunyah cepat-cepat. "Aku berangkat tidur agak lambat, jadi mungkin sedikit mengantuk saat kaubangunkan tadi. Aku minta maaf. Tolong tidak usah serahkan surat izinnya; guru tidak mau menerima surat izin tanpa keterangan dokter."

"Baiklah. Yah, sayang sekali kita tidak bisa berangkat bersama. Bagaimana kau nanti ke sekolah? Ah, pesan taksi saja, minta tolong pada Pak Ra!"

"Tidak perlu, aku bisa berangkat pakai sepeda. Abeoji langsung berangkat saja ke kantor."

"Oke. Setelah adikmu kuantar, aku akan langsung meluncur ke sana."

Jaehyun tersenyum miring. 

Bocah itu berhasil memonopoli Abeoji pagi ini. Kurang ajar.

"Kau harus jaga kesehatan, Jaehyun-ah. Belum separuh jalan menuju suneung, kau sudah kolaps. Ya Tuhan, kalau kau sakit, aku tidak akan mengantarmu berobat; aku benci bau karbol di selasarnya!"

"Iya, iya. Aku tidak akan sakit," tawa Jaehyun, sedikit pahit. Ayahnya benci rumah sakit sejak ibunya meninggal lima tahun silam. "Omong-omong—astaga, Abeoji menyetir, kan? Matikan teleponnya!"

Pria di seberang telepon tergelak.

"Ya dan tidak. Jalanan macet macam di neraka saja! Kalau pakai sepeda, kau bisa menerobos lewat jalan tikus. Semoga kau tahu beberapa."

"Tak masalah." Perempuan licik itu berarti sedang terjebak macet. Rasakan! "Hati-hati, Abeoji. Semoga tidak ada yang terlambat hari ini."

"Amin. Ah, mulai merambat; harus pergi. Semoga harimu menyenangkan, Jaehyun-ah!"

Sebelum panggilan diakhiri, Jaehyun mendengar pria tuanya mengumpat seseorang yang membunyikan klakson kencang sekali di belakang mobilnya. Sang pebisnis beruban memang bukan tipe pria tua dengan dahi berkerut yang saban hari menyodorkan brosur hagwon pada putranya akibat laporan hasil belajar. Kesampingkan kosa kata umpatannya yang berlimpah; jiwa muda berapi-api itu—yang tak pernah lelah berjuang menyejahterakan keturunannya lahir-batin—selamanya akan jadi panutan Jaehyun.

Tujuh delapan belas. Ketika membuka garasi, Jaehyun telah merancang rute pintas yang akan ia lalui menggunakan sepeda. Ia membayangkan wajah kesal adiknya jika tahu ia tiba di lebih dulu di sekolah ... tetapi sebentar. Ada sticky note dengan tulisan mungil bersambung rapi pada sadel yang nyaris Jaehyun naiki.

Lihat rantainya, Bodoh!

Luar biasa. Adik Jaehyun pantas disematkan gelar penjahat.

Sialan, dari mana dia belajar merusak rantaiku? Aku tidak punya waktu untuk ini! Jaehyun menyambar kotak perkakas, tidak menunggu supirnya yang ahli dalam hal ini. Ia berkutat dengan pedal dan rantai selama sebelas menit sebelum akhirnya memberi salam pada Pak Ra, mengayuh gila-gilaan, berpacu dengan bel sekolah. Putaran jarum detik seolah berusaha mendahului gerak kakinya yang kuat.

Tujuh empat satu. Jaehyun tersengal-sengal saat memarkir sepedanya, berlumur peluh. Jalan pintas sukses menyisakan empat menit yang penting. Ia melajukan tungkai selekas mungkin ke aula setelah sepuluh detik bernapas panjang-panjang.

"Jaehyun-ah, bahaya!!!"

***

Suara Seokmin. Jaehyun didorong hingga terjerembab entah oleh siapa. Ia mendesis kesakitan; sikunya lecet dan lutut kanannya berdenyut akibat membentur paving. Namun, ia sangat yakin bunyi keramik pecah di balik punggungnya bukan berasal dari kejatuhannya.

"3-E berengsek!"

Hah? Siapa?

"Ya, turun ke sini kalau berani, Bangsat!!! Pengecut kalian semua!!!"

Ketika Jaehyun bangkit, Mingyu tengah mendongak, melontarkan serangkaian kalimat beracun pada seseorang—atau sekelompok orang—yang tak lagi terlihat di jendela sebuah kelas beberapa meter di atas, sementara Seokmin terkapar, telapaknya menutupi sisi kepala. Serpihan pot, lengkap dengan ceceran tanah dan tanaman, terserak di dekatnya.

"Seokmin, kau—"

"Uh ...."

Hawa dingin sontak merambati tubuh Jaehyun begitu cairan merah pekat mengalir turun dari tangan yang digunakan Seokmin memegang kepala, terus hingga menodai paving.

***

sedang mengerjakan rough bagian selanjutnya, tapi mood sedang agak kering, pdhal ini adlh chap yg sebenarnya paling kunanti2 hahaha krn bagian selanjutnya adlh chap cogan! jadi maaf yg ngikutin rough buat ciwi2nya harus menunggu dulu, mereka hampir tidak akan muncul sampe sekitar tiga minggu lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top