Fever (1)
Sebelumnya: Ayah Junhoe datang ke rumah musim panas 3-E hanya untuk meminta Junhoe kembali bersekolah di luar Seoul Global High yang kacau balau. Yuna dan kawan-kawan tentu tidak tinggal diam, apalagi Junhoe tidak ingin pindah. Muncullah taruhan antara Tuan Goo dan putranya: peringkat ujian bulanan seluruh 3-E harus tetap paling tinggi di sekolah agar Junhoe tidak pindah! Akan lurus-lurus sajakah perjuangan menuju lima belas besar?
***
Malam ini, ibu Yuna mampir ke rumah tempat sang putri menginap. Ia berbasa-basi sedikit dengan beberapa anak, mengecek keadaan mereka secara garis besar, sebelum mendudukkan Yuna dan Jaehyun demi sebuah pembicaraan penting.
"Penyelidikan tentang pelanggaran di 3-E sudah hampir selesai. Tinggal kesaksian resmi dari para siswa yang dapat menutup kasus ini sebagaimana harusnya, tetapi peristiwa besar kemarin pasti berpengaruh pada keadaan psikis kalian. Sanggupkah kalian memaparkan ulang kasus tersebut secara terperinci kepada penyidik?"
Yuna menghela napas dalam. Sebenarnya, laporan lengkap pelanggaran sistem pendidikan formal di 3-E sudah ia serahkan pada ibunya sebelum liburan. Ia keberatan menelusur kembali jejak-jejak penyalahgunaan wewenang para guru dengan lisan ke polisi. Rupanya, berkas-berkas yang disusunnya bersama Jaehyun—termasuk data yang ditambahkan Seokmin, Chaeyeon, dan Mingyu sebelum 'penyerangan'—belum cukup memenuhi syarat untuk menuntaskan kasus.
"Kalau itu dapat membereskan urusan hukum, saya akan mencobanya." Jaehyun, berlawanan dengan Yuna, mantap menjawab. "Perwakilan saja bisa, kan, Bi? Tidak harus semua siswa bersaksi?"
Ibu Yuna mengangguk, sementara anak tunggalnya tersudutkan oleh keberanian Jaehyun. Yuna belum mampu sepenuhnya mengesampingkan trauma. Bayang-bayang Seokmin di ambang kematian, lengan yang terbakar, wajah-wajah letih tanpa harapan ... mengenang ini semua memualkan sekali. Andai Jaehyun sama peduli dengan 3-E, bukankah harusnya ia juga terusik?
Tidak. Dari dulu, memang aku selalu tertinggal dari Jaehyun, bahkan urusan menolong orang.
"Yuna, kau tidak per—"
"Tidak, Eomma, aku juga akan memberi pernyataan," sahut si rambut sepinggang segera. "Demi kebaikan bersama, satu-dua ketakutan harus dilawan. Lagi pula, aku kan tidak sendirian."
Ketika memungkasi kalimatnya, Yuna melempar pandangan penuh makna pada Jaehyun—yang dibalas selengkung senyum tulus. Tentu saja Yuna setengah mati menjaga kadar kegembiraan di wajahnya agar 'tetap tampak formal' (karena dalam hatinya, sumpah, kembang api berebutan meletup).
"Walaupun lebih baik memang jika kasus diselesaikan lebih awal," tambah ibu Yuna, turut senang dengan percikan semangat yang barusan timbul di antara kedua remaja, "kami tidak akan mengejar-ngejar kalian. Kapan pun kalian siap, segera kabari aku atau Tuan Jung—yang sayang sekali cuma bisa menyampaikan pesan hari ini melaluiku."
"Kami maklum. Ayah Jaehyun kan bekerja. Keterlibatan aktifnya dalam masalah sekolah kami saja sudah keren, kok."
"Abeoji hanya menjalankan apa yang seharusnya dilakukan ayah mana pun." Jaehyun merendah. "Beliau pasti girang mendengar pujian itu darimu."
Meronalah pipi Yuna saat mengucapkan lirih 'ya ampun, itu bukan apa-apa'.
"Sebentar lagi, dua minggu rehat kami akan berakhir. Aku akan usahakan agar siap dengan pernyataan itu paling lambat sehari setelah ujian akhir bulan—"
"Astaga, benar!" Ibu Yuna menepuk dahi tiba-tiba. "Evaluasi! Duh, mentang-mentang kalian tidak belajar di kelas, aku jadi melupakannya!"
Tempo hari, Yuna sempat curhat pada ibunya tentang Junhoe yang mempertaruhkan masa depan menggunakan nilai ujian bulanan seluruh siswa 3-E, maka wajar ibu Yuna bereaksi demikian.
"Baik, Eomma mengerti." Kedua bahu Yuna ditepuk oleh Nyonya Choi. "Untuk saat ini, fokuslah pada evaluasi bulanan. Penundaan kesaksian beberapa hari tidak akan signifikan untuk perkembangan kasus ini, jadi belajarlah yang baik supaya performa kalian bagus di evaluasi nanti. Ya?"
"Um ... baiklah." Senyum yang hendak Yuna kembangkan mendadak tertahan. "Omong-omong, Eomma, bagaimana dengan Kepala Sekolah Park dan jajaran pendukung 3-E lainnya?"
Giliran ibu Yuna yang menghela napas panjang.
"Sistem 3-E membuat mereka dikenai beberapa pasal terkait pelanggaran hak dasar siswa. Selain itu, ada sejumlah laporan ke dinas pendidikan setempat yang dipalsukan sehingga pelanggaran-pelanggaran tadi tidak terlacak. Sejauh ini, status Kepala Sekolah Park dan jajarannya masih sebagai saksi, tetapi menurut Nyonya Kim—ibunya Mingyu—yang seorang pengacara, mereka nyaris pasti menjadi terdakwa. Hukuman penjara yang mereka dapatkan bisa mencapai empat tahun."
Debar jantung Yuna meningkat begitu 'penjara' disebut. Selangkah lagi, ia dan Jaehyun akan menjebloskan orang-orang terhormat ke balik jeruji besi. Ada rasa berdosa yang ganjil—apa karena para terhukum adalah sekelompok pengajar?—dan buncah kelegaan—bolehkah dirasakan atas penderitaan orang lain?—di saat bersamaan.
"Jika begitu, bagaimana dengan kelas kami?" Di bawah ketenangan Jaehyun, terdapat secuil kegusaran. "Seluruh guru penanggung jawab 3-E mustahil dapat menjalankan kelas. Memasukkan guru pengganti dari lembaga lain juga sulit dengan peristiwa yang menurunkan reputasi sekolah ini. Menugaskan guru dari kelas lain jelas bukan pilihan."
"Karena itu, 3-E dan segala sistemnya akan dihapuskan total."
Yuna mengerjap cepat, sementara Jaehyun tak terlalu terkejut.
"Seoul Global High sementara akan berada di bawah pengawasan Dinas Pendidikan Kota hingga kasus selesai. Setelah evaluasi bulanan, kalian akan dikembalikan ke kelas masing-masing, jadi," ibu Yuna mengerling pada putrinya, "kau bisa bertemu dengan Eunbi lagi."
Tapi, aku tidak tahu apakah Una akan menerimaku setelah ini, batin Yuna miris selagi berpura-pura bahagia. Mungkin tidak sepenuhnya berpura-pura; 3-E, neraka yang makin lama makin mengimpit itu, akhirnya terbuka sendiri dan ia berhasil keluar hidup-hidup darinya. Seperti ibunya bilang, Yuna dapat pulang pada Eunbi dan kehidupan sebagai siswa yang aman dari kejaran peringkat (tak peduli apakah 'kehidupan terdahulu' itu bersedia menerima dia kembali atau tidak). Anehnya, ada sisi-sisi eksistensi 3-E yang belum Yuna relakan. Foto kelulusan belum mereka ambil. Suneung belum mereka lalui bersama-sama. Permusuhan dan rahasia masih mengganjal kerekatan mereka berlima belas. Haruskah 3-E menggantung tanpa kesan begini?
"Syukurlah."
Dalam hati, Yuna berharap ungkapan kelegaan Jaehyun diselipi keresahan serupa.
"Mengembalikan semuanya seperti semula menurut saya merupakan jalan terbaik dari semua pilihan yang ada," sambung sang ketua kelas, yang diteruskan sekretarisnya dengan kekehan terpaksa.
"Yah, walaupun ada beberapa hal yang sudah berubah permanen gara-gara 3-E, sih ... tapi setidaknya, kita akan lepas dari tekanan. Benar, kan?"
Kalimat ini ternyata mengusik Jaehyun yang dari tadi seolah tak tergoyahkan oleh isu pemenjaraan guru dan bubarnya 3-E. Terutama pada frase 'perubahan permanen', lengkung bibir Jaehyun mendatar sedikit dan ia menelengkan kepala tak nyaman.
"'Berubah permanen'," ulang Jaehyun pelan. "Kelas ini sangat dinamis, tetapi luka yang ia tinggalkan seperti kerak pada pantat wajan saja."
***
Bulan malas bangun bahkan ketika sang surya telah terbenam, maka Jaehyun, yang malas menyalakan lampu kamar, meraba-raba sebentar sebelum rebah di ranjang kosong. Hanya bernapas dua kali sebelum memulai belajar, tekadnya. Namun, dua napas itu terseret menjadi tiga, lima, sepuluh ... dan Jaehyun mengepalkan tangan.
Berubah permanen, ya?
"Kupikir separah apa pun sebuah kesalahan, pasti ada celah untuk memaafkannya."
Suara itu—dan nukilannya yang termenjengkelkan—belakangan terngiang melulu di benak Jaehyun bagai kaset rusak. Bagaimana tidak? Setiap bertemu, mau apa saja topik pembicaraan pembukanya, orang ini pasti akan memutar haluan ke masalah yang 'mengeraki pantat wajan'. Terus, terus, terus ... dan meski menolak mengakuinya, Jaehyun mulai merasa benci pada lawan bicaranya, tepatnya preokupasi dalam kepala orang itu.
Hentikan. Dia orang paling akhir yang ingin kujadikan musuh. Lagi pula, sudah terlalu banyak orang yang kubenci dan membenciku.
Jaehyun memejam, melempar rencana belajarnya ke belakang.
Melelahkan. Aku hanya ingin bisa sepenuhnya bahagia kembali seperti dulu .... Mengapa begitu sulit dan menyesakkan?
"Jungkook? Itu kau?"
Panjang umur. Celah kelopak mata Jaehyun melebar lambat, menyesuaikan dengan cahaya baru dari lorong. Sebelum seluruh wajah sang pendatang ditimpa sinar pun, garis-garis tajam itu telah dikenalinya. Kilap bingkai kacamata, bahu yang lungsur, dan tangan yang melengkung akibat luka bakar ....
"Ah, Jaehyun, ternyata kamu." Pintu terbuka lebar dan tegaslah sosok Seokmin serta senyum canggungnya. "Maaf mengganggu. Kau sedang tidur?"
"Cuma istirahat sebentar sebelum belajar." Jaehyun menegakkan tubuh. "Lebih segar rasanya sekarang."
Selama berbicara, Jaehyun tidak menatap Seokmin sama sekali walaupun suaranya masih sehangat biasa. Ia menyeret kursi dengan berat, duduk di sana, lalu menarik setumpuk buku mendekat dan membuka satu tanpa niat mengerjakan. Harapannya, Seokmin akan menyadari sikap ini sebagai tanda bahwa ia sedang ingin menyendiri dan tidak memperpanjang percakapan. Gagal. Seokmin tetap menghampiri. Jaehyun hampir yakin bahwa ujung bahasan mereka pasti tak lari dari yang itu-itu lagi.
"Anu, Jae—"
"Kau mau mengerjakan juga?" Jaehyun membelokkan topik sebelum Seokmin sempat memimpin pembicaraan. "Ini."
"Ah ...." Dengan mimik bukan-itu-maksudku yang kentara, Seokmin menerima lembar kerja siswa yang Jaehyun sodorkan. "Terima kasih."
Beberapa detik pertama, hanya terdengar bunyi torehan pena dan kertas bergesekan. Menyebelahi Jaehyun, Seokmin yang semula tidak berniat belajar membolak-balik halaman tanpa tujuan jelas. Ia berhenti di salah satu paket latihan secara acak dan menekan tombol pensil mekanik birunya.
'Klik' dari alat tulis Seokmin rupanya tidak bermakna Jaehyun telah lolos dari masalah.
"Chaeyeon semakin jarang terlihat keluar kamar belakangan ini. Andai gadis-gadis tak bergiliran membawa masuk makanan, dia pasti sudah sakit karena kelaparan."
"O, dia memang sakit." Tentang Chaeyeon, Jaehyun tidak sungkan-sungkan memperjelas kemuakannya. Toh Seokmin sudah tahu. "Sakit jiwa."
Seokmin menoleh pada Jaehyun, entah mengapa merasa ikut terlukai oleh ketajaman lidah pemuda itu.
"Pada titik ini, Chaeyeon bisa mati, Jaehyun-ah. Aku tahu kau tidak bakal tega membunuh sekalipun kemarahanmu terhadap seseorang sudah sampai ubun-ubun. Kau tidak sekejam itu, kan?"
"Berapa kali harus kukatakan padamu," sampul buku latihan ditutupkan keras oleh Jaehyun; matanya berkilatan mengintimidasi dalam keremangan lampu meja, "apa konsekuensi mengenal diriku yang sebenarnya? Kau tidak akan menemui sosok yang kauteladani, hanya seseorang yang patut dimusuhi. Terima kenyataan itu dan jangan paksa aku menjadi seorang malaikat pemaaf dalam khayalanmu."
"Aku tidak mengkhayal," sahut Seokmin; tatapan memohonnya membuat Jaehyun mual. Ekspektasi senantiasa mengaduk isi lambung dalam ketegangan. "Kau yang selama ini kukenal adalah kau yang sesungguhnya, sedangkan kau yang di hadapan Chaeyeon memasang topeng, bukan sebaliknya."
"Kalau kaupikir cukup akrab denganku hingga merasa layak mengucapkan itu, kau salah besar, Lee Seokmin."
"Tidak." Seokmin menyusul Jaehyun berdiri. "Kau mengerti bahwa kebencian itu menyiksamu sendiri, jadi mengapa diteruskan? Kau tidak akan mengkhianati ibumu jika memaafkan Chaeyeon, kok."
"Mudah sekali kau mengatakan itu." Sial, suaraku gemetar. "Kau tidak merasakan apa yang kurasakan."
"Aku menyaksikan ayahku—yang membesarkanku, mengasihiku—meregang nyawa, Jaehyun. Kita sama-sama tidak beruntung." Seokmin mengepalkan tangan di sisi tubuh, pelupuknya tergenang. "Sayangnya, kematian—dengan berbagai sebabnya—bukan salah siapa-siapa."
"—tapi mengapa ibuku? Mengapa bukan ibunya?!"
"Jaehyun—ukh!!!"
Dua telapak Jaehyun melingkari leher Seokmin kuat-kuat. Dengan lengan yang lemah sebelah, Seokmin berusaha memperoleh kembali napasnya: sia-sia.
Jaehyun tidak akan segan-segan membunuh dalam keadaan ini.
"Mengapa bukan ayahmu saja yang mati tergantung begitu, jadi kau dapat merasakan sakit yang persis denganku?"
Seokmin terbelalak, setengahnya karena cekikan Jaehyun, setengahnya karena ucapan si pencekik. Ia tahu Jaehyun sudah menjaga jarak akibat bujukan tiada hentinya untuk berbaikan dengan Chaeyeon, tetapi si Jung tidak pernah seekstrem ini menyatakan kebencian. Jika Jaehyun tidak lagi menahan diri buat menyakitinya, apa artinya ikatan antara mereka telah terputus? Seperti trio fisika dan Junhoe? Juga Yuna dan Chaeyeon?
Aku tidak akan pernah siap untuk putusnya ikatan itu, tetapi janjiku pada Chaeyeon ....
"Jaehyun!!! Hentikan!!!"
Tubuh besar Jaehyun begitu saja terentak oleh sepasang lengan kurus yang harusnya tak cukup kuat. Pandangan Seokmin mengabur ketika ia terbatuk dalam usaha meraup sebanyak-banyak oksigen, tetapi setelah lapang visinya jelas, ia kenali si empunya lengan kurus itu sebagai Sicheng. Dalam kungkungan kawan lamanya itu, Jaehyun mendadak terkendali, lantas terlihat bingung dan ... terpukul?
Sicheng mundur lebih jauh sehingga ia dan Jaehyun berada dalam rentang aman dari Seokmin.
"Seokmin, maaf, tolong biarkan Jaehyun sendiri dulu."
"Tidak! Jangan pergi dulu!" Jaehyun tidak tahu mengapa ia berteriak dan membuat Seokmin makin takut. "Ah, aku—"
"Aku mengerti, Jaehyun." Seokmin memegangi lehernya yang nyeri dan tersenyum getir. "Kita bicarakan ini lain kali. Sicheng, kamu akan menemaninya?"
Sicheng menggeleng lebih cepat dari yang Seokmin harapkan. Kebimbangan yang biasa ia tunjukkan ketika menghadapi masalah besar lenyap sama sekali. Ia seolah sudah terlatih menghadapi situasi semacam ini dibanding Seokmin.
"Kubilang, Jaehyun harus sendirian."
Tentu saja. Sicheng telah cukup lama bersahabat dengan Jaehyun untuk menyelami kedalaman jiwanya. Sicheng paham apa isi palung yang paling tak terjangkau itu, sementara Seokmin—kendati nyaris membunuh demi kembalinya sang ketua kelas ke sekolah—baru menggebah air di pesisir.
"Kekuranganku sangat banyak, Seokmin-ah, tetapi memang hanya sedikit yang tahu. Kekurangan itu dapat mengubah seorang temanku menjadi musuh, saking parahnya."
Aku tidak mau membencimu, gagang pintu diputar, sesakit apa juga rasanya menjadi sahabatmu.
Pintu ditutup dari luar. Jaehyun duduk di ranjang, merasa tak berkepala saking kosongnya pikiran. Sicheng berdiri menghadapnya, berjarak dua ubin.
"Jaehyun, Seokmin mengatakan hal yang benar."
"Aku tidak bersalah," gumam Jaehyun berulang-ulang. "Mengapa semua orang yang mengetahui masalah ini selalu menganggapku bersalah? Kalian semua lebih menyayangi Chaeyeon?"
Jaehyun mendongak. Anak matanya terus bergerak, seolah mencari pembelaan dari orang yang ia tatap ... sungguh seorang bocah manja yang dipenuhi prasangka. Ini bukan pertama kali Sicheng mendapati mimik memelas Jaehyun. Raut inilah yang mengusik Sicheng dahulu sehingga memilih angkat kaki dari rumah Jung Junhyuk—orang tua asuhnya selama di Korea—ke asrama khusus penerima beasiswa. Sicheng tahu Jaehyun serapuh gamping yang digores kuku saja langsung pecah berantakan, makanya ia sementara menjauh: karena ia merasa belum sanggup menjadi sandaran orang yang saban hari disandarinya.
Ah, dosa masa lampau. Sicheng menelan ludah. Ia mencampakkan Jaehyun dengan membela Chaeyeon, tetapi juga melukai Chaeyeon karena tidak menerima pengakuan perasaan gadis itu dua tahun lalu. Lari macam pengecut. Seokmin mungkin sanggup menebuskan dosa itu untuknya. Sicheng akan menyerahkan Jaehyun yang hancur-lebur agar Seokmin satukan nanti, jadi biarlah sekali lagi ia nyatakan apa yang menurutnya benar.
"Chaeyeon tidak pernah memulai masalah, Jaehyun-ah," maaf, Jaehyun, aku tidak pernah bisa memihakmu dalam masalah ini, betapa pun aku menyayangimu, "jadi, minta maaflah."
"Keluar dari kamarku."
Bicara dengan Jaehyun soal Chaeyeon, tamatnya sudah bisa ditebak. Sicheng bungkam dan undur diri, meninggalkan kawan baiknya sendiri dalam ruang tertutup.
Kedua netra Jaehyun yang gelisah melihat seorang wanita tergantung di langit-langit kamar. Suara-suara yang menyalahkan terus berdengung. Mereka—nada-nada sumbang imajiner itu—terdengar seperti Junhoe, Sicheng, dan Seokmin berganti-ganti. Yang mengerikan, suara terakhir adalah suara Yuna.
"Ya, apa semenjijikkan ini ketua kelas yang selalu kujadikan panutan?"[]
typed in phone omg. udh capek ngetik di onedrive formatnya g ikut msk dimari kan apa2an. anyways maaf menggantung kalian selama 2 bln 😣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top