Fallen Angels (3)

Sebelumnya: Mingyu mengambil sewadah pil dan kunci jawaban dari tas Junhoe, lalu keluar kelas. Seokmin merasakan bahaya, apalagi setelah Junhoe menyadari dua benda itu menghilang dari tempatnya. Marah, Junhoe menyeret Seokmin si saksi ke kamar mandi pria. Salah satu bilik tertutup dan seseorang ada di dalam, menertawakan pemuda yang mengamuk di ambang pintu ....

***

"Lalu? Mau melihatku buang air?"

"Keluar sekarang atau—"

"Ah!!!"

Pandangan Seokmin berputar-putar. Ia merosot ke lantai dengan pelipis lecet berdarah usai kepalanya ditumbukkan ke tepian wastafel. Junhoe berhasil menggunakannya sebagai sandera pemancing; Mingyu keluar dengan wajah merah padam, bundel kertas yang sudah robek tak berbentuk dilemparkannya begitu saja ke sisi.

"Berengsek, mati kau!!!"

Seokmin masih berusaha memproses pergumulan yang terjadi di hadapannya seraya meraba-raba lantai. Tergopoh ia memasang kacamata yang tadi sempat melayang. Perkelahian antara sahabatnya dan si berandal semakin tegas terproyeksi pada retinanya. Dengan brutal, Mingyu memojokkan Junhoe ke penyekat bilik dan melesakkan sol sepatunya dalam-dalam ke perut Junhoe, seakan bisa mengaduk organ di sana dengan kakinya. Tak kalah kuat, Junhoe memuntir pergelangan kaki yang berusaha melumat perutnya hingga Mingyu jatuh tertelungkup di lantai. Ia membenturkan kepala Mingyu berulang-ulang.

"Sudah, kalian berdua!" Seokmin mendorong Junhoe, mencoba menghentikannya dari menyakiti Mingyu, tetapi Junhoe malah menangkap tangannya, menekuknya berlawanan arah hingga menimbulkan nyeri luar biasa yang melemahkan Seokmin. Ia mengempaskan Seokmin ke depan bilik yang tadi dibuka Mingyu. Di sekitar kloset dalam bilik itu, berserakan wadah plastik yang tutupnya entah di mana, beberapa butir pil, dan sobekan kertas padat tulisan.

Junhoe lantas menjambak rambut di puncak kepala Seokmin. "Selanjutnya!"

"Jangan!!!" Seokmin menggeleng-geleng cepat, meronta, ketika kepalanya didekatkan ke lubang WC yang masih menyiram. Di sisi-sisi kloset itu, melekat beberapa serpihan kertas yang serupa dengan ceceran di ubin. Tahulah Seokmin bahwa Mingyu membuang kertas-kertas ini—yang kemungkinan merupakan bundel kunci jawaban mirip milik Jacob dulu—beserta obat-obatan yang fungsinya tidak diketahui, dan itulah yang memicu Junhoe bertindak.

"Bagaimana kalau kau saja?"

Mingyu, masih sempoyongan, meraih segenggam rambut Junhoe dan memasukkan kepala itu ke kloset, lalu menekan tuas air dan membuat kepala itu terguyur. Seokmin yang terpeleset ke samping buru-buru bangkit, mengerti betapa bahayanya tindakan tersebut untuk Junhoe.

"Mingyu-ya, berhenti!"

"Minggir!"

Kibasan tangan Mingyu tidak terlalu kuat, hanya untuk menepis cengkeraman Seokmin, jadi si pelerai hanya terentak mundur sedikit. Namun, tangan Mingyu yang lain melemah sehingga Junhoe bisa keluar dari kloset dan meludahkan air yang masuk ke mulutnya ke wajah Mingyu. Ia terbatuk-batuk sebentar. Begitu berhasil bernapas lagi, disambarnya selang air di samping kloset. Logam panjang lentur itu ia lingkarkan ke leher Mingyu, menjerat lawan dengan efektif.

"Skakmat," gelak Junhoe ketika Mingyu megap-megap. "Membusuklah, Bajingan."

"Heh, ternyata kau—uhuk—masih peduli pada omong kosong ini .... Kunci jawaban? Obat? Sialan." Mingyu tersenyum meremehkan, padahal nyawanya berada di ujung tanduk. "Kau tidak sanggup menang bersih dariku, huh?"

Junhoe mengeratkan belitan dan tubuh Mingyu mengejang dalam usaha sia-sia untuk melepaskan diri. Senang melihat lawannya menderita, si kepala api memanggil dengan nada bermain-main.

"Sudah sekarat, belum?"

"Goo Junhoe!" Entah sudah berapa kali Seokmin bangkit dan meneriaki penyerang. Rasanya letih dan pening sekali. Ia mengerahkan sisa tenaga ke ujung telapak tangannya untuk melonggarkan ikatan di leher Mingyu yang mulai lemas. "Dia sudah sekarat, tolong—ukh—lepaskan! Kau akan dipenjara karena membunuhnya!"

"Persetan. Aku sudah masuk penjara anak berkali-kali, tetapi dia ini belum pernah mencoba ke neraka, kan? Akan kuantarkan dia ke sana!"

Kaki Mingyu melunglai, tidak sanggup lagi menahan berat tubuhnya sehingga ia jatuh berlutut, menarik Junhoe sedikit ke bawah. Saat itulah, anak mata Junhoe turun sesuai arah raganya tertarik. Celah ini dimanfaatkan Seokmin untuk menyikut Junhoe sekeras mungkin, dua kali, secara tidak terduga. Selang mengendur, Junhoe mengerang kesakitan, dan Seokmin berusaha melarikan Mingyu yang nyaris pingsan.

"Kita belum selesai!"

Masih tertatih-tatih, Mingyu didorong hingga jatuh pada punggungnya. Junhoe meninjunya, tetapi sebelum serangan ketiga dituntaskan, Mingyu berhasil memiringkan kepala sedikit untuk menghindar dan melayangkan bogem ke ulu hati Junhoe. Dengan telak, serangan balasan ini menghentikan napas Junhoe beberapa saat, membuatnya bahkan tak bisa mengerang, dan Mingyu menyingkirkan si pemuda Goo dari atas tubuhnya untuk melanjutkan serangan berikutnya. Tahu dirinya tak punya cukup waktu, Junhoe terpaksa mengambil segumpal napas yang menyakitkan sebelum menepis pukulan dan menyerang balik.

"Hentikan."

Tinju Mingyu dan Junhoe sama-sama tidak mengenai sasaran lantaran sepasang tangan telah menggenggam pergelangan mereka dengan sangat kuat. Seokmin tak bisa merasa lebih lega lagi.

"Jaehyun-ah!"

"Pergilah, Kunyuk! Ini bukan urusanmu!" sergah Junhoe.

"Tentu urusanku, juga urusan Yuna." Jaehyun mengangkat kedua tangan dalam genggamnya setelah terlebih dulu mengunci sendi mereka. Mingyu—yang sadar bahwa poin pengurus kelasnya akan langsung minus jika guru menangkap mereka lebih dulu—langsung diam, menyesal. Junhoe diam hanya karena rasa sakit yang tajam di ulu hatinya belum hilang.

"Aku akan melaporkan kalian," putus Jaehyun cepat, lalu menatap Seokmin. "Teman, aku yakin kau cuma tak sengaja terlibat. Kau bisa memberikan kesaksian lebih dulu nanti, lalu pergilah ke klinik. Lukamu buruk sekali."

Seokmin mengusap tepian bibirnya yang robek. "Tidak masalah. Yuna harus diberitahu juga, kan?"

"Ya. Tolong telepon dia dan katakan untuk segera menyusul ke ruang guru. Terima kasih."

"Baik."

"Ha, kau dapat pesuruh baru sekarang?" Di ambang napasnya, Junhoe tidak kehabisan kata-kata untuk mengejek Jaehyun. "Setelah ini, kau akan melaporkankanku untuk mendapat poin tambahan, kan? Wah, kau benar-benar tidak berubah, Kunyuk Sialan! Kapan kau berhenti membunuh tanpa mengotori tanganmu?"

"Jangan bicara lagi. Keadaanmu akan bertambah buruk." Berucap lembut seraya tersenyum, Jaehyun mengeratkan kepalannya di sekitar pergelangan Junhoe tanpa sepengetahuan dua orang lain di ruangan tersebut. Sekilas, diliriknya Seokmin yang baru menutup telepon.

Dia tidak akan dengar apa yang Junhoe katakan.

Yuna lebih dulu tiba di depan ruang guru ketimbang para siswa. Ia menghela napas dalam, berharap guru-guru konsisten dengan tambahan poin pasca pelaporan pelanggaran. "Mengapa kalian melakukan ini lagi, sih?" tanya gadis itu lirih tanpa mengharap jawaban, pelupuk matanya tergenang, dan Jaehyun berusaha tidak terpengaruh walaupun sulit benar. Yuna pasti takut dikeluarkan demikian dini, tetapi Jaehyun pastikan itu tidak akan terjadi.

Cara ini memang kotor, sayangnya cuma ini jalan untuk menyelamatkan diri.

Di dalam, Jaehyun melapor, sementara Yuna hanya menyetujui dan mengulang keterangan yang sudah Jaehyun berikan agar ia tampak mengerti kejadiannya, padahal tidak. Sang ketua kelas juga mengubah sedikit cerita, mengatakan bahwa sumber konflik adalah lembar kerja fisika Junhoe yang Mingyu robek-robek; tidak ada pil maupun kunci jawaban dalam versi ini. Mingyu nyaris meledak karena ia jadi terkesan paling bersalah, tetapi Seokmin di sebelahnya melempar tatapan memohon—dan Mingyu mendengus.

"Ya, saya marah karena Goo Junhoe menyalin pekerjaan saya tanpa izin," karang si pemuda jangkung malas, mengikuti skenario Jaehyun. Junhoe di sebelahnya terpingkal, lalu mengacungkan jari tengahnya.

"Untuk semua penipu di ruangan ini!"

"Goo Junhoe," tegur Yuna lelah, "menyelesaikan tugas tanpa menggunakan otakmu sendiri telah menurunkan level permainanmu di kelas ini. Bagus Jaehyun melaporkanmu saat mengerjakan tugas. Kau tak akan mampu mengacungkan jari itu pada kami jika kau tertangkap dengan kunci jawaban."

Jaehyun tidak percaya sindiran seprovokatif ini dilayangkan Yuna pada si kepala api. Sebelum sempat melakukan sesuatu, Junhoe sudah dicegat oleh Guru Jang dengan serangkaian keterangan mengenai pemotongan poin dan tugas hukuman. Poin Mingyu dipotong lima belas karena berkelahi, poin Junhoe dipotong sepuluh lebih banyak akibat tidak jujur mengerjakan tugas, lalu begitu orang-orang yang terluka tadi keluar ruang guru, Jaehyun dan Yuna memperoleh tambahan 45 poin kedisiplinan.

Ketika Jaehyun dan Yuna keluar, Mingyu ternyata masih menunggu di depan ruang guru.

"Pergilah ke klinik," ucap Yuna, ekspresinya sulit ditebak.

"Nanti. Aku harus bicara dengan Jaehyun."

"O, oke. Setelah itu, segeralah ke klinik dan obati luka-lukamu. Seokmin dan Goo Junhoe sudah ke sana, kan?"

"Mungkin."

Yuna lantas berbalik dan berjalan ke arah klinik tanpa berpaling kembali pada dua lelaki yang ia tinggalkan. Langkahnya sedikit mengentak, jelas betul mood-nya rusak oleh insiden ini. Usai mengawasi Yuna sebentar, Jaehyun menoleh pada si pentolan klub fisika. Mingyu mengajaknya bicara dekat toilet pria, memastikan tidak ada orang di sekeliling mereka, lalu berbisik rendah dengan alis bertaut.

"Jaga teman baikmu itu, Jung Jaehyun. Hari ini kunci jawaban dan obat terlarang, besok entah apa lagi. Ia membahayakan."

"Bukankah dia juga sahabatmu?" Senyum Jaehyun masih seramah dan sehangat sebelumnya, tetapi Mingyu mengartikannya berbeda. "Dia punya alasan. Kita hanya tidak mengizinkan dia bicara banyak mengenai itu."

"Tak ada yang perlu dia paparkan. Kejahatannya sudah sangat jelas."

"Kita sama-sama tidak tahu perasaannya, lalu ketidaktahuan ini akan merusak Junhoe sebelum ia sempat merusakkan orang lain. Aku hanya akan menyalahkan diriku, tentu saja, karena Kim Mingyu tidak pernah salah kalau soal Goo Junhoe."

Mingyu mengertakkan gigi. Jaehyun menyilangkan lengan dan bersandar ke dinding. "Kupikir kita seide. Kau menurutiku untuk menyebut lembar kerja fisika sehingga Junhoe tidak jadi terdepak seperti Jacob Bae."

"Apa kau mau bilang aku masih peduli padanya?" Mingyu tersenyum miring. "Goo Junhoe tidak lebih dari sampah untukku."

Menggulirkan matanya ke samping dan memipihkan kurva bibirnya, Jaehyun seakan bilang 'terserah'. Mingyu pun beranjak dengan jengkel menuju ruang ganti pria, mencari ganti seragamnya yang basah. Tepat setelahnya, Seokmin keluar dari kamar mandi. Luka-lukanya lebih bersih dari darah sekarang.

"Mingyu ... masih saja."

"Kamu menguping?"

"T-Tidak sengaja. Aku baru saja membuang—lembar kerja Goo Junhoe." Seokmin menyekat lidahnya dari bicara kelewat jujur. "Dan, beberapa benda kuning di lantai."

"Itu menjijikkan," gurau Jaehyun; ia tahu sebenarnya benda kuning apa yang pemuda berkacamata itu maksud. Seokmin—yang menghilangkan barang bukti sebelum guru berinisiatif menyelidiki kasus ini—sangat membantu. Jaehyun tidak pernah sebersyukur sekarang memiliki sahabat. Rasanya lebih menyenangkan setelah Mingyu mengingatkannya soal sebuah ikatan lama yang telah putus.

Dengan Junhoe.

"Kamu juga cuci muka? Bagus. Guru Jo akan lebih mudah mengobatimu."

***

Jung Jaehyun: Kau bukan Jacob Bae. Aku tahu kau tidak pernah menggunakan kunci jawaban untuk ujian yang sangat mudah kauselesaikan. Jadi, ada apa?

Jung Jaehyun: Pil apa yang Mingyu buang tadi? Aku tidak akan sembarangan menganggapnya obat terlarang. Apa kau sakit?

Jung Jaehyun: Kalau kau memakai kunci jawaban itu sebagai rencana B karena kau terlalu sakit untuk menghadapi evaluasi bulan ini, kurasa aku bisa sedikit mengerti.

Jung Jaehyun: Maaf tidak bisa mencegah Mingyu memotong banyak poinmu. Ia mengarang alasan yang bagus untuk menutupi perkara sebenarnya.

Jung Jaehyun: Mengenai alasanmu minum pil, jangan-jangan, suara itu kembali lagi?

"Bangsat!"

Ponsel dibanting ke dinding kamar. Layar gawai itu retak, lensa kameranya bergeser, dan kasingnya hampir terlepas, tetapi pemiliknya yang berbaring dengan seragam tak rapi tampak abai.

Notifikasi beruntun pada ponsel membuat kepala Junhoe makin berdenyut nyeri. Segala hal di sekolah berjalan buruk untuknya. Jaehyun pun tidak memperbaiki keadaan dengan pesan-pesan sok manis itu. Seorang Jung tidak akan berubah, bukan: melancarkan omong kosong untuk menutupi kelicikan mereka? Ya, siapa saja yang menghalangi seorang Jung meraih keinginan akan disingkirkan dengan sangat halus, lalu dengan bumbu tipuan, semua simpati akan meninggalkan orang yang disingkirkan.

Lebih lanjut, si polos Lee Seokmin kalau bertemu Jaehyun sudah seperti kerbau dicocok hidungnya. Menyusahkan, apalagi Mingyu tidak sungkan menyeruduk jika kawan mata empatnya disakiti. Selain itu, Jungkook akan selamanya menganggap Junhoe bajingan tengik pembunuh—dan pertempuran ini menjadi sangat timpang.

3-E bukan medan perang prestasi saja. Ada permainan psikologi yang kotor di sana dan Junhoe benci mengakui dirinya telah terpojok.

"Tuan Muda ...."

"Apa?!" bentak Junhoe pada perempuan malang berseragam pelayan yang gemetar di depan kamarnya.

"Ada telepon dari Tuan Muda Wang Yibo .... Katanya penting."

Berdecak malas, Junhoe bangkit dari tempat tidur dan meraih telepon rumahnya. Sempat ia berpikir, apakah segalanya tampak lebih buruk dari seharusnya karena ketiadaan Yibo di jajaran delapan besar? Konyol. Ia sudah lama skeptis akan kekuatan persahabatan atau hal-hal cengeng semacam itu.

"Aku sudah dengar semua dari Kunpimook. Jangan bunuh diri. Tunggu aku di sana. Lorazepam atau metilfenidat?"

"Siapa yang mau bunuh diri? Bawakan lorazepam, Bodoh. Cepatlah, kepalaku mau pecah." 

***

di sini ada yg juga penulis kan? kalian pernah ngerasain jengkelnya digigitin plot bunny? itu lho, kalo misalnya kalian lagi fokus ke satu project tiba2 ada ide lain yg mampir dan minta ditulis bgt, sehingga membuat minat ke project sekarang menghilang .... disaster. aku merasakannya sekarang. hope i can kick that plot bunny aside and finish this!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top