Eye of The Storm (1)

Sebelumnya: Dalam pencarian yang tidak membuahkan apa pun, Mingyu, Junhoe, dan Jungkook merenungi kembali apa arti satu sama lain, juga Yuna, bagi hubungan mereka sebagai tim fisika. Sementara itu, Jaehyun dan Seokmin mengikuti petunjuk yang kemungkinan besar akan membawa mereka pada Yuna!

***

Sebentar lagi musim gugur. Pohon-pohon bunga ceri sepanjang jalan menuju Seoul Global High akan segera menjelma ranting-ranting tak berwarna. Yuna memandangi jalur yang tinggal menunggu gersang itu dari pos keamanan sekolah sejak pertama tiba di sini, dua jam lalu. Ia terus diam karena bingung akan keinginannya, pada gilirannya juga membingungkan petugas keamanan sekolah yang menemukannya.

Ketika Yuna terpincang-pincang mendekati gerbang sekolah untuk melihat keluar, ibunya menelepon.

"Teman-temanmu pasti khawatir, Putriku. Jika belum mau kembali, setidaknya beritahu mereka kau baik-baik saja."

Tangan Yuna yang memegangi gerbang mengepal, sementara satu lagi menahan ponsel di telinga. "Eomma, jangan sekarang, kumohon .... Aku akan siap bicara dengan mereka jika sudah waktunya."

"Bukannya Eomma memburu-burumu, tetapi kasihan teman-temanmu."

"Eomma tidak mengasihaniku?" Nada Yuna meninggi, mendenyutkan nyeri di pergelangan kaki kirinya sampai ia memicing. "Mereka tidak sanggup mewujudkan keinginan sederhanaku untuk memiliki kelas yang utuh, padahal aku sudah jungkir balik demi mereka. Aku bahkan mengubah diriku menjadi orang kesayangan mereka, tetapi semuanya masih sama! Sekarang, siapa sebenarnya yang korban menurut Eomma?"

Tubuh Yuna merosot hingga setengah terduduk di tanah. Ponselnya tergelincir dari tangan dan tak sengaja padam ketika membentur jeruji gerbang.

"Tadi ibumu?"

Yuna mengangguk lemah ketika petugas keamanan menanyainya, kemudian mengantarkannya masuk pos lagi. Pria yang cuma lebih tua sedikit dari ayah Yuna itu membersihkan ponsel si gadis menggunakan ujung kemeja sebelum mengembalikannya.

"Terima kasih, Pak Kwak," senyum Yuna lesu. "Sekarang—sekarang jam berapa?"

"Jam delapan kurang lima menit." Pak Kwak—si petugas keamanan—mendesah cemas. "Nak, pulanglah. Udara semakin dingin dan malam sudah larut. Bukankah kau harus mengikuti evaluasi bulanan besok?"

'Teman-teman'-kah 3-E jika beberapa di antara mereka tidak termaafkan? Ingin Yuna memekarkan kekecewaannya, tetapi sesisi dirinya menolak. Benar bahwa mereka semua tak termaafkan, baik yang sibuk dengan masalahnya sendiri—hingga melupakan Yuna yang menginginkan perdamaian—maupun yang tak mencegah Yuna menyerap segala emosi buruk. Namun, betapapun menguras tenaga, ia mesti memutus lingkaran setan kebencian ini di satu titik, bukan malah melanjutkannya.

"Benar, besok evaluasi." Dehidrasi karena menangis seharian—di depan ibunya, di taman dekat vila, dan sekarang di pos keamanan—Yuna akhirnya menandaskan teh dingin—yang aslinya disediakan hangat oleh Pak Kwak tadi. "Benar, harus cepat kembali biar Junhoe menang taruhan. Biar kami berlima belas bisa tetap bersekolah sama-sama. Biarkan aku minum dulu, Pak Kwak, lalu aku akan menelepon. Ah, jangan, kirim pesan saja. Ya, kirim pesan."

Yuna mengatakan ini karena sudah menghubungi vila. Yiyang yang mengangkat, tetapi lidah Yuna dikelukan kepedihan sehingga ia cuma tersedu putus asa sebelum memutus sambungan dari pos keamanan. Ketika Yiyang menghubungi balik, ia malah meminta Pak Kwak menutupnya, lalu meragukan kewarasannya sendiri.

Mungkin Yuna sudah kehilangan akal sehatnya saat membelokkan sepeda dari taman terus ke selatan GS25, membatalkan niatnya kembali ke vila yang sempat mengemuka. Lebih jauh, ide untuk kabur dari teman-teman yang menjejalinya kebencian sudah terlintas sejak rencananya menyerupakan diri dengan Nyonya Jung dan Yugyeom gagal total. Karena itulah, dia meminjam sepeda Jaehyun dengan alasan membeli keripik kentang. Ajakan ibunya yang di luar rencana lumayan membantunya kabur.

"Choi Yuna-yang, kamu tidak perlu memaksakan diri bersaksi. Satu wakil lagi dari 3-E pun cukup; kami bisa mengambil Kim Mingyu, misalnya."

"Benar, Nak. Kamu terlihat kurang sehat. Kalau ada sesuatu di vila—"

"Tidak ada apa-apa, Tuan Jung, Bibi Yoon, sungguh. Terima kasih atas perhatiannya."

Bukan cuma ibu Yuna, ayah Jaehyun dan ibu Mingyu—yang baru kali ini muncul dan ternyata seorang pengacara—hadir pula di kafe untuk membicarakan kasus ini. Ibu Yuna rupanya meminta putrinya sementara dilepaskan dari urusan ini, menyikapi telepon-telepon distres Yuna belakangan, dan perwakilan orang tua dari murid-murid yang paling 'bermasalah' mencoba menengahi. Namun, semakin besar kebencian itu, semakin ingin Yuna memendamnya. Siapa yang tahu bagaimana orang tua Jaehyun dan Mingyu akan bersikap? Yuna masih ingat bagaimana ayah Junhoe mengirim orang-orang berbadan besar demi menyeret Junhoe keluar vila.

Kalau sampai mereka memarahi putra-putri mereka karena aku—

Ternyata, Yuna tak bisa betul-betul mengabaikan 3-E dan jadi frustrasi. Bahkan bisikan ibunya sebelum pulang ('abaikan teman-temanmu sebentar dan kamu akan membaik, percayalah') cuma singgah sebentar di telinga. Setelah diturunkan di GS25 tempatnya memarkir sepeda Jaehyun, ia sempat mengayuh pulang, tetapi berhenti di taman dan menumpahkan kemarahannya ke berlembar-lembar tisu. Akhirnya, ia memutar ke arah berlawanan lantaran tak ingin melihat satu pun wajah siswa 3-E yang membuatnya jengkel.

Perjalanan putus asa Yuna tahu-tahu berakhir di sekolah. Ia bersepeda sendiri di bawah naungan pohon-pohon sakura. Kenangannya saat dibonceng Jaehyun dahulu jadi menyesakkan karena optimismenya tidak lagi seutuh hari itu. Senada dengan patah hatinya, rantai sepeda pun terputus di depan gerbang sekolah. Ia jatuh miring, kakinya terkilir, dan baterai ponselnya miris, tetapi beruntung tak ada siswa kelas reguler yang masih tinggal dan memergokinya.

Oh, benar. Cuma 3-E yang biasa menghuni sudut Seoul Global High yang tersembunyi sampai begini malam, bukan?

"Bukan maksudku mengusirmu," ujar Pak Kwak lembut, "tetapi kembalilah ke tempatmu menginap sebelumnya; kau bilang vila di Hannam? Mintalah dijemput, lalu langsung beristirahatlah tanpa menemui teman-temanmu—jika kau sebegitu takutnya menyakiti mereka."

Yuna mengangguk sekali. Itulah yang paling baik dilakukan, maka dengan gemetar, dipencetnya tombol daya ponsel. Aneh, benda itu tak kunjung menyala. Dicobanya melepas-tekan tombol daya, tetapi gawainya membandel.

"Tidak." Yuna melotot ketakutan. "Pak Kwak, ada charger?"

Alat pengisi daya dicolokkan ke ponsel. Indikator pengisi daya yang biasanya berkedip-kedip sama sekali tak merespons.

Di saat seperti ini?! Jantung Yuna berdebar-debar. Tidak, Tuhan, kumohon, maafkan aku! Aku, aku besok akan ujian! Tolong izinkan aku menyelesaikan semuanya dengan teman-teman agar tenang!

"Tidak mau menyala? Rusakkah?" Pak Kwak mengecek lubang kabel charger pada ponsel Yuna—dan kebingungan sendiri karena ponsel Yuna lebih mutakhir dibanding miliknya. "Jangan panik, Nak. Kamu bisa menelepon vila tadi, kan?"

Tanpa berpikir panjang, Yuna menghadap meja telepon, lalu menekan angka-angka. Ia sampai harus menekan tombol reset dua kali karena keliru memencet. Sialnya, ketika telepon berdering, pikiran Yuna mengalut. Apa yang harus dia katakan? Dia yang sudah mengirimkan pesan beracun di grup obrolan sampai keluar dengan tidak sopannya, pantaskah mengemis-ngemis bantuan? Kalau ia meminta maaf, akankah 3-E memaafkan setelah ia menambah rasa sakit mereka?

Sedetik, sepuluh detik, tiga puluh ....

"Tidak diangkat." Yuna meletakkan gagang telepon; tangannya melembap dan dingin. "Mereka pasti tahu aku yang menelepon. Pak Kwak, mereka tidak mau mengangkat teleponku ...."

"Pasti mereka hanya tidak mendengarnya."

Yuna menggeleng-geleng, air mata membasahi lagi jalur tangis yang mulai mengering. Ia teringat perseteruan-perseteruan besar di kelasnya. Betapapun kecil kesalahan dapat memutus ikatan yang seolah selamanya—dan setitik kebenciannya adalah kesalahan itu. Yuna sudah kehilangan Eunbi karena kecurangan sekolah; apakah 3-E akan meninggalkannya juga?

"Permisi!"

Tunggu. Siapa yang memanggil itu? Yuna menoleh ke arah gerbang, tetapi tak terlihat apa pun dari sudutnya. Di lain pihak, Pak Kwak tampaknya melihat beberapa orang, maka ia membukakan gerbang. Sebentar kemudian, beberapa orang diajak masuk. Sayang, penglihatan Yuna mengabur hingga mesti memicing untuk memastikan identitas mereka.

"Yuna!"

Namun, rungu Yuna lebih cepat; jerit melengking seorang gadis membuatnya mengenali siapa sosok-sosok yang barusan melewati gerbang.

"Chaeyeon!" Yuna tersenyum lebar sampai bibirnya sakit. Ia mulai mengenali pula sosok-sosok tinggi di belakang si pemanggil, maka ia mengambil langkah pertama menuju mereka. "Seokmin! Jaehyun—ah!"

Saking bahagianya, Yuna melupakan pergelangan kaki kirinya yang terkilir. Denyutan tajam menyandung dan ia memekik keras sebelum terjerembap di muka pos keamanan. Orang-orang terlalu jauh dari jangkauannya. Sakit di tubuhnya bertambah, tetapi bahkan rasa sakit itu tidak meredupkan buncah kegembiraannya sekarang. Isaknya melantang tepat ketika seseorang membantunya bangkit.

Semula memegangi tangan dan bahu Yuna, Chaeyeon yang menggigil kemudian menangkup wajah sahabatnya.

"Maaf .... Maafkan aku, Yuna ...."

Serta-merta Yuna memeluk si dara kurus. Rasanya sungguh berbeda dari dekapan-dekapan mereka dulu, ketika Chaeyeon masih membohonginya, ketika ia masih memercayai seluruh kata-kata Chaeyeon, dan—setelah melalui liburan musim panas—memaksakan diri mengasihi di tengah kelelahan. Yuna ingin membenci Chaeyeon, tetapi tak sanggup; tidak ketika perasaannya dibalas nona Jung yang belakangan menutup diri itu.

"Maafkan aku juga, Chaeyeon-ie ...."

Anak mata Yuna bergeser naik. Dipandanginya pemuda-pemuda yang berdiri dekat mereka. Pelupuk mata Seokmin telah tergenang meskipun ia tersenyum, sedangkan Jaehyun hanya mengangguk saat tatapan mereka bersirobok. Ya Tuhan. Mereka kesusahan karenanya. Mereka terluka—dan Yuna malah egois ingin menyelamatkan kekecewaannya saja.

Pribadi Yuna memang sempat hilang karena 'memutar balik waktu'. Dia memang kecewa ketika ujungnya tak dapat memperbaiki apa pun. Namun, penderitaannya kini hanya disebabkan pemikiran buruknya sendiri.

"Seokmin, Jaehyun, maafkan aku." Yuna tergugu. "Maaf telah menyalahkan kalian untuk lukaku ...."

"Tidak apa-apa, Yuna," geleng Seokmin seraya menolong kedua gadis dan membendung dukanya. "Maafkan kami semua pula karena menyakitimu tanpa sadar."

Yuna akan limbung karena nyeri pergelangan kakinya kambuh andai Jaehyun tidak sigap menyangga tubuhnya. Dari dekat, jelas bahwa napas Jaehyun juga memberat. Netra mereka saling mengunci selama beberapa waktu sebelum Jaehyun berbisik goyah.

"Walaupun kami tak pantas menerima perasaan murnimu, terima kasih, Yuna. Terima kasih untuk tidak pernah membenci. Terima kasih telah mengajari kami."

***

Kejadian berikutnya tidak Yuna perhatikan mendetail. Ia terlalu sibuk menjaga tubuh Chaeyeon yang sudah di ambang pingsan agar tetap hangat. Tahu-tahu, mobil datang dan mereka berempat naik ke sana setelah berpamitan (dan meminta maaf) pada Pak Kwak. Yuna ingat Jaehyun menelepon ke beberapa nomor dalam mobil, tetapi tidak ingat siapa itu atau apa yang dibicarakan.

"Yuna!"

"Choi Yuna ...."

"Syukurlah kau baik-baik saja!"

Begitu masuk vila, Yuna yang pikirannya masih mengambang mulai mengabsen. Sujeong yang bermata bengkak langsung memeluknya dan Chaeyeon, lalu membimbing mereka duduk di sofa ruang tamu. Yiyang mengambilkan dua gelas air untuk mereka sambil mengoceh sengau ('aku tahu kau yang menelepon tadi!'). Mina membawakan makan malam yang dihangatkan, sedangkan Lisa bolak-balik bertanya cemas apa yang terjadi pada pergelangan kaki kiri Yuna.

Sicheng berjalan ke meja telepon setelah menawarkan bantuan untuk menghubungi dokter keluarga Jung. Mingyu dan Pimook sesekali menatap iba kedua gadis sebelum menanyai para pemuda tentang apa yang terjadi. Namun, Seokmin memegangi kepalanya, maka Minghao membawanya menjauhi ruang tamu. Yuna hafal; itu tanda Seokmin akan kejang, mungkin karena kelelahan.

Yuna menggigit bibir bawahnya.

Kalau kejang malam ini, Seokmin bisa saja kesulitan mengerjakan evaluasi bulanan ... karenaku ....

Junhoe, Jungkook, dan Yibo masuk terakhir ke ruang tamu. Kecuali Yibo yang menawarkan bantuannya pada para gadis, dua pemuda yang bermusuhan itu mematung rikuh di ambang ruangan. Tidak lagi nyalang atau terluka seperti dulu di awal pertemuan mereka kembali, Jungkook murni memandang Yuna dengan rasa bersalah. Sementara itu, Junhoe hanya sebentar menatapnya dan lebih lama menatap Jaehyun.

Lima belas orang. Ternyata, 3-E dapat berada di satu ruangan yang sama tanpa bertukar aura permusuhan. Yuna tak mengira hari seperti ini akan datang juga.

Dokter keluarga Jung langsung sibuk tatkala memasuki vila. Dengan bantuan para siswa, ia menyemprotkan antinyeri ke pergelangan kaki Yuna, lalu memberikan obat dan beberapa saran perawatan. Setelah diperiksa, Chaeyeon diberikan strip suplemen untuk memperbaiki stamina, juga satu tablet obat untuk membantunya tidur malam ini. Sang dokter kemudian masuk kamar Seokmin, sebentar kemudian keluar lagi, diikuti si sakit yang dipapah Minghao dalam keadaan seperti mabuk. Rupanya, ia hanya memastikan kejang Seokmin tidak berat dan meyakinkannya untuk tetap minum obat rutin serta mengendalikan stres.

Di ambang pintu ruang tamu, sang dokter bicara cukup banyak pada Jaehyun yang punggungnya sedikit membungkuk. Punggung yang biasanya tegap itu menyembunyikan perasaan yang tak bisa Yuna lihat, tetapi sang dokter bisa. Dokter itu menepuk-nepuk bahu si pemuda simpatik. Jaehyun membungkuk hormat dan mengantarkan sang dokter ke kendaraannya.

Yuna baru membuka mulut ketika Jaehyun menutup pintu ruang tamu dari dalam. Si pemuda tersenyum saat menyadari mangkok nasi Yuna telah kosong, lalu duduk bersila dekat kaki sofa dan mengabsen kepala-kepala di ruangan dengan lantang.

"Xu Minghao, Lee Seokmin, Dong Sicheng, Kunpimook Bhuwakul, Goo Junhoe, Jeon Jungkook, Kim Mingyu, Wang Yibo," lalu para gadis, "Xu Yiyang, Lalisa Manoban, Myoui Mina, Ryu Sujeong," termasuk yang terdekat dengannya, "Jung Chaeyeon, Choi Yuna," dan tangannya terakhir mendarat ke dadanya sendiri, "Jung Jaehyun. Bagus. Untuk pertama dan terakhir kalinya dalam sejarah Seoul Global High, 3-E memiliki formasi masuk dan keluar yang sama."

Leher Yuna mengkal sekali rasanya.

"Tapi, kita tak akan keluar sebagai orang yang sama. Seokmin punya luka bakar dan epilepsi. Junhoe masih perlu diterapi untuk kecanduannya, dan ingatan-ingatan buruk dari para guru akan terus terpatri di benak kita." Jaehyun berpaling pada Yuna. "Lalu, kau, Choi Yuna, akhirnya merasakan pula kebencian." []

jangan lupa baca cerita-ceritaku yang lain di linktree di bio ya! terima kasih untuk semua yg support!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top