Detonate! (3)
Sebelumnya: Seokmin, Chaeyeon, dan Mingyu nyaris mencapai kesepakatan dengan Kepala Sekolah Park mengenai penghapusan sistem 3-E, tetapi Guru Woo menyerang dan Seokmin jadi meradang! Ledakan di atap memancing kekhawatiran semua orang. Apakah Seokmin, Chaeyeon, dan Mingyu selamat?
***
"Uhuk!"
Jaehyun menekan tombol siram pada kloset. Mengira akan muntah cukup banyak, rasa mual hebat yang ditimbulkan bau karbol rumah sakit rupanya cuma memicu segumpal ludah dan asam lambung encer keluar, tidak lebih. Ia keluar dari bilik toilet dengan sisa rasa tidak nyaman di ulu hati, lalu berkumur di wastafel. Mengusap mulut yang basah menggunakan lengan bawah, Jaehyun mengamati betapa kelabu parasnya. Dalam keadaan biasa, kulit si pemuda Jung sudah lebih pucat dari kebanyakan remaja seusianya, apalagi setelah tidak makan dan minum kurang lebih 18 jam. Ia memang bangun kesiangan hari ini dan tidak sempat sarapan lantaran ponselnya dinyalakan notifikasi 'beracun' grup obrolan 3-E pada pukul sepuluh seperempat.
Siang, ya.
Dulu juga—
"Huk!"
Senantiasa beranggapan traumanya pada rumah sakit sudah hilang lama, nyatanya sejak membesuk Junhoe, kenangan tidak menyenangkan itu merundungnya lagi.
Jangan diingat-ingat. Jaehyun membekap mulutnya sendiri, mencegah diri muntah dua kali. Aku sudah tidak lagi mengantar Eomma. Lagi pula, ada Yuna di luar ....
O, ya, Yuna.
Segera Jaehyun mencuci tangan dan keluar dari kamar mandi pria. Ia menghampiri Yuna yang sedang menenangkan dua siswa SMP berseragam sama, satu laki satu perempuan. Di sebelah gadis itu, Minghao yang baru selesai menghubungi seseorang mencoba membantu Yuna menangani kecemasan putra-putri Lee. Kasihan bocah-bocah ini. Mereka sedang belajar seperti biasa di sekolah ketika Yuna menelepon Gahyun—berhubung cuma nomor adik Seokmin ini yang ia simpan—dan mengabarkan soal masuknya Seokmin—lagi—ke rumah sakit. Dua anak tersebut langsung mohon izin tidak mengikuti pelajaran untuk menemui ibu mereka—yang tidak punya ponsel—ke kedai tempatnya bekerja, lalu pergi ke rumah sakit dengan pikiran yang kalut. Saat ini, mereka berada di luar unit gawat darurat, sementara ibu mereka mendampingi si sulung.
"Yuna-eonni, Minghao-oppa," Gahyun terisak-isak, "bagaimana—bagaimana kalau Seokmin-oppa meninggal?"
"Gahyun-a, jangan cengeng!" marah Chan dengan mata berkaca-kaca, tetapi ia pantang menangis seperti kembarannya. "Kau cuma bikin repot Noona dan Hyeong kalau terus mencemaskan hal yang tidak terjadi! Seokmin-hyeong baik-baik saja!"
"Benar, semua orang sedang berusaha menolong oppa-mu." Yuna mengusap lembut bahu adik perempuan Seokmin. "Tidak ada bagian tubuh yang terluka selain lengannya, kok. Sekarang, dia masih belum bangun karena sangat kesakitan, tetapi setelah lukanya dirawat, pasti tidak apa-apa."
"Lagi pula, kalau oppa kalian segampang itu meninggal, pasti dia sudah lama meninggalkan kita—AW! Ish, sialan, sakit, tahu! Apa yang kubilang itu benar, kok! Park Haesoo itu pembunuh!"
Yuna menghadiahi cubitan yang dipelintir di pinggang Minghao untuk kata-kata ceroboh barusan. "Sudah tahu ada orang sedih. Hibur sedikit, kek!" desisnya. "Kau sudah menghubungi ayah Mingyu?"
"Ayah Mingyu di luar jangkauan. Selalu," decak Minghao. "Aku menghubungi kepala pelayannya. Ia harusnya sudah dalam perjalanan kemari."
"Bagus!"
Minghao tersentak ketika ia didorong menuju pintu keluar oleh Yuna. "Ya, apa-apaan—"
"Chan-ah, Gahyunie, ikut orang menyebalkan ini cari makanan dulu, ya. Kalian pasti lapar, kan?" ujar si gadis Choi dengan senyuman. Satu tangannya masih di punggung Minghao, sementara tangan lain menggenggamkan tiga lembar won ke telapak Gahyun. "Pakai saja uang ini. Aku dan Jaehyun belum sarapan, jadi tolong belikan kami juga. Terima kasih dan maaf merepotkan."
Meski terpaksa, akhirnya si kurus berlalu juga bersama anak-anak yang tiba-tiba berada di bawah pengasuhannya. Barulah setelah mereka menghilang di balik pintu keluar, Yuna ambruk ke kursi ruang tunggu. Setetes air mata mengalir turun di pipi dan Jaehyun tak bisa tak menyeka lelehan itu.
"Pasti kau lelah sekali, kan?"
"Kau juga." Yuna ingin tersenyum biar sedikit, sayang ia kehabisan energi. "Duduklah."
Menarik telapaknya dari pipi tirus itu, Jaehyun lantas mengambil tempat di sebelahnya. Mereka terdiam, menyimpan stamina selagi merunut apa yang sebenarnya terjadi saat terdengar ledakan dari atas—menurut penuturan seorang guru yang berada di atap.
Pemantik buatan Mingyu rupanya tidak hanya dapat berfungsi sebagai penyemprot api. Seokmin menambahkan sentuhannya pada kaleng yang Mingyu bawa ke atap, berupa sebuah katup istimewa. Katup itu akan menyumbat lubang keluar gas penyemprot sekaligus memutar roda logam kecil—yang akan menyulut api jika dijentikkan—ke sebelah dalam botol. Hasilnya, api akan terbentuk di sebelah dalam, membakar cairan aerosol menjadi gas bertekanan tinggi, dan mengubah penyemprot api menjadi sebuah peledak bertenaga besar.
Seokmin sebenarnya hendak melakukan 'bom bunuh diri' dengan menempelkan benda itu secara langsung ke dada Guru Woo (tentu saja, tangan pemuda itu juga masih melingkari peledaknya). Guru Woo menepis benda itu, tetapi karena tidak begitu jauh terlempar, Seokmin, Chaeyeon, Mingyu, dan Guru Woo masih terkena dampak ledakan. Semburan api melahap sebelah lengan Seokmin dan Guru Woo, sementara pecahan botol aerosol yang tajam meluncur dalam kecepatan tinggi; yang kecil menggores wajah Chaeyeon, sedangkan satu serpihan besarnya menancap ke perut Mingyu yang kontan mengalirkan banyak darah.
Selain Chaeyeon, tidak ada korban ledakan itu yang sekarang sadar.
Sebotol susu pisang dan sebungkus kimbab segitiga diangsurkan masing-masing pada Yuna dan Jaehyun. Semula tertunduk, keduanya kemudian menengadah dan menemukan ibu Yuna—yang sekali lagi kesulitan parkir—dengan helai-helai rambut ikalnya mencuat ke mana-mana. Jaehyun serta-merta berdiri dan memberi salam, sementara Yuna menerima botol susu dan menusuk foil agar bisa mengisap minuman manis-dingin itu.
"Padahal aku sudah menyuruh Minghao beli makanan," ujar Yuna di sela mengunyah. "Jaehyun, ambil saja. Kamu kan juga belum makan."
"Sungguh? Ah, Bibi, saya jadi merepotkan." Jaehyun membungkuk lagi, sungkan.
"Sudah, sudah, makanlah." Setelah kemasan-kemasan di tangannya diambil, ibu Yuna mengelus puncak kepala Jaehyun. "Aigoo, kamu benar-benar pucat. Aku sampai takut kamu sakit, Jaehyun-ah."
"Bibi, jangan khawatir. Saya tidak apa-apa." Duduk kembali, Jaehyun membuka kemasan kimbab dan menggigit nasi kepal hangat di dalamnya. "Teman-temanlah ... yang tidak baik-baik."
"Benar." Ibu Yuna mengambil tempat di sebelah putrinya. "Untung saja, masih ada seseorang yang sadar."
"Ya," Jaehyun diam-diam meremat kimbab-nya, "untung saja."
"Sekarang," punggung ibu Yuna bersandar ke kursi, "kalian berdua tinggal banyak berdoa agar para petugas medis di dalam bisa bekerja sebaik mungkin untuk Seokmin, Chaeyeon, dan Mingyu. Kalau kalian mau mendoakan si Soryong itu, yah ... bonus karma."
Yuna mau tak mau tertawa. "Eomma, ajari Jaehyun yang baik-baik saja, dong."
Menyaksikan interaksi hangat ibu dan anak di sebelahnya malah melukai Jaehyun. Ia samarkan duka itu dalam senyum sopan dan kunyahan pelan hingga sebuah panggilan terdengar dari pelantang di depan unit gawat darurat.
"Kepada wali pasien Jung Chaeyeon dan Kim Mingyu, diharap masuk ke unit gawat darurat. Sekali lagi, kepada wali pasien Jung Chaeyeon dan Kim Mingyu, diharap masuk ke unit gawat darurat."
Jaehyun membuang napas. Kimbab yang tersisa separuh dibalutnya lagi dengan plastik pembungkus meski tak sempurna, lalu diletakkannya di sebelah botol susu yang masih penuh terisi.
"Maaf, Yuna, Bibi, aku harus masuk dulu."
"Panggilan barusan? Tapi, kamu kan bukan wali mereka," heran ibu Yuna. "Dokter sekolah kalian juga ada di dalam, kan?"
"Jaehyun menghubungkan orang tua Chaeyeon dan Mingyu dengan Guru Jo dan para dokter di dalam, jadi dia setidaknya bisa mengabarkan soal wali mereka yang belum datang." Yuna kemudian beralih pada Jaehyun sambil tersenyum getir. "Maaf tidak bisa membantu ...."
"Jangan minta maaf. Setidaknya, berkat teriakanmu yang dahsyat itu, Seokmin tidak jadi melompat dari atap sekolah, kan?"
Jaehyun terkekeh pelan ketika Yuna memukul bahunya, tidak suka digodai soal itu lagi. Si pemuda beranjak ke unit gawat darurat, tetapi baru setengah jalan, Minghao mencegatnya dengan menggandeng seorang lelaki paruh baya berpakaian rapi. Adik-adik Seokmin tergesa mengikuti dari belakang.
"Ini Pak Hwang, kepala pelayan Mingyu."
"Tepat waktu. Wali Mingyu baru saja dipanggil tadi." Jaehyun membungkuk sopan sebelum membimbing Pak Hwang. "Mari ikuti saya."
***
Walaupun luas luka bakarnya tidak seberapa, Seokmin mengalami syok yang kemungkinan diakibatkan kombinasi kehilangan cairan dari luka bakar dan nyeri yang sangat. Tekanan darahnya rendah, nadinya tak stabil—sesuatu semacam itu, Jaehyun juga tidak begitu mengerti. Mingyu, sudah jelas, mengalami perdarahan hebat, maka keduanya membutuhkan tindakan emergensi yang dapat mengesampingkan keberadaan wali.
Namun, Chaeyeon 'hanya' mengalami robekan di wajah sepanjang enam sentimeter. Tindakan pembersihan awal sudah dilakukan, tetapi untuk perbaikannya, para dokter membutuhkan persetujuan wali. Pertama, jika tindakan ini ditunda, nyawa Chaeyeon tidak akan terancam. Kedua, penjahitan di area wajah akan berisiko mengalami penyembuhan tidak sempurna yang akan memengaruhi paras Chaeyeon nantinya. Memastikan agar tindakan itu aman secara legal, para dokter memutuskan untuk menunggu sebentar lagi sampai wali Chaeyeon datang.
Toh Jaehyun telah menjanjikan si wali datang dalam lima belas menit.
"Kau senang sekarang?"
Sejak tiba di unit darurat, Chaeyeon telah bersikap tidak kooperatif kepada para petugas medis. Ia tidak menjawab siapa pun yang bertanya hingga Jaehyun dan Guru Jo harus menjawab semuanya. Pertanyaan tadi, yang diajukan pada Jaehyun ketika tidak ada siapa-siapa selain mereka di balik tirai sekeliling ranjang, adalah kalimat pertamanya di unit darurat ini.
"Senang untuk apa?"
"Senang melihatku terluka dan kacau," seringai Chaeyeon. "Bukankah ini yang kaumau dari dulu? Sekarang, tanpa mengotori tanganmu, kau telah menghancurkanku. Puas?"
"Tidak," jawab Jaehyun dingin. "Kau pantas tersiksa jauh lebih lambat dari ini, seperti Yuna ... dan Eomma."
"Wanita itu tidak pernah berhenti membayangimu. Kau pasti masih mengingat persis tali yang melilit lehernya, bagaimana kakinya tergantung di udara kosong, lalu kursi yang ia pijak—kh!!!"
Karena tirai di sekitar ranjang ditutup, tidak ada yang melihat bagaimana Jaehyun merenggut kerah seragam Chaeyeon hingga gadis itu tercekik. Pemuda Jung itu mendelik marah, napasnya memburu, dan giginya berkeretak dalam rahang. Tepat waktu, kata-kata Yuna sebelum ia masuk unit gawat darurat pertama kali terputar ulang, menghentikannya memperburuk cedera Chaeyeon.
"Kalau aku ikut masuk, mungkin Chaeyeon akan merasa tidak nyaman .... Bisakah tolong jaga dia? Selama Jaehyun yang menjaganya, aku yakin dia pasti akan cepat sembuh."
Yuna tidak perlu mengetahui bahwa ketua kelas yang 'sangat ia hormati' itu justru dapat membunuh sahabatnya—mantan sahabatnya.
"Lagi-lagi, kau melepaskanku." Tawa kecil Chaeyeon terdengar sengau. Jaehyun sedikit terkejut menemukan air mata di pipi yang sepucat miliknya itu saat terempas balik ke brankar. "Kau pasti sadar selama ini bahwa membunuhku tidak akan mengembalikan ibumu. Aku penasaran, apakah kau akan bahagia kalau aku yang 'mengantarkanmu' pada perempuan itu, bukan sebaliknya?"
Faktanya, akan ada sebagian jiwa Chaeyeon yang tergerogoti jika ia menghabisi Jaehyun seperti itu. Percakapannya dengan Seokmin sebelum memulai pemberontakan ini membuktikan betapa parasitik ikatan mereka berdua: saling merugikan, tetapi tanpanya, keduanya sama-sama tak bisa hidup.
"Jika Jaehyun mati, lalu apa? Kau yakin kau akan baik-baik saja setelahnya? Kau tidak akan punya tujuan hidup lagi setelah menuntaskan balas dendam karena kau tidak pernah bisa benar-benar membenci seseorang, Jung Chaeyeon."
"Diam!"
"Kau cuma ingin Jaehyun kembali ke dirinya yang dulu, maka bergabunglah denganku. Aku akan menjanjikan—"
"Aku pun penasaran," Jaehyun menanggapi, "bagaimana kau akan tetap hidup setelah membunuhku? Abeoji akan semakin memihakku setelah aku mati dan kau cuma akan jadi anak piatu yang luntang-lantung di jalanan!"
Chaeyeon—yang terhunjam oleh cemoohan Jaehyun—membuka mulutnya, hendak menandas, tetapi suara dokter perempuan yang merawat mereka mendekat ke tirai. Sang dokter bertukar informasi dengan seorang lagi yang suaranya familier bagi kedua remaja Jung. Tirai disibak dan ditutup kembali; si dokter perempuan dan laki-laki lawan bicaranya telah berada di dalam.
"Astaga, putriku!" Laki-laki ini mengusap hati-hati pipi putrinya yang tidak ditutup kasa. "Wajahmu, bagaimana bisa—Dokter, bolehkah saya melihat lukanya?"
Dokter itu memohon izin untuk membuka kasa berplester Chaeyeon, menunjukkan robekan melintang sedalam kulit di pipi gadis itu. Ayahnya meringis seakan-akan merasakan nyeri itu sendiri.
"Ini tidak membutuhkan tindakan besar seperti dua korban lainnya, hanya penjahitan. Namun, jika kami menyatukan lukanya, maka kulit Jung Chaeyeon-yang bisa tertarik ke atas oleh parut yang akan terbentuk belakangan. Meski demikian, penyembuhan luka akan lebih cepat dan parut yang timbul tidak akan sebesar jika tidak dijahit. Apakah Anda sebagai wali Jung Chaeyeon setuju kami melakukan penjahitan?"
"Tentu." Ayah Chaeyeon mengembuskan napas letih, menerima pulpen dari sang dokter untuk menandatangani surat persetujuan. "Ini yang terbaik, saya yakin."
"Terima kasih. Kami akan lebih dahulu menyiapkan ruang tindakan."
Seberlalunya sang dokter, ayah Chaeyeon langsung memeluk sang putri erat-erat.
"Ya ampun, apa yang terjadi padamu, Chaeyeonie?"
Jaehyun memalingkan wajah sedikit tatkala Chaeyeon mulai menangis—atau pura-pura menangis, seperti biasa jika ingin diperhatikan.
"Abeoji, aku tidak mau sekolah lagi .... Aku mau keluar saja seperti Jaehyunie .... Aku sudah tidak tahan dengan semua ini ...."
"Tolong jangan, Putriku. Sekolahnya tidak salah, tetapi orang-orangnya yang salah. Aku akan kumpulkan orang tua teman-temanmu secepatnya untuk membicarakan masalah ini. Sumpah mati aku akan tuntut orang-orang sialan yang sudah membuat putriku seperti ini!" tekad ayah Chaeyeon berapi-api.
"Abeoji, tolong jangan mengumpat di rumah sakit. Itu kurang sopan." Jaehyun tersenyum tipis, tetapi ayahnya malah menyalak balik.
"Jangan tersenyum di saat kau menderita, Jaehyunie. Kau cemerlang dan mereka tidak punya alasan mengeluarkanmu!" Laki-laki yang ganjilnya juga dipanggil 'ayah' oleh Jaehyun itu menegakkan badan. "Dengan begini, proses akademik di Seoul Global High pasti akan tersendat. Bukan tidak mungkin para siswa kelas tiga akan diliburkan musim panas ini seperti murid-murid kelas satu dan dua. Kesempatan ini harus kami, para orang tua, gunakan untuk mendiskusikan sistem 3-E yang kacau-balau."
Jaehyun menatap laki-laki ini tak mengerti.
"Sementara itu, kau dan teman-temanmu juga harus berlibur, Jaehyunie. Kalian harus lepas dari sekolah busuk ini sampai perombakannya selesai. Katakan, kalau kau dan empat belas temanmu hendak berlibur bersama, di mana kau akan menghabiskannya?"
"Hah? B-Bagaimana maksudnya?"
Otak Jaehyun dilanda arus pendek. Libur musim panas sangat panjang dan akan menjauhkan mereka semua dari persiapan suneung! Namun, tatapan Tuan Jung benar-benar serius—dan ketika seorang Jung bersungguh-sungguh, tidak akan ada yang bisa menghentikannya. Jaehyun paling mengerti hal ini.
"Vila," putus Jaehyun ujungnya. "Rumah musim panas kita sudah lama tidak dipakai, kan?" []
__________________________________________________________
guys guys are you all safe ;-; ini ada yg domisili banten lampung ga sih. year end tau2 ada tsunami aja huhu... #prayforbantenlampung
btw aku baru sadar chap sblmnya ga ada 'sebelumnya'.
45 chaps TT maaf menyiksa kalian ya. thank you so much for keeping up!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top