Detonate! (2)
Jung Jaehyun
Berhenti!
Apa pun yang kalian lakukan, berhenti!
Choi Yuna
Berhenti! Kami berdua ke sekolah sekarang!
@Lee Seokmin @Jung Chaeyeon @Kim Mingyu, hentikan sekarang juga!
Notifikasi pesan tidak ditengok oleh Seokmin. Ponselnya sudah diatur menjadi semacam mikrofon dan layarnya dalam keadaan mati. Sang punggawa baru kelas berdiri di ambang atap. Chaeyeon berada tak jauh di kanannya, sedangkan Mingyu di depan mereka menggenggam kaleng cat semprot. Si jangkung itu baru saja mengaktifkan 'pemantiknya' sehingga para guru tidak lagi berani mendekati para pengurus kelas. Efek semburan api yang dahsyat tentu saja menciutkan para guru, segeram apa pun mereka pada tiga murid pembuat onar tersebut.
"A, a, tes, satu, dua, tiga." Seokmin bicara di muka ponselnya yang terhubung dengan sebuah speaker kecil. Suaranya kini cukup lantang untuk mencapai para guru yang terpaksa menjaga jarak. "Baiklah, kumulai. Aku ingin Kepala Sekolah Park dihadirkan di hadapan kami."
Cara bicara informal yang Seokmin gunakan memancing amarah para guru, tetapi mereka langsung terbungkam dan mundur begitu Mingyu mengacungkan pemantik ke arah mereka, telunjuknya bersiap pada penyemprot.
"Aku di sini, Lee Seokmin-goon."
Perempuan paruh baya yang dimaksud muncul dari balik pintu menuju atap. Ia bersilang lengan dengan senyum tipis. Seokmin membalas senyum Kepala Sekolah Park layaknya teman lama saja. Atau musuh lama, mungkin.
"Bagus. Akan lebih baik kalau Guru Jang juga ada ... tetapi kau pun cukup." Tombol di sisi ponsel ditekan dan volume suara Seokmin naik satu level pada pengeras suara. "Aku tidak akan basa-basi lagi. Atas nama seluruh siswa 3-E, aku meminta dua hal. Pertama, agar sistem 3-E yang sekarang berjalan dihapuskan. Kedua, agar Jung Jaehyun dan Choi Yuna kembali belajar di Seoul Global High dengan rekam jejak yang bersih dari pelanggaran."
Kepala Sekolah Park menyilangkan lengan di depan dada.
"Jika tidak?"
"Kami tidak segan membunuh kalian."
"Dan, apa yang kalian kira bisa didapatkan dengan berbuat seperti itu?"
"Banyak, misalnya menyelamatkan kawan-kawan kami dari bunuh diri dan gangguan mental." Jeda sejenak; anak mata Seokmin memindai jajaran para guru. "Ada 56 guru yang sekarang bertugas di Seoul Global High, termasuk kau, Park Haesoo, dan guru-guru muda yang khusus dipekerjakan saat musim panas. Semuanya mendukung sistem pendidikan buatanmu selama tujuh tahun. Ini berarti, masing-masing mereka membunuh atau mencederai psikis kurang lebih dua siswa dalam kurun waktu tersebut. Bukankah itu berarti kami harus menghabisi masing-masing kalian dua kali?"
Makian-makian mengeras dari para guru. Kepala Sekolah Park—atau yang sebelumnya dipanggil 'Park Haesoo' oleh Seokmin—mengangkat tangan untuk menghentikan gerutuan para stafnya sebelum berujar.
"Sepanjang sejarah 3-E, tidak pernah ada seorang guru pun yang membunuh atau membahayakan nyawa murid."
Seokmin mendengus dengan satu sudut bibirnya terangkat. Sudut bibir yang lain masih robek, belum pulih dari pukulan sesama siswa kelas 3 Seoul Global High kapan hari. Beberapa memar di wajahnya pun masih berwarna kebiruan. Ketika angin meniup sedikit rambut dan kerah Seokmin, tampaklah sepuluh jahitan di kepalanya akibat insiden pot, juga rantai keropeng kecil-kecil di tengkuk, bekas injakan Guru Woo pada hari Yuna dan Jaehyun dikeluarkan.
"Apakah aku tidak terlihat seperti seorang korbanmu? Perlukah kusebutkan nama 114 siswa 3-E yang telah meninggal atau mengalami gangguan jiwa? Kalian mengatakan bahwa kelas kami adalah yang tercepat mengalami pergantian siswa dibanding kelas 3-E sebelumnya. Kenyataannya, pergantian siswa tercepat adalah satu bulan, pada tahun 2012. Lee Kaeun, masuk sebagai peringkat 3, berhenti pada 2 April 2012 karena gejala psikosis yang tidak memungkinkannya melanjutkan studi. Sebulan setelahnya, ia bunuh diri—dan catatan yang ia tinggalkan 'sangat menarik'."
Tatapan sinis Seokmin tertuju pada seseorang di belakang Kepala Sekolah Park ketika mengutip surat terakhir sang senior.
"'Kuharap seseorang membunuh Woo Soryong setelah aku mati.' Aku penasaran apa yang kau lakukan padanya selain mengajar kimia, Woo Soryong."
Orang yang Seokmin sebut—Guru Woo—tertawa meremehkan, tetapi ia jelas menyembunyikan rasa terusik.
"Anak itu punya tendensi gangguan jiwa sejak kelas satu."
"Jika kau mengetahuinya, mengapa tidak bersikap lebih baik dan mencegah perburukannya? Ini membuktikan pada kami bahwa Ryu Sujeong bukan satu-satunya korbanmu. Sikap kasarmu itu selama bertahun-tahun telah merenggut nyawa murid alih-alih menolong mereka." Seokmin mengedikkan bahu. "Aku tidak terkejut, sih. Di sini, semua guru sama saja, bukan? Buat apa memedulikan murid jika prestasi terbaik bisa diraih? Toh orang tua mendukung kalian—walaupun jumlah murid yang masa depannya kalian curi merupakan angka yang tidak kalah penting dibanding peringkat dan nilai."
Sirene polisi terdengar dari bawah. Sejenak Seokmin tertegun. Chaeyeon menengok sebentar, lalu menyeringai.
"Wah, lebih banyak penonton!" Telapak Chaeyeon terulur dan Seokmin menyerahkan ponselnya. Suara si gadis cantik lantas menggema melalui pengeras suara. "Akan kuberitahu mereka semua. Dari seluruh siswa 3-E periode 2009 hingga 2015, 42 orang melakukan bunuh diri yang dipicu stres akademik, 70 orang menyalahgunakan obat-obatan, dan 95 orang mengalami gangguan mental ringan hingga berat. Mayoritas mereka mengalami dua atau tiga poin dari hal-hal ini dalam hidup; jika ditotal, semuanya 114 orang!"
Peringatan dari polisi pada Seokmin dan Chaeyeon untuk menjauhi ambang atap yang berbahaya tidak diindahkan. 'Siaran' Chaeyeon mengenai 3-E justru lebih dahulu mengejutkan beberapa petugas di lapangan sekolah—juga kepala-kepala ratusan murid yang melongok penasaran dari jendela kelas.
Raut Kepala Sekolah Park—yang seolah tak pernah berubah—hari ini melekuk. Betapa puasnya Seokmin menemukan kecemasan dan rasa jengkel dalam ekspresi itu.
"Seoul Global High boleh terlihat cemerlang dari luar, tetapi bila data ini sampai terbongkar, maka, Park Haesoo," lanjut Seokmin, tangannya yang memegang speaker menunjuk kepala sekolahnya, "kau dan sekolah ini akan jadi serendah-rendahnya pecundang. Kami tidak akan menyebarkan informasi ini lebih lanjut hanya jika kau memenuhi tuntutan yang kusebutkan sebelumnya."
Kepala Sekolah Park maju selangkah.
"Kalian boleh memiliki angka-angka yang lengkap, tetapi hubungan tiap kasus tersebut dengan sistem yang berjalan sangat kecil hingga nyaris nol, termasuk kasus Lee Kaeun yang tadi kauungkap. Masalahnya dengan Guru Woo bersumber dari halusinasi akibat gangguan jiwanya, bukan sebaliknya."
"Lanjutkan berbohong!" sindir Mingyu lantang. "Kami memiliki buku harian salah satu ketua kelas dari 3-E angkatan lalu, Kim Seokwoo. Dia menyebut dengan gamblang soal inkonsistensi sistem yang kalian terapkan di kelas ini. Kim Seokwoo tewas bunuh diri pada September 2014 karena ' tidak sanggup lagi menanggung beban mengeluarkan satu demi satu teman sekelasku'. Periode lalu, mulai pertengahan semester ganjil, bukankah perangkat kelas 3-E juga akan memperoleh tambahan nilai dengan melaporkan pelanggar?"
"Itulah," –Mingyu memindahkan ponsel 'mikrofon' pada Seokmin yang kembali angkat suara—"yang kalian lakukan pada Jung Jaehyun dan Choi Yuna, bukan? Kalian menunggu agar kami membenci mereka supaya kalian dapat melihat apakah mereka mampu mempertahankan peringkat dalam gempuran semacam itu. Dalih kalian pasti akan sama: untuk menguatkan kami. Kim Seokwoo dan wakilnya saat itu—Park Sooyoung—tidak menjadi kuat dengan cara kalian. Satu orang meninggal, dan yang lain menyalahgunakan obat tidur hingga sekarang. Kami tidak akan membiarkan Jung Jaehyun, Choi Yuna, atau siapa pun tahun ini jatuh dalam keadaan demikian!"
"Kalian, anak-anak manja, memang tidak pernah paham!" bentak Guru Noh. "Bukankah kami sudah berkali-kali memberitahu bahwa dunia yang akan kalian hadapi jauh lebih keras dari sekolah ini?"
"BETUL DUGAANKU, KAN! Kalian bakal menggunakan omong kosong itu lagi! Tapi, kalian ingin logika kalian diterima, jadi aku menurut."
Seokmin membalikkan badan, dengan setengah sadar menjejak tepian atap setinggi pinggang. Hingga empat puluh meter di bawahnya, hanya ada udara kosong dan maut yang menunggu, tetapi ia tidak merasakan kegentaran sedikit juga. Ketika ia kembali menghadap para guru, sekilas ia menemukan ekspresi gelisah Mingyu—'apa yang kaulakukan, ini tidak ada di rencana!'—dan ketegangan para guru. Chaeyeon hanya memandangnya kosong.
"'Belajar keras sebagai persiapan menghadapi dunia yang keras', kalian bilang. Karena kita semua akan mati, bagaimana kalau kita belajar untuk mati sekarang?"
Butiran kerikil di pinggiran atap tergeser oleh sepatu lusuh Seokmin. Batu-batu itu meluncur sejauh empat puluh meter sebelum pecah berkeping-keping di tanah.
"Lee Seokmin, berhenti!"
***
Mobil yang dikendarai ibu Yuna tidak beroleh lahan parkir dekat Seoul Global High. Terlalu banyak polisi dan pemburu berita yang mengambil tempat di depan gerbang sekolah. Alhasil, mobil diparkir lima puluh meter dari gerbang, tetapi bahkan sebelum mesin mobil benar-benar mati, Yuna sudah melompat keluar. Rambut panjangnya terembus ke sembarang arah saat menerobos beberapa awak media maupun personel-personel keamanan, tetapi ia tak peduli.
"Yuna!"
Tak pernah Yuna merasa begitu bersyukur bertemu Jaehyun. Ia meraih lengan pemuda yang tampak cemas itu dan berpegang ke sana, seakan hal tersebut bisa menyelamatkannya dari seretan kegilaan. Respons Jaehyun bagus; ia genggam tangan Yuna hingga mereka berhadapan dengan barikade polisi.
"Lee Seokmin teman kami. Biarkan kami bicara dengannya!" desak Jaehyun.
"Maaf, Nak, tapi kau tidak boleh masuk. Petugas kami sedang berusaha mengendalikan situasi. Kau tidak boleh mengganggu."
"Kami bisa membantu kalian!" Yuna ikut-ikutan. Tubuhnya bahkan mulai maju untuk menembus barikade. Polisi yang tadi mencegat mendorongnya dengan mudah ...
... tetapi Jaehyun melihat celah.
"Ya! Bocah!"
Ruang kecil di antara para polisi dimanfaatkan mantan pengurus 3-E untuk melewati pagar badan. Genggaman tangan Jaehyun mengerat sampai ia dan Yuna dapat melepaskan diri dari petugas-petugas itu.
"Lee Seokmin, berhenti!"
Jaehyun berteriak kencang. Manik kecokelatannya membelalak ngeri ke atap gedung di mana kawannya berdiri membelakangi. Pemuda berkacamata yang canggung itu tidak mungkin mengambil tindakan senekat bunuh diri, bukan?
Berpaling pelan, Seokmin mendapati kedua temannya menatap tegang.
Yuna menangkupkan kedua tangan di depan mulut. Pelupuknya tergenang hingga mengaburkan pandang. Ia tidak mampu lagi mengerti apa yang terjadi di kelasnya sampai bisa mengubah Seokmin—pemuda yang penurut dan suka menolong itu—menjadi seseorang yang bertindak tanpa berpikir dulu. Lupakah Seokmin pada ibu dan kedua adiknya, untuk siapa ia selama ini berjuang? Lebam-lebam dan pakaiannya yang kusut entah mengapa membuat hati Yuna mencelus. Terngiang-ngiang lagi beberapa pesan bernada putus asa yang diterimanya, meminta pertolongan.
Jangan melompat. Kumohon, jangan. Akan banyak orang yang kehilanganmu .... Aku salah satunya!
Maju selangkah, Yuna menekuk kedua telapak di sisi bibir sebelum memanggil sahabatnya dengan parau.
"SEOKMIN BODOH!!! AKU SANGAT MENYUKAIMU, JANGAN MATI DULU!!! AYO KITA LULUS SUNEUNG BERSAMA, LALU AKU AKAN MENIKAHIMU!!!"
Hah? Aku ... bilang apa barusan?
Jangankan Jaehyun, Yuna saja kaget akan caranya mengalihkan pemikiran Seokmin untuk bunuh diri. Mendengar ini, si pemuda berkacamata tersenyum tipis dari atas sana, senyum pertama pada wajah lelah itu setelah sekian hari. Robekan di tepi bibir tidak membatasi kurva itu, tetapi justru Yuna yang merasakan pedihnya. Pipi si rambut lurus merona, menangis walau tak ingin, juga malu dibayang-bayangi kalimatnya sendiri. Tatapannya belum berpindah dari siswa yang nyawanya menggantungi ambang atap.
Jaehyun tertawa kecil dan menyambung ucapan mantan wakil ketua kelasnya.
"YA!!! KALAU KAU MATI, YUNA AKAN JADI MILIKKU!!! TURUN DARI SITU ATAU AKU YANG AKAN MENIKAHI DIA!!!"
Kontan kontak mata Yuna dan Seokmin terputus. Kini menatap garang Jaehyun, gadis itu malah menemukan canda pada binar mata ketua kelasnya, berbubuh jaminan bahwa semua akan baik-baik. Kapan hari, padahal, cahaya yang hangat ini seolah-olah sudah musnah selamanya.
Tidak lagi tersenyum, Seokmin ikut tergelak, sangat keras hingga Yuna dan Jaehyun dapat mendengarnya dari dekat gerbang besar. Jantung Yuna melompati satu degup. Tertawanya Seokmin melimbungkan raga yang sudah tak stabil di atas atap, tetapi ketika ia tegak kembali dan turun dari tepian maut, kelegaan menyiram Yuna serta-merta.
"Iya!!! Aku tidak jadi mati!!!"
***
"Kami akan memenuhi tuntutanmu."
Meskipun Yuna dan Jaehyun bermain peran ala drama komedi romantis, yang lebih memancing tawa Seokmin adalah kepasrahan Kepala Sekolah Park. Sekaku apa pun wajah betina penindas satu itu, pernyataannya terdengar semurni warna bendera putih yang baru dikibarkan. Mendadak, hidup jadi tampak amat berharga. Bahkan sejumput akrofobia Seokmin rasakan pula ketika indranya normal lagi.
Yuna dan Jaehyun kelihatan kecil sekali dari atas sini. Bukan berarti aku akan langsung terjun buat melihat mereka lebih dekat, sih.
Kebahagiaan yang ganjil membuat Seokmin meneriakkan pembatalan kematiannya, membarengi kaki yang menapak lagi ke bagian rendah dari atap. Namun, saat bertemu pandang dengan kepala sekolahnya, Seokmin menaikkan kacamata dan bertanya rendah dengan ekspresi 180 derajat berbeda.
"Tuntutan yang mana, lebih tepatnya? Sebut dengan jelas, Park Haesoo."
"Menghapus sistem 3-E dan mengembalikan Jung Jaehyun serta Choi Yuna ke Seoul Global High," ulang Kepala Sekolah Park. "Dengan ini, kau akan menghentikan apa pun usaha untuk menjatuhkan kami, bukan?"
"Hanya jika," Chaeyeon merogoh tasnya dan mengeluarkan papan dada—di sana, terjepit selembar surat pernyataan, "kau setuju menandatangani dokumen ini sebagai bukti formal bahwa kau tidak akan melanggar kesepakatan. Kami bisa membawanya ke pengadilan kalau sewaktu-waktu kau mempermainkan perjanjian."
"Anak-anak kecil ini," dengus Guru Woo, geli sekaligus kesal, "tahu apa soal hukum?"
"Lebih banyak dari yang kaukira. Menurutmu," Chaeyeon melangkah ke arah Kepala Sekolah Park, tetapi masih bicara dengan si guru kimia, "mengapa kami menjadi murid 3-E?"
"Dan, mengapa kami menjadi guru kalian?" balas Guru Noh, secara implisit menegaskan superioritas pengajar dibanding siswa.
"Karena kami, para murid," lirik Chaeyeon sengit, "butuh batu loncatan untuk menjadi lebih hebat, dan kalianlah batu loncatan itu. Nah, kami rasa sekarang, kami sudah jauh melampaui kalian."
Papan dada dan pena diangsurkan. Tangan Chaeyeon terulur tanpa perlindungan, lalu saat itulah—
"Ah!!!"
—lengan si sekretaris dicekal oleh Guru Woo.
"Chaeyeon!"
"BOCAH-BOCAH KURANG AJAR INI MEMANG HARUS DIBERI PELAJARAN!"
Berada dekat si peringkat empat, Mingyu langsung memukul keras lengan Guru Woo yang nyaris menghantam Chaeyeon. Papan dada terjatuh, Chaeyeon dihela ke belakang punggung Mingyu, tetapi sebelum api disemburkan, Seokmin telah mengambil alih—dan mengocok kuat—botol cat semprot.
"Seokmin," Mingyu membeliak panik, "ja—"
Katup rahasia dijentikkan, lubang penyemprot tertutup, dan Seokmin menekan pemantik ke dada Guru Woo yang tengah ia tindih.
"Orang dewasa tidak bisa dipegang omongannya, ya?"
***
Selanjutnya, Seokmin mendengar ledakan. Keretak api jingga. Teriakan. Ia menemukan sedikit suara Yuna di antara lengkingan. Panas menyengat sesisi tubuhnya, lalu ia mulai menyesal ketika sensasi menyakitkan itu merambat naik.
Jangan. Aku tidak mau mati dulu sebelum menemui Yuna dan Jaehyun .... Aku juga belum minta maaf pada Eomma, Chan, dan Gahyun .... Mingyu, Minghao—lalu janjiku pada Jung Chaeyeon ....
Rasa nyeri hebat meloloskan pekikan dan derai air mata.
Dari situ, Seokmin tak bisa mengingat apa-apa lagi. []
salah satu kelemahanku klo nulis adalah hilangnya logika waktu lagi ada adegan mbaperin (which is termasuk baper tegang atau baper takut atau baper excited kyk waktu nulis bagian ini) jadi klo ketemu plotholes bilang ae ya gengs. makasih sdh baca ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top