Destructive Days (3)


Guru Woo lagi-lagi memainkan nada bicaranya; Yuna tahu ada pengurangan poin di balik itu. Sujeong menegang. Ia bangkit dari kursinya dan membungkuk berkali-kali ke arah Guru Woo.

"Maafkan saya, Ssaem, saya yang memecahkannya .... Saya akan membereskannya, saya mohon jangan kurangi poin Choi Yuna dan Jung Jaehyun .... Saya mohon, saya akan menggantinya, bahkan jika poin saya harus dikurangi tiga kali lipat—"

"Wow, wow, tenang dulu, biar kulihat namamu." Guru Woo memicing, mengeja aksara hangul di tanda pengenal siswinya yang tergagap-gagap. "Ryu Sujeong. Minus lima belas poin, berlaku juga untuk Jung Jaehyun dan Choi Yuna. Temui aku usai praktikum, aku akan memberi kalian tugas hukuman."

Baik. Pengurangan poin yang pada titik ini mulai terasa lazim tidak lagi membebani Yuna. Masalah baru muncul manakala di baris ketiga meja lab, Sujeong menggigil hebat, tatapannya tak awas, dan seluruh darah seolah terhisap keluar tubuhnya.

"Ssaem, saya mohon ....."

"Pernahkah teman-temanmu memohon toleransi tugas hukuman? Atau karena ini kali pertamamu memperoleh pengurangan poin, kau jadi tak tahu aturan mainnya?" Tawa Guru Woo terdengar kejam di rungu Yuna. "Lain kali jangan ceroboh, Nona. Kau akan menarik dua orang sekaligus bersamamu. Nah, lanjutkan praktikummu, masih ada satu jam tersisa."

Keadaan Sujeong yang menakutkan memicu Yuna berpindah ke bangku kelompoknya kembali, tetapi ia kurang cepat.

"Ryu Sujeong!"

Chaeyeon spontan menangkap tubuh Sujeong dari belakang, sedangkan Jaehyun—seakan sudah memperhitungkan pingsannya gadis ikal dari kelompok sebelah—menahannya dari depan. Kelas menjadi riuh, sayangnya Guru Woo tidak menyukai keramaian yang tak perlu. Ia memukulkan keras-keras sebatang penggaris kayu antik ke papan tulis.

"Siapa mengizinkan kalian berisik? Waktu praktikum kupotong setengah jam, laporan harus dikumpulkan saat jam kimia selesai." Ujung penggaris terarah pada Jaehyun. "Ketua Kelas, bawa Ryu Sujeong ke klinik. Sisanya kembali bekerja."

Raut Jaehyun beku waktu merespons perintah Guru Woo.

"Baik, Ssaem."

Hati-hati, Jaehyun membopong Sujeong keluar lab. Yuna menyaksikannya menghilang ke balik pintu dengan perasaan berkecamuk.

"Salahku ... ya?"

Lirih suara Chaeyeon, bertanya tanpa perlu jawaban, sambil bergeser satu langkah untuk memberi ruang petugas membersihkan pecahan gelas ukur.

"Bukan, kok. Sujeong mungkin sakit ...."

"Dia jadi begitu karena aku, kan?" sahut Chaeyeon, maniknya berkaca-kaca. Yuna menghela napas dalam sebelum merangkul kawannya dari samping, menenangkannya.

"Tidak, bukan salah Chaeyeon. Nanti kita jenguk Sujeong sama-sama, tetapi sekarang, kita selesaikan dulu praktikumnya, oke?"

***

Insiden Sujeong membuat suasana praktikum amat hectic, apalagi untuk kelompok Yuna-Chaeyeon yang tinggal berdua. Mereka tergopoh mengerjakan laporan, mengerahkan segala kemampuan untuk mengonversi energi kalor dari suhu ke satuan Joule. Guru Woo menagih laporan dan satu persatu perwakilan kelompok maju mengumpulkan; saat itu, Yuna dan Chaeyeon baru menyusun kesimpulan laporan. Pembimbing mereka yang tak kenal rasa kasihan itu kembali meneriakkan nama dua murid di meja paling belakang. Yuna mengumpat di bawah napasnya, tak peduli lagi pada skor laporannya, dan sehabis membubuhkan titik langsung melesat ke depan Guru Woo.

"Bagus. Satu detik lagi, pengurangan poin akan berlaku atasmu, Choi Yuna."

Diam, aku sudah paham itu, geram Yuna.

"Yang lain silakan kembali ke kelas, kecuali Jung Jaehyun."

Satu demi satu, siswa 3-E melepas jas lab mereka dan keluar ruangan. Melawan arus, Jaehyun menyebelahi Yuna dan menerima tiga bundel soal hukuman. Gadis itu bersyukur paket yang ia terima adalah Bahasa Inggris, bukan sastra atau sejarah; dia akan mengerjakannya dengan cepat supaya dapat segera bertemu Sujeong. Yang aneh, kini Jaehyun lebih mendahulukan Sujeong daripada soal-soal yang baginya pasti mudah itu. Ada urgensi dalam kalimatnya sebelum menyerahkan dua bundel tugas—miliknya dan Sujeong—pada Yuna.

"Maaf tidak bisa menemanimu mengerjakan. Sujeong membutuhkanku. Tolong simpankan lembar kerja kami di mejaku, terima kasih."

Jaehyun melangkah panik ke klinik sekolah, padahal ia biasanya sangat kalem. Segenting itukah kondisi Sujeong sesungguhnya? Penasaran, Yuna diam-diam membuntuti Jaehyun. Ia berhenti di muka pintu, sedikit ke kiri agar tertutup dinding, dan memasang telinganya baik-baik karena tidak bisa menyaksikan apa yang terjadi di balik tirai paling ujung.

"Bagaimana perasaanmu sekarang? Masih berdebar?" tanya Jaehyun.

"Tidak separah tadi .... Aku minta maaf, Jaehyun-ah, t-tadi aku tidak sengaja menjatuhkan gelas ukurnya .... Tugas hukumanmu biar aku saja yang mengerjakannya ...."

Hm? 'Jaehyun-ah'? Bukankah sebelum praktikum, Sujeong masih kaku memanggil Jaehyun dengan nama lengkapnya?

"Tidak masalah. Jangan mengingat apa-apa mengenai kejadian tadi supaya kamu tenang dan cepat pulih."

"A-Aku tidak bisa, aku—"

"Coba berbaring dulu dan tarik napas-buang napas seperti tadi," instruksi Guru Jo. "Bagus. Benar, begitu."

Senyap; Yuna menduga Jaehyun dan Guru Jo sedang membangun suasana yang rileks. Sepuluh detik, dan Sujeong kembali berbicara.

"Aku tidak menyangka akan kambuh lagi di depan teman-teman .... Itu sangat memalukan ...."

"Guru Woo menyudutkanmu, wajar kalau kau kena serangan lagi. Tak mengapa, setiap orang toh punya kelemahan sendiri-sendiri."

'Kambuh'? 'Serangan'? Yuna menggigit bibir bawahnya, dihunjam sesal akibat kurang awasnya dia terhadap penderitaan para anggota 3-E. Sujeong memang sering menarik diri, tetapi bukan berarti dia boleh diabaikan begitu saja.

Berapa banyak tanda yang kulewatkan darinya? Mengapa Jaehyun tahu, sementara aku tidak?

Sayup-sayup, isakan Sujeong menyisip keluar tirai.

"Mengapa aku harus selalu menyusahkanmu ...."

"Sejak kapan kau menyusahkanku?" Jaehyun terdengar begitu lembut sampai Yuna mampu membayangkan senyumnya. "Aku senang bisa membantumu, meski kemampuanku sangat terbatas."

"Bukankah sudah waktunya aku mencari tempat bergantung lain? Aku ... tidak sanggup menangani ini sendirian, tetapi tidak seharusnya aku meminta tolong padamu lagi ...."

"Ryu Sujeong-yang, jika menurutmu guru-guru tidak bisa membantu, beberapa siswa 3-E yang kutahu sangat suportif terhadap teman-teman mereka," Guru Jo lantas memberikan saran, "di antaranya Choi Yuna dan Lee Seokmin. Mereka anak-anak yang tulus, cobalah dekati mereka."

Pipi Yuna merona. Aku tidak sebaik itu ....

"Choi Yuna, ya .... Dia benar-benar baik, tapi ...." Kalimat Sujeong menggantung bimbang, sehingga Yuna tak mengerti apa yang membuat si gadis introvert tidak mau berbagi rahasia dengannya. Sikap apa yang harus diperbaikinya biar Sujeong nyaman?

"Jika kau kurang berkenan, tentu masih ada alternatif pemecahan masalah: psikiater atau support group, misalnya?" Kembali Guru Jo memberi saran.

"Berobat ke psikiater akan menambah pengeluaran keluargaku, Ssaem. Aku tidak bisa membebani mereka lebih dari ini .... dan tentang support group, aku sulit berbaur dengan orang lain jika sudah terlanjur terikat dengan beberapa orang ...."

"Park Jisoo." Satu nama asing Jaehyun munculkan dan Yuna semakin tersesat dalam belantara benang kusut. "Kamu masih berkontak dengannya?"

Tak ada jawaban. Jaehyun mendesah pelan.

"Baiklah, untuk sementara, kamu harus banyak istirahat. Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk kelas Bahasa Inggris, aku dan Guru Jo akan mengurus izinnya."

"Aku akan menyelesaikan tugasku sebelum istirahat sore, janji." Bunyi decit kaki ranjang; Sujeong mungkin bangun mendadak. "Sekali lagi maaf, Jaehyun-ah .... Tolong sampaikan maafku juga pada Choi Yuna ...."

Aku yang seharusnya minta maaf karena tak pernah memerhatikanmu, Ryu Sujeong ....

Lantaran ketukan sepatu Jaehyun mendekatinya, Yuna bergegas balik kanan, berjalan menjauh, berharap tidak ketahuan. Sayang, gadis berambut lurus itu belum sempat menghilang di belokan ketika Jaehyun menutup pintu dari luar, sehingga ia tertangkap basah.

"Kamu tidak langsung ke kelas?"

Yuna memejam rapat, tidak bernyali menoleh pada Jaehyun yang memangkas jarak dengannya lumayan cepat. Tungkainya berhenti di persimpangan, merancang sebagus-bagus alasan untuk membenarkan keingintahuannya yang kurang sopan.

"Aku tidak menyalahkanmu selama kamu menyimpan rapi apa yang kamu dengar tadi, Yuna."

"Jaehyun," Yuna menengadah, "aku tidak akan membocorkan ini pada siapa-siapa, tetapi apa yang sesungguhnya terjadi? Ryu Sujeong pingsan bukan karena penyakit fisik, kan? Ketakutannya di lab sangat hebat, ditambah Guru Jo yang menyinggung soal psikiater .... Bisakah jelaskan padaku semua itu?"

"Tidak." Jaehyun menggeleng berat. "Sujeong tidak ingin orang lain tahu, maka itu akan menjadi rahasia bagimu hingga ia sendiri yang menjelaskannya."

"Kalau begitu, setidaknya beritahu aku apa yang bisa kulakukan untuknya."

"Cukup menjadi dirimu saat ini sudah sangat membantunya, kecuali satu jam setelah serangan, kau harus membiarkannya sendiri dulu. Sujeong akan terguncang setiap serangan selesai, jadi berilah jeda sebelum mulai bicara padanya."

Bagian terakhir ucapan ini lebih mudah dimengerti dari yang pertama.

"Aku harus menjadi diriku yang bagaimana, Jaehyun? Aku yang sekarang bahkan tidak mengenali seseorang yang kesakitan di kelas. Bagaimana sikap itu akan membantu mereka yang membutuhkanku?"

"Guru Jo memuji ketulusanmu, maka jadilah dirimu yang seperti itu untuk kami." Cahaya matahari jatuh pada mata Jaehyun, menimbulkan kilau indah yang sama dengan pertama kali mereka bertegur sapa. "Niatmu untuk terus menolong, itu pun harus dipertahankan. Situasi-situasi sulit tak selalu bisa kita hindari, tetapi dirimu yang menempatkan kebahagiaan kami tinggi-tinggi akan mampu membawa kita semua melalui kerasnya 3-E."

Dan bersama harapanmu yang tak pernah pupus, kita berlima belas akan melaluinya, kan?

Doa Yuna yang tak diungkap tercermin pada binar matanya yang lekat pada punggung Jaehyun. Gadis itu merasa sembuh dan optimis. Bila sebelumnya Sujeong mengatakan dirinya harus mencari tempat bergantung selain Jaehyun, Yuna rasa itu mustahil; kata-kata yang memekarkan asa macam barusan cuma Jaehyun yang memilikinya.

"Nah, begitu, dong, senyum. Kalau pengurus kelasnya ceria, anggota kelasnya pun akan ikut ceria," kekeh Jaehyun, membuat Yuna tersipu. "Akhir-akhir ini, kamu lebih muram dari biasa. Kamu sakit?"

"Tidak sama sekali. Aku sangat sehat." Yuna mengangkat dua kepalan tangan tanda bugar.

"Aku tidak bakal tahu kamu bohong atau jujur, tapi jangan menyembunyikan sakitmu atau aku tak akan menolong."

"Jaehyun juga! Bukannya mendoakan yang jelek, tapi kamu selalu tampak kuat, padahal semua orang kan pernah sakit. Kamu bisa saja cuma berpura-pura ...."

"O, kamu pikir mengapa aku dipilih jadi ketua kelas?" Jaehyun menaikkan alis. "Karena aku tidak gampang tumbang."

"Berarti aku juga, dong!" Yuna berkacak pinggang. "Aku kan wakilmu, jangan kira aku serapuh itu!"

"Tepat. Semangat yang bagus." Jempol Jaehyun teracung. "Apa Yuna tahu apa beda simpati dan empati?"

Si rambut lurus mengerjap bingung. Dua kata itu kerap dipakai bergantian untuk konteks yang serupa.

"Simpati artinya kita hanyut dalam suasana yang pedih tanpa berusaha menyelesaikannya. Empati artinya kita memahami rasa sakit orang lain tanpa ikut terluka bersama mereka, lalu bergerak maju." Bibir Yuna membulat, kepalanya terangguk-angguk. "Ekstremnya, aku berani bilang 3-E akan dibanjiri darah hingga suneung, tetapi bagaimana mengangkat mereka yang sudah merah tanpa ikut basah, itulah tantangannya."

Fakta yang menyebalkan, sayangnya sesuai kenyataan. Yibo dan Sujeong baru salah dua, gunung es yang hanya menyembul puncaknya. Yuna tidak memenuhi kualifikasi sebagai pengurus kelas jika hatinya sudah kewalahan menanggung lara mereka berdua; ada dua belas lagi, lho, yang tengah bergelut dengan luka. Lewat penjelasan tadi, Jaehyun berpesan padanya agar kepeduliannya tidak menjadi bumerang bagi diri sendiri.

"May your happiness last forever, Vice Captain."

Dan, logat Amerika Jaehyun yang kental resmi mengawali pelajaran Bahasa Inggris Yuna dengan berbunga-bunga. []

___

aku baru sadar Rough diupdatenya sebulan sekali banget ya -.- kuharap bisa update lebih sering setelah ini. masih ada yang ngikutin gak nih? anyways, itu jaehyun ngomongin empati bukan buat promo album lho.

this fic's still lacking much, bikinnya kayak nulis sinetron stripping hing ~ semoga tidak sepet mata kalian semua. thank you for following!

-LDS

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top