Destructive Days (1)
Personel 3-E yang lebih sedikit dari kebanyakan kelas tidak lantas membuat hubungan antara mereka lebih lekat dari yang lain. Yuna merasakan hal tersebut. Ia yang secara teknis mengemban tanggung jawab untuk mengakrabi seluruh siswa lima belas besar nyatanya tidak sanggup dekat dengan lebih dari separuhnya, terutama para laki-laki. Selain Jaehyun dan Seokmin, kepala-kepala makhluk androgen itu selalu punya pikiran yang susah Yuna tebak serta ikuti.
Wang Yibo merupakan satu yang paling enigmatik.
Tidak biasanya Yuna dan Yibo berjalan di satu koridor pagi-pagi. Si gadis berikat rambut ungu diam saja, mengumpulkan keberanian sekadar untuk menyapa sebab teman sekelasnya ini 'beraura gelap'—meminjam istilah Chaeyeon suatu hari. Lihat saja ekspresinya yang jarang berubah. Aneh benar orang sepertinya bersahabat dengan Junhoe yang meledak-ledak, komentar tuan putri Jung yang langsung Yuna setujui. Banyak hal tentang Yibo masih menjadi misteri, yang terbesar dan belum terungkap adalah bagaimana ia dan Junhoe bisa terikat sebegitu kuat. Mingyu—yang memang hobi mengolok Junhoe—sampai mengatainya gay. Duh, yang benar saja! Pasti ada sesuatu yang unik pada diri Yibo hingga orang sesulit Junhoe bisa melengketinya.
Misteri kedua: mengapa di punggung tangan Yibo terpasang jarum infus?
Bukan sekali-dua kali Yuna melihat plester aneh melintangi punggung tangan Yibo. Lokasinya berganti-ganti antara telapak kanan dan kiri, tetapi posisinya hampir selalu sama, sedangkan plester penutup luka umumnya berpola tempel sembarang. Barulah hari ini, setelah dengan mata kepala sendiri menyaksikan venocath yang disumbat pada tangan Yibo, Yuna teryakinkan bahwa plester-plester yang lalu itu juga ditempelkan ke bekas infus. Pertanyaan berikutnya pun muncul: obat-obat apa saja yang masuk ke sana? Mengapa Yibo mesti disuntik secara berkala? Apa dia punya penyakit menahun?
"O, Choi Yuna."
"Ah!" Begitu Yibo berpaling dan menyapanya datar, refleks Yuna menarik diri dan meminta maaf. "Aku tidak berniat membuntutimu atau apa, kok .... A-Aku cuma—"
"Aku tahu, kita kan searah. Tadinya kukira kau anak kelas lain." Yibo lalu menengok jam tangannya. "Tujuh tiga dua. Yuk."
Ragu-ragu, Yuna menyamakan laju tungkainya dengan Yibo.
"Anu .... Yang di tanganmu itu jarum infus, kan? Apa kamu baru saja sakit?"
"Ini?" Yibo mengangkat santai tangannya yang tertancapi venocath, padahal Yuna merinding setengah mati membayangkan pembuluh darahnya ditusuk begitu. "Untuk jalur masuk obat. Dipasangnya semalam, tetapi belum dilepas untuk jalur transfusi rutinku sekalian hari ini."
"Transfusi rutin?" Manik Yuna membola. "Kamu sakit apa? Kira-kira masih kuat untuk belajar hari ini? Mengapa tidak minta izin saja?"
"Ini bukan kali pertamaku ditransfusi di klinik sekolah," sergah Yibo, membungkam Yuna seketika. "Tubuhku sudah beradaptasi setelah tujuh belas tahun mengidap thalassemia, jadi jangan cerewet."
Thalassemia. Otak Yuna membongkar segala dokumen dari rak biologi. Kelainan hemoglobin. Sel darah yang mudah pecah. Anemia berat. Obatnya? Transfusi reguler.
Sekarang, Yuna mengerti mengapa di beberapa waktu, Yibo terlihat sangat pucat, bahkan sampai kuning.
"Tapi tetap saja, klinik sekolah mungkin tidak terstandar untuk melakukan transfusi darah. Walaupun peraturan 3-E ketat sekali, alasan sakit pasti masih diterima untuk tidak ikut pelajaran."
"Ujian mingguan sudah dekat. Mustahil aku mengorbankan sejumlah besar materi dengan tidak masuk sekolah, Choi Yuna."
Tertegun Yuna mendengar itu. Pada ujian percobaan bulan lalu, Yibo mengamankan posisinya di peringkat empat, menggeser Seokmin, Chaeyeon, dan Mingyu yang pada saat masuk 3-E berada di atasnya, tetapi dengan mengesampingkan kesehatan, apakah kemenangannya bermakna? Sebentar, bukankah setiap orang di 3-E menomorduakan kesejahteraan jasmani mereka demi mempertahankan kursi? Mereka belajar gila-gilaan karena sistem memaksa mereka berbuat demikian. Banyak siswa mengacuhkan nyeri di pergelangan tangan, beberapa titik darah dari hidung, atau demam yang naik turun (tidak terkecuali Yuna); yang penting nilai mereka aman. Yuna boleh cemas saat jarum infus mulai terlibat, tetapi bahaya laten ini sebenarnya sudah mengancam dari awal 3-E dibentuk.
Akhirnya, Yuna mengakui bahwa kelasnya sangatlah meremukkan raga, mungkin juga benak para penghuninya.
"Yibo, kamu boleh pinjam catatanku kalau misalnya nanti tidak kuat dan butuh istirahat saat pelajaran masih berlangsung. Aku akan catat selengkap mungkin dan menjelaskannya, kalau perlu mengajak mereka yang lebih paham. Pokoknya jangan memaksakan diri, oke?"
Menatap Yuna lamat, Yibo ujungnya hanya menjawab pinta Yuna dengan anggukan singkat sebelum masuk aula dan berjalan lurus ke arah Junhoe. Pemuda garang beralis tebal itu sekilas memicing pada Yuna, memaku si pengurus kelas di tempat, tetapi kemudian bersikap tak peduli, berbincang dengan sang kawan yang baru tiba.
Saking takutnya pada Junhoe, Yuna tidak mengantisipasi serangan dari balik punggungnya.
"Kitik, kitik, kitik!"
"Kyaaa!!!"
Sontak semua kepala di aula berpaling pada Yuna dan 'penyerangnya', Chaeyeon, yang nyaris bergulung di lantai. Sang sekretaris kelas memohon-mohon agar Chaeyeon berhenti, tetapi yang keluar malah jeritan alih-alih permohonan. Geli!
"Chaeyeon-ah, sudah, su—ahahahahaha!"
"Hayo, jangan melamun pagi-pagi, nanti kerasukan!"
"Aku—hahaha!—sudah t-tidak melamun lagi, sungguh .... Sudah, Chaeyeon .... Hahahaha!"
Yuna baru dibebaskan setelah ia jatuh lemas gara-gara tertawa. Chaeyeon menggembungkan pipi manakala mengulurkan lengan pada sang sahabat, membantunya berdiri. "Aku tidak suka kalau kamu mematung begitu, pasti sedang kepikiran sesuatu, deh. Jangan hobi berpikir, nanti kamu tambah pintar dan aku akan makin sulit menyusul nilai-nilaimu."
"Ya ampun, Chaeyeon, kamu kan juga pandai. Lagipula siapa yang hobi berpikir? Dasar kamu ini."
"Terus tadi ada apa? Kok diam saja di depan pintu?"
Perhatian Chaeyeon selalu meningkat seirama dengan pengabaian Yuna terhadap dirinya sendiri. Ditambah lagi, si bando tipis tak pernah tampak sakit atau lelah, pasti karena ia menjaga tubuh dengan lebih baik ketimbang Yuna. Jika di 3-E, ada orang seperti Chaeyeon yang mampu merawat diri dan teman, rasanya kelas ini masih punya harapan untuk kembali 'sehat'.
"Sini sebentar, aku mau cerita ...."
***
Sehabis mata pelajaran fisika, Jaehyun diminta Guru Noh untuk menghadap ke ruang guru terkait teknis pengerjaan tugas kelompok, padahal ada lima belas eksemplar buku teks astronomi yang mesti dikembalikan ke perpustakaan. Buku itu diterbitkan secara terbatas di Seoul Global High dan menjadi sumber utama untuk menjawab modul fisika planet hari ini, jadi semua anak wajib meminjamnya dari sekolah. Sekarang, Yuna mencoba mengangkat semuanya sendiri ke perpustakaan, tetapi beratnya sungguh keterlaluan! Tumpukan tinggi itu pun jatuh lagi ke bangkunya.
"Ini ke perpustakaan?"
"Ah, iya." Sedikit terkejut, Yuna tidak menyangka kawan mata empatnya bisa mengangkat lima belas buku tanpa bersusah payah. "Terima kasih, Seokmin-ah."
"Oke." Seokmin menggerak-gerakkan kepala untuk membetulkan kacamatanya yang melorot, mencoba menggantikan fungsi tangannya yang penuh, tetapi gagal. Yuna mendadak teringat gerak kepala burung, tergelak, dan mendorong bingkai lensa sahabatnya menaiki jembatan hidung.
"Mestinya masing-masing orang mengembalikan buku mereka langsung, tidak usah melaluimu."
"Anak-anak yang malas pasti akan menunda mengembalikannya, jadi daripada aku dan Jaehyun kena omel petugas perpustakaan, lebih baik kukumpulkan semuanya," ujar Yuna sembari mengambil alih lima buku teratas untuk meringankan Seokmin. "Mana aku tahu ternyata Jaehyun dipanggil Guru Noh setelah kelas? Untung ada kamu."
"Wah, enaknya aku pasang tarif berapa untuk mengangkut buku dari kelas ke perpustakaan, ya?"
"Oi!"
Kali ini, Yuna dan Seokmin tertawa bersama, sejenak mengesampingkan pegalnya lengan akibat menahan beratnya buku. Tunggu, omong-omong soal lengan pegal, Yuna baru sadar kalau belakangan, Seokmin mengeluh pergelangan tangannya kesemutan. Apakah nyerinya akan memburuk dengan pekerjaan ini?
"Aku rajin mengompresnya, jadi sekarang sudah tidak apa-apa," ucap Seokmin usai mereka mengurus pengembalian buku.
"Syukurlah. Aku merasa akhir-akhir ini, tugas kita sangat banyak dan materi ujian mingguan semakin mampat, sehingga banyak anak yang kelelahan."
"Kamu juga lelah?"
Tadinya mengungkapkan kalimat itu untuk menunjukkan kecemasan, Yuna justru balik membuat cemas orang lain. Ia menggeleng meski mengetahui ada satu sisi dirinya yang jenuh sekali dengan rutinitas sepadat ini.
"Yibo saja masuk sekolah dengan jarum infus di tangan dan bilang dirinya baik-baik saja. Masa aku tidak?"
"Keadaanmu dan Yibo tidak bisa dibandingkan."
"Iya, sih ... tapi pasti ini cuma sedikit keram gara-gara aku masih belajar saat harusnya beristirahat." Yuna menyangkal dugaannya sendiri yang menganggap badannya sudah melampaui batas. "Kupikir mulai saat ini, seluruh 3-E juga harus menggunakan waktu istirahat mereka dengan sungguh-sungguh beristirahat, bukannya main basket atau mengerjakan paket soal. Bulan ini demikian mencekik; kalau kita masih beraktivitas ketika mestinya rehat, cadangan energi kita akan terus bocor."
Seokmin tersenyum.
"Tidak ada satu pun dari lima belas orang ini yang bisa tenang dengan bayang-bayang peringkat rendah, Yuna. Aku benci mengakuinya, tetapi aku tidak akan bisa tidur setelah setidaknya mengerjakan empat puluh butir soal setibanya di rumah. Kepala Sekolah Park berhasil mengubah pola pikir kita dengan sistem ini, sehingga tanpa sadar, tubuh kita menolak beristirahat, bukan begitu?"
Pernyataan pahit Seokmin makin membuka mata Yuna bahwa masalah yang lebih besar dari keseimbangan jam belajar dan istirahat adalah ketakutan yang ditanamkan para guru pada mereka. Jam pulang mereka sudah amat larut, tetapi Yuna tidak mampu menghindari dorongan 'wajib membaca' hingga jarum pendek jam dinding menunjuk angka satu atau dua. Pepatah mengatakan, gulirkan penamu sedetik, maka tamatlah seluruh kehidupan sekolahmu.
Yuna diam-diam mendengus.
Apa pada dasarnya para guru sedang menyakiti kami? Tidak adakah cara untuk memperoleh hasil terbaik tanpa perlu menyiksa diri begini?
"Lho, tirai klinik kok ditutup?"
Yuna lekas menoleh ke ruang berukuran sedang di sisi kanan koridor. Ada tiga tempat tidur dalam klinik sekolah, masing-masing berdamping dua tirai, dan salah satunya kini tengah menyembunyikan seorang pasien. Karena seluruh lantai ini merupakan fasilitas eksklusif, dapat dipastikan yang terbaring di sana adalah siswa 3-E; patutlah Yuna mencari tahu siapa.
"Permisi, Ssaem," bisik Yuna hati-hati pada Guru Jo, dokternya siswa-siswa 3-E, "ada siapa?"
Laki-laki botak berusia lebih dari setengah abad itu menjawab ramah, setengah berbisik pula. "Wang Yibo sedang menyelesaikan transfusi dan Goo Junhoe menemaninya. Boleh saja kalian menjenguk kalau tidak takut diterkam."
Yuna meringis. Guru Jo cukup 'gaul' untuk mengetahui betapa mengerikannya Si Kepala Api. Kendati demikian, suasana klinik masih dingin biarpun ada Junhoe di dalam karena petikan gitarnya membaur dengan semilir angin, menimbulkan kesejukan. Yuna dan Seokmin sama-sama mencuri beberapa detik untuk menikmati melodi akustik ini, tetapi mendadak ... tang!
"Sial, senarnya putus!"
"Ambil saja gantinya di kelas. Kau bawa, kan?"
"Belum beli. Rekeningku yang satu diblokir Si Duda Busuk dan yang lainnya belum diisi. Argh, kurang ajar!"
Yuna menelan ludah. Sepandai apa juga Junhoe memainkan musik, kalau mengamuk sama saja seramnya. Soal 'Duda Busuk' yang disebut pemuda itu tadi, sang sekretaris kelas mengira Junhoe merujuk pada ayahnya. Pantaskah orang yang membesarkanmu diberi julukan semacam itu?
Srak!
Belum menguasai diri usai mendengar kata-kata kasar Junhoe, Yuna dan Seokmin terkesiap begitu tirai disibak kasar, menampakkan Yibo yang menyandarkan kepalanya di atas dua bantal dan Junhoe yang—uh, oh.
"A-Anu," gugup Yuna, "aku cuma ingin tahu siapa yang beristirahat di sini. Barangkali dia tidak sanggup mengikuti pelajaran, aku kan bisa menyampaikannya pada guru periode berikutnya .... Tolong jangan salah paham ...."
"Dan aku sudah dengar lagumu yang lain, Junhoe, itu indah sekali! J-Junhoe benar-benar pandai bermusik!" Seokmin tahu-tahu menyambung dengan kalimat yang topiknya melenceng jauh. Yuna tidak memandang bertautnya alis si preman kelas sebagai pertanda baik.
"Si kunyuk itu kan yang memberitahumu?"
"Kunyuk? Bukan, itu Jaehyun yang memperdengarkan—"
"Bodoh, Jung Kunyuk itulah yang kubicarakan." Junhoe mendorong dahi Seokmin dengan telunjuk. "Katakan padanya untuk berhenti bersikap seolah-olah dia sahabatku dan kau, Kunyuk Betina, tidak usah sok keibuan kalau tidak mau mati muda. Kau tak akan sanggup mengurusi kami semua."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top