Cuts (1)
Sebelumnya: Jacob memiliki salinan kunci jawaban evaluasi bulanan! Hal ini sangat mengecewakan Yuna, tetapi Jacob rela dilaporkan oleh pengurus kelas demi menjaga kehormatan para siswa 3-E. Sementara itu, sidang kekerasan sekolah dimulai kembali. Chaeyeon memohon pada Yuna agar Jiho—sahabatnya sekaligus salah satu tertuduh—tidak sampai dikeluarkan bila terbukti bersalah. Sayangnya, pikiran Yuna sendiri dikacaukan oleh jatuhnya kepercayaan Mina pada kedua pengurus kelas ... yang mungkin akan menulari siswa-siswa lain di 3-E.
***
Tangisan Chaeyeon tidak membuat Yuna dan Jaehyun dapat melakukan sesuatu untuk Jiho—atau Mina. Dua siswi yang diduga bersalah atas kasus perundungan Sujeong itu tetap diantar ke aula untuk menjalani sidang kekerasan sekolah. Masing-masing menyandang tas mereka ketika pergi, tetapi hingga jam pelajaran berakhir, Jiho tidak kembali. Hanya Mina yang masuk untuk mengikuti jam pelajaran sore sampai selesai dan ia tidak bicara sepatah kata pun saat ditanya mengenai jalannya sidang.
Sepanjang perjalanan pulang sekolah, Chaeyeon diam seribu bahasa.
Kelas 3-E diisi tiga belas siswa saja di hari berikutnya. Guru Jang mengungkapkan bahwa Jiho—bersama dua siswa kelas A yang 'bekerja sama' dengannya—terbukti melakukan perundungan terhadap Sujeong, maka ketiganya dijatuhi hukuman terberat, yaitu dikeluarkan dari Seoul Global High. Perihal Jacob, kecurangan yang ia lakukan juga termasuk kejahatan yang tidak dapat ditoleransi sehingga sanksinya sama: drop out. Segera setelah pengumuman itu, reaksi-reaksi dramatis—gelengan berulang, desahan kecewa, hingga isakan pelan dari Chaeyeon—bermunculan ke permukaan. Kendati demikian, Yuna masih duduk tegak dengan raut kaku, terlebih ketika Guru Jang bilang Minghao dan Sujeong—pemegang peringkat enam belas dan tujuh belas pada evaluasi bulan April—akan menempati 3-E lagi sebagai konsekuensi dari perubahan 'tidak terduga' ini.
Seakan-akan peringkat ini hanya angka dan posisi tanpa kemelut, batin Yuna, yang tak tahu harus bahagia untuk Sujeong dan Minghao atau bersedih untuk Jacob dan Jiho, juga Chaeyeon. Memasang raut apa pun sepertinya dapat diterjemahkan keliru oleh Chaeyeon sekarang, karenanya Yuna mencoba bersikap biasa saja walau hatinya diremat oleh perasaan yang tak jelas.
Pagi, hari ketiga.
"Minghao!" Mingyu terlonjak dari sisi mimbar di aula kala menemukan sosok tinggi kurus yang ia rindukan di ambang pintu. Minghao tersenyum tipis selagi Mingyu berlari untuk memitingnya. Pimook dan Jungkook berjalan pelan menghampiri kawan mereka yang sedang gembira, diikuti Seokmin yang bangkit belakangan, tetapi meski ikut beramah-tamah pada Minghao, Yuna tahu fokus Seokmin bukan pada si pemuda Haicheng.
"Ryu Sujeong, kamu sudah sehat?"
Siswi ikal yang kemarin tampak berantakan di rumah sakit kini menyatukan rambutnya dalam satu kepangan ke belakang, poninya dijepit di samping. Dia mengangguk malu-malu dengan rona wajah segar. Andai tidak sedang menemani Chaeyeon yang murung, Yuna pasti telah mengembuskan napas lega.
"Kalian ke sini berdua? Cepat sekali! Kau kan baru putus—aduh!"
Ucapan Mingyu ini sungguh tumpul. Pimook menyikut rusuknya dari kanan, Seokmin dari kiri, maka tentu saja pentolan klub fisika itu memekik lumayan keras. Minghao berdecak kecil. "Kau gila. Aku hanya mengantarnya dari rumah seperti mau Jisoo karena dengan dikeluarkannya Kim Jiho, Ha Sooyoung, dan Kim Minkyung dari sini, ia belum tentu aman."
Jungkook menyilangkan lengan di depan dada. "'Seperti mau Jisoo', ya? Kau tidak benar-benar putus dengan si bulat itu?"
"Tidak—ya—maksudku, sial, Jisoo tidak bulat!" Alis tajam Minghao bertaut tersinggung. "Kami membicarakan semuanya dengan lebih tenang kemarin. Dia memaafkanku setelah mengetahui hasil sidang, lalu kami berbaikan."
"Wah, padahal aku baru mau bikin gosip tentang kalian," goda Pimook. Minghao mengejarnya mengelilingi aula, memancing tawa Mingyu dan Seokmin, bahkan Jungkook. Sujeong pun terkikik, tetapi ia tak terlihat nyaman bersama para laki-laki. Yuna gatal ingin menghampiri dara pemalu itu, masalahnya Chaeyeon tidak bisa ditinggal sendiri.
Atau setidaknya, Yuna berpikir begitu. Saat gadis Jung di sisinya mendadak berdiri, tatapan Yuna berubah penuh tanya.
"Kamu ingin menemani Ryu Sujeong, kan? Tidak apa-apa, kok." Suara Chaeyeon pecah dalam sedu yang tersangkut di kerongkongan, gagal memperdengarkan ketulusan pada sahabatnya. "Tinggalkan saja aku sendiri; tidak masalah, kok, benar."
"Jangan begitu. Aku masih ingin di sini." Yuna mulai bersikap manis untuk meluluhkan kawannya yang terlihat cemburu. "Ayolah, Chaeyeonie, jangan ngambek. Sini, duduk sini."
Mengerucutkan bibir, Chaeyeon ujungnya tetap menggelayut manja ke bahu Yuna sembari melanjutkan ceritanya yang—masih—tentang Jiho. Yuna sebenarnya bosan mendengar Jiho begini, Jiho begitu, tetapi toh Chaeyeon tidak pernah menampakkan kejemuannya setiap kali Yuna curhat soal kangennya dia pada Eunbi. Jahat sekali kalau sampai ia meninggalkan si cantik ini, kan? Sesekali mengusap air mata yang bandel mengaliri pipi Chaeyeon, Yuna kadang mencuri pandang ke arah Sujeong yang terus memandangnya, seperti ingin menghampiri, tetapi takut mengganggu.
"Ryu-Su-jeong!"
Suara ceria ini berasal dari Yiyang yang baru saja tiba. Sicheng berjalan di belakangnya.
"Senang melihatmu gembira begini. Minghao tidak jutek padamu selama di perjalanan, kan?"
Sujeong menggeleng, masih tersenyum, sedangkan Minghao mendesis jengkel, menanggapi candaan Yiyang dalam bahasa ibunya ('Bú yào kuāzhāng!') yang dibalas Yiyang dengan frasa dan raut berlawanan ('Wǒ rènwéi búshi' sambil tersenyum dan menepuk-nepuk puncak kepala Minghao yang jauh lebih tinggi). Mereka terlihat seperti kakak-beradik—dan Yuna baru ingat bahwa nama marga mereka sama.
*Bú yào kuāzhāng: (Mandarin) Jangan berlebihan.
** Wǒ rènwéi búshi: (Mandarin) Kurasa tidak.
"O, ya, berhubung Sujeong sudah kembali, aku mau tanya banyak hal. Boleh, ya?"
Sicheng mengerjap sebelum menutul punggung kekasihnya, membisikkan sesuatu dengan sedikit cemas. Yiyang terkekeh, mengibaskan tangan ke arah Sicheng seolah berkata 'jangan khawatir'. Sujeong sepertinya tahu apa yang ingin Yiyang bahas, maka dia—dengan mencengkeram sandangan tas—berucap berani.
"Kalau ini mengenai kasusku, tidak mengapa, aku akan cerita semua."
Dengan itu, Sujeong pun digiring Yiyang ke salah satu sudut aula. Semua anak laki-laki mengekor, kecuali Seokmin dan Sicheng. Seokmin jelas tidak tertarik karena ia sudah mendengar semuanya saat membesuk Sujeong, sementara Sicheng yang muram barangkali kehilangan minat pada apa pun sejak Jacob resmi di-drop-out.
***
Satu istirahat siang, Yuna, Jaehyun, dan Seokmin melanjutkan pengerjaan resensi mereka. Berhubung sudah menyelesaikan tugas masing-masing dalam bentuk dokumen pengolah kata, sekarang mereka hanya perlu menyatukan bagian-bagian itu serta menyamakan persepsi. Mereka sepakat untuk meminjam komputer di laboratorium teknologi-informasi agar tidak perlu repot membawa komputer jinjing sendiri. Tiga media penyimpanan tertancap ke portal USB; Jaehyun yang duduk di tengah membuka tiga jendela berbeda yang menampilkan isi penyimpanan mereka.
"Masih saja namanya 'Ujuna'," gumam Seokmin geli dan Yuna memukul lengannya di belakang punggung Jaehyun.
"Wah, benar." Jaehyun terkekeh ketika menemukan tiga huruf hangul yang membentuk kata tersebut pada bagian nama disk Yuna. "Manis sekali."
"Tidak, itu memalukan .... Aku akan menggantinya nanti."
"Mengapa harus diganti, Yuna-ya? Itu kan simbol persahabatan," komentar Seokmin. Yuna memukul lengannya lagi dan Jaehyun memandang sekretarisnya itu penuh tanya.
"'Ujuna' itu singkatan dari 'Uju dan Una'," jelas Yuna kemudian pada Jaehyun. "Eunbi biasa memanggilku 'Uju', sementara aku memanggilnya 'Una'. Kami membeli flash disk dengan desain mirip, hiasan gantungnya juga pasangan, makanya kami menamainya dengan panggilan sayang kami. Hahaha, norak, kan?"
"Tidak, kok. Banyak orang menamai media penyimpanan mereka dengan lebih norak. Aku ingat waktu SMP, akun administrator komputer di rumah kunamai 'Warlock' gara-gara aku suka main game." Jaehyun mengaku dosa. "Ah, berkasnya yang berjudul 'Resensi Buku Nonfiksi' ini?"
"Mm."
"Baiklah, Uju-ya, mari kita salin bagianmu ke desktop."
"Jaehyun!" seru Yuna dengan pipi merona selagi Seokmin terpingkal di balik tangan. Gadis itu tidak yakin perasaan hangat apa yang menyergapnya. Ada kesan akrab yang menyertai nama pemberian Eunbi itu, bahkan ketika diucapkan orang lain. Padahal nama itu dulunya digunakan di lingkungan yang minim tensi, tetapi nyatanya, suasana tersebut kembali bangkit pada ruang yang lebih dingin. Selain itu, lesung pipi Jaehyun yang tercetak saat mengucap namanya sungguh menggemaskan; hampir saja pertahanan Yuna runtuh dan telunjuknya tertancap ke cekungan itu.
Tidak, Choi Yuna, tahan.
Namun, momen-momen seperti inilah yang Yuna—dan pemegang peringkat lima belas ke atas—butuhkan agar dapat bertahan hidup dalam tanpa ampunnya sistem 3-E. Harus ada bilik kecil untuk sekadar menikmati ikatan pertemanan (atau lebih); bagaimana pun, inti kehidupan remaja seumur Yuna ada pada ikatan-ikatan itu. Bank soal dan jam belajar yang panjang, apalagi kompetisi tiada akhir di kelas elit ini, tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar para remaja yang belum stabil.
Kembali Yuna pandangi nama disknya di jendela media penyimpanan.
Ya, sudahlah, tidak usah kuganti namanya.
Setengah jam berikutnya dihabiskan dalam diskusi. Mereka membahas, meralat, dan menambahkan keseluruhan resensi yang telah disatukan. Dari diskusi ini, setidaknya Yuna—yang mengerjakan nonfiksi saja—dapat memahami apa yang Jaehyun dan Seokmin baca, begitu pula sebaliknya. Guru sastra mereka tidak suka bila ada kelompok yang pemahaman anggotanya timpang, dengan kata lain siswa yang hanya menguasai bagiannya tanpa mempelajari semua bahasan, dan diskusi ini sangat membantu untuk menghindari sanksi moral yang tidak perlu, misalnya review sinis dari sang guru.
"Nah, berdasarkan hasil pencarianku, penulis ini adalah seorang feminis. Meskipun lahir di era modern, ia sering mengangkat latar zaman feodal pada tulisannya yang lebih jauh menegaskan feminismenya. Aku menambahkan ini dalam bahasan faktor ekstrinsik di balik penokohan novel." Seokmin menggulung layar.
"'Pola yang sering digunakannya adalah karakter wanita di balik layar dan pria yang tidak berpendirian, mengesankan kuatnya kendali wanita dalam sebuah institusi di mana wanita secara legal tidak dapat berperan besar.' Apa di karyanya yang lain, ia juga sering merancang tokoh wanita seperti itu?" tanya Yuna.
"Benar."
"Dalam karyanya yang mana saja? Kurasa penting untuk menambahkannya di sini." Jaehyun memutar anak panah pada layar melalui tetikus. "Kamu menyebut 'sering'. Seberapa sering itu, sebaiknya ditunjukkan dengan menuliskan beberapa judul di mana terdapat pola karakterisasi yang mirip."
Seokmin membulatkan bibir. "Aku tidak benar-benar mencari itu. Maaf ...."
"Tak masalah. Kita kan punya koneksi internet cepat di sini." Kursor Jaehyun arahkan ke ikon aplikasi penelusuran. "Sekarang—uh."
Kontan Yuna dan Seokmin berpaling pada Jaehyun yang memicing. Telapaknya kaku di atas tetikus tanpa mengeklik ikon di mana kursornya tertambat.
"Jaehyun, ada yang sakit?" tanya Seokmin segera dengan cemas. Yang ditanya meringis, memaksa tersenyum kendati masih menahan nyeri.
"Pergelangan tanganku. Ini sering terjadi belakangan. Tidak apa-apa; sebentar juga reda. Jadi, tadi kita akan mencari apa?"
"Tidak, kamu harus mengistirahatkan tanganmu." Perlahan, Seokmin memindahkan telapak Jaehyun dari atas roda tetikus dan mengambil alih kursor, tetapi melihat Jaehyun memejam rapat sembari terus memegangi pergelangan, ia urung melanjutkan pekerjaan. "Apa kita harus ke klinik? Tampaknya itu sangat menyiksa."
"Memang selalu seperti ini di awal, tetapi nanti juga berlalu."
"Jangan meremehkannya, Jaehyun. Sebelum berbaris pagi tadi, Dong Sicheng sempat memberiku ini." Yuna mengeluarkan plester antinyeri berukuran sedang dari saku roknya. "Dia bilang kamu sering kesakitan kalau terlalu lama mengerjakan soal. Akhir-akhir ini, dia memperhatikanmu dan katanya kamu kadang berhenti menulis cukup lama. Aku benar-benar melewatkan tanda itu; untung saja dia memberitahuku. Kupasang, ya?"
Pasrah, Jaehyun mengangguk.
"Jadi, ini bukan pertama kali," simpul Seokmin selagi Yuna menempelkan plester ke pergelangan tangan Jaehyun. "Apa kau sudah memeriksakannya?"
"Belum. Poliklinik mana pun akan tutup di hari libur kita, Seokmin-a." Jaehyun tertawa kering. "Ke Guru Jo juga tidak mungkin; beliau hanya bisa memberikan terapi terbatas di klinik sekolah. Dan minta izin bukan pilihan; evaluasi bulanan tinggal dua minggu lagi."
"Jaehyun, jangan memberi contoh buruk pada kami." Kening Yuna berkerut tak setuju. "Kalau memang sakit, periksakan, jangan ditahan-tahan. Bahkan Dong Sicheng mencarikan informasi klinik rehabilitasi yang buka akhir pekan padaku saking kesalnya. 'Jaehyun sepertinya hobi menyakiti diri sendiri, jadi tolong minta dia pergi ke Klinik Ideal Wellness di Itaewon kalau tangannya betul sakit. Senter itu buka dari jam delapan pagi sampai delapan malam.' Sampai segitunya!"
Kali ini, sang ketua kelas terkejut hingga tersedak gelaknya sendiri. "Ya ampun, anak itu. Darimu pun, aku bisa merasakan kemarahannya. Dia persis ibuku, tidak bisa tenang melihatku sakit sedikit saja."
"Kami juga tidak tenang, tahu!" celetuk Yuna dan Seokmin nyaris bersamaan.
"Nah, sekarang kalian ikut-ikutan stres. Iya, iya, aku akan ke sana Sabtu ini. Aneh juga, mengapa Sicheng tidak langsung mengatakannya padaku? Biar lebih lega mendampratku tanpa melewatimu, Yuna."
Gadis Choi di kiri Jaehyun menjawab dengan desahan lelah.
"Aku ... tidak sedekat itu dengan Jaehyun. Kan aku ada di peringkat tiga belas, empat belas malah pada April kemarin."
"Apa hubungannya peringkat dengan pertemananmu? Kamu sudah jadi sahabatnya sejak kelas satu. Hal-hal personal macam ini tidak akan kuketahui kalau bukan darimu, Dong Sicheng."
"Itu dulu. Sekarang, lingkarannya adalah kalian, anak-anak peringkat tinggi. Kau dan Lee Seokmin sering bersamanya, jadi aku titip dia sekalian."
"Dia bilang begitu?" tanya Jaehyun, tatapannya masih ke monitor, dan ia melanjutkan dengan lebih lirih. "Sayang sekali. Kukira hubungan kami merenggang semata karena ia terlalu nyaman bersama pacar dan kawan-kawan senegaranya. Tidak kusangka peringkat ini juga memengaruhi cara pandangnya terhadapku."
Seokmin mengeklik sebuah tautan bibliografi penulis dan menyeleksi beberapa penggal kalimat untuk memperbaiki tugasnya. "Kita bisa mengajak Dong Sicheng jika sedang belajar bersama atau makan di kantin supaya dia tidak merasa berada di luar 'lingkaran'," usulnya. "Kalau dia bicara seperti tadi, aku jadi merasa sudah menjauhkanmu darinya. Memang sayang; padahal kalian sebelumnya berbeda kelas, tetapi justru kalian menjauh setelah sekelas."
"Tidak ada yang menjauhkan siapa pun dariku, Seokmin. Pada dasarnya, aku memang tidak dekat dengan siapa-siapa. Sicheng dulu dekat denganku karena ayahku ditunjuk menjadi orang tua asuh oleh yayasan beasiswanya, tetapi awal semester dua kelas dua, dia pindah ke asrama khusus pelajar Tiongkok." Jaehyun mencondongkan tubuh untuk memeriksa pekerjaan Seokmin. "Ya, begitu lebih baik, berikan referensi pada karyanya yang lain. Jangan lupa cantumkan sumbernya di daftar pustaka."
Tatkala Seokmin sibuk menyalin dan menyunting rujukannya, Yuna menatap Jaehyun lamat-lamat.
"Kamu bohong. Kamu orang yang sangat aktif di OSIS dan klub ilmiah, Jaehyun. Kamu pasti punya banyak teman."
"Teman tidak sama dengan sahabat karib," sahut Jaehyun. "Kamu bisa menyebut semua siswa di kelas C sebagai temanmu, tetapi bukankah yang bisa kausebut sahabat hanya Jung Eunbi? Aku bukan tipe orang yang dapat meresapi perasaan orang lain dengan baik, maka aku tidak benar-benar berkeinginan untuk bergembira maupun bersedih bersama orang lain sebagaimana harusnya seorang sahabat."
"Mustahil!" Seokmin yang sangat mendewakan Jaehyun tentu terpukul oleh kalimat menjatuhkan yang justru diucapkan sang idola sendiri. "Kau adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki, Jaehyun!"
Tertegun, Jaehyun lantas terkekeh ringan dan berterima kasih. Buat Yuna, tawa itu beku, seakan-akan menertawakan kenaifan Seokmin, dan sejenak Jaehyun terasa jauh. Pemuda yang selalu bisa diandalkan dan membuatnya nyaman itu mungkin punya pandangan lain akan arti pertemanan, tetapi berhubung tugas mereka belum selesai, Yuna tidak berkomentar apa-apa sampai mereka keluar dari laboratorium komputer sepuluh menit sebelum bel berbunyi.
"Apa kamu berpikir ... persahabatan tidak akan bertahan lama di lingkungan kita yang sekarang?"
"Ya dan tidak," jawab Jaehyun pada Yuna. Saat itu, Seokmin berjalan jauh di depan mereka sebab ia bertemu dengan Minghao dan Pimook di tengah koridor menuju kelas. "Lihatlah betapa dinamisnya kelas kita sekalipun tidak ada perubahan anggota. Hari ini bersahabat, besok terpisah atau malah bermusuhan. Kau dan aku pun mungkin bisa putus kontak bulan depan jika salah satu dari kita terdepak."
Jantung Yuna berdenyut ngilu demi mendengar kata terdepak.
"Bukankah aku mengerikan? Kau dan aku sudah pernah mempermasalahkan ini sehari sebelum kita dipanggil untuk urusan pergantian anggota kelas. Memang begitulah sudut pandangku mengenai persahabatan." Jaehyun menatap kosong lorong putih di depannya. "Persaingan ini menumpulkan, Yuna, dan sejauh yang kuingat, lingkungan eksklusif tidak pernah menunjang satu persahabatan pun. Yang ada hanya simbiosis. Kau menguntungkanku, maka kau sahabatku. Jika tidak, maka kita selesai.
"Tentu saja, aku tidak bisa mengatakan ini pada siswa-siswa kelas yang membutuhkan dukungan kita, bukan?"
Ya, kau tidak bisa karena kau harus menjadi yang paling sempurna di antara kami semua.
Lambat laun, Yuna mulai mampu memahami bahwa Jaehyun—dengan semua tindakan yang membuat Yuna berani menggantung harapan pada kelas ini—sebenarnya memendam pesimisme yang tidak dapat ia ungkapkan pada semua orang. Barangkali Jaehyun sadar akan ekspektasi penghuni 3-E terhadapnya, termasuk pula ekspektasi Yuna. Meski terhitung berhasil memenuhi ekspektasi ini, bersikap sebagai andalan semua orang sebenarnya memiliki efek detrimental untuk Jaehyun.
Usai memastikan tidak ada yang melihat mereka, dengan malu-malu Yuna meraih telapak tangan Jaehyun. Pemuda itu membelalak padanya, telinganya memerah—Yuna tidak bakal melewatkan tanda itu.
"Apa yang—"
"Jangan katakan apa pun. Tolong." Pasti mukaku kacau sekali sekarang!, batin Yuna. "Aku ... Aku cuma mau menegaskan bahwa kamu tidak sendirian setidaknya sampai kita masuk kelas."
"Tapi—"
"Aku tahu kamu berpikir bahwa persahabatan mana pun tidak akan abadi dalam lingkungan seperti ini, jadi aku ingin membuat kenangan yang siapa tahu membekas di otakmu kalau kita sudah tidak bersahabat lagi. Sebelum ada yang melihat, a-ayo kita jalan ke kelas. Jangan lepas tanganmu."
Berjalan di depan Jaehyun, Yuna tampak seolah menyeret ketua kelasnya, tetapi tak lama, Jaehyun telah berjalan di sampingnya dalam diam. Ia membenahi posisi tangan mereka; kini, alih-alih punggung tangannya yang bertemu bagian dalam telapak Yuna, Jaehyun mempertemukan sisi yang lebih pucat dari tangannya dengan milik Yuna. Tautan jemari mereka tidak lagi canggung. Yuna memaksa dirinya percaya bahwa nadi yang cepat dari telapak orang yang ia gandeng adalah gema nadinya sendiri.
Sebelum mencapai pintu kelas, Yuna dan Jaehyun melepaskan tangan mereka yang berkeringat. Mereka membuang napas keras seperti habis berolahraga berat.
"Aku akan mengingat itu, Yuna. Aku tak akan pernah lupa."
Jaehyun kembali ke bangkunya, tetapi Yuna tidak bisa melangkah balik ke bangkunya sendiri lantaran tak sanggup menyebelahi Jaehyun dengan debaran jantung segila ini.
---
kok panjang ya guys. maap. padahal ini partnya sdh dipecah2 jadi 3 lho.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top