Bitter Chunks (1)

Sebelumnya: Seokmin terlambat bangun pagi karena tertidur setelah kejang. Ia merasa sangat merepotkan teman sekamarnya, juga gadis-gadis yang membantu Jaehyun memasak, tetapi Yuna tidak keberatan sebab menurutnya, seseorang harus menerima segala kekurangan sahabatnya. Seokmin amat berterima kasih karena pengertian Yuna. Keduanya berbaikan kembali, tetapi rasanya debar dalam dada Yuna menghebat ....

***

Pagi ini, Mina mandi paling awal. Di depan kamar mandi, Sujeong dan Lisa sudah mengantre sambil mengobrol. Yuna—yang sejauh ini dapat giliran paling akhir—memutuskan untuk minum dulu. Ketika hendak minum itulah, Yuna dikejutkan oleh Yiyang yang terjaga dari sofa di seberang ruang makan, padahal pada undian kamar, Minghao dan Mingyu-lah yang mendapatkan sofa ruang tengah untuk tempat tidur. Setelah diamati lagi, dua sekawan itu berbaring dalam kantong tidur di ruang yang sama, memberikan sofa mereka untuk Yiyang. Wajah gadis Xu itu tampak merah sesisi begitu duduk, mungkin karena tidur miring, tetapi ada yang lain—tunggu, lecetkah itu? Niat Yuna menghampiri Yiyang bersambut; justru kekasih Sicheng itu yang mendatanginya duluan karena haus.

"Ah, Choi Yuna, selamat pagi," sapa Yiyang dengan mata bengkak dan senyum tipis. Ia mengisi gelasnya di bawah dispenser dan meneguk cepat. "Ya ampun, ini jam berapa?"

"Jam lima."

"Astaga. Sebentar lagi Jung Jaehyun pasti akan bangun untuk menyiapkan sarapan." Yiyang mengusap wajah untuk menghilangkan sisa-sisa kantuk. "Harus cepat mandi, nih."

"Tunggu." Yuna menunjuk pipi Yiyang. "Itu kenapa?"

"'Itu'?" Yiyang meraba pipinya. Ia tampak tersentak begitu merasakan kasarnya lecet memanjang di sana. Senyumnya kemudian tampak tak natural. "O, eung, ini .... Semalam kan aku tidur di sini, tetapi karena obat nyamuknya kurang ampuh, aku digigiti dan jadi gatal. Kugaruklah sampai lecet begini."

Harusnya, luka akibat garukan tidak akan terlihat—bagaimana Yuna mengatakannya?—seseram itu. Kulit ari Yiyang terkelupas pada tepi lecet yang kira-kira lebarnya setengah senti, berlebihan untuk ukuran garukan setengah sadar. Lagi pula, yang harusnya mendahului perkara garukan itu adalah: mengapa Yiyang tidur di luar? Baru Yuna akan bertanya kembali, ia merasakan presensi lain mendekati meja makan.

Sicheng menatap nyalang pacarnya.

["Jung Chaeyeon melakukan sesuatu padamu?"]

Yuna tidak memahami kalimat Sicheng, tetapi ada Jung Chaeyeon dalam rangkaian kata ini yang memancing perhatiannya. Yiyang semakin panik; digelandangnya Sicheng ke area kolam renang tanpa pamit pada Yuna. Sang sekretaris kelas yang bingung diam-diam membuntuti keduanya hingga bisa mengintip dari pintu kaca yang memisahkan area rumah dan kolam renang. Meskipun ada kursi di tepi kolam, Sicheng dan Yiyang tidak repot-repot duduk; mereka berbicara tegang dalam bahasa Mandarin yang sesekali diselipi 'Jung Chaeyeon'. Hanya sedikit yang bisa Yuna tangkap berhubung ia tidak bagus dalam bahasa asing selain Inggris, di antaranya: 'bagaimana bisa terjadi?' dan 'maaf'. Setelah sepatah kalimat yang tak Yuna pahami apa artinya, Sicheng dengan gusar memutar badan, hendak masuk rumah, tetapi Yiyang mencegah.

["Jangan, Jung Chaeyeon sedang sangat terganggu. Marah-marah tidak akan membantu."]

Yuna menghela napas panjang. Ia memandang kosong lorong menuju kamar depan. Chaeyeon ada di kamar paling muka, tidak terlalu jauh dari tempatnya berdiri, tetapi entah mengapa ia ragu untuk sekadar menanyakan kabarnya. Sejauh ini, Chaeyeon selalu bersikap dingin, berbeda sekali dengan sebelum mereka bertengkar, dan hal tersebut telah membentengi Chaeyeon dari teman-temannya. Apakah Chaeyeon yang beginilah yang asli? Ataukah semenjak bertengkar dengan Yuna, si gadis Jung jadi menutup diri, bahkan pada Yiyang yang senantiasa berlaku menyenangkan?

Raut Sicheng melembut. Ia melepaskan lengannya dari genggaman Yiyang, memastikan bahwa dirinya tidak akan menemui Chaeyeon 'untuk saat ini'. Yuna menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi—

"Sedang apa?"

"Astaga!" Yuna terperanjat, seolah tertangkap basah melakukan perbuatan buruk. "J-Jaehyun?"

Pemuda di hadapan Yuna sudah wangi dan rapi, pada lengannya tersampir celemek. Untung saja pandangan Jaehyun tidak terarah pada gadis yang belum mandi di hadapannya. Bisa mati gaya Yuna nanti.

"Apa mereka bertengkar?" Kening Jaehyun berkerut. Baru Yuna sadari ketuanya memerhatikan Sicheng dan Yiyang, maka ikutlah ia memandang dua sejoli itu. Mereka melanjutkan pembicaraan, tidak setegang tadi, tetapi senyum keduanya lebih tipis dari yang biasa terlihat. Sesuatu terasa salah dari pasangan yang dikenal paling manis di 3-E ini, entah apa, dan itu mengganggu.

"Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang serius," gumam Yuna asal.

Jaehyun mengamini. "Jika mereka berselisih, itu pasti karena hal yang mendasar."

"Kamu sepertinya sangat memahami mereka," celetuk Yuna, kaget sendiri Jaehyun bisa tahu banyak tentang Sicheng dan Yiyang.

"Tentu saja. Sicheng itu penggugup kalau di depan perempuan, jadi sepanjang awal masa pacarannya, aku sangat berjasa untuk mengatur suasana yang pas."

***

Kelas 3-E membagi diri dalam kelompok pada siang hari untuk berkegiatan masing-masing. Kecuali Junhoe dan Yibo yang lebih memilih berenang, para pemuda main basket di halaman depan, sementara gadis-gadis—atas ide Lisa yang kreatif—saling mendandani sebelum mencari spot berfoto yang bagus di lingkungan rumah Jaehyun. Chaeyeon, tentu saja, tidak termasuk salah satu kelompok tersebut, tak peduli seberapa keras Yuna berusaha membujuknya turut bersenang-senang.

"Chaeyeon-ah, ayo kita berfoto bersama! Aku dan teman-teman akan mendandanimu!"

"..."

"Kalau mau bertukar aksesoris atau bahkan baju, boleh saja, lho! Yuk! Jangan belajar terus, nanti kepalamu berasap, lho."

"..."

"Eung ... baiklah, mungkin tidak sekarang, tetapi kamu tahu di mana mencari kami jika berubah pikiran! Kami tetap berada di lingkungan rumah, kok!"

Berusaha menuntaskan soal-soal kimia anorganiknya, Chaeyeon mendadak teringat Yiyang. Kalau dara Sichuan itu ikut berfoto dengan gadis lain, pasti hasilnya akan jelek karena lecet di wajahnya.

Sekarang, kita baru impas.

Impas dalam hal apa, Chaeyeon sendiri tidak terlalu yakin. Ia hanya tidak pernah mampu menghapuskan rasa kesalnya setiap melihat gadis semampai itu. Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu cantik dan ceria tanpa sedikit pun penderitaan, bahkan menjadi kekasih seorang pemuda yang sama menakjubkan? Semua gadis di kelas 3-E menyimpan rasa sakit, secemerlang apa pun mereka: Sujeong dengan ibunya yang gangguan jiwa, Mina dengan kecenderungan bunuh dirinya, bahkan Lisa yang pada permainan kejujuran kemarin mengaku mengejar beasiswa sejauhnya dari Thailand agar terbebas dari siksaan sang ayah.

Ah, benar. Yuna juga belum termasuk dalam daftar menyakitkan itu. Setelah semua yang 3-E hadapi, sang sekretaris kelas malah dikelilingi oleh makin banyak orang yang menyayanginya.

Chaeyeon meremas lembaran buku.

"Kau tidak patut berbahagia sesudah merebut kebahagiaan orang lain. Pahamilah tempatmu, Jung Chaeyeon."

Seseorang mengetuk pintu.

"Jung Chaeyeon, aku ingin bicara denganmu."

Dong Sicheng, dengus Chaeyeon yang mengenali pemilik suara berat di luar pintunya. Ia enggan menjawab siapa pun, apalagi Sicheng saat ini.

"Aku ingin bicara baik-baik soal Yiyang. Tolong keluarlah."

Benar, kan?

Chaeyeon mengetuk-ngetukkan telunjuknya di atas meja. Ia sungguh malas keluar, tetapi Sicheng tidak akan semudah itu menyerah jika sesuatu menimpa Yiyang. Artinya, pemuda itu akan terus berada di depan pintunya hingga ia keluar, mengusik ketenangannya.

Tak ada pilihan lain.

Sicheng sedikit berkeringat. Sepertinya ia izin keluar permainan sebentar untuk bicara dengan Chaeyeon; harusnya, ia tak akan bicara panjang. Keduanya berjalan ke ruang makan dalam keheningan, lalu duduk berhadapan di kursi makan.

"Aku akan langsung saja. Mengapa kau melukai Yiyang hingga ia tidur di luar tadi malam?"

Chaeyeon mengangkat sedikit pandangannya dari gelas air yang terisi setengah. Menurutnya, Sicheng menopengi amarah dengan lumayan baik, tetapi sayang sekali, ia—yang lebih ahli berpura-pura—dapat membaca niat di balik raut tenang tersebut.

"Aku benci padanya."

"Kau sudah tidak menyukaiku lagi, jadi apa yang membuatmu menyakitinya?"

"Percaya diri sekali. Kaupikir alasanku melukai Xu Yiyang cuma karena kau cinta pertamaku dan dia kekasihmu? Aku membenci setiap jengkal keberadaan Xu Yiyang dan itu bukan karenamu sama sekali, Dong Sicheng."

Namun, tidak seluruhnya pernyataan ini memuat kebenaran. Chaeyeon memang tidak lagi menaruh hati pada cinta pertamanya di kelas satu itu, tetapi perkara Yiyang yang mendapatkan Sicheng—ketika dia tidak bisa—masih membakarnya. Tak ada Jung yang suka diungguli atas sebuah pencapaian, apalagi yang menggagalkan usaha Chaeyeon untuk mewujudkan keinginan—dalam hal ini, menjadi kekasih Sicheng—adalah sesama Jung.

"Kalau begitu, terus teranglah pada Yiyang. Ia tidak merasa melakukan kesalahan apa pun, jadi ia juga tidak tahu apa yang bisa memperbaiki hubungan kalian."

"Mengapa harus kau yang bicara bila memang dia ingin berbaikan denganku?" Chaeyeon bersedekap seraya bersandar di kursi makan.

Sicheng tidak langsung menjawab.

"Aku tidak yakin ini sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Yiyang sudah mencoba mendekatimu dan meminta maaf, tetapi kau tidak peduli, makanya aku—"

"Apa aku kurang jelas? Ini semua tidak ada urusannya denganmu." Chaeyeon bangkit dan Sicheng otomatis mengikuti. "Pergilah."

"Jung Chaeyeon!" Sebelah tangan Sicheng menahan bahu lawan bicaranya. "Kita belum selesai bicara!"

Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Sicheng. Selama beberapa detik, yang ditampar dan menampar sama-sama kaku. Chaeyeon, dengan telapaknya masih mengambang di udara, dijejali rasa iri yang tak berkesudahan, juga debar bersalah yang membuat dadanya ngilu.

Apa yang kulakukan? Mengapa aku menamparnya? Tapi, itu salahnya! Mengapa Sicheng harus menahanku? Mengapa Sicheng bersikeras ingin mengakurkan aku dengan Xu Yiyang? Apa dia sebegitu inginnya Xu Yiyang aman dariku? Mengapa dia bisa secinta itu pada seseorang?

Mengapa—aku tidak memiliki seorang pun di sisiku yang seperti dia?

Mengira dirinya sudah muak menangis, nyatanya kelopak mata bawah Chaeyeon tidak bosan tergenang. Ia begitu frustrasi pada hal-hal yang ia saksikan sejak dua hari lalu, kehangatan yang tak akan pernah ia peroleh kembali. Meskipun Yuna berkali-kali mengatakan liburan musim panas ini ditujukan untuk meleburkan batas setiap individu 3-E, Chaeyeon tak mungkin menerima uluran tangan yang sebelumnya ia tepis.

Sicheng tidak akan memperoleh jawaban atas pertanyaannya. Apa salah Yiyang? Chaeyeon pun tak mengerti. Ia hanya ingin marah dan Yiyang berada dalam jangkauannya, maka ke sanalah ia melampiaskan semuanya.

Yuna toh telah meninggalkannya pula.

"Kamu tahu di mana mencari kami jika berubah pikiran!"

Tapi, bukankah yang terjadi malah sebaliknya: ia yang menolak kehadiran Yuna?

Chaeyeon melayangkan tangan, hendak kembali menampar andai seseorang tidak mencekal tangannya.

"Kembalilah ke lapangan."

Secepat kilat, Chaeyeon berpaling ke belakang. Perencana ulung 3-E yang berkulit cokelat telah menahan pergerakannya. Mata tajam pemuda itu seakan menembus kepala Chaeyeon, padahal Sicheng yang ia perintah. Entah mengapa, di bawah tatapan itu, Chaeyeon tak berkutik sama sekali.

Mulut Sicheng membuka, tetapi hanya desahan yang lolos dari sana, kecewa karena belum bisa menyelesaikan urusan Yiyang dengan Chaeyeon. Ia mengerti Chaeyeon butuh waktu sendiri—lagi, maka remaja Wenzhou itu pasrah. Ia beranjak dari ruang makan; terdengar bisikannya yang tulus saat melewati Chaeyeon.

"Maafkan aku."

Alih-alih mendamaikan, darah Chaeyeon mendidih sampai ke ubun-ubun. Kendati demikian, ia tidak mampu berbuat apa-apa ketika Mingyu menyeretnya dan mendudukkannya di kursi, juga menuangkannya air.

"Minumlah."

Aku tidak butuh!

Dalam keadaan yang iritabel, lazimnya Chaeyeon akan menyemburkan kata-kata ini, tetapi sejak diselamatkan Mingyu pada pemberontakan 3-E, ia tidak lagi menganggap Mingyu sebagai seseorang yang sama. Apa pun perbuatan atau kata-kata Mingyu, Chaeyeon tidak mampu melawannya sebab setiap kali ingin melawan, terbayang darah yang bermuncrat dari perut Mingyu akibat serpihan bom kaleng cat. Ingatan tentang Mingyu yang tidak sadarkan diri karena syok di rumah sakit seolah memaksa si gadis untuk menebus dosa dengan cara apa pun, termasuk bersikap patuh.

Yang mana dapat berakibat buruk.

Selagi Chaeyeon meneguk air dari gelas yang diisi penuh itu, Mingyu buka suara.

"Waktu salah satu sahabatku meninggal, aku sangat marah pada orang yang kupikir adalah penyebab kematiannya. Ternyata, segalanya tidak seperti yang kukira dan aku menyesal hingga detik ini—hanya karena kemarahan beberapa menit. Aku masih sering menganggap kalau aku membenci orang itu karena salahnya, tetapi sebenarnya, aku membenci diriku sendiri yang penuh kebencian. Kuharap kau tidak akan pernah jatuh dalam keadaan itu, Jung Chaeyeon."

"Terlambat untuk mendoakanku." Chaeyeon meletakkan gelasnya yang kosong sebelum menghapus air mata yang tak sempat menetes. Ia tahu siapa yang Mingyu maksud dalam cerita barusan, tetapi tidak berusaha mengonfirmasi dugaannya. Ia lebih memikirkan inti dari cerita itu: bahwa kebencian, sekalinya diungkapkan, akan mengubah makna keseluruhanikatan. Sudah terlalu banyak ikatan yang Chaeyeon putuskan di masa lampau demi memenangkan sebuah pertarungan. Tentu akan merepotkan kalau harus menyambung kembali semuanya, satu demi satu.

Kesepian ujungnya akan dipilih Chaeyeon kembali.

Mingyu bilang ia benci dirinya yang penuh kebencian. Mungkin itu jugalah yang terjadi pada Chaeyeon saat ini sehingga kemarahan yang buta melahapnya. Segalanya tampak buruk baginya, padahal sebenarnya ialah yang terlalu buruk untuk segala hal.

Tangan Chaeyeon mengepal di atas pangkuan.

"Aku akan tunjukkan padamu bahwa tidak ada kata terlambat untuk memulai ulang." Mingyu menumpukan kedua lengan pada meja saat bangkit dari kursi makan. Nadanya yang penuh tekad secara misterius membuat nyaman Chaeyeon, tetapi sang dara terlalu gengsi untuk menampakkan apresiasinya.

"Apa itu berarti kau akan berbaikan dengan Goo Junhoe ketika liburan musim panas berakhir?"

Tak ada jawaban. Chaeyeon sudah memastikan suaranya cukup lantang agar Mingyu—yang begitu saja berjalan pergi—mendengar pertanyaannya, jadi Mingyu pasti cuma enggan menjawab. Dasar kebanyakan teori, batin Chaeyeon yang paham betapa sulit hubungan tim fisika dengan Junhoe dipulihkan. Semua orang boleh sesumbar, tetapi menabrak kenyamanan sendiri demi orang lain tidak semudah itu. Sampai Mingyu menunjukkan usahanya yang sungguh-sungguh soal Junhoe, Chaeyeon akan terus menutup pintu hati dan menahan kata maaf di lidahnya, bahkan jika itu pahit.

**"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top