Rottenness

Manusia itu licik dan egois, mereka akan melakukan apapun untuk keuntungan diri sendiri. Berbuat baik, kemudian memanfaatkannya sesuka hati. Di dunia, kamu bisa saja jadi yang memanfaatkan atau yang dimanfaatkan.

Layaknya mereka, anak-anak berumur belasan tahun dan ke bawahnya dimanfaatkan sesuka hati oleh orang dewasa. Korupsi dan penjualan anak terjadi di sana. Tempat berkedok panti asuhan, tapi siapa sangka ada rahasia seperti ini dibaliknya?

Mutia, gadis itu menyelimuti seluruh tubuh dengan selimut. Tubuhnya masih bergetar, di otak masih terbayang apa yang ia baca tadi siang. Dengkuran pelan teman-teman satu kamar tak dia hiraukan.

Panti asuhan Kiarama. Panti asuhan yang sekarang menjadi tempat gadis itu tinggal. Ia yang masuk panti asuhan tersebut karena ajakan Kia-ibu panti-dengan alasan dirinya akan bahagia di sana. Namun, apa yang baru saja dia temukan? Berkas penjualan anak? Ini bukan kebahagiaan yang ia cari.

Jika gadis itu boleh jujur, ibu panti dan suaminya begitu baik. Tetapi, apa hati mereka sebaik itu?

Mutia ingin memberi tahu anak yang lain. Namun, gadis itu takut mereka tak akan percaya atau mungkin tidak mengerti. Apalagi, di sini yang paling tua adalah ia sendiri.

Otaknya mulai berhenti berpikir, perlahan namun pasti mata coklat gelapnya mulai terlelap. Biarkan kali ini gadis itu beristirahat sejenak.

o0o

"Kak Tia!"

Mutia sontak terduduk, matanya melebar, kaget. Bukan karena seruan Rara. Namun, mimpi buruk yang ia alami. Gadis itu bermimpi tentang tangis anak-anak yang telah dijual, dan juga seringai sepasang suami istri yang begitu puas setelah mendapat sejumlah uang.

Ia tersenyum, menggerakkan tangannya, membuat bahasa isyarat yang berarti "Terima kasih telah membangunkanku."

Rara tersenyum, "Sama-sama, Kak Tia!" Ia menjawab seakan mengerti semuanya, padahal sebenarnya yang dia tahu dari isyarat sang kakak hanya kata "terima kasih."

Mutia mulai beranjak dari kasurnya, kemudian merapikan kasur dan selimut. Saat gadis itu sudah turun dari kasur dua tingkat tersebut, Rara langsung menarik lengannya. Mengajaknya ke arah dapur, karena sekarang adalah jadwal mereka untuk membantu membuat sarapan.

"Pagi Mama Kia!" Gadis berumur 10 tahun itu terlihat begitu antusias, berbeda dengan Mutia yang mulai cemas. Takut wanita di hadapannya itu mengetahui perbuatannya.

Gadis itu merekahkan senyumannya dengan terpaksa, sebisa mungkin ia harus ber-akting layaknya sinetron yang selalu muncul disaluran televisi. Padahal, baginya film-film itu tidak mengandung pesan apapun, apalagi untuk gadis remaja dan di bawahnya. Percintaan anak SMA atau kuliah, atau mungkin permasalahan keluarga orang dewasa, memangnya apa yang akan dipelajari oleh anak-anak? Cara mencintai? Tidak mungkin bukan? Apalagi bagi anak-anak umur belasan begitupun di bawahnya, mereka harus dijelaskan terlebih dahulu, baru tahu mana yang baik dan salah.

Gadis itu sering kali disebut terlalu dewasa untuk anak berumur 14 tahun, itulah kata Kia. Buktinya adalah ia yang sering memberi saran pada anak yang lain, melerai pertengkaran tanpa memicu pertengkaran lain. Jika ada masalah Mutia akan memilih membicarakan baik-baik daripada saling menuduh tanpa bukti satupun, biasanya gadis itu juga akan mengalah. Biar masalah tidak membesar katanya.

Mutia mulai mengupas kentang, dan memotong sampai berbentuk kotak-kotak. Setelah selesai gadis itu memberikannya pada Kia, wanita itu tersenyum. Rasanya aneh, senyum yang dulunya terlihat begitu lembut, sekarang seakan sangat kosong, apa ini karena Mutia sudah tau semuanya?

o0o

Berantakan, itulah definisi kamar pemuda tersebut. Buku berserakan, pakaian, kabel-kabel yang menjalar di sekeliling kamar. Ia menyelimuti badannya bak kepompong ketika sinar matahari sudah mulai memasuki kamar.

Ponsel miliknya bergetar, nada deringnya begitu berisik. Segera saja pemuda itu meraba-raba kasurnya, mencari dimana letak ponsel pintar berwarna hitam tersebut.

Saat tangannya telah menyentuh ponsel ia segera menjawab panggilan, tanpa melihat siapa yang baru saja menelepon.

"Halo?" Suaranya begitu serak, matanya masih terasa berat, jika saja kesadarannya sudah terkumpul sempurna, pemuda itu pasti akan langsung meneriaki orang di seberang sana.

"Baru bangun tidur?" Suara gadis terdengar dari ponsel tersebut.

"Ya, ada apa?"

"Bisa bantu aku? Sekaligus, nanti temani aku pergi ke suatu tempat."

"Melakukan apa? Jika kamu menyuruhku meretas situs negara lagi aku akan segera menolak." Pemuda itu mulai bangkit dari tidurnya, menarik kursi kantor, duduk, kemudian mulai menyalakan komputer miliknya.

"Tidak, tidak. Kali ini tenang saja. Aku hanya memintamu mencari tahu tentang sebuah panti asuhan."

"Nama dan alamatnya?"

"K-I-A-R-A-M-A, aku akan mengirimkan alamatnya lewat email!" Gadis itu mengeja nama panti asuhan tersebut, nadanya begitu antusias, sebuah senyuman juga tak pernah lepas dari kurva bibirnya.

Tidak lama setelah itu terdengar dering notifikasi dari komputer milik pemuda tersebut.

"Baiklah, akan aku coba. Rin."

"Terima kasih, Zen~!" Rin, memutuskan panggilannya secara sepihak sedangkan Zen mulai sibuk mengetik di keyboard komputernya.

Jika Rin sudah bersikap seperti itu, berarti akan ada hal menarik yang akan terjadi. Menarik bagi Rin, tidak untuk Zen. Setidaknya kali ini ia bisa sedikit tenang karena bukan nyawanya yang menjadi taruhan.

Lelaki berambut hitam dengan poni hampir menutupi mata tersebut menyipitkan matanya, tatkala melihat apa yang baru saja ia temukan.

Segera saja dia mengirimkan apa yang ditemukannya pada Rin. Setelah itu Zen mulai bangkit dari duduknya, mulai berbaring di atas kasur lagi. Masih pukul 7 pagi, pemuda itu masih bisa tidur lagi. Membiarkan Rin berkutat sendiri dengan rencana gilanya di seberang sana.

"Woah! Seperti yang aku duga!" Gadis itu tersenyum licik. Ia begitu senang, akhirnya ada sesuatu yang bisa menghilangkan rasa bosannya.

"Baiklah, ayo kita sedikit membantu para bocah malang itu."

o0o

Suara gesekan tali pada pohon terdengar di halaman belakang panti asuhan, hari ini Mutia memilih untuk sendiri, sekedar untuk istirahat sejenak dari kebisingan. Pohon besar yang tak jauh dari ayunan tempat ia duduk terlihat begitu rimbun, terdapat dua bunga di dekat pintu belakang.

Anak-anak lainnya sedang sibuk bermain di halaman depan, beberapa lainnya juga ada yang membaca buku di ruang tengah. Kata Kia buku itu adalah hasil sumbangan, tapi saat pertama kali buku-buku diberikan pada anak-anak sampul dan isinya terlalu kotor jika disebut hasil sumbangan barang bekas. Malahan terlihat hasil pungutan. Gadis itu juga tak yakin itu hasil sumbangan, mengingat jika panti asuhan ini jauh dari kota. Jikapun ada yang datang, kebanyakan mereka lebih sering berasal dari keluarga konglomerat atau orang biasa berwajah genit. Tentu saja yang datang hanya para pembeli mereka.

"Halo! Namamu siapa?" Sontak Mutia terlonjak kaget, suara seorang perempuan mengisi telinganya. Napasnya terlalu dekat dengan telinga Mutia.

Gadis itu menoleh, netranya mendapati seorang gadis. Bukan seperti gadis pada umumnya, wajahnya terlalu tampan. Sesaat Mutia sempat mengira gadis itu benar-benar laki-laki jika bukan karena suara yang terlalu feminim memasuki indra pendengar miliknya.

"Siapa, ya?" tanyanya dengan menggunakan bahasa isyarat.

"Oh, aku Rin! Salam kenal!" Gadis bernama Rin itu mengulurkan tangannya, mengajak membuat salam perkenalan. Begitu bersemangat, itulah kesan pertama Mutia pada Rin.

"Aku Mutia, kakak bisa panggil aku Tia," ujarnya dengan menggunakan bahasa isyarat, ikut mengulurkan tangan membuat sebuah salam perkenalan seperti yang Rin inginkan.

"Kenapa sendirian? Yang lainnya sedang bersenang-senang di dalam lho~!" Nadanya terdengar sedang menggoda. Namun, nadanya seakan memiliki arti berbeda dengan orang-orang genit yang sering datang.

Mutia membuat tangan dan jari-jarinya seakan mengatakan "Aku hanya ingin membaca buku ditempat sunyi." Kemudian kembali fokus pada bacaannya lagi. Tidak menyadari bahwa gadis berperawakan layaknya laki-laki itu sedang tersenyum licik.

Rin tahu, dari sikap Mutia jelas sekali bahwa tak ingin diganggu. Rin tetaplah Rin, ia akan terus keras kepala, apalagi jika menyangkut hal yang ingin dia lakukan dan selesaikan.

"Aku ikut diam di sini, ya?" tanya Rin, sembari mulai mendudukkan diri di dekat pohon. Menyandarkan punggungnya pada pohon yang cukup lebar.

Mutia mengangguk, setidaknya gadis yang ia ijinkan menemaninya itu tak berisik.

o0o

Zen kadang ikut mengobrol dengan beberapa anak panti, kadang ia juga berkutat dengan ponselnya. Beberapa kali juga Kia mengajaknya mengobrol, namun tak dia hiraukan. Lagipula, ia datang karena paksaan gadis yang beberapa saat lalu menerobos masuk.

Kadang pemuda berumur 22 tahun itu sering merasa aneh dengan gadis yang sudah ia kenal selama 5 tahun itu. Rin, gadis itu selalu berbuat baik. Namun, terkesan jahat. Rencana yang gadis itu rencanakan selalu terkesan licik. Memprovokasi dan bermuka dua, ia akan bersikap baik. Tetapi, matanya akan terus memperhatikan sekitar, melihat tingkah laku lawannya.

Rin hanya sedikit mempelajari soal psikologi, jika ditanya kenapa alasan ia mempelajarinya jawabannya adalah, "Aku tak ingin ditipu dan aku benci ditipu, walaupun diriku sendiri adalah penipu."

Seperti 2 bulan lalu, gadis itu menyuruh Zen untuk mencari tahu kelakuan busuk para pejabat negara. Pemuda itu sempat menolak, tapi akhirnya tetap ia lakukan karena ancaman Rin.

"Lakukan, atau komputer dan game milikmu aku sita kembali?" Zen tentu saja tidak bisa menolak, karena sejak awal barang-barang miliknya berasal dari gadis itu. Tetapi, tetap tidak seluruhnya gadis itu lakukan. Ia hanya mencari tahu dan sedikit memprovokasi pemerintah, sekedar untuk melihat respon mereka. Tentu saja Rin melakukannya sambil menyamar, dan membuat akun atau apapun itu yang berhubungan dengan rencana, pastinya yang tak mudah diretas.

Rin bukan orang kaya, ia hanya gadis berpikiran licik yang memiliki banyak hobi. Hobi yang ia miliki dia kembangkan, dari sanalah sang gadis mendapatkan uang. Salah satunya adalah menulis, ia sering menerbitkan buku yang menceritakan kebusukan yang ada dalam negara Indonesia. Seperti para pejabat yang membuat peraturan dengan dalih untuk negara dan rakyat, nyatanya mereka sendiri masih sering lalai dalam pekerjaan. Entah itu bermalas-malasan, berbuat ceroboh, ataupun melakukan korupsi untuk kepentingan pribadi.

Setiap cerita yang ia buat selalu mendapat respon bagus dari para pembaca, beberapa komentar tentang alur dan konflik yang komplit selalu ada disetiap sosial media miliknya. Tetapi, bukan respon seperti itu yang dia inginkan. Bagaimanapun mendapat respon seperti, "Cerita ini benar-benar mendeskripsikan kebusukan negara kita." Sangat mustahil, yang akan diterima pembaca hanya ini adalah cerita fiksi yang benar-benar berasal dari imajinasi semata.

Terlalu picik, padahal di kota sering terlihat anak-anak, remaja, maupun orang tua yang mengemis dan memungut bekas makanan di tong sampah.

Zen dan Rin sendiri tahu semua itu akan sulit dilakukan. Mengingat negara mereka sendiri masih sering berhutang pada negara lain.

Lamunannya buyar tatkala wanita yang hampir berumur 40 tahun memanggil dirinya.

"Dek, ini cemilan dan teh," ujarnya sembari menaruh nampan tersebut di atas meja. Sebuah senyuman terlukis di wajah wanita itu. Jika Rin ada di dekatnya, mungkin ia akan langsung mengklaim bahwa itu adalah senyum palsu.

"Terima kasih." Zen yang memang jarang tersenyum mencoba membuat senyum palsu. Sebenarnya Zen malas meladeni Kia, jika bukan karena rencana Rin mungkin sekarang pemuda itu masih terbaring di atas kasur, atau duduk di kursi kerja sembari bermain game di komputer.

"Zen." Sontak pemuda itu menoleh, sedangkan Kia yang duduk di kursi seberang membelalakkan matanya. Siapa yang tak kaget, tanpa suara sedikitpun terdengar, tiba-tiba saja Rin sudah berada di sana, duduk bersebelahan dengan Zen.

"Ya?"

"Ga." Sekali saja, tolong sekali saja, apa Zen boleh memukul gadis di sebelahnya ini?

"Ada apa ya datang ke sini?" tanya Kia, sejak tadi wanita itu memang sudah penasaran. Namun, Zen yang terlihat dingin membuatnya enggan untuk bertanya. Setidaknya dia harus terlihat ramah, siapa tahu pemuda ini adalah pembeli?

"Oh, kami ingin memberi sumbangan dana, temanku sempat memberi tahu tentang panti asuhan yang jauh dari kota, mungkin kalian membutuhkannya? Pasti susah bukan harus bolak-balik dari kota ke tempat layaknya hutan begini?" Tentu saja bohong, Rin mana punya teman. Hanya ada satu, itupun karena ia sogok dengan uang dan peralatan elektronik kebutuhan sang pemuda.

"Tapi sebelum itu, jumlah anak di sini ada berapa?" tanyanya, kali ini netra heterokom coklat-birunya mulai dipertajam.

"Apa tidak merepotkan? Saya tidak ingin merepotkan kalian berdua," ucap Kia, jemari-jemari tangannya mulai saling merapat, lebih tepatnya membuat sebuah kepalan erat.

Gerakan yang tidak perlu, jelas sekali bahwa wanita itu berbohong. Rin memberi nilai 90 untuk ini, Kia cukup hebat bisa mengatur ekspresi dengan baik dan kata-kata yang tak terkesan gugup maupun ragu. Rin bisa menyimpulkan bahwa dalam hati wanita tersebut begitu merasa senang, bukan seperti rasa sungkan yang ia tunjukkan sekarang.

"Untuk anak-anak di sini, awalnya ada 25, sekarang hanya 18, 7 lainnya sudah diadopsi." Kia melanjutkan ucapannya tadi.

"Pantes, pas aku lewat salah satu ruangan tadi banyak barang mewah!" Rin mengucapkannya dengan agak berteriak, karena itu pula sang gadis menjadi pusat perhatian anak-anak panti.

Mutia yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung membelalakkan matanya, kemudian bertanya kepada salah satu anak panti apa yang terjadi. Mengambil pulpen yang berada tepat tak jauh dari kakinya dan lalu mencoret telapak tangan, sekedar 'tuk bertanya.

"Kakak itu tadi bilang mau kasih kita sumbangan, terus udah itu malah teriak," jelasnya pada Mutia. Gadis itu hanya mengangguk, paham akan situasi yang terjadi. Tentu saja Mutia tau apa yang dimaksud Rin. Lagipula saat mereka sedang berdua tadi, ia dan Rin sempat berbincang.

Rin yang memulai, mengatakan sesuatu yang mendorong gadis itu agar jujur tentang keadaan panti asuhan. Bukan sogokan, hanya satu kalimat yang mengatakan bahwa Mutia berpihak dengan panti asuhan. Dia langsung tak setuju, karena dari awal ia tak sedikitpun berpihak. Ia hanya tak berani mengatakannya, bisa saja dia yang akan dijual karena membocorkan rahasia panti asuhan.

Kia tersenyum, bukan senyuman lembut, sangat dingin malahan. Netranya pun menatap Rin begitu tajam. Wanita itu bangkit dari duduknya, mendekati segerombol anak-anak berumur belasan tahun tersebut. Dari yang Zen lihat sepertinya ia ingin menyuruh anak-anak untuk masuk ke dalam kamar.

"Jangan keluar dulu, ya?" Anak-anak yang lain mengangguk, sedangkan Mutia hanya terdiam. Senyuman yang terlukis itu seakan begitu menakutkan, matanya yang menyorot tajam kearahnya seperti mengatakan, "Ikut aku nanti, pasti kamu yang memberitahunya bukan?"

Badannya seakan membeku, gadis itu memang sudah yakin Kia akan tahu apa yang ia lakukan kemarin. Padahal gadis itu tak sengaja, dia hanya ingin bersih-bersih dan berakhir tahu semua yang tersembunyi. Namun, bolehkah gadis itu berharap agar semuanya tidak diketahui secepat ini? Ia tak mau, tidak untuk sekarang, dimana mentalnya masih belum kuat. Sudah cukup baginya mengorek kotak sampah selama 3 tahun. Dia tak mau di jual, apalagi menjadi babu dengan hukuman fisik jika melakukan kesalahan, ataupun menjadi mainan pria pedofil.

Matanya melebar, seakan terhipnotis Mutia mencoba membuka suara, menolak tatapan tajam penuduhan dari Kia. Tapi tidak ada satupun suara yang keluar.

"Bukan aku yang membocorkannya!" Anak panti yang lain begitu terkejut, tatkala gadis itu menulis sesuatu di buku milik yang ia bawa tadi lalu dia memberikan pada Kia kemudian berlari menerobos segerombol anak-anak yang jauh lebih pendek dari tubuhnya.. Beberapa anak-anak yang mengaduh kesakitan karena tersenggol terdengar seperti angin lewat di telinga Mutia.

Saat gadis itu ingin membuka pintu, Rin mulai mengatakan sesuatu. "Bukan dia lho yang
membocorkannya." Nadanya datar, namun berhasil membuat atmosfer yang tak kalah dingin dari tatapan Kia.

"Kami akan tetap memberi sumbangan dana pada kalian, sejak awal aku memang ingin membantu rencana anda," lanjutnya lagi. Nada bicaranya semakin formal, menandakan bahwa Rin benar-benar serius.

Seakan mendapat berkah dari Tuhan, Kia langsung menutup pintu kamar anak panti yang semuanya anak perempuan. Jika kalian bertanya kemapa tidak ada anak laki-laki, jawabannya sederhana, mereka sudah dibeli.

Senyuman lebar ia tunjukkan, mendeketi Rin yang sedang terduduk di ruang tamu. Jarak ruang tamu dan kamar yang tak terlalu jauh membuat wanita itu mudah untuk mendengar perkataan Rin sebelumnya. Itu juga kenapa Rin bisa dengan mudah mengetahui atsmosfer ruangan yang tiba-tiba berubah.

"Benarkah?" Rin mengangguk, sedangkan Zen sama seperti sebelumnya. Tak ingin banyak ikut campur, ia hanya diam, kadang membuka ponselnya dan memainkan game-game santai.

"Aku akan mengirim uangnya nanti, ini no-ku silahkan hubungi, sekalian kirimkan no rekening milik anda," ucapnya sembari menyodorkan sebuah kertas bertuliskan 12 angka.

"Terima kasih!" Tidak ada kesan dingin lagi, hanya ada tatapan layaknya anak berumur 4 tahun yang mendapat permen. Apa wanita tua ini lupa umurnya sendiri?

Mutia hanya bisa membeku di depan pintu. Ia pikir Rin akan membantunya, mengingat bahwa gadis itu baru saja menyangkal tuduhan lewat tatapan Kia tadi. Tapi, apa-apaan ini? Hatinya seakan hancur, tak bisakah Tuhan berpihak pada anak-anak malang ini?

Kristal bening itu mulai membasahi pipi mulus sang gadis kecil. Rasanya ia benar-benar hancur berkeping-keping, melihat wanita yang dulu berperan layaknya ibu sekarang sudah membuka topeng dengan cepat tanpa ada kata perlahan. Tidak ada senyuman yang terlihat lembut, bukan, sejujurnya memang tak pernah ada senyum seperti itu. Yang ada hanya senyuman kosong yang terkesan lembut dan hangat bagi mereka, anak-anak malang yang butuh kasih sayang orang tua.

o0o

"Apa ini tidak terlalu berlebihan?" tanya Zen. Ia jelas tahu, kali ini Rin benar-benar telah memainkan perasaan seorang anak remaja yang masih dalam masa puber. Anak remaja yang emosinya masih terbilang cukup labil, sedewasa apapun sikapnya, tetap saja sikap naif dan pikiran yang labil pasti masih melekat di otaknya.

"Emangnya aku bisa apa? Kamu tahu sendiri 'kan sikap aku kayak gimana?" Bukannya menjawab, gadis itu malah bertanya balik. Dia tahu, bahwa kenyataannya ia bukanlah orang baik. Ia hanya orang jahat yang bersembunyi dalam topeng kebaikan.

Dirinya hanya pembohong besar, menipu adalah hal yang paling ia suka. Namun, ia telah sedikit tobat menipu untuk kejahatan. Semenjak dia ditinggalkan sang kekasih yang mengajarkannya banyak hal. Mengajarkannya yang kehilangan hati akibat ditipu oleh orang tua sendiri.

Mereka bilang pada Rin bahwa akan menyayangi ia seperti anak pada umumnya, jika gadis itu bisa membanggakan mereka. Namun, semua itu hanya omong kosong belaka, bukannya menyayangi sang gadis, mereka malah menjatuhkan tuduhan kejahatan pada Rin. Padahal, jelas sekali merekalah pelakunya. Kedua orang tuanya yang menjual narkoba bukan dia, tapi malah ia yang harus terkurung di sel penjara.

Jika boleh jujur, ia juga berterima kasih pada orang tuanya. Di sana, Rin bertemu dengan pujaan hati yang paling ia idamkan. Polisi muda baik yang mengajarkannya banyak hal, lelaki yang berhasil meluluhkan hati yang telah dilatih bersikap dingin sejak kecil. Pemuda yang mengajaknya mengobrol selama 2 tahun, sampai akhirnya tuduhannya dicabut. Orang tuanya tertangkap, dan semuanya terungkap.

Semenjak saat itu Rin masih menipu banyak orang, seperti hal 'membanggakan' yang diingkan orangtuanya. Sampai akhirnya ia bertemu kembali dengan polisi muda tersebut, dan jatuh cinta. Melalui waktu bersama, tetap melakukan semuanya tanpa diketahui tentunya. Polisi muda itu juga tak pernah sekalipun berhasil menemukan rahasianya. Seperti yang dibilang tadi, Rin itu penipu, penipu besar malahan.

"Rin?" Zen menepuk ringan bahu gadis itu, sekedar untuk membuatnya kembali ke alam nyata, berhenti melamun.

"Oh ... kamu gak perlu khawatir, semuanya udah sesuai rencana. Yang lainnya udah kamu selesain 'kan?"

Zen mengangguk, "Uangnya juga udah aku kirim."

Rin menjatuhkan kepalanya pada sandaran sofa, senyumnya merekah sempurna, terlihat begitu ceria. Bibirnya mulai bergerak, menyenandungkan nada tak tentu tanpa henti. Zen hanya menggeleng atas kelakuan gadis itu. Namun, ini lebih baik, dibandingkan rencananya gagal dan rumahnya akan di hancurkan Rin, lagi.

Diwaktu yang sama, Rama terlihat frustrasi. Istrinya begitu bodoh, sangat bodoh malahan. Bagaimana bisa wanita itu langsung percaya? Ia tahu betul, dan dia juga sudah pernah menceritakannya pada sang istri. Tentang dia yang punya seorang sahabat, dan sekarang masih mendekap di penjara. Sahabatnya itu mempunya seorang anak perempuan, dan itu adalah Rin. Rama sudah tahu, Rin itu sama seperti ibunya, sama-sama penipu handal. Tetapi, mau bagaimana lagi? Nasi sudah jadi bubur. Uang tersebut tidak akan bisa dikembalikan lagi.

Rama yang berencana datang ke panti untuk merilekskan otaknya sembari melihat sang istri sekarang gagal total. Pikirannya campur aduk, antara ingin memohon pada Rin, atau menerima kenyataan bahwa bisnisnya telah gagal.

o0o

Pukul 9 pagi rumah itu sudah ramai, tangis anak-anak terdengar pecah. Tak percaya sama sekali tentang kenyataan yang baru mereka terima. Orang yang mereka percaya, sekaligus seseorang pemberi secerca cahaya untuk mereka adalah pembohong. Dia adalah orang jahat, dan mereka adalah korbannya.

Dibalik tangisan yang terdengar nyaring, Mutia hanya bisa terdiam, tak tahu ingin berekspresi seperti apa. Ia sudah tahu, dan dia tidak memberi tahu mereka sedari awal.

Kia dan Rama sudah dibawa pergi ke kantor polisi, anak-anak lainnya ada yang memberontak maupun menangis tanpa henti. Tak mau seseorang yang sudah mereka anggap ibu dan ayah kandung dibawa pergi begitu saja.

Mutia melangkah ke taman belakang, ingin mengistirahatkan sejenak pikirannya yang cukup kacau. Memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya, akankah menjadi lebih baik atau buruk dari ini?

"Tidak ikut menangis?" tanya Rin, gadis itu baru saja datang, tanpa ketahuan polisi pastinya. Bagaimanapun dirinya masih ada riwayat kriminal, walaupun belum diketahui.

Muita menggeleng dan Rin hanya membalas dengan sebuah senyuman.

"Aku gak bakal ikut campur lagi, kali ini masa depan kalian tergantung diri kalian sendiri, dan bagaimana presiden maupun pejabat negara menanganinya." Mutia mengernyit, tak mengerti maksud dari kata-kata gadis di hadapannya.

Seakan tak melihat ekspresi Mutia, Rin malah melanjutkan perkataannya tadi.

"Oh ... ingin tahu kenapa suami istri bodoh itu bisa tertangkap?" Mutia mengangguk, sebenarnya gadis itu tak minat dengan pembicaraan ini. Tetapi, karena dirinya cukup penasaran ia memilih setuju den mendengarkan.

"Kamu tahu Robert?" Rin memperhatikan gerak gerik Mutia, ia terlihat ingin bicara. Namun, ragu untuk menggunakan bahasa isyarat. Mungkin ada beberapa kata yang ia tak tahu gerakannya.

Rin memberinya sebuah buku kecil dan pulpen yang sudah sengaja ia siapkan untuk keadaan seperti ini.

"Orang yang mencuri uang di bank sekitar akhir-akhir tahun ini 'kan? Wajahnya belum diketahui kalau tidak salah." Itulah yang tertulis pada buku.

"Uwah! Kamu cukup tahu banyak, sering masuk diam-diam ke ruang kerja mama palsumu, ya? Oh ... hiraukan pertanyanku yang ini. Sebelum itu, apa kamu tahu Zenian?"

"Zenian? Hacker terkenal itu? Aku pernah membaca beritanya sekilas dikoran, saat memasuki kamar Mama Kia."

"Laki-laki yang bersamaku kemarin itu Zenian lho!" Rin terlihat antusias, bagaimanapun Zen memang sahabat sekaligus alat yang paling ia banggakan. Lumayan untuk menghemat pekerjannya.

"Kembali kepenjelasan, Zen menyabotase salah satu ATM, dan mengambil uangnya dengan no rekening milik Robert. Aku mendapat rekeningnya lewat ancaman yang aku lakukan kemarin." Mutia tersenyum canggung. Bisa-bisanya gadis di hadapannya ini mengatakan itu dengan begitu santai?

"Robert setuju, kemudian aku menyuruh Zen untuk memberi tahu polisi tentang Robert. Dari apa yang aku bicarakan sebelumnya dengan Robert dan sesuai rencana dia akan mengatakan bahwa ia diancam Rama dan Kia, dengan istrinya sebagai saksi."

"Dan semuanya berjalan sesuai rencanamu?" Rin mengangguk ketika membaca apa yang ditulis Mutia. "lalu, apa tujuanmu?"

"Sedikit membantu kalian dan bersenang-senang!"

Benar, Rin hanya sedikit menjadi baik dan bukan berarti dirinya menjadi sangat baik. Lagipula, di dunia ini tidak ada manusia baik sempurna entah itu di mata manusia maupun tuhan, benarkan?

Tiga bulan berlalu, tidak ada yang istimewa. Tidak ada juga yang kebahagian yang anak-anak itu harapkan muncul. Rasanya dunia tidak adil sama sekali dengan mereka.

Pejabat negara membawa mereka, mengatakan bahwa merekalah yang akan membiayakan hidup anak-anak itu. Namun, apa-apaan ini? Seakan mendapat Sambaran petir, hati mereka begitu hancur. Ditelantarkan, lagi.

Negara tak bertanggung jawab, hidup mereka tidak terpenuhi seperti apa yang dijanjikan. Mereka hanya mendapat tempat tinggal, itupun terbilang tak layak huni. Terlalu kotor, seberapa kalipun mereka membersihkannya. Pembantu yang akan membantu mereka pun tak ada.

Seorang pejabat negara datang, membentak beberapa anak tak bersalah. Anak-anak yang sekedar ingin mendapat sedikit belas kasihan.

Mutia mulai berteriak, kala seorang pejabat menampar wajah salah satu dari mereka. Namun, berkah Tuhan tak berpihak padanya. Bukan teriakan meminta bantuan maupun belas kasihan yang terdengar. Suara raungan bagaikan anak kucing yang meminta makan itulah yang terdengar. Pita suaranya yang sedari awal sudah rusak seakan mulai bertambah rusak.

"Kak ... mi ... juk ... a ... I ... kin."

"Keadilan!" Anak-anak yang lain mulai berteriak, meminta tolong, maupun meminta keadilan yang tak pernah mereka terima. Entah itu dari manusia, ataupun tuhan yang terkesan tak peduli. Atau mungkin ujian hidup mereka memang harus lebih besar dari manusia lain di luar sana?

Tangisan kencang terdengar saling bersahutan. Mengalahkan suara hujan dan gemuruh petir yang mulai menemani. Sekali ini saja biarkan keadilan datang pada mereka. Sekarang Mutia tahu, apa maksud perkataan Rin waktu itu.

Gadis itu sudah punya banyak pengalaman, sudah tahu seberapa busuk negara yang mereka tempati sekarang ini. Jika bisa, Mutia ingin sekali memberitahukan pada seluruh rakyat tentang apa yang ia alami. Agar mereka tahu, seberapa jahat mereka yang hanya duduk manis dan tidur, memberi peraturan yang belum efektif untuk negara.

Saat itu juga, Mutia bisa berteriak. Ia bisa menyerukan banyak hal. Apa tuhan mulai bebelas kasih padanya? Rasa senang mulai menyelimutinya, bersamaan dengan mata yang mulai merapat. Bukan pingsan, ia benar-benar akan pergi. Tubuh dan mentalnya mulai lelah. Lelah dengan perbudakan yang dilakukan pejabat negara pada dirinya dan anak-anak yang lain. Perbudakan yang dilakukan dengan dalih agar mereka bisa sempurna, namun nyatanya itu adalah penyiksaan paling menyakitkan. Memaksa otak untuk terus bekerja, tetapi gizi sebagai sumber energi tak mereka peroleh dengan teratur. Tempat bersih atau sekedar rumah layak huni pun tak ada menemani hari-hari mereka. Ini terlalu busuk, bukan soal konsep bau kotoran maupun wewangian, hanya bau yang tak tercium namun menjalar ke seluruh tubuh. Membuat badan merasakan rasa tak nyaman yang menyesakkan batin. Tetapi, perasaan itu sekarang tidak akan Mutia rasakan lagi. Otak, tubuh, dan metal miliknya akan benar-benar beristirahat tanpa melakukan aktivitas melelahkan lagi.

"Setidaknya, sekarang aku akan baik-baik saja."

End.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top