Story 4 [REVISI]
Hirato baru saja keluar dari hutan. Ia melihat kekanan dan kekiri. Tak menemukan sosok Adolf dan keretanya. "Mungkin dia sudah meninggalkanku," ucapnya pasrah lalu berjalan santai. "Aku pikir dia orang yang baik, tapi sepertinya aku salah," lanjutnya.
"Hei nak Hirato!!" Terdengar suara yang familiar baginya. Membuat Hirato terkejut dan langsung menatap tak percaya kepada Adolf yang melambaikan tangan di samping keretanya yang di parkir tepat di dekat pintu masuk perbatasan desa. Hirato berjalan santai mendekati Adolf. Namun, dengan ekspresi yang masih tidak percaya.
"Tuan Adolf, apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Hirato bingung saat sudah berada di hadapan pria itu. "Apa yang kau tanyakan Hirato? Kau kan memintaku untuk menunggu di depan gerbang desa perbatasan," jawab Adolf yang bingung dengan pertanyaan Hirato. "Tapi kenapa?" tanya Hirato yang masih terkejut. "Kenapa? Tentu saja, karena kau telah menyalamatkan hidupku dari Iblis itu. Mana mungkin aku meninggalkan orang yang telah menyelamatkan hidupku," jawab Adolf sambil tersenyum senang. Hirato yang mendengar jawaban itu menjadi terdiam. Belum pernah ada yang berperilaku seperti ini kepadanya setelah nenek itu meninggal. Jadi, dia baik karena aku telah menyelamatkannya? Manusia memang seperti itu batin Hirato datar.
"Dari pada diam saja, ayo kita masuk ke desa," ajak Adolf. Membuyarkan lamunan Hirato. "Tidak terima kasih, saya akan menunggu di sini, jika tuan ingin membeli sesuatu di desa ini silakan. Saya akan menunggu di luar desa," tolak Hirato sopan meskipun dengan wajah dingin. "Eh, apa kau yakin?" tanya Adolf terkejut.
"Saya yakin," jawab Hirato dingin. "Baiklah kalau begitu. Tunggulah sebentar di sini, aku harus mengirim beberapa barang di desa ini," ucap Adolf ramah. Hirato hanya menganggukkan kepalanya pelan sebagai jawaban. Setelah itu, Adolf melajukan keretanya memasuki desa dengan santai. Hirato yang melihat kepergian Adolf hanya bisa diam.
Ia langsung berjalan ke pohon terdekat lalu duduk dengan santai di sana. "Aku akan menunggu di sini saja," ucapnya sambil bersandar di batang pohon dengan kedua tangan yang ia jadikan bantalan. Ia tatap langit biru di atasnya, Ia buka tudung jaketnya dengan santai. Hembusan angin sejuk meniup beberapa helai rambut hitamnya yang terlihat berkilau.
Tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya. Sudah berapa lama ia tidak merasa setenang ini? Entahlah, ia sendiri sudah lupa. Karena selama ini kehidupannya tidak pernah membuatnya tenang sedikitpun. Banyak sekali hinaan dari warga desa. Membuatnya tidak bisa tenang sama sekali.
Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Karena ia mendengar ada suara semak-semak yang bergerak. Ia langsung menegakkan tubuhnya lalu menatap tajam kesekitar. Hingga pandangannya berhenti tepat di semak-semak sebelah kanannya yang tak begitu jauh jaraknya.
Ia tatap tajam semak-semak itu cukup lama. Hingga semak-semak itu kembali diam. Begitu semak-semak itu diam, ia kembali bersandar di dahan pohon dan menutup mata. Ia tidak mempedulikan semak-semak yang bergerak itu. Jika memang itu adalah penjahat yang menyerangnya, mereka seharusnya sudah menyerangnya dari tadi kan? Jadi, ia tidak akan peduli. Ia pikir, mungkin saja itu hanya kelinci hutan.
***
"Kau jangan banyak bergerak Axton, hampir saja kita ketahuan," sentak pria berambut biru dengan nada rendah. "Ma-maaf, habis kelinci ini tidak mau diam," ucap pria berambut senja yang di panggil Axton itu sambil mengelus-elus badan kelinci putih yang terlihat sangat manis itu.
"Memangnya kau anak kecil, aku heran kau ini sebenarnya iblis bukan sih?!" tanya pria berambut biru itu kesal. "Tentu saja aku Iblis, tapi aku suka hewan lucu, jadi kau tidak perlu marah seperti itu kan, Aidyn," ucap Axton malas.
Pria berambut biru yang di panggil Aidyn itu hanya bisa memutar bola matanya kesal. "Sudahlah, ayo. Pangeran sudah mau pergi, kita harus mengikutinya. Cepat tinggalkan kelinci itu," perintah Aidyn sambil langsung berdiri dan keluar dari semak-semak diikuti Axton yang sudah meletakkan kelinci hutan itu.
***
"Apa sudah selesai, tuan?" tanya Hirato saat kereta Adolf baru saja berhenti di hadapannya. "Benar, ayo kita lanjutkan perjalanan kita, kita akan beristirahat di saat matahari akan tenggalam, dengan begitu kita akan segara sampai di Ibukota," ucap Adolf. "Baiklah," jawab Hirato singkat lalu naik keatas kereta.
Kereta di jalankan dengan santai. Mereka sudah mulai menjauhi desa perbatasan itu. Selama perjalanan tidak ada yang berbicara. Hening. Hingga Hirato membuyarkan keheningan itu. "Tuan, saya selalu bertanya-tanya. Kenapa tuan mau membantu saya? Bukannya saya tidak suka dengan bantuan Anda. Namun, Sungguh mengherankan jika Anda mau mengantar saya hingga Ibukota. Bahkan menunggu saya seperti yang saya katakan," tanya Hirato dingin tanpa menatap Adolf.
Ia hanya menatap kedepan dengan pamdangan kosong. "Jika kau bertanya seperti itu..." ucap Adolf sambil sedikit berpikir. "Tidak ada yang terlalu penting, pada saat aku bertemu denganmu. Aku melihatmu berjalan dengan menundukkan kepala, aku merasa kasihan, mungkin aku bisa sedikit membantu, jadi aku memberikan tumpang. Lagi pula, tujuan kita sama. Aku juga perlu pergi ke Ibukota. Jika kau bertanya kenapa aku mau menunggumu sesuai yang kau katakan. Jawabannya mudah, karena aku juga berhutang kepadamu. Bahkan hutangku lebih besar."
Jawaban pria itu sukses membuat Hirato menatapnya dengan mata yang membulat sempurna. "Hutang?" tanya Hirato bingung. "Kau telah menyelamatkan nyawaku dari Iblis-iblis itu. Jadi hutangku padamu lebih besar dari pada hutangmu kepadaku. Oh iya, aku belum bilang. Terima kasih telah menyelamatkan nyawaku Ren Hirato," ucap Adolf sambil tersenyum senang.
Membuat Hirato semakin terkejut. Untuk pertama kalinya, ada yang mengucapka kata 'Terima kasih' kepadanya. Kepada Hirato? Ren Hirato? Pemuda yang selalu di jauhi dan di hina oleh warga desanya sebagai anak terkutuk karena matanya. Itu membuat Hirato sangat senang. Hingga tanpa sadar cairan bening turun dari sudut matanya.
"Eh Hirato, apa kau baik-baik saja? Kenapa kau menangis?" tanya Adolf panik. Hirato langsung menggerakkan tangannya lalu menyentu wajahnya. Ia lihat di tangannya terdapat cairan bening yang telah lama menghilang.
***
Hari mulai berganti malam. Matahari mulai turun dan di gantikan oleh sang Rembulan. Adolf dan Hirato tengan terdiam menatap lidah api yang menyalah di hadapan mereka. "Setelah kita keluar dari jalanan hutan ini, kita akan segera sampai di Ibukota," ucap Adolf memecah keheningan. Hirato hanya menganggukkan kepalanya pelan sambil menatap kedepan kosong.
"Baiklah, aku akan tidur duluan. Sebaiknya kau juga tidur Hirato, bagi anak muda sepertimu, tidak baik jika tidur terlalu malam," ucap Adolf, dan hanya mendapatkan anggukan pelan dari Hirato sebagai jawaban sebelum ia tertidur.
***
Hari semakin malam. Namun, pemuda berambut gelap itu belum juga tertidur. Hingga api unggun yang ia buat mati. Ia masih terdiam. Akhirnya, ia memutuskan untuk berdiri, dan berjalan dengan santai memasuki hutan.
Semakin dalam ia memasuki hutan. Tanpa ia sadari, Ia sampai di ujung tebing yang cukup tinggi. Namun, ia menatap pemandangan malam di hadapannya dengan takjub. Sungguh pemandangan yang sangat indah dan luar biasa. Ia duduk dengan santai di dekat batu besar di tebing itu, lalu menyandarkan badannya pada batu itu. Ia tatap sang rembulan yang berbentuk lingkaran sempurna.
Sungguh sepi. Itulah kata yang terlintas dalam pikirannya. Tidak ada suara apapun yang mengganggu. Hanya suara hembusan angin dan beberapa suara hewan malam yang terdengar cukup jelas. Ia menutup mata dengan tenang. Menikmati suara yang begitu nyaman baginya. Hingga, Ia pun terlelap dengan damai.
Bersambung...
Yeay update😁
Revisi ╮(╯▽╰)╭
See you again😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top