Story 2 [REVISI]
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun telah berganti semenjak Mashiro Yuta, sahabat Hirato pindah ke Ibukota. Saat ini, kehidupan Hirato semakin terjerumus dalam kegelapan yang abadi. Ibu Hirato, keluarga satu-satunya telah meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Meninggalkan Hirato sendirian.
Saat ini, ia sudah tidak mempunyai seorang keluargapun, ia harus hidup sendiri di rumah kecilnya. Pedang yang di berikan oleh Yuta, tidak pernah ia gunakan. Jika ia berburu, ia hanya menggunakan sihir tingkat kecil dan menggunakan pedang lamanya yang ia buat sendiri.
"Silakan datang kembali, nak Hirato," ucap seorang pedagang wanita tua sambil tersenyum ramah menyerahkan barang pesanan Hirato. "Terima kasih, nek. Saya permisi dulu," ucap Hirato sambil menundukkan kepala sebentar sebelum meninggalkan kedai milik wanita tua itu.
Hirato langsung kembali ke rumahnya, dan langsung melakukan aktivitasnya yang seperti biasa. Matahari mulai turun, di gantikan oleh sang rembulan yang mulai naik. Hirato sedang memasak makan malamnya. Tiba-tiba ia mendengar suara ledakan dari arah tengah desa. Ia lihat dari jendela rumahnya, dan betapa terkejutnya. Saat ia melihat ada banyak sekali kobaran api dan teriakan serta tangisan para warga yang berlari menyelamatkan diri.
Hirato langsung berlari keluar rumah. Ia bingung dengan situasi yang terjadi saat ini. "Ada apa ini?" tanyanya bingung. Semua warga berusaha untuk menyelamatkan diri mereka. Menjauh dari pusat kobaran api yang semakin membesar.
Namun, bukannya melarikan diri. Hirato mala lebih memilih berlari mendekati kobaran api itu. Ia menghawatirkan seseorang yang sangat baik kepadanya selama ini. "Nenek! Nenek di mana?!" teriak Hirato lantang. Ia mencari sosok sang Nenek penjaga kedai yang selama ini sangat baik kepadanya.
"Roooaaaarrr!!!"
Suara teriakan makhluk yang sangat kencang terdengar dari arah pinggir desa. Dimana kedai Nenek itu berada. Membuat Hirato segera melesat kearah pinggir desa dengan sangat cepat, dan pedang yang sudah tergenggam dengan erat di tangannya.
Namun, ia terlambat. Begitu ia sampai di sana, ia melihat moster besar berwarna merah darah, dengan tanduk yang sangat banyak telah memakan tubuh Nenek penjaga kedai yang telah ia kenal itu tepat di depan matanya. Hirato membulatkan mata sempurna saat darah dari tubuh Nenek itu mengenainya.
"Nenek!!" teriaknya emosi. Tiba-tiba, matanya yang berwarna coklat berubah menjadi warna merah darah yang menyala. Ia tarik pedangnya lalu ia melesat dengan sangat cepat menyerang monster itu. "Mati kau," bisiknya dingin, dan dengan sekali tebas. Monster itu langsung terbelah menjadi dua.
Hujan deras pun datang. Namun, hujan ini bukanlah hujan pada umumnya. Hujan ini berwarna merah, ini adalah hujan darah. Ia angkat kepalanya. Ia tatap langit lalu tiba-tiba muncul arwah wanita tua itu. Arwah wanita itu tersenyum hangat kepadanya. Membuat air mata yang sudah tercampur oleh darah pun turun begitu deras.
"Kenapa? Kenapa setiap orang yang dekat denganku harus cepat sekali menghilang? Kenapa?!" teriaknya dengan isakan tangis yang semakin keras. "Apa salahku? Apa salah hidupku? Kenapa kau menghukumku seperti ini?!" lanjutnya lalu terduduk kaku dan air mata yang semakin deras.
Hari itu pun. Telah menjadikan rasa percaya diri Hirato kepada kebaikan orang lain kepadanya hanyalah sebuah ilusi semata. Ia sudah tidak ingin percaya dengan kebaikan orang lain lagi, atau ia akan merasakan kesedihan itu lagi. Kesedihan yang akan terus terulang kembali.
***
Setelah kejadian itu. Warga di desa Hirato mengetahui jika ia mempunyai mata merah seperti milik ras terkutuk yaitu ras Iblis. Warga desa pun beranggapan jika semua peristiwa itu di sebabkan oleh kutukan dari mata merah milik Hirato.
Hirato pun memutuskan untuk meninggalkan desa dan melakukan perjalanan menuju ibukota. Perjalanan menuju ibukota membutuhkan waktu dua minggu. Selama perjalanan Hirato kembali merubah matanya menjadi coklat.
Setelah sampai di Ibukota nanti. Hirato berencana untuk masuk ke Sagana Academy. Sekolah khusus untuk menjadi ksatria atau penyihir terkuat. Ia sudah bertekat, untuk memperkuat dirinya sendiri.
***
Di sebuah tempat yang sangat gelap. Tidak. Lebih tepatnya sebuah kerajaan yang sangat gelap. Berkumpul banyak sekali enam monster yang menakutkan. Tiba-tiba, monster-monster itu berubah menjadi sesosok enam pria dengan pakai serbah hitam. Di hadapan mereka. Duduk seorang pria berambut hitam, dan bermata merah dengan menatap tajam keenam pria yang berlutut di hadapannya.
"Bagaimana?" tanya pria yang duduk dengan bertopang dagu di singgasananya. "Sepertinya kami terlambat, Yang Mulia. Pangeran telah meninggalkan desa itu lima hari lalu," lapor pria berambut biru.
"Bagaimana dengan 'dia'?" tanya pria berambut hitam itu tajam. "Saya mendapat informasi jika ibu pangeran telah meninggal sepuluh tahun lalu," lapor pria berambut merah.
"Jadi dia sudah meninggal." Terdengar suara sedih dan tatapan sedih dari pria di hadapan keenam pria itu. "Jadi, kemana pangeran sekarang?" tanyanya tajam.
"Maafkan kami, Yang Mulia. Kami masih belum mengetahui keberadaan pangeran. Kami hanya mendapat informasi jika pangeran sedang menuju Ibukota, tapi beliau belum sampai di sana, jadi kami akan mencarinya," ucap pria berambut biru itu semakin menundukkan kepalanya.
"Baiklah, cepat cari keberadaan pangeran, lalu segera laporkan kepadaku jika kalian sudah menemukannya," ucap pria itu tajam dan terdengar tegas. "Baik," ucap keenam orang itu serempak. "Kalian boleh pergi," ucap pria itu, lalu keenam pria itu menghilang dari hadapan pria itu.
"Kalian harus menemukan dia. Karena dia satu-satunya anak yang aku miliki dari wanita yang aku cintai," ucap pria itu sedih.
***
Hari semakin malam. Hirato telah membuat api unggun untuk menghangatkan tubuhnya di dinginnya angin malam. Saat ini, Hirato sedang berada di sebuah hutan yang terlihat sangat menakutkan.
Ia tidak ingin tinggal di desa. Hingga ia memutuskan untuk selalu tinggal di hutan jika malam hari. Ia tatap lidah api yang menari-nari di depannya dalam diam. Ia teringat dengan kejadian saat desa di rumahnya dulu terbakar oleh sang lidah api, dan ia juga melihat sendiri kematian dari Nenek yang selama ini telah baik kepadanya.
Mengingat itu saja, membuat Hirato kesal sekaligus sedih. Ia tidak bisa menyelamatkan orang yang sudah baik kepadanya. Ia kepalkan tangan hingga buku jarinya memutih dengan menatap sang lidah api tajam.
"Sampai kapan hidupku akan selalu seperti ini?" tanyanya pada diri sendiri dalam kesunyian hutan. Ia pun memutuskan untuk segera beristirahat. Agar besok, ia bisa langsung melanjutkan perjalanan. Saat ia akan menutup matanya. Tiba-tiba ia mendengar suara dari arah semak-semak yang bergerak, meskipun tidak ada angin yang menggerakkannya. Ia pun mengambil belati kecil di tasnya lalu menatap tajam kearah sekitarnya.
"Siapa di sana? Cepat keluar atau aku lempar belati ini," ancamnya tajam. Namun, ia tidak mendapatkan respon apapun. Saat ia bersiap akan melempar belati itu. Tiba-tiba dari arah semak-semak di hadapannya. Muncul seorang pria berambut matahari terbenam, dan mata yang sama dengan warna rambutnya.
"Tenanglah, maaf jika aku mengganggumu ... Hehehe," ucapnya sambil tertawa kaku. "Siapa kau?" tanya Hirato tajam dengan posisi belati yang belum ia ubah.
"Sebelum itu, bisa kau turunkan belati itu? Itu cukup menakutkan, tenang saja, aku tidak akan menyerangmu," ucap pria itu dengan tersenyum kaku menatap Hirato. Hirato pun menurut lalu ia segera menyimpan belatinya kembali. "Jadi, siapa kau?" tanyanya mengulangi pertanyaannya.
"Aku Axton, aku hanya seorang petualang baru yang akan ke Ibukota. Kebetulan aku sedang ingin membuat tempat berlindung, tapi aku melihat cahaya dari arah sini. Jadi, aku mencoba memeriksanya," jelas pria yang bernama Axton itu panjang lebar. Hirato hanya menatap pria di hadapannya dingin. "Apa aku boleh bergabung di sini?" tanya Axton. "Terserah kau saja," ucap Hirato dingin. "Terima kasih," ucap Axton senang lalu ia langsung duduk.
Selama beberapa menit kedua pria itu hanya diam menatap lidah api yang menari-nari di hadapan mereka. Hingga Axton membuka mulut. "Apa kau juga akan ke Ibukota?" tanyanya penasaran. "Ya," jawab Hirato singkat. "Kalau boleh tahu, siapa namamu?" tanya Axton. Hirato hanya menatap Axton selama beberapa menit. Membuat pria bersurai unik itu menjadi bingung. "Ren Hirato," ucap Hirato pada akhirnya.
"Boleh aku panggil Hirato?" tanya Axton. "Terserah kau saja," jawab Hirato santai. "Baiklah, Hirato. Apa yang akan kau lakukan di Ibukota?" tanya Axton penasaran. "Aku akan mengikuti ujian masuk Sagana Academy," jawab Hirato dingin. "Wah ... Berarti kita sama, aku juga akan ikut ujian masuk Academy itu, aku masuk di sana karena ingin menemukan seseorang," ucap Axton senang.
Hirato hanya diam mendengarkan ucapan Axton. Pria itu terlihat senang menceritakan keinginannya untuk menemukan seseorang yang anehnya belum pernah ia temui atau kenal. Setelah selesai bercerita. Hirato langsung membaringkan dirinya dan segera menutup matanya yang sudah terasa berat. Ia pun tertidur dengan tenang.
Bersambung...
Haihai
Hanya merevisi bagian nama dan typo atau menambahkan sedikit kalimat ╮(╯▽╰)╭
See you
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top