7 || Amnesia


========

7

a m n e s i a

========



Arraf sudah memarkirkan motornya di lapangan parkir FMIPA pukul sebelas tepat.

Begitu motor dimatikan, Arraf merogoh ponsel untuk mengirimkan chat kepada Riv bahwa dia sudah sampai. Tak lama, chat itu berbalas


Trivia Ganggarespati

Ngapain ke FMIPA?


Arraf memutar bola mata. Dia melepas helmnya, lalu menunggu sambil duduk di motor. Cuaca kampus pada pukul sebelas siang ini terasa agak sejuk karena tadi pagi hujan. Lelaki itu menikmati semilir angin sembari mengetikkan balasannya.


Arraf Abizard Rauf

Lo amnesia?

Trivia Ganggarespati

Wait. Ini lo serius
jemput gue buat
ngobrol2?

Arraf Abizard Rauf

Yaiyalah.

Trivia Ganggarespati

Astaga. Gue pikir itu
bohongan doang.

Arraf Abizard Rauf

Ngapain gua bohong?

Trivia Ganggarespati

Soalnya lo pasti sibuk.
Aneh aja buat gue lo
mau ngobrol sampe
niat jemput.
Padahal gue bisa aja
ketemu langsung di tmpt.

Arraf Abizard Rauf

Lo bilang gamau ketemuan
sama gua.
Yauda gua jemput.
 Pastiin
kalo lo gak kabur.



"BANG ARRAF!" seru seseorang dari depan Arraf, mengagetkan sang pemilik nama yang dipanggil. "Gila! Gimana kabar lo, Bang? Lama juga nggak ke kampus!"

Arraf mengerjap, lalu menyimpan ponselnya sejenak untuk membalas sapaan itu. "Iya, nih. Mau ketemu orang."

"Mau ketemu siapa, Bang? Anak-anak jurusan lo? Atau anak BEM?"

"Anak jurusan gue." Arraf menatap ke sekitar fakultas. Namun, tak menemukan tanda-tanda keberadaan Riv di sana. Melirik ke arah adik tingkatnya, dia pun bertanya, "Rez, lo tahu cewek yang namanya Riv? Trivia Ganggarespati. Anak jurusan gue, lagi skripsi dia."

"Riv?" Reza mengernyit. "Nggak kenal, Bang. Dia anak UKM atau ikut organisasi apa?"

Arraf menautkan alis. Dia tak tahu tentang hal itu. Tak terpikir untuk bertanya juga. "Nggak tahu, Za. Mungkin dia anak Hima atau BEM. Tapi nggak tahu juga." Arraf pun membuat catatan mental untuk menannyakan hal tersebut nanti ke Riv.

Reza menatap ke teman-temannya yang melihat Arraf dan semua mendekatinya, bertanya-tanya kabar. Sebagai ganti, Arraf bertanya kepada mereka semua tentang Riv. Namun, tak ada yang kenal gadis itu. Salah satu dari mereka pun berkata, "Sori, Bang. Kalau anak jurusan lain emang nggak semuanya kita ingat. Yang sering ketemu aja kadang suka lupa nama. Mungkin kalau lihat mukanya, kita-kita bakal tahu orangnya yang mana.

Arraf pun membuka ponsel lagi untuk menunjukkan foto profil Riv dari chat mereka. Namun ketika ingin membuka foto profil Riv, dia melihat chat masuk dari gadis tersebut.


Trivia Ganggarespati

Bisa keluar dulu dari FMIPA?
Lo ke FIB dulu aja.
Nanti gue ke sana.

Arraf Abizard Rauf

Lo lg dmn?

Trivia Ganggarespati

Ada lah pokoknya.
Serius mau ngobrol gak?
Ikutin aja dulu omongan
gue.

Arraf Abizard Rauf

Fine.

Trivia Ganggarespati

Makasih.


Arraf menarik napas, menyimpan ponselnya, kemudian segera memasang senyum kepada adik-adik tingkatnya. "Eh, sori nih. Gue harus cabut. Kapan-kapanlah gue main ke sini lagi."

"Oh, iya, Bang. Silakan," ujar Reza disusul dengan afirmasi dari yang lain. "Tiati, Bang!"

Arraf hanya membalas dengan anggukan, kemudian memasang helm dan melajukan motornya keluar lapangan parkir FMIPA. Dia pun berhenti di salah satu pelataran parkir FIB sambil mencari-cari sosok Riv. Karena tak kunjung ditemukan, dia membuka ponsel untuk mengirimkan chat, menanyakan keberadaan gadis itu.

Kemudian tak lama, dia melihat sebuah motor parkir tepat di depannya. Arraf mendengak, melihat Riv menatapnya dengan wajah agak gusar.

Alis Arraf bertaut. "Lo kenapa? Muka lo kelihatan kesal gitu."

Riv menatap ke arah sepatunya sejenak. Dan sungguh, Arraf tahu ini terdengar kekanakan, tetapi dia tak suka merasa diabaikan seperti ini.

"Riv?" panggil Arraf, menjentikkan jari. "Masih di bumi, nggak?"

Mata Riv melirik sejenak ke wajah Arraf, kemudian kembali menatapi sepatunya dengan alis bertaut-taut seperti berpikir panjang. Arraf tak pernah bisa menebak apa yang tengah dipikirkan gadis itu. "Mohon maaf, Bang," ujar Riv pada akhirnya. "Apa... Bang Arraf selalu kayak gini?"

Giliran Arraf yang mengernyit. "'Begini' gimana maksud lo?"

"Kayak, segala hal yang Bang Arraf mau harus dituruti, nggak boleh dibantah. Karena Bang Arraf nggak menerima penolakan."

"Hei, gue cuma minta lo buat ngobrol sama gue," ujar Arraf, heran, mulai agak kesal. "Gini, ya. Kalau lo ngeiyain dengan cepat, semua beres, kok. Nggak perlu ada main kejar-kejaran kayak gini. Tapi, lo memilih mempersulit, kan. Seandainya lo langsung bilang iya, kita bisa langsung ngobrol, selesai. Dan gue nggak perlu sememaksa ini."

Riv membeliak, benar-benar kaget karena Arraf justru menyalah-nyalahkannya. Namun, dia tak bicara apa-apa. Hanya menatap Arraf beberapa detik di mata, kemudian wajahnya beraut datar. "I see," ujarnya tenang, mengulas senyum formal sambil mengangguk. "Terima kasih atas pembicaraannya hari ini. Saya mohon maaf kalau ada salah kata dan perbuatan. Saya pamit, Bang," tutupnya sebelum menyalakan motor, kemudian melajukannya ke luar kampus.

Gantian Arraf yang membeliak. Dia segera menyalakan motor dan menyusul Riv. "RIV!" serunya ketika motor mereka bersisian. "Woi! Riv! Lo mau ke mana?"

Riv tak merespons. Dia hanya menatap ke depan. Masih melajukan motornya dengan tenang sampai keluar gerbang kampus.

Melotot, Arraf pun melajukan motor menyejajari Riv. Ingin rasanya dia menyenggol tangan atau menganggu gadis itu agar Riv menoleh. Namun, Arraf tahu akan berbahaya jika Riv kehilangan keseimbangan pada motornya. Dia tak segegabah itu mengambil keputusan. Akhirnya, Arraf hanya menunggu hingga mereka tiba di jalan yang sepi dan sempit, melajukan motor lebih cepat membalap Riv, kemudian menghentikan motornya di depan motor gadis itu.

Mata Riv sedikit membola. Dia tak berpikir bahwa Arraf akan menahannya seperti ini dengan tiba-tiba. Dia pun berbelok ke sisi lain jalan, dan ditahan dengan tubuh Arraf yang berdiri di sisi jalan tersebut.

Riv menarik napas lagi, berusaha menahan jengkel. Dia bisa melaju ke sisi lain jalan yang kosong, tetapi memilih untuk putar balik saja agar tak perlu melihat Arraf lagi. Namun begitu ingin memutar motornya, Arraf menahan tangan Riv yang tengah mengenggam setir motor.

Riv melotot, segera menepis tangan Arraf. "Mau lo apa, sih?"

"Lo amnesia?"

"Gue nggak ada niat buat memenuhi kemauan lo." Riv meletakkan tangannya di setir motor lagi, dan kembali ditahan oleh Arraf. Tenaga Arraf jelas lebih kuat daripada Riv. Sehingga Riv yang dari tadi merasa ingin meninju lelaki itu segera menarik napas, berusaha sabar untuk kompromi. "Arraf, dengar," ujar Riv dengan penekanan tertentu. Matanya menatap tajam. Hilang sudah semua penghormatan kepada lelaki yang berdiri di depannya. "Teman lo banyak, Raf. Lo bisa ajak mereka ngobrol alih-alih ngajak gue. Kalau lo mau nambah teman, di luar sana masih ada ratusan orang yang pasti mau temenan sama lo. Udah, lo urusin mereka yang mau temenan sama lo aja."

"Emangnya lo nggak mau temenan sama gue?"

"Nggak."

"Kenapa?"

"Attitude lo nggak bisa gue toleransi."

"Attitude apa?"

"Attitude lo yang nganggep semua manusia lebih inferior daripada lo, sehingga lo pikir adalah hal wajar kalau mereka mengikuti apa pun yang lo inginkan."

"Astaga! Gue cuma mau ngobrol, Riv!"

Riv memejamkan mata dan menarik napas. Dia mematikan motor, lalu melirik ke arah tangannya yang masih ditahan oleh Arraf. Dengan datar, dia berkata, "Lepasin. Tangan lo menganggu laju peredaran darah di tangan gue."

Arraf melepaskan tangannya dengan jengkel. "Songong amat, sih."

"Lo pikir lo enggak?"

Arraf terperanjat. Dia tak menyangka Riv akan membalas seperti itu.

"Dalam hal kesongongan, kita impas." Riv menyingsingkan lengan kemejanya sampai siku, melihat tangannya agak merah dari bekas genggaman tangan Arraf tadi. "Jadi, Arraf, kayak yang tadi udah gue bilang," ujar Riv, menatap Arraf, mengabaikan bekas merah di tangannya yang memang tak sakit. "Lo punya banyak teman. Lo bisa ajak mereka ngobrol alih-alih ngajak gue ngobrol. Mereka pasti mau kok ngobrol sama lo tanpa lo harus repot-repot kayak gini. Gampang, kan?"

Arraf mengernyit. "Kenapa sih, susah banget buat lo ngeiyain ajakan gue ngobrol?"

"Lo amnesia?"

Lagi, Arraf terperanjat. Otaknya berusaha mengingat-ingat lagi ucapan Riv tadi. Kemudian dia berdeham. "Gini ya, Riv. Attitude gue nggak akan sepemaksa ini kalau lo mengiakan ajakan gue dengan cepat."

"Ini baru hal kecil," ujar Riv, mengangkat telunjuk. "Masih dalam konteks ajakan ngobrol ke adik tingkat yang nggak lo kenal dekat. Gue nolak, lo maksa. Gue yang cuma adik tingkat yang nggak lo kenal aja langung lo paksa-paksa, apalagi kalau kita udah temenan? Gimana nanti kalau udah skala besar kayak gue mau kerja apa setelah lulus? Bisa-bisa dipaksa juga sama lo harus ngelakuin apa aja dari A sampai Z. Serem amat. Ogah gue temenan sama control freak."

Arraf terdiam. Ada sebagian hatinya yang membenarkan ucapan Riv itu, sebab dia memang sering melakukannya ke orang-orang. Tapi, gue kan ngelakuin itu buat kebaikan mereka juga, pikir Arraf. "Gini. Gue tuh cuma kasih saran ke teman-teman gue tentang apa yang harus mereka lakukan biar sukses, biar bisa survive," ujar Arraf. "Bukan mau mengontrol mereka."

Riv mengangkat satu alis, skeptis. "Kalau gue bilang, gue mau berhenti kuliah, gimana?"

Arraf mengernyit. "Nggak mungkinlah. Orang lo tinggal urus skripsi sama sidang aja. Ini tahun terakhir lo. Nggak mungkin berhenti."

"Gue barusan ketemu Pak Hugo buat cancel skripsi gue. Gue mau mengundurkan diri dari kuliah. Bodo amat nggak dapat gelar. Yang penting gue udah cukup dapat ilmunya."

"Hah?" Arraf membeliak. Ini di luar ekspektasinya. "Kenapa ngundurin diri? Lo kurang uang untuk bayar SPP kuliah apa gimana? Bisa cari beasiswa, kan? Gue yakin dosen juga pasti mau bantu."

"Iya, gue kurang duit."

Arraf mengernyit. Benar-benar tak terima dengan alasan konyol itu. "Ya cari beasiswalah!" seru Arraf. "Bilang ke Pak Hugo atau dosen lain, atau tanya anak BEM tentang info beasiswa. Pasti dibantuin. Atau minimal lo googling-lah. Penelitian lo jadiin PKM-P aja. Kembangin dan tulis yang bener biar bisa jebol PIMNAS. Ajak adik-adik tingkat lo buat ikut ke tim PKM. Ikut-ikut LKTI yang ada hadiah duit. Hemat-hematin uang makan dan belanja harian lo. Atau kalau lo emang bener-bener kurang duit, lo bisa bikin crowdfunding di internet kayak kitabisa.com buat bayar SPP lo, tapi pastiin lo emang berprestasi dan layak buat diberi sumbangan. Banyak cara biar bisa bayar kuliah. Masa cuma masalah duit aja dijadiin alasan mundur kuliah? Orang tinggal setahun lagi lulus. Gila lo."

Riv mengangkat alis dengan bibir terbuka. Benar-benar terperanjat selama beberapa detik. "Wow," ujar Riv, bertepuk tangan. "Wow, wow, wow. Ternyata akan seperti ini kelakuan lo kalau kita makin dekat jadi teman. Benar ternyata analisis gue." Riv geleng-geleng kepala.

Mata Arraf menyipit. "Maksud lo?"

"Oke, lo mau ngobrol, kan? Ayo kita ngobrol di tempat makan depan sana," ujar Riv, mengedikkan dagu ke arah rumah makan tradisional yang ada di seberang jalan, terlihat lebih bersemangat. Dia menyalakan motornya lagi, kemudian memarkirkannya di tempat parkir rumah makan.

Arraf terheran-heran. mau tak mau hanya mengikuti. Meski dia sebal juga karena merasa seperti kacung yang tak punya pilihan lain selain mengikuti majikannya.

Kemudian dia berpikir lagi. Untuk apa dia mau repot-repot seperti ini hanya demi mengobrol dengan Riv? Riv benar. Dia bisa saja mengajak temannya untuk makan bersama sambil mengobrol-ngobrol. Tapi, nggak ada yang kayak Riv, pikir Arraf. Dan dia tahu ini bukan keyakinan apalagi hanya intuisi. Ini fakta. Tak ada yang seperti Riv dalam hidupnya. Tak ada yang berani menertawai pendapatnya seperti Riv. Tak ada yang berani menyebutnya pongah seperti Riv. Tak ada yang berani melabelinya control-freak seperti Riv. Semua orang akan tertawa jika Arraf memang sedang melucu, tetapi tak ada yang tertawa ketika dia menyampaikan pendapat. Sebagian orang mungkin menganggap Arraf pongah, tetapi hanya membicarakan hal ini di belakangnya. Tidak seperti Riv. Tidak pernah ada yang seperti Riv.

Arraf tak suka memasuki teritori yang tak bisa dia tebak seperti berkenalan dengan Riv. Riv terlalu tak terduga, terlalu banyak kejutan. Dan terlalu banyak kejutan jelas bukan hal yang baik jika dia ingin rencananya berjalan sempurna.

Menarik napas, dia menarik kunci motornya dari slot. Beranjak menuju rumah makan meski dalam hatinya ada rasa kalut terhadap Riv. Arraf sadar apa yang dia rasakan. Dan ini bukanlah metode yang biasa dia pakai ketika tertarik terhadap perempuan. Perempuan itu harus dia pastikan sesuai standarnya dahulu, baru dia dekati, sementara masalah naksir atau tidak biarkan saja jadi urusan belakangan. Arraf tak mau naksir perempuan yang salah apalagi yang tak sesuai standarnya. Merepotkan. Sialnya, dia sudah duluan tertarik dan berkorban banyak untuk ukuran lelaki yang hanya ingin mengobrol bersama Riv. Itu pertanda buruk. Harusnya dia tak perlu berkorban apa-apa jika masih kencan pertama. Seandainya saja Riv mengiakan ajakannya dengan cepat, dia pasti tak perlu merasa kalut seperti ini. Inilah yang membuatnya berpikir Riv terlalu tak terduga dan sebenarnya agak berbahaya jika dia tak punya back-up plan menghadapi gadis itu.

Mendesah, Arraf pun mengisi kursi di seberang kursi yang ditempati Riv. Entah apa yang akan terjadi nanti pada hubungannya dengan Riv nanti. Arraf hanya bisa berharap yang terbaik.

[ ].

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top