4 || Byssus
========
4
b y s s u s
========
Trivia Ganggarespati
Bang arraf, saya udh
di dpn rumahnya.
Riv menyelipkan rambut pendek sebatas lehernya ke belakang telinga. Mengamati rumah minimalis dengan gerbang kayu setinggi tubuhnya. Adanya gantungan pot-pot bunga dan tanaman rambat di kanopi rumah itu memberi kesan teduh. Matanya memindai sekitar komplek perumahan kediaman Arraf. Dia menimang apa harus memanggil-manggil Arraf dari depan gerbang atau tidak. Sebab yang Riv tahu, ada sebagian orang yang tak suka jika tamunya teriak-teriak di depan rumah. Bukan hanya menganggu orang di rumah itu, tapi bisa jadi juga menganggu tetangga-tetangga.
Mata Riv melihat layar ponselnya lagi, lalu menangkap tanda centang biru dari chat Whatsapp yang dikirimnya ke Arraf. Menghela napas, dia memilih menunggu Arraf di depan gerbang. Tak lama, muncul suara pintu rumah terbuka disusul suara langkah yang membuka gerendel gerbang.
Riv pun menatap sosok Arraf yang muncul. Berusaha tak mengernyit. Rasanya agak ganjil karena Arraf terlihat santai dengan kaus putih dan celana training. Kausnya agak basah, terlihat habis berolahraga. Riv berdeham, memperkenalkan diri. "Permisi, Bang. Maaf ganggu waktunya. Saya Riv, yang hubungin Bang Arraf buat minta polidopamine."
Arraf bergumam, menatap sosok Riv dari atas sampai bawah. "Gue kira lo cowok."
"Ehm." Riv memainkan tali tas selempangnya. "Saya cewek, Bang."
Mata Arraf kemudian ke arah motor yang terparkir di depan gerbang rumahnya. "Motor lo masukkin aja."
Riv mengiakan. Dia memasukkan motor ke dalam rumah Arraf yang menurutnya bagus. Seperti rumah-rumah yang ada di majalah desain interior. Terasa adem dan kalem dengan banyak tekstur kayu dan tanaman rambat.
"Lo tunggu sini," ujar Arraf, merujuk ke kursi teras. "Biar gue ambilin barangnya."
Riv hanya mengikuti perintah orang itu. Malas protes juga meski dia tak suka diperintah-perintah. Biar cepat selesai, pikir Riv. Dia duduk di kursi teras sedangkan Arraf masuk untuk mengambil polidopamine.
Baru saja sedetik duduk, ketika mendengar suara langkah dari dalam rumah, Riv menoleh, agak heran kenapa Arraf cepat sekali mengambil polidopamine-nya.
Namun ternyata, dia justru melihat sosok wanita berkebaya anggun yang bermimik sama kaget dengan dirinya.
"Eh, ini siapa?" tanya wanita itu. Mengangkat alis. "Kamu teman Arraf?"
Riv membuka mulut. Agak gelagapan. Dia tak berpikir bahwa dia akan bertemu perempuan yang dia yakini merupakan ibu Arraf. Keluarga adalah ranah personal tiap manusia. Dan Riv tak suka menyentuh teritori itu dari sosok yang dia hindari. "Ehm, bukan, Tante. Saya cuma adik tingkat Bang Arraf."
"Oalah." Wajah perempuan itu terlihat lebih rileks. Sementara dalam hati, Riv berdoa semoga Arraf cepat kembali untuk memberi polidopamine-nya. "Kalian sejurusan juga? Atau beda?"
"Sejurusan, Tante."
"Angkatan berapa?"
"Saya dua tahun di bawah Bang Arraf." Riv tersenyum, berusaha tak terlihat gelisah. Namun, dia tak bisa tak merasa senang dengan perangai ibu Arraf yang hangat. "Mau pergi kondangan, Tante?"
"Iya, ini. Tante lagi nunggu teman datang. Mau bareng kami perginya," ujar ibu Arraf. "Eh, masuk aja sini. Ngapain di luar? Pasti Arraf yang nyuruh tunggu di luar, ya?"
"Eung... iya, tapi nggak apa-apa, Tante. Memang saya cuma mau ambil barang aja, kok. Lagian katanya Bang Arraf juga mau pergi."
"Ya nggak apa-apa. Sini masuk, biar dibikinin minum sama si Bibi," ujar ibu Arraf sambil mengajak untuk masuk ke dalam. Mau tak mau, Riv ikut memasuki rumah Arraf bersama Sang Nyonya Rumah. "Eh, namamu siapa, Dek?"
"Saya Riv, Tante," ujar Riv. "Trivia. Biasa dipanggil 'Riv'."
"Namamu unik," komentar sang wanita paruh baya dengan kekehan. "Panggilannya kayak nama cowok. Padahal, kamu manis gini. Tante suka wajahmu, deh. Manis klasik gitu."
Riv tersenyum lebar dengan mata berbinar. Tak ada yang tak suka dipuji, bukan? "Makasih, Tante," ujar Riv. Dan demi kesopanan, dia melanjutkan, "Nama Tante siapa? Biar enak manggilnya."
"Nama Tante Kanya," ujar perempuan itu. "Kamu mau minum apa, Riv?"
"Eh, nggak usah repot, Tante."
"Nggak repot, kok. Tante minta si Bibi bikinkan teh, ya?" Dan tanpa konfirmasi dari Riv, Kanya segera memerintahkan pembantu rumah tangga untuk membuatkan teh.
Riv menelan ludah ketika ibu Arraf menghilang ke arah dapur. Dia hanya melihat-lihat ke lemari kaca sekitar ruang tamu yang berisi berbagai piala dan piagam baik untuk Arraf maupun untuk kedua orangtuanya. Dinding rasanya penuh dengan pigura surat-surat penghargaan. Juara satu lomba pencak silat, juara satu lomba cerdas cermat, penghargaan beragam olimpiade....
"Lo ngapain?" tanya Arraf dengan nada urgensi, seketika membuat bulu kuduk Riv berdiri. Dari wajah Arraf, Riv tahu bahwa Arraf tak merencakan hal ini akan terjadi. Riv juga tak menyangka. Niatnya ke sini kan, cuma mengambil polidopamine dari Arraf, lalu pulang. Bukan datang lalu bertemu hal-hal personal seperti keluarga Arraf. "Siapa yang ngebolehin lo ke sini?" lanjut Arraf.
Riv menoleh, membuka mulut. Kemudian dia menarik napas agar lebih tenang. Wajah Arraf yang terlihat tak terima bagai tanda seru pada papan jalan. Mengharuskannya berhenti detik itu juga. "Maaf, Bang. Tadi saya ketemu ibu Bang Arraf. Beliau yang minta saya masuk."
"Mama?" Alis Arraf mengernyit. "Nyokap gue udah pergi kondangan sama Bokap."
"Hah? Terus yang tadi itu siapa?"
"Raaaf," panggil suara Kanya. Kedua anak muda di ruang tamu itu pun seketika menoleh ke arah sang wanita berkebaya. Seorang pembantu rumah tangga lewat dari belakangnya untuk meletakkan secangkir teh panas di meja tamu, kemudian pergi. "Ih, kamu. Ini ada adik tingkatmu mau kemari, kok kamu nggak bilang-bilang?"
"Cuma sebentar ke sininya kok, Ma. Cuma mau ambil barang," ujar Arraf. "Mama kenapa belum pergi?"
"Loh? Kamu ngusir?"
"Ya... bukan gitu maksudku. Kupikir tadi Mama udah pergi bareng Papa pas aku lari pagi."
"Enggak. Papa mah harus pergi ke rumah Om Darmawan. Mama kondangan bareng teman," ujar ibu Arraf, lalu tersenyum ke arah Riv. "Ayo, Riv. Itu tehnya diminum dulu."
"Ehm.... Iya, Tante. Makasih. Maaf ngerepotin." Riv segera duduk di sofa tamu. Hendak meminum tehnya, tetapi tak jadi karena masih panas. Dalam otak, dia sudah berencana bahwa dia harus segera pergi. Sebab seingatnya Arraf juga sibuk hari ini.
"Jadi, kamu memangnya mau ambil barang apa, Riv?" tanya ibu Arraf, duduk di sofa seberang Riv. Dan meski terlihat enggan, Arraf juga ikut duduk di samping ibunya. Meletakkan sebuah deum berisi cairan yang Riv yakini adalah polidopamine di lantai. Arraf pun terdiam dan hanya mengawasi.
"Aku mau ambil polidopamine, Tante," ujar Riv, menimang melanjutkan penjelasan atau tidak. Namun dia pikir, ibu Arraf pasti juga kaum intelek seperti anaknya. Penjelasannya pasti bisa dipahami. "Jadi, saya butuh polidopamine yang disintesis dari byssus kerang buat penelitian skripsi saya. Terus, dosen pembimbing saya mengarahkan buat minta ke Bang Arraf."
"Ohh," Kanya menaik-turunkan kepala. "Jadi, kamu penelitian biomaterial juga kayak Arraf?"
Bingo! Benar kan tebakan gue. "Iya, Tante. Kebetulan juga Bang Arraf dulu juga pakai polidopamine byssus kerang dan udah sintesis sendiri. Jadi untuk menghemat biaya dan waktu, dosen pembimbing saya mengarahkan saya buat minta polidopamine ke Bang Arraf."
"Dosen pembimbingmu siapa? Pak Hugo?"
"Iya, Tante."
"Ohh, sama ya kayak si Arraf," ujar Kanya, menatap ke arah putranya. "Pak Hugo dulu bilang kalau Arraf mahasiswa pertama di kampus yang berani ambil penelitian biomaterial yang lebih ke ranah engineering," ujar ibu Arraf, terdengar bangga. Lalu menatap Riv. "Sekarang, udah ada penerusnya, ya?"
Riv bergumam. Merasa ganjil. Sebab, dia jelas-jelas tak ambil bidang biomaterial untuk ikut-ikutan apalagi jadi penerus Arraf. Heck, dia bahkan baru tahu kalau ternyata skripsi Arraf juga menggunakan polidopamine byssus kerang.
Berdeham, Riv memberanikan diri membalas, "Saya bukan ikut-ikutan Bang Arraf kok, Tante. Emang beneran minat di bidang biomaterial."
Kanya tertawa. "Kalau ikut-ikutan pun juga nggak apa-apa, Riv," ujar Kanya, tersenyum. Perempuan itu terlihat ingin bertanya lagi, tetapi segera ditunda oleh suara klakson mobil dari luar.
"Eh, itu kayaknya teman-teman kondangan Tante, deh," ujar Kanya. Berdiri untuk mencari tahu dari jendela. Meninggalkan Riv dan Arraf di ruang tamu sejenak. Tak lama, dia kembali dan berkata, "Ah, iya, benar. Teman arisan. Arraf, Mama pergi dulu, ya."
Arraf beranjak untuk salim tangan kepada ibunya. "Hati-hati, Ma."
"Iya. Kamu juga." Pandangan Kanya beralih ke arah Riv. Dan Riv juga ikut salim tangan kepada wanita itu. "Semoga skripsimu lancar ya, Riv. Biar bisa cepat lulus dengan nilai memuaskan," ujar Kanya dengan senyum.
Riv hanya mengaminkan dan tersenyum. Sebenarnya, dia tak terlalu peduli-peduli amat dengan nilai. Namun, banyak orang peduli. Sehingga Riv hanya mencoba beradaptasi. "Makasih, Tante. Hati-hati di jalan."
Kanya mengangguk, lalu pergi ke luar untuk memasuki mobil temannya. Riv dan Arraf mengikuti dan sama-sama melambaikan tangan ketika kaca mobil dibuka dan Kanya melambai di saat mobil melaju.
Usai kepergian Kanya, Riv dan Arraf melihat satu sama lain, kemudian setelah menarik napas, Riv berkata, "Maaf, Bang. Tadi polidopamine-nya gimana?"
"Polidopamine-nya ada di ruang tamu," ujar Arraf. "Habisin teh lo."
Riv menahan diri agar tak memutar bola mata. Dia segera ke ruang tamu untuk mengambil drigen yang tadi diletakkan di lantai ruang tamu. Teringat perintah Arraf, dia pun duduk untuk menghabiskan tehnya yang masih panas. Alhasil, dia hanya menyeruput sedikit demi sedikit.
Arraf kembali ke ruang tamu dan menautkan alis melihat Riv masih berada di sana. "Kenapa masih di sini?"
Riv menurunkan cangkirnya, ikut mengernyit. "Tadi katanya suruh ngabisin tehnya."
"Dari tadi belum habis?"
"Tadi tehnya masih panas. Ini baru agak dinginan."
Arraf hanya menarik napas sambil memejamkan mata. Dia lalu duduk di sofa seberang Riv. Karena tak ada ponsel di sakunya, Arraf akhirnya memilih mengobrol. "Skripsi lo tentang apa?"
"Tentang spons superhidrofobik buat nyerap tumpahan minyak."
"Polidopamine-nya buat bikin si sponsnya ini superhidrofobik? Cuma polidopamine aja coating-nya?"
"Dikombinasi sama POSS juga, Bang."
"Pos apaan?"
"P-O-S-S. Polyhedral oligomeric silsesquioxane. Itu cairan hidrofobik juga. Digabung sama polidopamine biar kekuatan hidrofobiknya makin."
"I see." Arraf manggut-manggut. "POSS itu nyerap minyak juga?"
"Oh, enggak. Yang nyerap minyak itu kan sponsnya. Spons bisa nyerap minyak dan air, kan. Jadi saya mau bikin spons yang cuma nyerap minyaknya aja. Biar cuma nyerap minyak, sponsnya saya coating pakai larutan superhidrofobik."
Arraf manggut-manggut lagi. "Prototipenya kayaknya menarik."
Riv tersenyum tipis, tak berniat memperpanjang obrolan dan hanya meminum tehnya yang sudah dingin sampai habis. Matanya memandangi sekitar. Banyak sekali penghargaan di sekitar ruang tamu itu. Dan Riv sadar bahwa piagam dan piala terbanyak disumbangkan oleh Arraf. "Bang Arraf anak semata wayang, ya?"
"Iya," jawab Arraf. "Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Cuma nggak ada foto anggota keluarga lain selain foto Bang Arraf sama foto orangtua Abang," balas Riv. Masih memerhatikan pigura-pigura foto serta lemari kaca berisi piala. Sambil menyeruput teh, muncul tanya yang memenuhi benak Riv. Pertanyaan yang sempat muncul di saat dia melihat Arraf. Pertanyaan yang sudah terlupakan. Pertanyaan yang kini kembali keluar dari lautan lupa.
"Bang Arraf," panggil Riv, meletakkan cangkir tehnya, memerhatikan deretan piagam dan piala di lemari kaca ruang tamu. "Saya mau nanya."
Arraf mengangkat wajahnya. "Nanya apa?"
Dengan kalem, Riv bertanya, "Bang Arraf banyak prestasinya. Itu fakta. Tapi, prestasi itu diraih buat kepuasan Abang sendiri, atau buat memuaskan ekspektasi orang-orang terhadap diri Abang?"
Satu pertanyaan.
Pertanyaan yang bagi Riv, hanya pertanyaan biasa. Pertanyaan yang dilontarkan karena penasaran yang tak terlalu kuat. Sehingga jika dijawab jujur, bohong, atau pun tak dijawab sama sekali juga tak masalah.
Namun bagi Arraf, pertanyaan itu membuatnya tertegun dan berpikir keras. Dia merasa sulit sekali menjawab hingga tak bicara selama beberapa detik. Dan akhirnya yang dia katakan adalah, "Kenapa nanya gitu?"
"Penasaran aja," jawab Riv. Matanya melihat ke salah satu piala yang bentuknya puncak pialanya seperti bedug. Lomba azan. "Saya takjub aja. Prestasi Bang Arraf banyak dan kalau memang itu diraih untuk kepuasan Abang sendiri, then it's great for you. Tapi, kalau dilakuin buat memuaskan ekspektasi orang-orang juga nggak apa-apa. Saya cuma takjub karena pasti capeknya bukan main," ujar Riv santai. Dia pun berdiri, mengambil drigen polidopamine dan memasukkannya ke dalam tas selempang. Otaknya kemudian teringat dengan kesalahan teknis yang membuat rencana Arraf sedikit rusak. Barangkali Arraf memang tak ingin orang asing memasuki rumahnya sembarangan. "Maaf malah masuk ke rumah Bang Arraf. Tadi saya emang nggak niat masuk rumah. Tapi, nggak enak sama Tante Kanya udah nawarin masuk gitu. Jadi saya ngikut aja."
Arraf menatap Riv. Merasa ganjil. Masih memikirkan pertanyaan Riv tadi. "I-iya... nggak apa-apa."
"Ya udah. Saya pamit, Bang. Terima kasih dan maaf menganggu waktunya," ujar Riv, mengangguk sopan. Dia melangkah menuju pintu keluar dan diikuti Arraf di belakangnya.
Begitu sampai di depan gerbang, dia merasakan kepalanya agak basah oleh rintik-rintik air. Matanya melebar menyadari cuaca yang berubah. "Wah, ini hujan? Padahal tadi masih cerah banget," ujar Riv, kemudian menoleh ke Arraf. "Bang, ada plastik gede, nggak? Biar drigennya bisa digantung ke motor saya."
Arraf meminta pembantu rumah tangganya untuk mengambilkan kantung kresek besar. Ketika Riv tengah membungkus drigen itu, Arraf pun berdeham dan berkata, "Gue anterin aja pakai mobil. Kontrakan atau indekos lo dekat kampus, kan?"
"Iya. Tapi, nggak usah, Bang," ujar Riv, mengantung kantung drigen ke gantungan di depan motor. "Hujannya juga cuma gerimis kecil, kok. Dan saya bawa motor. Repot nanti ngambilnya."
Arraf tak memberi argumen. Dia melihat ke langit dan sadar memang hujannya cuma gerimis kecil. "Gue kira bakal hujan gede."
"Kayaknya enggak, sih. Biasanya enggak." Riv memakai helm, lalu naik ke motornya. Mengangguk ke arah Arraf. "Duluan, Bang."
Mengangguk, Arraf mengamati Riv yang melajukan motor keluar komplek perumahannya, kemudian menutup gerbang rumah. Sementara Riv sudah dalam perjalanan untuk kembali ke indekosnya. Hari ini berjalan dengan baik. Meski ada sedikit hal yang tak terduga tadi. Riv pikir, semua masih aman. Sebab dia memang tak perlu berhubungan lebih lanjut lagi dengan Arraf.
Sayangnya, Arraf tak berpikir demikian.
[ ].
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top