32 || Magis
A/N
4k words. Thank me later. Di bawah ada GIF nama Rivarraf
-;-
========
32
m a g i s
========
2017
Tanpa terasa, empat bulan berlalu dari masa pacaran Arraf bersama Riv.
Berpacaran dengan Riv terasa begitu mudah untuk Arraf. Rasanya seperti bersenang-senang bersama sepanjang empat bulan itu. Bukannya tak pernah bertengkar. Mereka hanya cepat berbaikan. Arraf sadar hal ini sulit dicapai dengan mantan-mantannya terdahulu karena komunikasi di antara mereka kurang terbuka. Dengan Riv, Arraf yakin komunikasi mereka sudah sangat baik. Mereka sama-sama saling terbuka dan jelas apa maunya, tak ada yang kode-kode dan menunggu yang lainnya peka. Riv selalu jelas mengatakan apa yang dia inginkan, sehingga Arraf juga lebih mudah untuk tahu apa yang harus dia lakukan. Komunikasi di antara mereka sudah sangat bagus dan Arraf ingin mempertahankan komunikasi terbuka ini pada jenjang pernikahan nantinya.
Hanya saja, rencana Arraf memang tak selamanya selalu lancar. Ada harga yang harus dibayar untuk mewujudkan keinginannya.
***
Pukul sembilan malam di hari Jumat, Riv dikejutkan dengan chat masuk dari Arraf. Dia baru saja selesai cuci muka ketika chat itu muncul.
Arraf Abizard Rauf
Aku ada di depan kos
kamu skrg.
Trivia Ganggarespati
Seriusan?
Arraf Abizard Rauf
Liat aja sendiri.
Riv membeliak. Ini ganjil sekali. Sebab Arraf tak pernah datang ke tempatnya secara tiba-tiba seperti ini. Keganjilan ini justru membuar Riv khawatir. Apa Arraf sedang ada masalah?
Mengenakan jaket dan berjalan keluar indekosnya, mata Riv pun mudah menangkap motor Arraf dan pemiliknya di depan gerbang. Arraf menoleh menatapnya. Senyum tipis pun terulas di bibir lelaki itu. "Hai."
Alis Riv justru bertaut. Dia mendekat, meneliti wajah Arraf yang terlihat lelah meski tersenyum. Riv mengelus lengan Arraf. "Kamu nggak apa-apa?"
Senyum tipis Arraf melebar sedikit. Hatinya merasa lebih ringan karena melihat kekhawatiran Riv. "Kita ngobrol, yuk. Tapi jangan di sini."
"Mau ke warkop aja?" tanya Riv. Dia tahu ada warkop plus roti bakar yang tak terlalu ramai dan enak untuk dijadikan tempat kumpul.
"Boleh." Arraf mengedikkan kepala ke arah motornya. "Ayo naik."
Riv menuruti ucapan itu. Dia lalu mengarahkan Arraf ke warkop roti bakar yang agak jauh dari indekosnya. Sesuai prediksi Riv, warkop itu tak terlalu ramai. Hanya diisi tiga orang pelanggan yang sedang makan atau mengobrol sambil minum kopi atau es cokelat. Riv memesan ovaltine dingin sementara Arraf memesan roti bakar telur mata sapi dan kornet.
"Kamu udah makan, Raf?" tanya Riv setelah mereka duduk.
"Belum. Ini baru mau makan," jawab Arraf. Dia menyandarkan punggung dan melihat ke arah mural di warung kopi yang terlihat lebih 'kekinian' itu.
Ovaltine dingin Riv dan es teh manis Arraf datang. Mengaduk minumannya, Riv pun bertanya, "Mukamu kelihatan kucel banget, Raf. Kerjaan kantor hari ini bikin capek banget, ya?"
"Kerjaan kantor standar, sih. Yang bikin capek itu ngadepin orang-orang yang nggak becus mengerjakan job-desc yang udah gue terangkan." Arraf mengaduk es tehnya. "Lo sering ke warkop ini, Riv?"
"Lumayan. Soalnya tempatnya nggak terlalu ramai, jadi enak." Riv menyedot ovaltine-nya. "Kamu pernah ke sini, Raf?"
"Pernah kayaknya, dulu banget. Sekarang udah direnovasi ya jadi ada mural-mural gitu. Kekinian."
"Nggak heran sih kamu tahu warkop-warkop terpencil," balas Riv. "Kamu kan kayak raja segala-galanya di kampus gitu. Akademik melejit, organisasi nggak kalah, di Oksigen jadi pemain inti, tapi nongkrong-nongkrong gaul juga tetap jalan. King on The Street and King of Science, the one and only, Paduka Raja Arraf Abizard Rauf." Riv memberi salute.
Senyum Arraf melebar. "Aku nggak sehebat itu."
"Nggak usah sok merendah, Raf. Nggak ngaruh buat mengurangi kesongongan kamu."
Tawa Arraf meledak. "Aku emang nggak ada bakat buat jadi rendah hati."
"Let's just embrace our arrogance," Riv berujar sambil menaik-naikkan alis. Kemudian, dia mulai menceritakan harinya karena Arraf terlihat tak ingin banyak bicara. Riv bisa merasakan bahwa ada yang berbeda dari Arraf. Dan karenanya, dia siap untuk mendengarkan jika nanti Arraf ingin bercerita.
Tak lama, roti bakar Arraf datang. Lelaki itu langsung makan meski makanannya masih panas.
Riv menunggu hingga Arraf mulai makan sebelum bertanya, "Kamu ada masalah? Mau cerita?" tanya Riv dengan pelan dan santai. Arraf menatapnya sambil memotong roti bakarnya. "Kalau nggak mau cerita ke aku juga nggak apa-apa, kok. Yang penting kamu bisa sharing ke orang lain yang menurutmu lebih mumpuni, lebih memahami. Supaya beban masalah yang kamu rasakan bisa jadi lebih ringan."
Arraf mengerjap memandangi Riv, lalu menurunkan pandangan ke roti bakarnya yang masih mengepulkan uap. Dia mulai memotong-motong roti bakarnya lagi dengan pandangan kosong. Menarik napas, bibirnya pun berucap, "Riv?"
"Ya?"
"Aku bukan anak kandung."
Riv menahan napas beberapa detik.
Ada jeda lima detik, kemudian Riv menelan ludah, memikirkan apa yang harus dia ucapkan. Setelah beberapa saat membisu, Riv akhirnya bertanya, "Do you wanna talk about this? Atau, apa ini bikin kamu nggak nyaman?"
Arraf terkekeh. "Jelas aku mau ngomongin masalah ini. Itulah kenapa aku ngajak kamu ngobrol."
Riv menaik-turunkan kepala. "Mau mulai dari mana?"
"Mulai dari apa yang ayahku obrolin hari ini," balas Arraf dengan senyum. "Hari ini Papa minta aku pulang ke rumah nanti sehabis ngantor. Terus barusan aku pulang, dan Papa cerita tentang kesehatannya yang menurun. Dan, bisnisnya lagi terancam bangkrut. Papaku punya bisnis beberapa cabang rumah makan di Jakarta, Bandung, dan Bali. Sebenarnya, udah dari lama aku tahu bahwa suatu saat bisnis Papa bakal bangkrut. Soalnya nggak ada inovasi. Zaman berubah ya selera masyarakat juga berubah. Papa cuma ngikutin tren yang ada tanpa mikirin inovasi jangka panjang jadi, yah, tinggal tunggu waktu sampai bisnisnya lama-lama bangkrut."
Riv mengernyit. "Terus? Apa yang kamu lakuin biar itu nggak terjadi?"
"Aku udah kasih saran ke Papa. Tapi, Papa nggak mau. Katanya terlalu aneh nanti orang-orang pada nggak suka. Jadi tuh, Papa cuma berani ambil keputusan buat inovasi yang udah pernah dilakuin orang lain dan sukses. Kayak makanan dikasih saus keju or something. Nggak ada yang salah, sih. Sampai sekarang juga masih cukup laku, tapi kalah sama restoran fast food yang kebetulan juga didirikan dekat rumah makan Papa."
"Jadi... sekarang gimana? Beneran mau bangkrut?"
"Iya, dan Papa udah cari solusi buat menanggulangi itu."
"Oh, syukur dong. Terus, kamu kenapa kayaknya kucel banget habis dari rumah ayahmu?"
Arraf menarik napas. Dia tersenyum miris dengan matanya yang agak lelah. "Sayang, solusi papaku itu adalah nikahin aku sama putri salah satu pengusaha yang dia pikir bisa menyelamatkan bisnisnya."
Riv membulatkan bibir. "Wow...."
Wajah Arraf seketika terheran. Alisnya naik satu. "Wow?"
"Iya, wow." Riv manggut-manggut. "Aku paham. Mungkin karena aku pacaran sama rajanya standar masyarakat yang mainstream, jadinya kisah hidupku ikut-ikutan jadi kayak drama mainstream. Cinta kita terpisah karena perbedaan kasta. Lezat sekali memang dunia ini."
Mata Arraf mengerjap, kemudian tawanya meledak menyadari sarkasme Riv. "Your sarcasm amuse me."
"Ya habis sinetron banget, Paduka. Pada akhirnya kita harus putus nih gara-gara kamu mau dinikahin sama putri pengusaha besar? Terus, nanti tuh biasanya ceritanya aku sakit hati terus menghilang dari hidup kamu. Habis itu setelah beberapa tahun, kita ketemu lagi terus CLBK. Gitu plotnya, Paduka. Kira-kira plot hidup kita juga bakal kayak gitu, nggak?"
"Kita nggak akan putus, Trivia Sayang," ujar Arraf dengan senyum. "Plot hidup kita ya kita sendiri yang menentukan. Bukan orang lain. Bukan si putri pengusaha, bukan bapakku, dan bukan siapa pun. Kita sendiri."
Riv mengernyit. "Emangnya, kamu nggak mau nurutin keinginan ayahmu?"
"Nggaklah," jawab Arraf, tegas. "Aku nggak perlu juga mengikuti keinginan Papa. Papa udah tua dan perusahaannya mau bangkrut. Dengan ataupun tanpa nikahin putri kolega bisnis Papa, I'm still gonna take his business anyway."
"Kalau papamu nggak setuju?"
"Ya udah. Emang siapa lagi yang bisa menyelamatkan bisnis dia kecuali aku?" tanya Arraf dengan nada retoris. Dia mendengus. "Dari awal, aku tahu kesehatan Papa menurun dan mau nggak mau, bisnis Papa bakal turun ke aku. Tinggal tunggu waktu aja. Lagian, he knows I'm capable. Tapi, Papa mau aku kerja dulu di tempat lain sebelum ambil alih bisnis dia. Aku juga udah memprediksi suatu saat Papa akan jodohin aku sama putri kolega bisnisnya. Semua hal ini udah aku prediksi dari lama, Trivia Sayang. Sangat tertebak."
Mata Riv menyipit. Dia memandangi Arraf yang masih terlihat santai makan roti bakarnya. "Kamu... nungguin bapakmu sakit buat ambil alih usaha dia?"
Arraf berhenti mengunyah sejenak, kemudian melanjutkannya dan menelan makanan. "Terdengar kejam, tapi, iya," aku Arraf. "Cuma, yah, itu nggak bisa dicegah sih, Riv. Melihat Papa emang udah sakit dan Papa kelihatan ogah-ogahan jaga kesehatan ya... kalau tiba-tiba Papa drop, itu hal yang masuk akal terjadi."
"Raf," dengan hati-hati, Riv berkata, "kalau orang lain yang dengar ucapanmu, mungkin mereka bakal mikir kamu nggak peduli sama ayahmu. Kamu ngomongnya kayak tanpa ekspresi gitu."
Arraf tertawa. "Dan karena itulah aku ngomongnya sama kamu, Sayang," ujar lelaki itu, menatapi Riv dengan senyum sambil mengenggam tangannya yang terletak di atas meja. "Karena kamu selalu bisa... menerima sebusuk apa pun ucapan dan isi otakku."
Mata Riv menyipit, tak setuju. "Nggak, Raf. Aku masih nggak bisa terima kalau kamu suka sleding orang yang nggak sesuai standar kamu."
"Bukan itu maksudku, Sayang." Arraf melingkarkan tangannya di bahu Riv. Mereka memang bukan duduk berhadapan, tetapi bersebelahan. "Maksudku, kamu tuh nggak kaget kalau tahu ucapanku atau isi otakku busuk. Jauh lebih busuk daripada yang semua orang selama ini pikirkan. Kamu ngerti-ngerti aja kalau memang manusia sebusuk aku itu ada. Nggak semua orang bisa memahami itu, Riv. Sebagian besar tuh pada nggak nyangka bahwa isi otak manusia bisa sebusuk aku. Maksudnya, yang sebusuk aku aja mereka kaget, apalagi kalau nemu orang yang ngelakuin perdagangan manusia? Atau yang memperkosa anaknya sendiri? Mereka pasti langsung nganggep dunia itu gila banget, and then they lost faith in humanity. Sementara kita, Riv, kita udah tiap hari menerima fakta bahwa dunia itu busuk dan manusia memang busuk, munafik, arogan, pembohong. Nggak semua orang bisa menerima hal itu."
"Manusia memang busuk, Raf."
"Yes," balas Arraf dengan tegas. "Tapi, Riv, nggak semua orang sekuat itu untuk menerima fakta bahwa manusia memang busuk, or the fact that this world is not okay. Menerima fakta kebusukan aku aja mereka nggak bisa. Padahal aku intensinya baik. Apalagi menerima fakta bahwa ada manusia yang jauh lebih busuk otaknya daripada aku? Seengaknya, aku masih punya moral walau aku agak kejam."
"And you feel better than them?"
Arraf terdiam. Dia tahu jika saja pertanyaan itu dilontarkan orang selain Riv dan Arraf menjawab 'ya', Arraf bisa memastikan orang itu akan menganggapnya sombong dan menyebalkan. Namun, ini Riv yang bertanya. Riv pasti paham bahwa dia hanya bicara fakta. "Yes, Baby," jawab Arraf. "I feel better than them. Tapi nyatanya, aku memang jauh lebih superior dibanding banyak orang seusiaku, kan? Berani taruhan, pasti penghasilanku dua kali lipat lebih tinggi daripada penghasilan orang-orang seusiaku di Indonesia."
"Kenapa bisa?"
"Saham." Arraf mengangkat bahu. "Tahun ketiga dan seterusnya pasti lebih kelihatan kentara perbedaan penghasilanku dan penghasilan orang-orang lain."
Riv memejamkan mata sambil menghela napas. "Arogansimu sangat menghibur, Raf. Makasih atas hiburannya."
Arraf tertawa mendengar sarkasme itu. "I'm just stating facts, Trivia. We are strong people. Kita udah biasa menerima fakta kejam dunia. We live by it everyday di saat masih banyak orang berpikir dunia baik-baik aja."
Alis Riv bertautan. Dia masih tak bisa paham kenapa Arraf merasa perlu mengucapkan hal-hal semacam ini. Untuk merasa superior? Untuk merasa dirinya lebih baik daripada orang-orang lain? Untuk membuat Riv merasa hebat? Riv tak paham. "Arraf, I know I'm strong," ujar Riv dengan lembut dan santai. "Tapi, aku nggak perlu glorifikasi atau pengagung-agungan kayak gini. Biasa aja. Everyone has their own struggle. Bukan cuma kita."
Arraf tersenyum. Dia pun menganggam tangan Riv yang terletak di atas meja. "I know." Arrraf mengecup tangan itu, lalu menatap Riv. "That is one of the reason why I love you."
Riv tersenyum. Rasanya agak aneh. Riv bisa merasakan bahwa Arraf memang tulus mengatakannya meski kadangkala terasa agak menakutkan. Mungkin karena Riv tahu dirinya kini sudah masuk dalam ambisi Arraf yang harus dipertahankan. Empat bulan berpacaran dan akhirnya Riv paham bahwa memang seperti inilah cara Arraf mengungkapkan cintanya. Dengan membuat orang yang dia cintai menjadi bagian dari rencana-rencana jangka panjang Arraf. Dan karena sudah masuk ke dalam rencana panjang, Arraf takkan suka jika rencana itu dirusak.
"Kamu kayaknya nggak sedih ya, Raf," ujar Riv kalem sambil mengelus tangan Arraf. "Kesannya kan, ayahmu cuma anggap kamu aset buat menyelamatkan bisnisnya. Kamu mungkin juga nggak sedih mengetahui kamu bukan anak kandung."
"Awalnya sedih, sih," aku Arraf. "Tapi, itu udah kayak... sepuluh tahun yang lalu. Sekarang ya biasa aja."
Riv tersenyum. "Kamu berusaha buat biasa aja. Karena kamu nggak mau isu ini digunakan orang lain buat menyakiti kamu. Iya, kan?"
Kemudian, Arraf tertegun hingga berhenti tersenyum. Senyum riangnya tadi berganti senyum tipis. Rasa takut mulai menjalari Arraf. "Meus aeterna," bisik lelaki itu sambil mengelus rambut Riv. "Kamu memang nggak pernah berhenti bikin aku takut."
"Ambisimu juga menakutkan sih, Raf." Riv mengelus tangan Arraf. Sambil menatap Arraf, Riv melanjutkan, "Aku agak takut sama kamu."
Memandangi mata Riv, Arraf tak tahu apakah hal ini harus membuatnya sedih atau tidak. Sebab bukan hanya Riv yang takut kepadanya; dia juga takut kepada Riv. "Iya." Arraf menangkup pipi perempuan itu. Matanya terlihat berkilat dengan senyum tipis menghias wajah. "Aku juga takut sama kamu. Takut kamu bakal menghancurkan aku suatu saat nanti."
"Aku nggak ada niat menghancurkan kamu."
"I know. Tapi, kamu nggak bisa aku kendalikan, Riv. Dan kamu juga nggak bisa mengendalikan aku. Kita impas. Kita setara." Arraf menarik napas. Dia berusaha mencari-cari kata yang bisa mendeskripsikan perasaannya kepada Riv. "Aku baru pertama kali ngerasain hal kayak gini. Aku mencintai orang yang juga aku takuti, karena aku tahu orang itu bisa sangat menghancurkan aku suatu saat nanti."
"Kamu juga bisa menghancurkan aku, Raf, entah gimana caranya. You always have your way."
"Aku nggak ada niat menghancurkan kamu," Arraf menyelipkan rambut Riv ke belakang telinga, "kecuali kalau kamu melakukan sesuatu yang akan membahayakan orang banyak — which is, kecil kemungkinan akan terjadi."
Riv tak membalas. Membiarkan Arraf mengelus rambutnya. Beruntung tempat yang mereka tempati sekarang tak ramai pengunjung, sehingga apa yang mereka lakukan tak terlihat orang dan membuat canggung.
Mengingat topik yang tadi mereka bicarakan, Riv bertanya, "Yang tahu tentang status kamu sebagai anak angkat, siapa aja selain keluargamu?"'
"Lumayan banyak, sih." Arraf melanjutkan makan roti bakarnya yang tinggal sedikit. "Kamu, Jagat, beberapa temanku dari sekolah, beberapa teman di asramaku dulu."
"Itu banyak. Berarti ini bukan isu sensitif buatmu."
"Memang bukan."
"Ah." Realisasi terlihat dari raut wajah Riv. "Jadi ini alasan kenapa kamu nggak kelihatan sedih pas ngaku kamu bukan anak kandung."
Kontan, Arraf tertawa. "Ngapain sedih? Masa aku harus sedih karena aku cuma anak angkat yang dijadiin aset bisnis sama ayahku?" Arraf mendengus. "Papa cuma melakukan hal yang masuk akal buat dia. Mungkin, suatu saat aku juga akan kayak gitu."
"Ke anakmu sendiri?" tanya Riv, agak-agak sangsi. "Serius, Raf? Kamu mau maksa anakmu nikahin anak kolega bisnis kamu nanti? Tanpa mikirin keinginan anakmu gimana?"
Arraf tersenyum. "Aku koreksi, ya. Anakku itu bisa jadi adalah anak kita, Sayang. Dan, aku nggak akan memaksa mereka. Mereka mau nikahin siapa itu memang hak mereka. Tapi, kalau memang situasi memungkinkan, ya... kenapa enggak? Perjodohan anak untuk memperkuat bisnis bukanlah hal yang baru."
Riv terdiam. Otaknya berusaha mencari-cari celah untuk mempertanyakan agar dia bisa memahami kenginan Arraf. "Konsiderasi kamu apa aja? Kalau anakmu udah punya pasangan pilihan dia, gimana?"
"Ya aku nggak akan maksa kalau mereka udah serius sama pacar mereka saat itu. Tapi," Arraf mengangkat telunjuknya, "kalau menurutku pacar mereka nggak... hm... kurang terkualifikasi, aku nggak akan segan-segan suruh anakku putus sama pacarnya."
"Astaga." Riv menyilangkan tangan, memandang ke arah lain. "PR banget jadi anakmu. Kasihan segala keinginan mereka harus sesuai dulu sama kualifikasi kamu baru kamu approve."
"Kayaknya enggak." Arraf tersenyum. Tangannya mencari-cari tangan Riv, lalu menyelipkan jemarinya ke sela-sela jari pacarnya itu. "Sayang," panggil Arraf lembut, tangannya yang bebas menangkup pipi Riv agar gadis itu menatapnya. "Kalau ibu dari anak-anakku itu kayak kamu, nggak akan PR-PR amat bagi mereka buat jadi anakku."
Lagi, mata Riv menyipit. "Emang kenapa?"
"Karena kamu akan bantu mereka buat kasih alasan logis yang 99% bisa diterima otakku." Ibu jari Arraf mengusap pipi Riv. "Kamu itu bisa kasih perspektif lain buat aku. Dan itulah kenapa aku yakin kamulah yang paling cocok jadi istriku."
"Kamu nggak akan jodohin mereka di usia muda, kan?"
"Ya enggaklah. Mereka harus stabil dulu secara finansial dan mental sebelum aku nikahin." Arraf pun mengunyah suapan terakhir roti bakarnya. "Aku sebenarnya mau ke sini cuma mau cerita aja, sih. Kangen sama kamu."
"Aku juga."
Arraf berhenti mengunyah. Dia menoleh kepada Riv dengan mata membeliak. "Sewiuz?"
Riv tertawa ringan. "Serius."
Mata Arraf terlihat berbinar. Empat bulan berpacaran, dia tak pernah sekali pun mendengar kata kangen terucap dari bibir Riv. Tak pernah. Selalu dia yang mengatakannya. Arraf pun menelan rotinya. "Kok bisa?"
"Kok kamu juga bisa kangen sama aku?"
Terdiam, Arraf pun baru sadar dia barusan melontarkan pertanyaan bodoh. Dia akhirnya tak membalas dan mengalihkan diri dengan meminum es tehnya.
Tanpa Arraf sangka, tiba-tiba tangan ramping Riv melingkari tubuhnya untuk memberi pelukan. Arraf nyaris menahan napas dengan jantung terpompa cepat. Tidak, ini bukan kali pertama dia memeluk Riv. Hanya saja, ini kali pertama Riv berinisiatif duluan untuk memeluknya.
"Riv?" tanya Arraf, mengaduk-aduk es tehnya dengan bingung. Sementara itu, Riv masih belum melepaskan pelukannya. Arraf berkata, "Riv, kenapa tiba-tiba meluk?"
Riv justru mempererat pelukannya. Sungguh, Arraf merasa nyaman sekaligus khawatir. Dia tak tahu, barangkali Riv ada masalah.
Riv pun mendesah. "I just think that... you definitely felt so lonely back then. Kamu pas masih remaja mungkin sempat hidup untuk membuktikan diri ke ayahmu... hanya untuk tahu bahwa ternyata ayahmu bukan ayah kandungmu. Kamu kemudian tahu kalau ayahmu juga jadiin kamu aset bisnis buat dijodohin sama entah putri pengusaha mana, tapi kamu terima kenyataan itu karena itu hal yang masuk akal dilakukan ayahmu. Kamu pernah bingung nggak sih, harus ngapain setelah tahu kebenarannya? Kamu bingung karena kamu sakit hati tapi nggak tahu siapa yang bersedia dengerin betapa kamu terluka sama kebenaran itu."
Arraf hanya membisu. Ucapan Riv tadi benar-benar membuatnya terperanjat. Seisi perutnya terasa dipelintir sekarang. Dadanya agak sesak. Namun pada akhirnya, Arraf memilih untuk mengaku, "I do."
Riv merasa ikut sesak. Sedari awal dia kenal Arraf, dia tahu di balik arogansi lelaki itu pastilah tersimpan luka atau rasa hampa menganga. "The winner often stands alone, Arraf," ujar gadis itu. Matanya pun memandang Arraf. "Do you often feel alone?"
Arraf mengelus pundak Riv. "Not often. Cuma kadang-kadang aja."
"I see." Riv meletakkan telinganya di dada Arraf, mendengarkan detak jantung lelaki itu. "I feel it too sometimes."
"Terus apa yang kamu lakuin kalau lagi ngerasain itu?"
"Ngobrol sama teman dekatku, bilang kalau aku lagi ngerasa lonely dan negatif banget." Riv mengangkat wajahnya untuk menatap Arraf. "Terus fokus aja ke hal-hal yang membahagiakan. Fokus ke tujuan hidup. Yakin bahwa semelelahkan dan sebusuk apa pun dunia ini, apa yang kuperjuangkan itu worth it. Walau apa yang kulakukan buat membantu orang lain mungkin cuma dinilai sebagai hal kecil sama dunia, I had done my best. And I keep trying my best. Seengaknya aku tetap konsisten sampai sekarang."
Mata Arraf berkedip memandangi wajah Riv. Dia memandangi alis Riv yang tebal dengan lengkungan yang rapi. Lalu turun ke hidungnya yang kecil dan mancung. Ada sedikit freckles di sekitar hidung dan pipinya. Sangat sedikit dan tak terlalu kentara kecuali dia menatap dengan sangat dekat. Pandangannya pun turun ke bibir Riv. Tak ada liptint sewarna red wine lagi di sana. It's just a raw lips. Dan jika tak ingat isi buku catatan Riv, Arraf mungkin sudah mencium gadis itu sekarang juga. "I love you," ujarnya setengah berbisik, tetapi setiap kata penuh keyakinan.
Senyum Riv pun mengembang, seketika membuat hati Arraf ikut berkembang juga. "Thank you."
Alis Arraf bertaut. Matanya menyipit. Wajahnya menyiratkan keheranan atas balasan itu.
Menyadari sesuatu, Riv pun mengoreksi, "Oh, I mean, I love you too!" Lalu gadis itu tertawa. Dan tawanya menular kepada Arraf.
Arraf menatap Riv dengan geli. "Aku penasaran kalau nanti kita nikah dan punya anak, kamu bakal mendidik anakmu kayak gimana. You're definitely different from most girls that I've met."
"Ah, iya." Riv manggut-manggut. "Kamu pasti butuh anak."
"Iya." Arraf mengangguk. Anak bukan hanya sekadar anak untuknya. Anak adalah untuk investasi masa depan. And you'll be my wife, Trivia, batin Arraf, dan inilah keinginannya yang Arraf yakin akan terwujud. Arraf tak merasa perlu meminta apa pun dari semesta untuk memiliki Riv, sebab Riv sudah merupakan miliknya dari awal. This feels so real and surreal at the same time. But Riv, be my wife, be the mother of my children, be my lover, my equal, my eternity. "Meus aeterna," panggil Arraf. "Nanti kalau kita nikah, kamu mau punya anak berapa?"
"Sebenarnya aku nggak terlalu mau punya anak, Raf," ujar Riv dengan hati-hati. Dia tahu keinginannya ini pasti berseberangan dengan keinginan Arraf. "Aku nggak yakin aku bisa jadi... ibu yang keibuan. Soalnya aku nggak percaya naluri keibuan seketika datang dari langit setelah perempuan melahirkan. Soalnya, ada aja ibu-ibu yang naluri keibuannya mati dan tega-tega aja ngebuang anaknya."
Arraf menyipit. "Kamu takut nggak bisa jadi ibu yang baik?"
"Somewhat, yes." Riv tersenyum miris. "Makanya... kalaupun punya anak, paling satu aja."
"Aku mau punya anak," ujar Arraf, tahu bahwa lebih baik terus terang. "Kalau bisa, yang agak banyak."
"Banyak?" Riv mengangkat satu alis. "Banyak versimu itu berapa jumlahnya? Sepuluh?"
"Aku mau minimal tiga anak."
"Aku maunya maksimal tiga."
Arraf terdiam. Kemudian menghela napas. "Oke. Tiga anak."
"Kalem sih, Raf. Kamu kan belum tentu nikah sama aku. Bisa jadi istrimu nanti bersedia kasih anak lebih dari tiga buatmu," ujar Riv, menyedot ovaltine-nya yang sudah habis, sehingga hanya tersisa es batu yang mencair. Sebelum Arraf mendebat, dia berkata, "Kamu mau investasi ke anak, ya? Mau dijadiin penerus usahamu?"
Arraf mengangguk "Iyalah. Minimal harus ada satu anak yang nerusin usaha. Aku perencana jangka panjang, Trivia. Usaha yang kubangun ini juga untuk warisan keturunanku kelak. Sayang aja kalau nggak ada yang mau nerusin usaha ini."
"Benar juga." Riv mengangguk. "Berdoa aja semoga anak kamu nanti ada yang mau nerusin. Tapi, kalau nggak ada yang mau nerusin dan mau pilih karier yang berbeda, gimana?"
"Paksainlah. Enak aja mereka udah nerima hidup enak dari usahaku tapi nggak mau nerusin," seloroh Arraf. "Ya... minimal dari muda udah kukenalin sama orang-orang dalam perusahaanku nanti biar mereka merasa akrab."
Riv bergumam sambil menaik-turunkan kepala. "Istrimu harus berani pasang badan buat mereka sih, Raf, kalau kamu udah mulai memaksakan kehendak di luar batas."
"Iya." Arraf tersenyum. "Ingetin aja, ya."
Tanpa terasa, Riv baru menyadari mereka mengobrol lama sekali hingga jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam. Arraf pun mengantar Riv kembali ke indekosnya setelah mereka membayar makanan. Begitu sudah memarkirkan motor di depan indekos yang sepi, Riv turun dan tak langsung pergi.
Arraf pun mematikan motornya. Tak langsung pulang ke apartemennya. "Mau ngomong sesuatu, Riv?"
Riv tersenyum. Dan, ketulusan dapat Arraf rasakan dari senyuman itu. "Makasih Arraf."
Sebuah kedutan muncul di tengah alis Arraf. "Harusnya aku yang bilang makasih."
"Iya. Tapi, aku juga mau terima kasih karena kamu udah mau terbuka sama aku. Aku tahu pasti susah banget buat kamu ngelakuin ini setelah dikhianati sama orang yang kamu percaya sebelumnya. So, thank you for trusting me."
Arraf membisu. Tergugu karena desiran dalam dadanya kini jauh lebih hebat dari sebelumnya hingga membuat hati dan pipinya menghangat. "Eung." Dia mengerjap, mengalihkan pandangan sejenak dari senyum Riv yang mendadak membuatnya agak kikuk. "Iya," jawab Arraf, mulai menatap Riv. Pipinya memanas lagi. "Makasih juga."
Riv terkekeh. Tawa kecilnya terdengar ringan, agak serak-serak basah dan Arraf suka mendengarnya. "Sama-sama, Paduka Arraf."
Bergumam, Arraf menatap Riv lalu menarik lembut tangan gadis itu. "Sini dulu."
"Mau ngapain?"
"Mau peluk," ujar Arraf, segera menarik Riv ke dalam dekapannya. Dia meletakkan kepala ke lekukan leher Riv dan memejamkan mata, merekam rasa hangat tubuh mereka di balik cuaca malam yang dingin. Menikmati aroma parfum melon Riv yang segar.
Ingin rasanya Arraf mengkristalkan momen ini. Dia sadar suatu saat dia akan bosan. Namun, Arraf sudah yakin bahwa dia bisa melewati kebosanan itu bersama Riv. Arraf sangat bersyukur dia sudah berpacaran dengan Riv sebelum dia terbawa perasaan terlalu dalam. Setidaknya, Riv sudah jadi miliknya. Sehingga dia tak perlu khawatir jika dia terlalu terbawa perasaan. Justru itu bagus karena mereka sudah berpacaran, sebab hal ini bisa membuatnya tambah cinta dengan Riv. Dan, tepat inilah yang Arraf inginkan.
Riv melerai pelukan mereka perlahan, lalu tersenyum kepada lelaki itu. "Duluan ya, Raf." Merapatkan jaketnya, Riv pun menjauh, lalu melambai dan melangkah memasuki gerbang indekosnya. Arraf menatapi gadis itu sampai dia mengunci gerendel gerbang indekos, lalu menghilang ketika memasuki gedung indekosnya, baru Arraf menyalakan motor dan berkendara pulang ke rumah.
Ada banyak hal bersliweran dalam otak Arraf sepanjang empat bulan lebih ini dia berpacaran dengan Riv. Gadis itu tak pernah berhenti membuatnya bahagia, takjub, bangga, terkejut, sekaligus takut. Rasa-rasanya aneh sekali dia bisa berpacaran dengan Riv. Karena jika dilihat dari kacamata Arraf ketika dulu kuliah, gadis seperti Riv adalah perempuan yang tak mungkin dia pacari. Bukan karena tidak cantik, tetapi karena Riv terlalu anomali. Terlalu berbeda darinya jika dilihat dari permukaan. Namun, mengenali Riv rasanya seperti bertemu mutiara yang tersimpan dalam cangkang kerang. Arraf ingat dulu pernah berdoa dan yakin suatu saat dia akan bertemu seseorang yang berbeda darinya, tetapi dari orang inilah dia akan mendapat pelajaran terus-menerus seumur hidup. Dan dia yakin, Riv-lah orang yang ditunjuk semesta atas doa Arraf. Dekat sekali ternyata orang yang Arraf butuhkan. Tidak lain adalah adik tingkatnya sendiri.
Rasanya magis. Terkadang Arraf suka bertanya-tanya sendiri realita yang dia alami bersama Riv sungguhan realita atau tidak karena dia merasakan kemagisan tak masuk akal dengan mengenal Riv.
Sebab, bagaimana mungkin ketika Arraf sudah tak lagi mencari seseorang yang bisa mengerti emosi dan psikologisnya, sudah menyerah pada konsep pasangan yang saling melengkapi, sudah menganggap tak mungkin ada orang yang bisa memahaminya kecuali dirinya sendiri, kemudian justru bertemu dengan manusia seperti itu dalam satu paket bernama Trivia Ganggarespati?
Trivia memang semagis itu untuk Arraf.
Dia bagai bintang jatuh. Munculnya tak setiap hari. Menatapnya terasa magis seolah waktu siap berhenti berputar demi dirinya. Sehingga Riv menjadi sebuah kesempatan yang tak boleh dia lewatkan.
Karena sadar betapa magisnya Riv, betapa dia dan Riv terasa seperti pasangan yang sangat jarang ditemui, betapa Arraf sadar hal magis tidaklah realistis; Arraf jadi ingin mengikat kemagisan itu. Arraf ingin mengikat Riv lebih kuat, agar Arraf senantiasa yakin bahwa Riv yang magis itu benar dia miliki dalam realita. Tak hanya sekadar kemagisan utopis yang hanya singgah sejenak untuk musnah.
Arraf tak ingin Riv pergi. Dia belum siap ditinggalkan.
Sayangnya, dia juga sadar bahwa Riv selalu mampu meninggalkan siapa pun dan apa pun... kapan pun waktunya.
Sebab bagaimana pun juga, Riv adalah bintang jatuh. Bukan bintang sungguhan.
Bintang jatuh adalah komet. Berangkat dari awan Oort dan mengorbit matahari dalam orbit yang sangat elips. Dari pembentukan tata surya, matahari dan planet-planet mengalami perubahan materi akibat kompresi dan berbagai gaya. Sementara komet tetap pada materi awalnya.
Komet adalah pengingat awal mula pembentukan matahari. Dia bisa mendekati matahari lebih dekat daripada Merkurius, sekaligus bisa jadi lebih jauh daripada Pluto.
Komet hanya mendekat untuk kembali menjauhi matahari.
Arraf tak ingin itu terjadi. Sebab dia mau Riv terus berada di sisinya.
Dan semesta harus mengikuti kehendak Arraf yang satu ini. Tidak boleh tidak. Sebab sedari awal, Arraf tahu Riv adalah miliknya dan dia adalah milik Riv. They belong to each other. Tak ada yang bisa memisahkan mereka kecuali kematian dan diri mereka sendiri. Mereka layak untuk bersanding bersama selamanya. Persis seperti panggilan Arraf kepada Riv.
Meus aeterna.
My forever.
[ ].
A/N
Demi Tuhan, dua manusia ini kompleks sekaleh. Gue sampai susah jelasinnya pakai kata-kata. Mereka tuh kayak... kontradiksi berjalan gitu. Terasa real sekaligus surreal. Terasa nyata di detik itu tapi di saat yang sama bisa pergi gitu aja dengan mudahnya. Terasa indah sekaligus menakutkan. Terasa realistis tapi magis juga dan saking magisnya Arraf mau ngikat kemagisan itu biar tetap ada dalam ranah realita Arraf.
Gue susah juga masalahnya jelasin ke kalian. Tapi emang apa yang Arraf rasakan ke Riv dan sebaliknya itu lebih kuat dari sekadar cinta. It's... the feeling of equality on a really different level. Kayak, mereka itu manifestasi dari banyak kontradiksi dunia yang anehnya berjalan bersisian. Serem, tapi keren, tapi nakutin, tapi juga indah. It's really exciting and exhilirating at the same time woah it's so complex. I'm screwed.
But the thing is: mereka tuh berpegangan banget ke logika karena itu cara mereka buat nyari tahu "alat tempur" apa yang harus mereka persiapkan sebelum logika mereka lumpuh. Kenapa logika mereka bisa lumpuh? Ya karena cinta dan rasa chemistry magis tuh bisa jadi lebih kuat dari bayangan mereka, yang bisa bikin mereka ngeiyain hampir segala hal dari pasangan mereka meski itu toxic dan mereka nggak mau itu terjadi. Hal ini kenapa nggak pernah terjadi sama mantan-mantan mereka? Ya karena mantan-mantan mereka karakternya nggak sekuat atau nggak se-well-developed mereka. Sementara Riv ketika kenal sama Arraf tuh ya udah sama-sama kuat gitu. Mereka setara. Makanya nggak ada yang mendominasi ataupun didominasi. It's a stalemate. It's either they destruct or construct. Dan dengan menjalani hubungan kayak gini, mereka tahu things won't ever be the same anymore.
Oiya GIF Riv dan Arraf di bawah dibuat oleh ensiklopedea
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top